Share

7. Kepergian Fahri

"Ada dua pilihan bagaimana menyikapi perasaan itu. Pertama, apakah ingin seperti Bunda Siti Khadijah yang berani mengungkapkan perasaannya kepada Nabi Muhammad SAW, atau seperti Sayyidatina Fatimah Az-Zahra RA, yang menyimpan cintanya diam-diam untuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Jadi, di antara cara menyikapi cinta dari kedua wanita mulia itu, cara mana yang akan kamu ambil?"

Araya berpikir sejenak, sampai akhirnya ia pun menjawab, "Bunda Siti Khadijah."

Tertampar sudah Araya dengan ucapannya sendiri. Malu sekali saat ia tidak bisa membuktikannya dengan tindakan nyata. Berbicara itu memang mudah, tetapi melakukannya adalah pekerjaan yang paling sulit.

Sungguh malu saat kejadian tadi membuat Araya pada akhirnya memilih untuk berlari. Meninggalkan toko pernak-pernik begitu saja, sehingga pin yang ingin ia beli untuk sang bunda pun tidak jadi. 

Lagi pula, memangnya siapa orang yang mengerjainya tadi? Apa tujuannya melakukan hal itu? Sumpah, Araya kesal sekali dibuatnya. Kalau sampai bertemu lagi, Araya berjanji akan langsung memukulnya sampai babak belur.

"Berhenti, Pak!" Araya berteriak sambil berlari untuk menghentikan angkot yang sedang melaju.

Buru-buru Araya masuk, sedang jantungnya terus bertalu-talu. Napasnya bahkan sampai ngos-ngosan. Beberapa penumpang yang ada di angkot meliriknya diam-diam. Seperti berpikir, ini orang kenapa, dah, kayak lagi dikejar setan.

***

"Assalamualaikum, Tante." Saat membuka pintu rumah, yang pertama kali Bunda lihat adalah Fahri. Sahabat putrinya itu sudah rapi dengan penampilannya.

"Waalaikusalam, ada apa, Fahri, kamu mau ke mana?" tanya Bunda, sambil membuka pintu lebar-lebar. Apalagi saat Bunda juga melihat sebuah mobil SUV putih di depan rumah Fahri, beberapa koper turut dimasukkan ke dalam bagasi mobil itu.

"Ini Bunda, Fahri mau ke Jogja."

"Kok mendadak banget?" Bunda dan Fahri berjalan memasuki rumah.

"Iya, Nenek tiba-tiba sakit keras di sana. Jadi Mama sama Fahri hari ini harus langsung berangkat."

"Terus acara perpisahan nanti di sekolah gimana?"

Fahri tersenyum. Langkah cowok itu tiba-tiba saja terhenti. "Mungkin Fahri nggak ikut, Tante, sekarang aja Fahri mau pamitan sama Araya. Arayanya ada, 'kan, Tante?"

"Araya belum pulang, Ri, Bunda pikir dia pulangnya bareng kamu. Adnan juga nggak sempet jemput karena lagi siapin barang-barang buat berangkat besok ke Tasik."

Fahri mengangguk saja. Sudah tidak aneh jika setiap pulang sekolah Araya memang suka kelayapan meskipun sendirian. Gadis itu memang berbeda.

"Loh, Fahri, kamu mau ke mana? Udah rapi aja?" Adnan yang baru saja selesai dengan pekerjaannya menghampiri. Pemuda kaos putih polo itu masih memegang kain lap di tangannya.

"Fahri mau ke Jogja, Nan, ngedadak banget." Bunda menyahut.

"Kenapa, Ri, kok tiba-tiba?" tanya Adnan dengan kening berkerut.

"Nenek di Jogja sakit, Bang, jadi kita sekarang mau langsung ke sana, lihat kondisi Nenek," jawab Fahri. "Tapi ini juga nunggu Araya dulu, kok, mau pamitan sama Raya."

"Oh yaudah kalau gitu duduk dulu, udah gak aneh dia pasti kelayapan dulu." Adnan mempersilakan Fahri duduk di sofa. Lantas kedua pemuda berbeda usia itu duduk saling berhadapan.

"Sebentar, ya, Fahri, Bunda siapin dulu minum buat kamu."

