Arandra berdiri di depan puluhan kemeja Alexander yang tergantung dengan rapi. Dia mengamatinya satu per satu sebelum mengambil satu kemeja berwarna putih, juga mengambil jas biru, dan dasi bermotif stripes hitam putih.Ketika Arandra keluar dari walk ini closet, Alexander terlihat sudah berdiri di tengah kamar. Hanya mengenakan celana pendek dengan rambut yang telah dikeringkan. Sudah selesai mandi."Aku tidak tahu pakaian seperti apa yang biasa kau kenakan." Arandra menyerahkan setelan kerja yang telah dia siapkan pada Alexander. "Apa kau menyukai pilihanku?"Alexander bahkan tidak menatap setelan yang diulurkan Arandra, tapi dia mengangguk. Bangun dari tidur, Arandra sudah sibuk membantunya bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Istrinya berinisiatif sendiri untuk menyiapkan pakaiannya. Alexander senang dengan itu."Bantu aku berpakaian."Arandra menurut. Dia membantu Alexander mengenakan kemeja dan jasnya. Lalu menyimpulkan dasinya. "Dasinya terlihat tidak cocok. Aku ambilkan yang l
"Kenapa menjemputku? Aku kan bisa pulang sendiri." Berjalan bersisian dengan tangan yang saling tertaut, Arandra menolehkan kepalanya ke samping. Mendongak menatap Alexander. "Aku tidak menjemputmu. Aku juga ingin pergi ke makam Axel," balas Alexander dengan seringai kecil. Dia memang datang untuk menjemput Arandra. Tapi ingin menggodanya sebentar. Tidak mau istrinya menjadi terlalu percaya diri."Lalu kenapa tidak masuk?" tanya Arandra. Alexander belum sampai masuk ketika dia kembali keluar dari area pemakaman sambil menggenggam tangannya pergi."Tidak jadi.""Kenapa tidak jadi?""Malas.""Kenapa malas? Kau tidak mau bertemu Axel?"Alexander berhenti melangkah. Menghadap Arandra, dia menarik pelan pipi Arandra. "Cerewet."Arandra memajukan bibirnya. Sambil mengusap pipinya, wanita itu berjalan meninggalkan Alexander di belakang."Kau mau ke mana, Ara?!" Arandra menghilang dari pandangannya. Alexander berjalan cepat menerobos kerumunan orang-orang. Tapi tidak berhasil menemukan kebe
Arandra menghampiri ibunya dengan langkah pelan sebelum masuk ke dalam pelukan–setelah Riana merentangkan kedua tangannya untuk mendapat pelukan Arandra.Arandra tidak akan menjadi pendiam jika wanita itu adalah Anggy. Dia bisa bersikap lebih manja jika itu pada Anggy. Tapi menjadi canggung pada ibu kandungnya sendiri. "Ayah tidak ikut pulang?" Arandra memiringkan kepalanya. Melihat dari balik punggung Riana untuk mencari ayahnya yang tidak tampak. Seperti yang sebelumnya dikatakan pada Arandra, Riana memang pulang, dan sekarang berada di mansion keluarga William untuk menemui putrinya."Ayahmu pulang lebih dulu ke mansion. Ibu ke sini untuk menjemputmu. Ibu merindukanmu."Arandra mengerjap. Cukup terkejut–karena tidak pernah mengingat kapan ibunya pernah berkata-kata seperti itu. "Ibu Anggy, boleh aku ikut Ibuku?" tanya Arandra pada Anggy.Anggy memberikan anggukan. "Kau sudah memberitahu Alex kan?"Arandra mengangguk. Dia sudah meminta izin pada Alexander melalui telepon. Lelaki
Alexander melesatkan mobilnya membelah jalan raya dengan kecepatan tinggi. Jalanan lumayan sepi karena sudah larut malam. Seharusnya dia lembur di kantor. Tetapi karena telepon dari Arandra, dia kemudian pulang–menjemput istrinya di rumah Genovan.Lewat satu jam kemudian, dia tiba di mansion keluarga Genovan. Alexander memasukkan mobilnya setelah pagar tinggi yang mengelilingi sebuah rumah mewah bergaya modern terbuka. Alexander langsung masuk ke dalam mansion. Menapaki anak tangga satu per satu–menuju ke kamar Arandra. Ketika dia membuka pintu, matanya langsung terarah ke sosok yang sedang duduk di ranjang.Seolah menyadari kehadirannya, Arandra langsung menoleh ke arah pintu yang terbuka. Matanya mengedip lambat. Menunggu langkah Alexander menghampirinya. Lalu memeluknya ketika lelaki itu berdiri tepat di depannya."Aku ingin pulang ke rumah," ucap Arandra pelan dengan wajah yang tenggelam di perut Alexander.Alexander mengusap kepalanya. "Di sini rumahmu juga kan?" balasnya–yang
