Dibanding dengan orang tuanya sendiri, Arandra lebih dekat dengan Ayah dan Ibu mertuanya. Terlihat ketika wanita itu sampai di kediaman William, dan melihat Arthur duduk di teras mansion–sepertinya sedang menikmati udara segar di pagi hari–Arandra langsung berlari ke arahnya. "Kenapa sudah pulang?" tanya Arthur setelah pelukannya dan Arandra terlepas.Arandra menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Aku merindukan Ayah."Arthur menyipitkan mata, tersenyum geli. "Tubuhmu hangat. Kau sakit?" Dia memeriksa dahi Arandra. Merasakan suhu tubuhnya yang sedikit panas ketika memeluknya.Arandra menggeleng. Tersenyum meyakinkan. "Aku baik-baik saja. Tadi Alex sudah memberikan obat.""Ya sudah. Masuklah. Ibumu ada di dapur. Sedang membuat kue," kata Arthur kemudian.Arandra mengangguk. Dia masuk ke dalam dengan langkah riang. Sementara Arthur menatap Alexander. "Ada masalah dengan orang tuanya?" tanyanya.Alexander tidak menjawab. Hanya mengedikkan bahu, sebelum menyusul Arandra ke dal
"Kau sudah mau berangkat?" Arandra baru membuka mata ketika dia melihat Alexander sudah terlihat rapi dengan setelan jasnya. Sangat berbeda dengan dirinya yang hanya mengenakan selimut tebal di atas ranjang.Alexander mengangguk sembari mengenakan jam tangan di pergelangan tangan kirinya."Kenapa tidak membangunkan aku?" ucap Arandra sambil bergerak bangun. Dia baru belajar menjadi istri yang baik dengan menyiapkan semua kebutuhan Alexander untuk pergi bekerja. Baru beberapa hari, tapi dia sudah tidak melakukan tugasnya lagi karena terlambat bangun. Semalam mereka memang tidur sangat larut. Tetapi seharusnya itu tidak menjadi alasan untuknya bangun kesiangan."Tidak apa-apa. Kau tidur sangat nyenyak. Aku sengaja tidak ingin membangunkan mu," jawab Alexander. "Sekarang bangun. Aku akan menemanimu untuk sarapan. Setelah itu aku akan pergi ke kantor.""Kau pergi saja. Nanti terlambat.""Jika kau lupa, aku bosnya, Ara. Aku bisa datang kapan saja yang aku mau," balas Alexander dengan seri
"Kapan kau kembali?""Dua hari yang lalu," jawab Clarice–teman masa kecil Alexander. Dia tinggal dan memulai karirnya sebagai model di Amerika. "Aku mendengar perusahaanmu sedang mencari model untuk peluncuran pesawat. Jadi aku datang."Alexander menanggapinya dengan anggukan."Kau mengakuisisi Spanish Airlines? Setahuku perusahaanmu tidak bergerak di bidang penerbangan?" tanya Clarice. Wanita berambut pirang itu menarik kursi dan duduk di depan Alexander dengan dibatasi oleh meja besar lelaki itu.Lagi, Alexander mengangguk."Ah iya, bagaimana kabar Uncle dan Aunty? Sudah lama aku tidak bertemu mereka.""Baik." "Aku akan berkunjung untuk menemui mereka nanti," ucap Clarice."Mereka ke Roma.""Uncle dan Aunty pergi ke Roma? Ada apa?" "Pekerjaan," jawab Alexander singkat. Lelaki itu berbicara sambil menatap berkasnya. Clarice mengamati Alexander. "Kau masih sama saja seperti dulu ternyata. Sangat irit bicara. Patas saja kau tidak memiliki teman selain aku." Wanita itu menggeleng. Na
Dengan tas kecil di punggung dan beberapa tumpuk buku di pelukannya, Arandra berdiri di trotoar depan kampusnya. Menunggu Axellino menjemput. Sudah lebih dari setengah jam, tapi lelaki itu belum sampai juga.Arandra meletakkan ponselnya di telinga setelah menjawab panggilan dari Axellino. Lelaki itu meneleponnya.["Kau masih menungguku?"]Arandra mengangguk. Tapi sadar Axellino tidak bisa melihatnya, wanita itu kemudian menjawab 'ya'.["Mobilku tidak bergerak sama sekali. Di sini benar-benar macet. Kau pulang saja lebih dulu bersama supir mu, hm?"]"Tidak mau. Aku akan menunggumu," balas Arandra. Axellino sudah memintanya pulang lebih dulu sejak mobilnya mulai terjebak macet. Tapi Arandra tetap keras kepala menunggunya. Tidak peduli pada awan yang menghitam, yang mungkin sebentar lagi akan turun hujan.Dan benar saja. Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi bumi–tidak deras, tapi tetap akan membuat tubuh basah jika tidak berteduh. Arandra hanya diam di tempatnya. Menutupi kepalanya