"Iya, Bunda, terima kasih."

***

"Assalamualaikum, Bunda, Araya pulang," teriak Araya saat baru saja sampai gerbang rumah. Gadis dengan seragam putih-abu serta kerudung instan putih itu menghentikan langkahnya saat melihat mamanya Fahri sedang berusaha memasukkan koper ke dalam bagasi SUV putih.

Araya sontak menghampirinya. "Sini Tante biar Araya bantu." Gadis itu lantas membantu mengangkat koper dan memasukkannya ke dalam bagasi. "Fahri ke mana memangnya, Tan, kok nggak bantuin Tante, sih?" Araya berkacak pingggang, lalu satu tangannya membantu menutup pintu bagasi.

Fina—mamanya Fahri—wanita itu tersenyum. "Fahri lagi di rumah kamu, kayaknya nungguin kamu, deh, makanya belum keluar-keluar dari tadi."

"Oh, memangnya ada apa Tante, Tante juga mau ke mana ini?" Araya memindai mamanya Fahri dari atas kepala sampai ujung kaki, baru sadar bahwa wanita di hadapannya ini  sudah rapi dan cantik. Juga koper yang dimasukkan tadi, untuk apa, ya?

"Coba kamu temuin dulu Fahri, deh, biar kamu segera tahu," ujar Tante Fina, wanita itu kemudian pamit kembali memasuki rumah.

Setelah membalas Tante Fina dengan sebuah anggukan, Araya berjalan mundur kemudian berbalik dan berlari memasuki rumahnya.

"Fahri!" teriaknya saat baru saja sampai.

"Waalaikumsalam, dateng-dateng kok langsung teriak-teriak, kamu mah gimana, sih?" protes Bunda dengan kelakuan Araya. Wanita itu langsung menghampirinya di depan pintu.

"Fahri mana?" Namun, Araya tidak merespons sang bunda.

"Itu, lagi ngobrol sama Abang kamu."

Lalu dengan langkah seribu Araya menghampiri Fahri. "Lo mau kemana, Ri?" tanyanya menginterupsi kegiatan obrolan ringan di antara Fahri dan juga Adnan. Bahkan netra coklat Araya pun tidak luput memerhatikan Fahri dari ujung kepala sampai kaki. Dan entah kenapa hal itu membuat pikiran Araya resah.

"Araya, baru balik?" Fahri kemudian berdiri.

"Gue tanya lo mau ke mana?" tanya Araya galak, wajahnya pun sudah tidak bersahabat.

"Tenang, dong, Ya, nggak usah galak-galak," kekeh Fahri seraya mengangkat kedua tangan di depan dada. Araya itu memang susah sekali bersikap lembut padanya. Untung saja Fahri adalah cowok paling sabar menghadapi Araya.

"Gimana nggak galak, lo sama Tante Fina aneh. Kenapa kalian pada rapi gitu?" Araya terdiam sejenak, gadis itu meneguk ludah pahit saat menyadari sesuatu. "Mau pergi?" tanyanya kemudian.

Dan tentu saja pertanyaan itu mendapat anggukan dari Fahri. "Iya. Hari ini. Nanek gue di Jogja lagi sakit keras, dan om gue di sana lagi sibuk banget ngurus perusahaan. Jadi gue sama Mama, mutusin buat—" Fahri menggantungkan perkataannya, tiba-tiba saja dadanya terasa sesak. "Buat tinggal di sana."

Satu kali Araya berjalan mundur, perkataan itu entah kenapa membuat rongga dadanya menipis. Bahunya turut merosot, ada sesuatu yang gadis itu tidak suka dalam hidup. Iya, ini, sebuah perpisahan. "Tapi kenapa mendadak banget?" Suara Araya mulai parau. "Dan kenapa tadi di sekolah lo nggak kasih tahu gue?" tanyanya menuntut.

"Sorry, Ya, gue nggak berani, gue takut lo—"

"Nggak berani?" Lagi, Araya berjalan mundur saat Fahri melangkah mendekatinya. Ia menggeleng tidak habis pikir. "Kalau dengan kasih tahu gue sebelumnya lebih buat lo takut gue sedih daripada kasih tahu gue mendadak kayak gini. itu artinya lo nggak pernah kenal gue!" Araya mulai berbicara dengan nada tinggi. Jujur saja hatinya sakit sekali karena diberitahu dengan tiba-tiba seperti ini.

