Arini dan Brandon
Mobil sedan keluaran BMW terbaru berwarna biru memasuki pekarangan keluarga Harun di kawasan Menteng Dalam. Sebuah rumah mewah yang berukuran besar, tapi sayang hanya dihuni oleh kedua orang tua Brandon.
Kening Iin berkerut mematut sebuah mobil yang tak pernah terlihat di rumah itu sebelumnya.
“Mobil siapa ya?” desisnya.
Bran mengangkat bahu. “Nggak tahu. Baru nongol juga tuh.”
Begitu mobil berhenti dengan sempurna, Brandon keluar terlebih dahulu. Dia bergegas menuju pintu tempat Arini duduk. El dan Farzan terlebih dahulu memasuki rumah.
Bran mengambil Al yang sedang terlelap di pangkuan Iin. Setelahnya mereka menyusul ke dalam rumah.
“Ngeeeeng. Arini!!” teriak suara yang sangat akrab di telinga Arini dan Brandon. Begitu nyaring dan lengking.
Seorang wanita berambut pendek mengenakan gaun lengan pendek dengan panjang selutut sedang membentangkan tangan.
“Gadis!”
“Kak Gadis!” seru Bran dan Iin bersamaan sambil menatap tak percaya sosok yang berdiri di hadapannya.
Gadis melangkah cepat ke arah Arini, lantas memeluknya. Mereka saling berpelukan selama beberapa saat.
“Gue kangen banget sama kalian. Udah lama banget kita nggak ketemu,” cetus Gadis—sepupu Brandon—dengan raut wajah sedih.
“Hampir sepuluh tahun ya kita nggak ketemu, Kak,” sahut Arini.
Gadis manggut-manggut melihat Arini dengan tatapan berbinar dan kedua tangan bersedekap di depan tubuh.
“Lo sih. Betah banget di negeri orang bertahun-tahun nggak pernah pulang,” seloroh Bran.
“Habis mau gimana lagi? Laki gue ‘kan orang sana, jadi jarang banget pulang ke Indonesia.”
Lisa dan Sandy tampak melangkah menyusul anak, menantu dan cucu di ruang tamu. Setelah mengalami stroke beberapa tahun yang lalu, Sandy akhirnya kembali pulih seperti semula berkat terapi yang dilakukan.
“El, Farzan,” sambut Lisa memeluk kedua anak laki-laki tersebut.
“Lho, Alyssa tidur?” Sandy melihat cucu perempuannya.
“Iya, Pa. Tadi tidur di mobil pas lagi jalan ke sini,” jawab Arini.
Iin menyerahkan kantong berisi kotak brownies yang dibuatnya tadi malam kepada Ibu mertuanya. “Ini Shiny Crust Brownies yang Mama pesan.”
“Terima kasih, Sayang.” Lisa tersenyum lembut kepada menantunya, lantas memalingkan paras kepada Brandon.
“Alyssa taruh di kamar Mama saja, Bran. Kasihan nanti malah terganggu tidurnya,” saran Lisa setelah berada di ruang tamu.
Brandon mengangguk, lantas mengalihkan pandangan ke arah Gadis. “Ngobrol sama Iin dulu ya, Dis. Gue tidurkan Al ke kamar dulu.”
Bran langsung bergerak menuju kamar orang tuanya di lantai satu. Lisa dan Sandy beranjak ke ruang keluarga bersama El dan Farzan. Sementara Arini dan Gadis duduk di ruang tamu.
“Kak Gadis kapan sampai di Indonesia? Suami dan anak mana?” tanya Arini.
“Mereka di Aussie, Rin. Suami kerja, anak juga sekolah jadi nggak bisa dibawa ke Indo. Nunggu libur dan cuti keburu karatan gue saking kangen sama negeri tercinta,” balas Gadis antusias.
Senyuman masih betah menghiasi wajah Arini, karena bisa berjumpa dengan Gadis setelah sekian lama. Beberapa menit kemudian, Brandon bergabung dengan mereka di ruang tamu.
“Ternyata kalau jodoh nggak bakal ke mana ya,” kata Gadis melihat Iin dan Bran bergantian.
Dia memegang tangan Arini erat. “Salut loh buat kalian. Akhirnya perjalanan panjang membuahkan hasil.”
Gadis berhenti sejenak, lantas mengarahkan telunjuk kepada Bran. “Penantian si Cengeng juga nggak sia-sia, Rin.”
