Arini dan Brandon
“Good night, Prince,” ucap seorang wanita kepada bocah laki-laki berusia tujuh tahun.
Dia memberi kecupan singkat di kening dan kedua belah pipinya. Setelah memberi pelukan sebentar, wanita itu beranjak dari tempat tidur, kemudian mengganti penerangan dengan lampu tidur. Begitu keluar dari kamar, ia beranjak ke kamar satunya lagi menemui bocah perempuan berusia kurang dari enam tahun.
Wanita itu tersenyum memperlihatkan lesung pipi yang menghiasi kedua pipi. Dia memberi kecupan kepada putrinya yang sedang tidur lelap.
“Good night, Princess,” bisiknya pelan sambil menaikkan selimut yang sedikit turun.
Arini beranjak ke kamar yang lain. Tampak seorang anak berusia dua belas tahun tersenyum menyambut kehadirannya.
“Farzan belum tidur?” tanya Arini lembut.
Anak bernama Farzan menggelengkan kepala. “Tunggu Kakak datang dulu.”
Wanita itu menggelengkan kepala sambil berdecak. “Selalu tunggu Kakak datang dulu baru mau tidur.”
“Iya dong. Nggak bisa tidur kalau belum lihat Kakak,” godanya tersenyum manis.
Jadi ingat Brandon dulu deh, bisik Arini dalam hati sambil tersenyum.
“Ya udah. Habis ini kamu tidur ya.” Arini memberi kecupan di kening Farzan, adik tiri suaminya. “Besok jadi ketemu Mommy, ‘kan?”
Farzan mengangguk lesu. Raut wajahnya langsung berubah sendu.
“Sebenarnya malas ketemu Mommy, tapi mau gimana lagi? Aku nggak mau disebut anak durhaka,” sahut Farzan bergidik.
Arini tersenyum sambil mengusap kepala Farzan. “Anak pintar. Gimanapun, dia adalah Ibu kamu. Dia yang melahirkan kamu, jadi harus tetap berbakti ya, Dek.”
Anak itu hanya tersenyum samar, lalu merebahkan tubuh di tempat tidur.
“Mas tadi udah ke sini?”
“Udah, sebelum adik-adik tidur.”
“Sekarang kamu tidur ya. Sudah malam, biar salat Subuh nggak kesiangan. Mau jamaah di masjid sama Mas dan El besok, ‘kan?”
Farzan kembali menganggukkan kepala. “Good night, Kakak Cantik,” ujarnya sambil melambaikan tangan.
Arini membalas lambaian tangan Farzan sebelum mengganti penerangan dengan lampu tidur. Dia langsung beranjak menuju kamar utama, karena sang Suami telah menanti kedatangannya di sana.
“Kenapa kamu senyam-senyum kayak gitu?” selidik Arini melihat suaminya ketika baru saja mencapai bibir kamar.
Pria itu tersenyum manis saat melihat istrinya muncul di sela pintu.
“Lagi nunggu bidadari datang,” balas Brandon sambil mengulurkan tangan.
Arini menutup pintu kamar kemudian bergegas mendekat tempat tidur. Dia menyambut uluran tangan sang Suami.
“Kangen ya?” bisiknya sambil mengedipkan mata.
Brandon segera menariknya sehingga terduduk di atas paha. “Iya nih, baru ditinggal beberapa menit aja udah kangen kayak gini, In.”
Iin adalah nama panggilan yang diberikan oleh Brandon, sejak mereka berdua duduk di bangku SMA dua puluh tahun yang lalu. Ya, Arini dan Brandon telah menjalin persahabatan selama dua belas tahun, sebelum menikah. Takdir seakan menyatukan mereka kembali, setelah berpisah selama dua tahun. Sekarang mereka telah dikaruniai seorang putra dan seorang putri yang lucu.
Arini melingkarkan kedua tangan di pundak Bran sembari memandang netra sayu itu bergantian. Dia mencolek ujung hidung mancung milik suaminya lembut.
“Kamu dari dulu gombalnya nggak hilang-hilang deh.”