Dibanding dengan orang tuanya sendiri, Arandra lebih dekat dengan Ayah dan Ibu mertuanya. Terlihat ketika wanita itu sampai di kediaman William, dan melihat Arthur duduk di teras mansion–sepertinya sedang menikmati udara segar di pagi hari–Arandra langsung berlari ke arahnya. "Kenapa sudah pulang?" tanya Arthur setelah pelukannya dan Arandra terlepas.Arandra menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Aku merindukan Ayah."Arthur menyipitkan mata, tersenyum geli. "Tubuhmu hangat. Kau sakit?" Dia memeriksa dahi Arandra. Merasakan suhu tubuhnya yang sedikit panas ketika memeluknya.Arandra menggeleng. Tersenyum meyakinkan. "Aku baik-baik saja. Tadi Alex sudah memberikan obat.""Ya sudah. Masuklah. Ibumu ada di dapur. Sedang membuat kue," kata Arthur kemudian.Arandra mengangguk. Dia masuk ke dalam dengan langkah riang. Sementara Arthur menatap Alexander. "Ada masalah dengan orang tuanya?" tanyanya.Alexander tidak menjawab. Hanya mengedikkan bahu, sebelum menyusul Arandra ke dal
"Kau sudah mau berangkat?" Arandra baru membuka mata ketika dia melihat Alexander sudah terlihat rapi dengan setelan jasnya. Sangat berbeda dengan dirinya yang hanya mengenakan selimut tebal di atas ranjang.Alexander mengangguk sembari mengenakan jam tangan di pergelangan tangan kirinya."Kenapa tidak membangunkan aku?" ucap Arandra sambil bergerak bangun. Dia baru belajar menjadi istri yang baik dengan menyiapkan semua kebutuhan Alexander untuk pergi bekerja. Baru beberapa hari, tapi dia sudah tidak melakukan tugasnya lagi karena terlambat bangun. Semalam mereka memang tidur sangat larut. Tetapi seharusnya itu tidak menjadi alasan untuknya bangun kesiangan."Tidak apa-apa. Kau tidur sangat nyenyak. Aku sengaja tidak ingin membangunkan mu," jawab Alexander. "Sekarang bangun. Aku akan menemanimu untuk sarapan. Setelah itu aku akan pergi ke kantor.""Kau pergi saja. Nanti terlambat.""Jika kau lupa, aku bosnya, Ara. Aku bisa datang kapan saja yang aku mau," balas Alexander dengan seri
"Kapan kau kembali?""Dua hari yang lalu," jawab Clarice–teman masa kecil Alexander. Dia tinggal dan memulai karirnya sebagai model di Amerika. "Aku mendengar perusahaanmu sedang mencari model untuk peluncuran pesawat. Jadi aku datang."Alexander menanggapinya dengan anggukan."Kau mengakuisisi Spanish Airlines? Setahuku perusahaanmu tidak bergerak di bidang penerbangan?" tanya Clarice. Wanita berambut pirang itu menarik kursi dan duduk di depan Alexander dengan dibatasi oleh meja besar lelaki itu.Lagi, Alexander mengangguk."Ah iya, bagaimana kabar Uncle dan Aunty? Sudah lama aku tidak bertemu mereka.""Baik." "Aku akan berkunjung untuk menemui mereka nanti," ucap Clarice."Mereka ke Roma.""Uncle dan Aunty pergi ke Roma? Ada apa?" "Pekerjaan," jawab Alexander singkat. Lelaki itu berbicara sambil menatap berkasnya. Clarice mengamati Alexander. "Kau masih sama saja seperti dulu ternyata. Sangat irit bicara. Patas saja kau tidak memiliki teman selain aku." Wanita itu menggeleng. Na
Dengan tas kecil di punggung dan beberapa tumpuk buku di pelukannya, Arandra berdiri di trotoar depan kampusnya. Menunggu Axellino menjemput. Sudah lebih dari setengah jam, tapi lelaki itu belum sampai juga.Arandra meletakkan ponselnya di telinga setelah menjawab panggilan dari Axellino. Lelaki itu meneleponnya.["Kau masih menungguku?"]Arandra mengangguk. Tapi sadar Axellino tidak bisa melihatnya, wanita itu kemudian menjawab 'ya'.["Mobilku tidak bergerak sama sekali. Di sini benar-benar macet. Kau pulang saja lebih dulu bersama supir mu, hm?"]"Tidak mau. Aku akan menunggumu," balas Arandra. Axellino sudah memintanya pulang lebih dulu sejak mobilnya mulai terjebak macet. Tapi Arandra tetap keras kepala menunggunya. Tidak peduli pada awan yang menghitam, yang mungkin sebentar lagi akan turun hujan.Dan benar saja. Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi bumi–tidak deras, tapi tetap akan membuat tubuh basah jika tidak berteduh. Arandra hanya diam di tempatnya. Menutupi kepalanya