“Penantian?” gumam Arini bingung.
“Bisa nggak stop panggil gue cengeng, Dis?” protes Bran dengan wajah mengerucut, “anak gue udah dua loh.”
Sepupu Bran tertawa ngakak. “Habis susah ganti panggilan, Ngeng. Udah jadi kebiasaan.”
Setelah berhenti tertawa, Gadis kembali melihat Arini lekat.
“Lo tadi tanya penantian apa yang gue maksud, ‘kan?”
Arini mengangguk.
Gadis berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Kakak lo bener, Rin. Tingkat kepekaan lo emang minus sekian, sampai nggak bisa menangkap sinyal yang udah dikasih sama Brandon.”
“Gadis?” tegur Bran keberatan.
“Eh, biarin aja dia tahu sekarang. Toh kalian udah nikah ini,” sergah Gadis mendelik nyalang.
Beginilah mereka berdua kalau bertemu. Berbagai debat selalu menghiasi pertemuan Bran dan Gadis. Hingga dewasa pun tidak ada yang berubah dari mereka.
“Cerita dong, Kak. Jadi penasaran nih,” desak Arini memilih fokus mendengar perkataan Gadis.
“Sebenarnya. Si Cengeng udah lama jatuh cinta sama lo, Rin. Gue sih yakin sejak awal kalian dekat, dia udah ada rasa. Tapi kayaknya gengsi deh buat ungkapkan terlebih dahulu,” tutur Gadis mengerling usil kepada Bran.
Brandon berdeham-ria mendengar perkataan sepupunya itu.
“Sayang, aku lihat Al di kamar dulu ya. Takut bangun.” Bran bersiap untuk kabur dari sana.
“Eits, mau ke mana lo?” Mata hitam kecil Gadis melebar melihat Bran. Dia mengarahkan telunjuk ke ruang kosong yang ada di samping Arini. “Duduk situ! Udah nikah juga masih pake jaim segala.”
“Habis lo buka kartu aja, Dis.”
Arini tersenyum jail kepada suaminya. “Tuh ‘kan bener. Kamu udah suka sama aku dari dulu.”
“Lo juga salah sih, Rin. Nggak peka banget jadi cewek.” Gadis menarik napas singkat.
“Coba deh lo pikir-pikir, mana ada cowok yang jagain cewek sampai segitunya kalau nggak cinta. Dia aja yang bego pakai TTM-an dan pacaran sama cewek nggak bener duluan. Eh, ujung-ujungnya mentok sama lo, ‘kan?” cecar Gadis.
Brandon mendesah pelan sambil garuk-garuk kepala. “Oke. Gue akui memang awalnya gengsi buat akui perasaan yang sebenarnya. Takut juga kalau Iin merasa nggak nyaman, karena pasti bakalan canggung ‘kan kalau dia tahu.”
Arini memiringkan kepala sambil menatap serius suaminya. Dia memilih diam mendengarkan perkataan Brandon.
“Waktu kamu nikah, aku pengin utarakan yang sebenarnya, tapi takut,” sambung Bran.
“Takut kenapa?” desis Iin.
“Takut kamu nggak mau. Aku juga berpikir nggak pantas bersanding sama kamu, In.” Bran memandangi netra istrinya lekat. “Kamu tahu maksudnya, ‘kan?”
Gadis mengembuskan napas keras. “Arini juga mau terima lo apa adanya kali, Ngeng. Lo aja yang terlalu banyak mikir. Coba waktu itu lo desak dia buat kabur, pasti mau tuh.”
“Kalau itu nggak bakalan mau, Dis. Orang dia patuh banget sama Papa, anak berbakti ini,” puji Bran bangga sambil memberi kecupan di pipi istrinya.
“Duh, gue jadi iri lihat kalian mesra kayak gini,” komentar Gadis.
“Gue bucin sama dia, Dis. Gimana dong?” Bran menatap nakal Arini.
Arini mencubit pinggang Bran, sehingga membuatnya meringis kesakitan.
“Lo belum cerita gimana kalian bisa sama-sama mengakui perasaan. Cerita dong. Kepo nih.” Gadis mengalihkan pandangan kepada Iin. “Pasti si Cengeng akhirnya yang nembak lo duluan ‘kan, Rin?”
Perempuan berkerudung itu mengangguk cepat. “Tebakan Kak Gadis tepat.”