“Eh, itu bukan gombal, Sayang. Dalam agama ‘kan jelas ada anjuran untuk selalu berkata mesra kepada istri. Tujuannya agar rumah tangga kita tetap sakinah mawaddah warahmah,” papar Brandon memberi kecupan singkat di bibir Arini.
Delapan tahun pernikahan, tak mampu membuat cinta untuk Arini surut di hati lelaki itu. Tidak ada juga kata bosan yang terlintas di pikirannya, meski telah mengenal Iin hampir setengah dari usianya saat ini.
“Bran,” panggil Arini sambil mengusap cambang tipis yang menghiasi pinggir wajah Brandon.
“Ya, Sayang?”
“Tambah anak lagi yuk! Masa cuma dua aja?” bujuk Arini sambil mengedip manja.
Brandon menggeleng tegas. “Dua anak cukup, In. Udah ya. Percuma kamu bujuk juga, aku tetap nggak mau.”
“Satu lagi aja, Bran. Mau ya?”
“Nggak, Sayang. Aku nggak kuat lihat kamu kesakitan kayak gitu waktu lahiran,” tutur Brandon kekeh dengan pendiriannya. “Kita udah sepakat sebelumnya, In. Jangan lupa.”
“Tapi aku pengin lihat apartemen ini ramai sama suara anak-anak.”
Desahan pelan keluar dari bibir Brandon ketika mendengar alasan sama seperti yang pernah diutarakan sang Istri sebelumnya. Entah kali ke berapa Arini mencoba membujuknya, agar setuju dengan usulan untuk menambah seorang anak lagi.
Brandon membelai lembut samping kepala istrinya. “Kamu ingin apartemen ini ramai dengan suara anak-anak?”
Wanita itu mengangguk cepat.
“Berikan aku waktu dulu untuk mewujudkannya. Suatu saat, kamu akan mendengarkan suara mereka di flat ini.”
“Keburu El dan Al gede dong?” tanggap Arini lesu.
“Ya nggak apa-apa ‘kan?”
Tiba-tiba Arini menyeringai nakal ketika tangannya mulai bergerak ke mana-mana. Dia juga mengubah posisi menghadap Brandon. Setiap kali mereka membahas hal ini, selalu berakhir dengan penyatuan yang memberi sensasi berbeda dari sebelumnya.
“Kamu semakin berumur jadi semakin nggak terkalahkan, In,” bisik Bran di sela napas yang terengah.
“Harus dong. Biar kamu nggak berpikiran cari wanita lain.” Arini memeluk suaminya erat.
“Eh, siapa yang mau cari yang lain? Satu aja udah kewalahan kayak gini.”
“Ya kali aja.”
“Aku ini sudah tiga puluh empat tahun loh sekarang, nggak muda lagi. Emangnya kamu pikir aku masih sama kayak dulu?” Brandon memukul pelan kening istrinya.
Arini memberi cubitan kecil di pinggang Bran. “Tetap aja was-was, Bran. Takut kamu bosan ketemu aku terus setiap hari.”
Brandon menaikkan tubuh Arini hingga kepala mereka sejajar. Dia menatap istrinya lekat.
“Dari dulu aku nggak pernah bosan ketemu kamu setiap hari. Kamu itu selalu bikin aku candu. Cintaku juga masih sama dan nggak ada yang berubah.” Brandon menarik napas sesaat.
“Aku juga nggak mau ulangi kesalahan yang dilakukan Papa kepada Mama. Kamu masih ingat gimana hancurnya aku waktu itu, ‘kan?” sambungnya lagi.
Arini mengangguk dengan tatapan sendu. Bagaimana ia bisa lupa dengan kejadian dua belas tahun silam? Tepatnya saat Sandy—ayah Brandon—ketahuan menikah lagi dengan wanita seusia dengan Bran. Apalagi saat tahu tentang pernikahan kedua itu, Farzan sudah berusia satu tahun.
“Maaf ya, Sayang. Aku mendadak nggak percaya diri aja. Mungkin faktor usia.”
Brandon tersenyum lembut, kembali memberi kecupan di bibir istrinya. Arini menarik kepala sang Suami, lantas menyesap bibirnya lama. Bran semakin menekan dan mengejar bibir wanita yang dicintai itu.