Alexander menatap wajah Arandra yang tenang ketika terlelap. Lelaki itu mengelus lembut rambut halus Arandra, lalu beralih ke bibir Arandra yang menggoda. Alexander benar-benar tergila-gila pada perempuan ini. Setiap detik, setiap waktu. Arandra adalah segalanya.Lalu, tatapannya teralihkan ketika suara pintu kamarnya diketuk. Alexander menyahuti sebelum kemudian pintu terbuka dan seorang pelayan berdiri di sana.Pelayan itu menunduk hormat. "Maaf menganggu Anda, Tuan Muda. Tapi ada orang tua Nyonya Muda di bawah."Alexander menaikkan alis, menatap Arandra sejenak sebelum kemudian turun dari ranjang. Keluar dari kamar untuk menemui orang tua Arandra."Ibu di sini? Kenapa tidak bilang akan datang?" basa-basi Alexander ketika Riana terlihat duduk di sofa ruang tamu."Ibu hanya ingin bertemu dengan Arandra sebentar sebelum kembali ke Korea," balas Riana. Wanita itu meletakkan beberapa paper bag yang dibawanya ke atas meja. "Di mana Arandra?" Riana menoleh ke kiri dan kanan."Dia sedang
"Alex, aku tidak mau ikut.""Kau harus ikut."Arandra menekuk bibirnya ke bawah. Lelaki itu memang mengajaknya ke pesta keluarga Lakspire–Presiden baru Spanyol yang baru saja dilantik.Arandra tidak menyukai pesta dan keramaian. Tapi mau tidak mau, dia harus datang ke pesta itu karena paksaan Alexander. Katanya, dia tidak mau disebut menyedihkan karena datang sendirian ke pesta. Padahal Arandra sudah menyarankannya untuk membawa Rosaline. Kenapa Alexander tidak mau?"Nyonya terlihat sangat cantik," ucap Rosaline setelah memberikan sapuan bedak terakhir di wajah Arandra. Wanita itu tampil sangat cantik dengan gaun pesta model straight yang lurus dari atas sampai bawah dengan detail model wrap atau lipat samping dan aksen ruffle di ujungnya. Sangat serasi dengan setelan jas mahal Alexander."Terima kasih." Arandra memperhatikan penampilannya di cermin dengan senyuman sumringah."Menurutku dia tidak secantik itu."Senyumnya hilang mendengar komentar dari Alexander. Dia berbalik. Menata
Tangannya senantiasa menggenggam tangan istrinya. Menyalurkan rasa hangat pada wanita yang masih menutup matanya itu. Sudah hampir satu jam Alexander duduk di samping Arandra. Tatapan lelaki itu tidak pernah lepas dari wajah Arandra yang pucat. Arandra mengalami shock, dan dokter sudah menyuntikkan obat penenang padanya. Meski keadaannya sudah membaik–hanya menunggu sadar saja, tapi rasa khawatir masih tetap menguasai Alexander.Jantung Alexander seakan berhenti berdetak ketika mengetahui Arandra tenggelam. Tidak butuh banyak pertimbangan untuknya langsung menceburkan dirinya ke kolam renang–menyelamatkan Arandra. Alexander menekan dadanya, memberikan napas buatan, tapi Arandra tetap tidak mau bangun. Dia benar-benar takut saat itu."Bangun, Ara," bisik Alexander serak. Matanya yang memerah tidak sedikitpun berpaling dari wajah Arandra. Wajah lelaki itu tampak kusut dengan pakaian basah yang bahkan belum berganti. Alexander hanya ingin menemani istrinya. Menunggunya hingga sadar.L
Alexander bergerak perlahan. Mengangkat kepala Arandra dengan sangat hati-hati untuk menarik lengannya yang berada di bawah kepala Arandra. Semalam Alexander tidur bersama Arandra di ranjang rumah sakit. Istrinya itu ingin ditemani. Semalaman lengannya menjadi bantalan untuk kepala Arandra. Tapi dia tidak masalah selama istrinya merasa nyaman.Setelah membenarkan posisi kepala Arandra di bantal, Alexander kemudian turun dari ranjang. Ketika itu ponselnya bergetar. Lelaki itu menjauh dari ranjang. Berdiri di dekat jendela, karena tidak ingin suaranya membangunkan Arandra.["Ada apa, Ad?"] tanyanya langsung setelah menggeser tombol hijau di layar. Asisten pribadinya–Adrian menelepon.["Maaf menganggu Anda, Tuan Muda. Saya hanya ingin bertanya, apakah Anda tidak akan datang ke kantor? Jadwal untuk pemotretan sudah hampir dimulai."]"Kau saja yang mengurus masalah pemotretan itu. Aku tidak bisa datang ke kantor hari ini." Alexander tidak bisa meninggalkan Arandra. Pekerjaannya tidak lebi