“Finally, keangkuhan lo runtuh juga, Ngeng,” ledek Gadis usil.
“Gimana nggak runtuh?! Dia paket komplit. Almost perfect. Rugi udah sia-siakan wanita kayak Arini dari dulu,” ungkap Bran.
“Lo sih, Bran. Gue udah berkali-kali bilang waktu itu, tapi nggak didengerin.”
Wanita berambut pendek itu kembali mengangguk. “Tuh sekarang makin cantik pakai jilbab loh. Jadi kepengin juga.”
Brandon merangkul bahu istrinya bangga, sementara Arini menunduk tersipu.
Gadis menepuk kening sambil bergumam, “Astaga, lupa sapa ponakan gue lagi. Udah dua, ‘kan? Namanya siapa?”
“Elfarehza dan Alyssa, Kak,” sahut Arini.
“Parah nih. Saking excited ketemu kalian, jadi lupa sama hasil produksi kalian berdua,” goda Gadis. “Nggak nambah lagi?”
“Penginnya sih nambah, Kak. Tapi Brandon nggak mau.”
“Kasihan, Dis. Dua kali lahiran, gue yang ngilu. Takut banget kehilangan Iin. Cukup dua kali berpisah sama dia, jangan sampai kejadian lagi,” sela Bran bergidik.
Gadis hanya berdecak sambil mengerling usil kepada Bran. “Ya udah, gue mau ke sebelah dulu ketemu sama El. Al lagi tidur ‘kan ya?”
Bran dan Iin mengangguk. Mereka berdua melihat Gadis menghilang di balik dinding pembatas ruangan.
“Gimana kunjungan tadi?” bisik Bran sambil mengelus kepala Iin yang terbungkus kerudung.
“Farzan kayaknya nggak suka ketemu sama Ayu,” balas Iin memelankan suara.
“Oya? Trus reaksi wanita itu gimana?”
Arini mengangkat bahu. “Tadi cuma bilang terima kasih aja karena udah rawat Farzan dengan baik. Trus dia juga minta sesuatu.”
“Minta apa?” Paras Brandon tampak penasaran.
“Dia minta carikan tempat tinggal begitu keluar dari penjara, karena nggak punya siapa-siapa lagi.”
Bran mengusap keras wajah dengan kedua tangan. “Dia ‘kan udah bukan tanggung jawab keluarga kita lagi, In. Nggak bisa dong! Apalagi Farzan nggak tinggal sama dia juga.”
“Tapi dia Mamanya Farzan, Bran. Kasihan Farzan juga nanti lihat hidup Ayu terlunta-lunta,” tanggap Iin coba membujuk Bran.
“Dia nggak peduli juga, In. Selama ini nggak pernah singgung Ayu setelah tahu apa yang dilakukannya, ‘kan?”
Arini tersenyum lembut sambil menatap lekat wajah suaminya. Dia memberi kecupan singkat di bibir Bran.
“Nggak boleh gitu, Sayang. Suatu saat, Farzan pasti bisa menerima Ayu lagi sebagai Ibunya. Dia hanya butuh waktu untuk menerima keadaan.” Iin membelai pinggir wajah Bran. “Kita bantu aja carikan tempat tinggal ya?”
Hati Bran yang keras akhirnya luluh juga setelah dibujuk oleh wanita itu. Arini selalu mampu meruntuhkan dinding keras yang membentengi hati suaminya.
“Ya udah. Kamu punya usul bagusnya dia tinggal di mana?”
“Gimana kalau Yogyakarta? Bali, Lombok?” usul Arini memberikan pilihan.
“Di luar Jakarta?”
Arini menganggukkan kepala. “Biar dia nggak ngerecokin Papa dan Mama lagi, Sayang.”
Senyuman terbit di wajah Bran. “Pintar kamu. Oke, aku coba cari tempat yang jauh dari sini.”
Perbincangan mereka terpaksa berhenti ketika melihat Lisa muncul di ruang tamu. Wanita berusia hampir kepala enam itu duduk di sofa single, berhadapan dengan sofa tempat anak dan menantunya duduk.
“Bagaimana kabar wanita itu?” Lisa memulai perbincangan.
Arini menarik napas panjang, sebelum menjawab pertanyaan ibu mertuanya. “Miris, Ma. Jauh berbeda dari sebelumnya.”
Lisa mengangguk pelan. “Mungkin itu balasan yang setimpal baginya.”