“Bibir kamu masih sama manis dan lembut kayak dulu,” cetus Bran sembari mengusap lengan polos istrinya.
“Masa sih?” Arini rupanya tidak percaya begitu saja.
“Serius, In. Aku masih ingat waktu pertama kali cium bibir kamu.”
Arini tersipu lantas menenggelamkan kepala di dada bidang Bran.
“Emang tahu kapan pertama kali aku cium bibir kamu?” desis Bran menarik dagu istrinya sehingga mereka berpandangan.
“Sebelum kita mulai bersenang-senang,” jawabnya.
Brandon menggeleng membuat kening Arini berkerut.
“Itu pertama kali kita ciuman, Bran.”
Seringaian terukir di paras Brandon yang masih terlihat tampan di usia pertengahan tiga puluhan.
“Kamu salah, Sayang.”
“Kok salah sih?” kejar Arini mulai memperlihatkan raut penasaran. Tubuhnya sedikit tegak melihat mata sayu milik suaminya bergantian.
“Kasih tahu nggak ya?” canda Brandon menahan tawa.
“Bran?” Wanita itu kembali menghadiahi cubitan di pinggang suaminya.
“Nggak ah, nanti kamu marah,” kata Brandon merebahkan lagi kepala di bantal.
“Suami?” desak Arini semakin penasaran.
Brandon kembali menegakkan kepala, lantas memberi kecupan di bibir istrinya dengan sedikit isapan.
“Begitu caranya aku mencuri ciuman pertamamu waktu itu.” Brandon memundurkan lagi kepala ke belakang.
“Mencuri? Kapan?” Kedua alis Arini terangkat ke atas.
“Waktu kamu tidur di kamar habis main PS. Saat kita kelas dua SMA,” ungkap Bran.
Mata cokelat lebar Arini membesar seketika mendengar pengakuan suaminya. Kedua tangan terangkat ke atas memegang bibir yang sedikit bengkak.
“Kamu cium aku lagi tidur? Berarti aku nggak mimpi? Benaran ada yang cium?” gumam Arini dengan mata berkedip pelan.
Brandon mengangguk cepat.
Arini langsung memberikan serangan semut api lagi di pinggang Bran. “Kamu jahat banget sih pakai curi ciuman pertamaku. Pantesan aja waktu itu rasanya ada yang aneh.”
Bran malah cekikikan. “Habis aku ingin first kiss sama kamu, gimana dong?”
Mata lebar Arini sekarang menyipit. “Jangan-jangan dari dulu kamu memang udah suka sama aku. Ayo ngaku!”
“Nggak perlu dibahas lagi, In. Kita udah nikah loh sekarang. Udah ada El dan Al juga,” ujar Bran menghindar dari pembahasan tentang masa lalu.
Dulu dia seorang laki-laki yang memiliki gengsi tinggi. Meski sudah menyukai Arini sejak awal persahabatan mereka, Bran selalu menyangkal. Terlalu malu baginya untuk mengakui perasaan yang sebenarnya. Apalagi saat itu mereka berdua sama-sama berkomitmen tidak akan menodai persahabatan dengan cinta.
“Ya udah, kita tidur sekarang aja. Besok harus mandi dulu sebelum salat Tahajud,” cicit Arini kembali merebahkan tubuh di kasur.
Bran mengembuskan napas lega, karena bisa kabur dari pembahasan yang bisa membuat dirinya malu. Dia memeluk tubuh ramping Arini sebelum tidur.
“Besok kita ke Menteng Dalam habis dari lapas (Lembaga Pemasyarakatan) aja ya?” gumam Brandon.
“Ya ampun, Sayang. Aku lupa bikin pesenan Mama,” seru Arini langsung terduduk.
“Shiny Crust Brownies yang Mama minta kemarin?” Brandon memandangi tubuh istrinya yang tersingkap.
Tahu maksud tatapan suaminya, Arini segera menarik selimut menutupi tubuh bagian atas.
“Dasar kamu mesumnya nggak hilang-hilang.”
“Nggak ada larangan mesum sama istri loh,” sanggah Bran.