"Bukan, gitu, ya," lirih Fahri, matanya sudah memanas. Ia tidak menyangka bahwa respons Araya akan se-marah ini. Sungguh, membuat Fahri takut andai hubungan mereka berakhir tidak baik di detik-detik ia akan pergi. Bukankah nanti kehidupannya di Yogyakarta sudah tentu tidak akan tenang andai hubungannya dengan Araya seperti itu?

"Terus apa?" tanya Araya lagi. "Ri, acara  perpisahan di sekolah aja belum, kenapa lo pergi sekarang?" Air bening yang sedari tadi Araya tahan akhirnya terjatuh. Rasanya berat sekali ditinggalkan oleh Fahri. Walau pun ia juga akan pergi, tapi setidaknya Fahri membiarkan Araya yang lebih dulu pergi daripada dirinya. Biarkan Araya tidak merasa sakit karena ini. Sebab ditinggal jauh oleh sahabat sendiri, ternyata belum apa-apa sudah membuat Araya merasa kehilangan.

"Apa alasan gue buat ikut perpisahan, Ya? Kalau lo sendiri aja gak ada di perpisahan itu!" Fahri sedikit meninggikan suaranya. Sedang Bunda dan Adnan hanya bisa memerhatikan dalam diam. Menyaksikan sedikit konflik dari dua sejoli yang bersahabat dan sebentar lagi akan berpisah itu. Tidak mau melerai, karena ini permasalahan mereka. Toh, mereka sudah sama-sama dewasa.

"Fahri!" tekan Araya menanggil namanya, netra gadis itu sudah memerah, bahkan tanpa sadar kedua tangannya terkepal di sisi tubuh.

"Lo juga mau pergi, Ya. Terus apa alasan gue untuk terus tinggal di sini. Lo boleh pergi tapi kenapa gue nggak?!"

Araya tersentak, untuk pertama kalinya Araya melihat Fahri bersikap seperti ini padanya. Wajah cowok itu tampak putus asa, bahkan matanya menyorot kecewa, tidak urung juga urat-urat di lehernya terlihat. "Kalau lo berharap gue nggak pergi sekarang biar lo nggak merasa sakit. Maka itu nggak adil, Ya."

"Sumpah, gue udah cukup sama sikap lo yang nggak pernah peka!" lanjutnya kemudian.

"Yaudah!" Araya kembali melangkah mundur. Menatap nanar si lawan bicara. Ada rasa tidak menyangka bahwa Fahri akan mengatakan hal itu padanya. Apakah di mata Fahri selama ini Araya memang selalu menyakitinya?

"Pergi aja kalau gitu!" Seiring perkataan itu selesai, Araya memutar tubuhnya ke belakang lalu berlari memasuki kamar.

Begitu pun dengan Fahri, cowok itu bahkan tidak sempat berbicara lagi dengan Adnan serta Bunda kecuali kepergian yang dia lakukan. Marah, Fahri juga bisa barada dalam posisi ini. Ketika dirinya ingin dimengerti, tetapi Araya justru menyalahkannya. Dengan langkah tergesa juga kedua tangan yang mengepal, Fahri berjalan ke halaman rumahnya untuk memasuki mobil.

"Fahri!"

Namun, sebelum Fahri memasuki mobil, panggilan Araya lebih dulu menginterupsi. Cowok itu lantas kembali menutup pintu.

Dari ujung pintu rumah sederhana yang bertingkat dua itu Araya berlari menghampiri. Bersama tetesan air matanya memeluk Fahri, erat sekali. Lalu Fahri membalas pelukan itu. Sebuah pelukan terakhir untuk Araya yang Fahri sayang.

Adnan yang melihat sontak menyusul hendak memisahkan mereka, tetapi tangan Bunda lebih dulu menahannya. Wanita itu menggeleng seakan berkata, Nggak apa-apa, sekali ini saja.

"Maafin, gue, Ri. Maaf."

To be continued ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status