Suasana kembali hening ketika wanita itu memandangi menantu dan anaknya bergantian.
“Mama mau bicara sesuatu dengan kalian. Mudah-mudahan kalian bisa mengabulkan permintaan Mama dan Papa.”
Arini dan Bran saling berpandangan, kemudian kembali melihat Lisa.
“Apa kalian mau tinggal di rumah ini?” Lisa masih membagi tilikan mata dengan Bran dan Arini bergantian. “Rumah rasanya sepi sekali tidak ada Al, El dan juga Farzan. Mama ingin hari tua kami berdua dihiasi dengan canda tawa dengan anak cucu.”
Bran kembali melihat istrinya. Arini tersenyum sambil menganggukkan kepala. Dia tidak tega melihat ayah dan ibu mertua hanya berdua saja di rumah yang besar ini.
“Nanti aku diskusikan dulu sama Iin ya, Ma,” kata Brandon.
“Satu lagi. Mama dan Papa minta Arini bekerja di perusahaan.” Lisa menatap lekat menantu kesayangannya itu. “Sudah waktunya kamu kembali ke perusahaan, Rin. Mau ya?”
Terdengar tarikan napas berat dari hidung Arini. Bran memalingkan paras kepada istrinya, karena tahu persis dia tidak mau bekerja di perusahaan keluarga Harun. Iin tipe wanita yang mandiri, sehingga peluang mengabulkan permintaan itu sangat tipis.
Lisa masih menunggu jawaban dari menantunya. Sementara Iin menjadi dilema. Apakah akan menerimanya atau tidak?
Bersambung....
ElfarehzaEl tersenyum melihat Arini yang masih berkutat dengan papan Scrabble. Sejak lima belas menit yang lalu wanita itu memikirkan bagaimana menyusun abjad menjadi sebuah kata.“Payung,” ujar El menukar letak huruf Y dan G yang salah.Arini menoleh ke arah El dengan kening berkerut.“Payung, Mami. Yang biasa kita pakai lagi hujan.”Wanita paruh baya itu mengangguk cepat, kemudian kembali lagi melihat papan Scrabble.“Sekarang mainnya udah dulu ya, Mi. Ada yang mau aku ceritakan sama Mami.” El memegang lengan sang Ibu kemudian membantunya duduk di sofa.Arini melihat putranya dengan tersenyum samar. Sejak beberapa bulan terakhir ini, dia mengalami penurunan dalam mengucapkan kosa kata. Iin memilih banyak diam dan mendengar cerita El dan Bran, termasuk Al yang baru menikah lima bulan yang lalu.“Mami masih ingat nggak dulu aku pernah cerita tentang perempuan yang disu
Arini dan BrandonDua tahun berlalu setelah Brandon mengetahui apa yang terjadi antara Arini dan Farzan. Sejak saat itu, Farzan jarang pulang ke rumah. Hubungannya dengan sang Kakak tidak lagi sebaik dulu.Ketika ingatan membaik, Iin menanyakan kenapa Farzan tidak berkunjung? Bran mengatakan adiknya sedang sibuk dengan pekerjaan, sehingga hanya bisa datang satu kali dalam sebulan. Selama berada di kediaman keluarga Harun, Farzan hanya berinteraksi sekedarnya dengan Arini.Hari ini akan menjadi hari yang bersejarah bagi Alyssa. Tepat satu bulan lalu, Alfatih datang melamar bersama dengan kedua orang tua. Pria itu menunaikan janji untuk menikahi Al empat tahun setelah hari pertama kunjungannya ke Menteng Dalam.Selama empat tahun nyaris tidak ada komunikasi secara langsung yang terjalin antara Alyssa dan Fatih. Keduanya hanya mendapatkan kabar melalui kedua kakak masing-masing. Mereka terkesan sedikit kuno, tapi begitulah Fatih yang memegan