“Kenapa aku bisa lupa ya? Padahal bahannya udah dibeli loh.” Arini mengalihkan pembicaraan sembari mengambil lagi pakaian yang dilepaskan Bran.
“Mau ngapain?”
“Bikin Brownies, Sayang.”
“Besok pagi aja bikinnya, In. Kamu tidur aja dulu, udah malam.”
“Takut nggak keburu, Bran.”
Brandon mendesah pelan. “Aku temani kamu masak di dapur ya?”
“Kamu tidur aja. Biar aku yang masak. Lihat tuh kamu ngantuk banget.”
“Aku temani biar bisa bantu, jangan protes lagi,” tegas Brandon mengambil celana boxer dan baju kaus dari lantai.
Arini menarik napas panjang, lantas mengangguk. Dia tidak bisa lagi berdebat dengan Bran jika sudah begini. Apalagi besok harus berangkat pagi, karena harus berkunjung ke lapas menemui wanita yang telah menghadirkan luka dalam keluarga Harun. Wanita yang menjadi penyebab dirinya harus mengikhlaskan Brandon menikah dengan perempuan lain beberapa tahun silam.
Bersambung....
ElfarehzaEl tersenyum melihat Arini yang masih berkutat dengan papan Scrabble. Sejak lima belas menit yang lalu wanita itu memikirkan bagaimana menyusun abjad menjadi sebuah kata.“Payung,” ujar El menukar letak huruf Y dan G yang salah.Arini menoleh ke arah El dengan kening berkerut.“Payung, Mami. Yang biasa kita pakai lagi hujan.”Wanita paruh baya itu mengangguk cepat, kemudian kembali lagi melihat papan Scrabble.“Sekarang mainnya udah dulu ya, Mi. Ada yang mau aku ceritakan sama Mami.” El memegang lengan sang Ibu kemudian membantunya duduk di sofa.Arini melihat putranya dengan tersenyum samar. Sejak beberapa bulan terakhir ini, dia mengalami penurunan dalam mengucapkan kosa kata. Iin memilih banyak diam dan mendengar cerita El dan Bran, termasuk Al yang baru menikah lima bulan yang lalu.“Mami masih ingat nggak dulu aku pernah cerita tentang perempuan yang disu
Arini dan BrandonDua tahun berlalu setelah Brandon mengetahui apa yang terjadi antara Arini dan Farzan. Sejak saat itu, Farzan jarang pulang ke rumah. Hubungannya dengan sang Kakak tidak lagi sebaik dulu.Ketika ingatan membaik, Iin menanyakan kenapa Farzan tidak berkunjung? Bran mengatakan adiknya sedang sibuk dengan pekerjaan, sehingga hanya bisa datang satu kali dalam sebulan. Selama berada di kediaman keluarga Harun, Farzan hanya berinteraksi sekedarnya dengan Arini.Hari ini akan menjadi hari yang bersejarah bagi Alyssa. Tepat satu bulan lalu, Alfatih datang melamar bersama dengan kedua orang tua. Pria itu menunaikan janji untuk menikahi Al empat tahun setelah hari pertama kunjungannya ke Menteng Dalam.Selama empat tahun nyaris tidak ada komunikasi secara langsung yang terjalin antara Alyssa dan Fatih. Keduanya hanya mendapatkan kabar melalui kedua kakak masing-masing. Mereka terkesan sedikit kuno, tapi begitulah Fatih yang memegan
BrandonSejak tadi pikiran Brandon tidak tenang. Dia menduga kemungkinan yang terjadi antara Arini dan Farzan dua tahun silam. Pria itu tidak bisa marah dengan Iin, karena penyakit yang dideritanya. Apalagi saat itu sang Istri juga pernah salah mengenali putranya sendiri.Selepas salat Isya, Brandon meminta Arini tidur terlebih dahulu. Dia memutuskan untuk menunggu Farzan datang. Hari ini adiknya pulang ke Menteng Dalam.Setelah lulus dari Zurich, Farzan memilih tinggal di apartemen yang dekat dengan tempatnya bekerja di daerah Cikarang. Pemuda itu baru bisa pulang ke Menteng Dalam setiap akhir minggu.Brandon menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Arini untuk memastikan apakah telah tidur atau belum? Perlahan-lahan, dia turun dari tempat tidur lalu bergerak ke luar kamar.Farzan pasti udah di rumah. Aku harus menanyakan langsung apa yang sebenarnya terjadi, batin Brandon tidak tenang.Langkah pria itu terus berlanjut menuju kamar adiknya yang berada di lantai dua. Bran melihat pi
AriniDua tahun kemudian“Ayo, Mi. Coba sambung lagi kata-katanya,” cetus Al menyemangati Arini.Gadis itu sedang bermain scrabble di ruang keluarga bersama dengan El dan Arini, sembari menunggu Brandon pulang kantor. Mereka sekarang menyusun kosa kata dalam bahasa Indonesia.Arini berpikir lama agar bisa membentuk satu kata yang pas dengan kepingan huruf yang sudah tersusun. Dia mengambil huruf C, kemudian huruf T. Setelah diletakkan huruf ketiga, Iin tersenyum puas.El dan Al saling berpandangan saat membaca huruf tersebut tertukar tempat sehingga tidak bisa dibaca dengan benar.“Huruf T ditaruh sebelah sini, Mi.” Al meletakkan huruf T di samping huruf N. “Nah ini masih kurang G.”Setelah dibenarkan posisinya, baru terbentuk satu kata ‘Canting’.Begitulah perkembangan penyakit Arini sekarang. Kemampuan menyusun kata dan kalimat mulai mengalami penurunan. Dia sering lupa dengan ejaan kata. Bukan hanya itu, terkadang Iin tidak bisa menyusun kalimat yang seharusnya.“Mami besok mau aku
AriniDua bulan kemudianSelama dua bulan ini Brandon dan kedua anak-anaknya lebih banyak meluangkan waktu bersama dengan Arini. Banyak hal yang dilakukan mereka ketika waktu senggang, salah satunya bermain Scrabble dan mengisi buku TTS. Sudah banyak buku TTS yang telah diisi Iin. Untungnya kegiatan tersebut bisa memperlambat menurunnya kemampuan berbahasa wanita itu.Rencana jalan-jalan ke Swiss terpaksa dibatalkan, karena kondisi kesehatan Arini. Bran khawatir jika istrinya pergi dan tersesat sendirian di negeri orang. Dia bisa saja mengendap-endap pergi tanpa sepetahuan Bran.“Abang Farzan kok lama banget ya, Mi? Bukannya udah sampai Jakarta siang ini?” celetuk Al melihat tak sabar ke arah jam dinding.Arini mengangkat bahu, lalu mengambil ponsel. Dia menghubungi adik kesayangannya.“Halo, Kakak Cantik.” Terdengar suara bariton Farzan dari ujung telepon.Wanita itu tergelak mendengar pujian yang selalu dilontarkan adiknya. “Kamu udah di mana, Dek? Ada yang dari tadi ngedumel terus
AlyssaPandangan netra hitam Alyssa bergerak menyapu taman belakang sekolah. Ada beberapa siswa duduk santai di sana sambil bercengkerama. Beberapa di antara mereka lesehan di atas rumput hijau yang bersih dan segar, sebagian lain duduk di kursi seperti dirinya dan Fatih sekarang.“Makasih udah mau ngobrol, Kak,” ucap Al memecah keheningan. Dia menoleh sekilas sambil mengulas senyum.“Pasti ada hal penting yang mau kamu bicarakan ya?” tebak Fatih to the point. Selama ini mereka hanya berkomunikasi jika ada hal penting yang ingin dibahas.Al mengangguk pelan, kemudian mengalihkan pandangan lurus ke depan. Dia berpikir beberapa detik sebelum mengutarakan maksudnya mengajak Fatih berbicara.“Mami dan Papi … mau ketemu sama, Kakak,” ungkap Al hati-hati.“Katanya mau ucapin terima kasih karena udah tolong aku waktu itu,” sambung Al cepat antisipasi jika Fatih salah paham.Pemuda itu tertawa pelan membuat kening Al berkerut.“Oke. Mau ketemu kapan?” sahutnya santai tanpa beban.Al semakin d