BrandonSejak tadi pikiran Brandon tidak tenang. Dia menduga kemungkinan yang terjadi antara Arini dan Farzan dua tahun silam. Pria itu tidak bisa marah dengan Iin, karena penyakit yang dideritanya. Apalagi saat itu sang Istri juga pernah salah mengenali putranya sendiri.Selepas salat Isya, Brandon meminta Arini tidur terlebih dahulu. Dia memutuskan untuk menunggu Farzan datang. Hari ini adiknya pulang ke Menteng Dalam.Setelah lulus dari Zurich, Farzan memilih tinggal di apartemen yang dekat dengan tempatnya bekerja di daerah Cikarang. Pemuda itu baru bisa pulang ke Menteng Dalam setiap akhir minggu.Brandon menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Arini untuk memastikan apakah telah tidur atau belum? Perlahan-lahan, dia turun dari tempat tidur lalu bergerak ke luar kamar.Farzan pasti udah di rumah. Aku harus menanyakan langsung apa yang sebenarnya terjadi, batin Brandon tidak tenang.Langkah pria itu terus berlanjut menuju kamar adiknya yang berada di lantai dua. Bran melihat pi
AriniDua tahun kemudian“Ayo, Mi. Coba sambung lagi kata-katanya,” cetus Al menyemangati Arini.Gadis itu sedang bermain scrabble di ruang keluarga bersama dengan El dan Arini, sembari menunggu Brandon pulang kantor. Mereka sekarang menyusun kosa kata dalam bahasa Indonesia.Arini berpikir lama agar bisa membentuk satu kata yang pas dengan kepingan huruf yang sudah tersusun. Dia mengambil huruf C, kemudian huruf T. Setelah diletakkan huruf ketiga, Iin tersenyum puas.El dan Al saling berpandangan saat membaca huruf tersebut tertukar tempat sehingga tidak bisa dibaca dengan benar.“Huruf T ditaruh sebelah sini, Mi.” Al meletakkan huruf T di samping huruf N. “Nah ini masih kurang G.”Setelah dibenarkan posisinya, baru terbentuk satu kata ‘Canting’.Begitulah perkembangan penyakit Arini sekarang. Kemampuan menyusun kata dan kalimat mulai mengalami penurunan. Dia sering lupa dengan ejaan kata. Bukan hanya itu, terkadang Iin tidak bisa menyusun kalimat yang seharusnya.“Mami besok mau aku
AriniDua bulan kemudianSelama dua bulan ini Brandon dan kedua anak-anaknya lebih banyak meluangkan waktu bersama dengan Arini. Banyak hal yang dilakukan mereka ketika waktu senggang, salah satunya bermain Scrabble dan mengisi buku TTS. Sudah banyak buku TTS yang telah diisi Iin. Untungnya kegiatan tersebut bisa memperlambat menurunnya kemampuan berbahasa wanita itu.Rencana jalan-jalan ke Swiss terpaksa dibatalkan, karena kondisi kesehatan Arini. Bran khawatir jika istrinya pergi dan tersesat sendirian di negeri orang. Dia bisa saja mengendap-endap pergi tanpa sepetahuan Bran.“Abang Farzan kok lama banget ya, Mi? Bukannya udah sampai Jakarta siang ini?” celetuk Al melihat tak sabar ke arah jam dinding.Arini mengangkat bahu, lalu mengambil ponsel. Dia menghubungi adik kesayangannya.“Halo, Kakak Cantik.” Terdengar suara bariton Farzan dari ujung telepon.Wanita itu tergelak mendengar pujian yang selalu dilontarkan adiknya. “Kamu udah di mana, Dek? Ada yang dari tadi ngedumel terus
AlyssaPandangan netra hitam Alyssa bergerak menyapu taman belakang sekolah. Ada beberapa siswa duduk santai di sana sambil bercengkerama. Beberapa di antara mereka lesehan di atas rumput hijau yang bersih dan segar, sebagian lain duduk di kursi seperti dirinya dan Fatih sekarang.“Makasih udah mau ngobrol, Kak,” ucap Al memecah keheningan. Dia menoleh sekilas sambil mengulas senyum.“Pasti ada hal penting yang mau kamu bicarakan ya?” tebak Fatih to the point. Selama ini mereka hanya berkomunikasi jika ada hal penting yang ingin dibahas.Al mengangguk pelan, kemudian mengalihkan pandangan lurus ke depan. Dia berpikir beberapa detik sebelum mengutarakan maksudnya mengajak Fatih berbicara.“Mami dan Papi … mau ketemu sama, Kakak,” ungkap Al hati-hati.“Katanya mau ucapin terima kasih karena udah tolong aku waktu itu,” sambung Al cepat antisipasi jika Fatih salah paham.Pemuda itu tertawa pelan membuat kening Al berkerut.“Oke. Mau ketemu kapan?” sahutnya santai tanpa beban.Al semakin d