Share

BAB 4: Permintaan Mertua

Author: LeeNaGie
last update Last Updated: 2024-11-07 23:21:58

Arini dan Brandon

Ketika ingin menjawab pertanyaan Lisa, Sandy tiba-tiba muncul dari ruang keluarga. Dia duduk di samping istri tercinta, berhadapan dengan Brandon dan Arini.

“Papa mau bicara sesuatu dengan kalian,” cetusnya melihat Bran dan Iin bergantian.

Suami istri itu mengangguk serentak, lantas memilih fokus dengan apa yang dikatakan oleh Sandy.

“Dulu, niat Papa membangun rumah sebesar ini agar bisa berkumpul dengan anak dan cucu.” Sandy kembali melihat anak dan menantunya. “Rumah ini terlalu besar untuk kami tinggali berdua. Terasa sepi juga tidak ada canda dan tawa anak-anak. Apa kalian mau pindah ke sini?”

Rupanya Sandy mengutarakan hal yang sama dengan Lisa. Di usia yang tak lagi muda, kakek dan nenek itu merasa kesepian di sana, sehingga ingin menghabiskan hari tua bersama anak dan cucu.

Arini dan Bran kembali saling berpandangan.

“Aku akan diskusikan hal ini dulu dengan Iin, Pa. Tadi Mama juga udah bilang begitu,” tanggap Brandon.

Sandy dan Lisa sama-sama mengangguk paham. Tidak mudah memang meminta Bran kembali lagi ke rumah keluarga Harun, setelah apa yang terjadi belasan tahun lalu. Pria itu membawa kepingan hati yang hancur ketika tahu Sandy menikah lagi dengan perempuan lain. Hanya Arini yang selalu setia menemaninya kala itu.

“Cantik banget sih ponakan Auntie.” Terdengar suara Gadis dari sela pembatas ruang tamu dan ruang keluarga.

Gadis melangkah menuju sofa sambil menggendong Al.

“Al udah berat, Dis. Suruh jalan aja,” ujar Bran.

“Jadi panggilannya Al ya, Cantik? Auntie tadi bingung mau panggil kamu apa, karena panggil Lisa nggak enak. Nama nenek kamu soalnya,” celetuk Gadis kepada Al.

Arini dan Brandon memang sengaja memberikan nama yang mirip dengan Lisa, sebagai wujud kasih sayang mereka kepada wanita hebat itu. Seorang Ibu yang penuh kehangatan dan penyayang.

“Iya, An … Tante,” sahut Al tersenyum manis memperlihatkan lubang memanjang di kedua belah pipi.

“Ya ampun, Rin. Al punya lesung pipi kayak kamu loh. Cantik banget. Sayang Cliff nggak di sini.”

“Apa hubungannya dengan Cliff, Dis?” Brandon menatap sepupunya curiga.

“Ya kali aja mereka bisa dijodohkan. Boleh ‘kan ya, Om?” sahut Gadis mengerling ke arah Sandy.

“Secara agama dan hukum boleh,” kata Sandy disambut dengan senyum semringah Gadis.

“Tuh boleh, ‘kan,” cibir Gadis.

Meski sudah sama-sama dewasa, tidak ada yang berubah dengan mereka. Keduanya masih sering berdebat seperti dulu.

“Mereka masih kecil, Dis. Terlalu dini membahas hal ini,” protes Bran dengan wajah mengerucut.

Arini tertawa melihat paras suaminya. “Dia selalu sensi kalau bahas beginian, Kak. Waktu Al masih umur enam bulan aja udah kelihatan over protective-nya.

Gadis berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Parah banget lo, Ngeng. Kasihan El dan Al dong kalau udah gede.”

“Mungkin efek Papinya dulu kali, Dis,” komentar Lisa tersenyum usil kepada Bran.

“Sayang, sebaiknya kita pulang sekarang. Suasana semakin nggak kondusif nih,” ajak Brandon melihat Arini, karena merasa dipojokkan.

“Nggak mau ah. Orang aku masih kangen sama Papa Mama kok diajak pulang?”

Bran mendesah pelan ketika strategi untuk melarikan diri tidak berhasil. Lisa, Sandy, Gadis dan Arini tertawa melihat sifat Brandon yang masih sama seperti dulu.

“Ngeng jangan lupa ajak Arini dan anak-anak ke Aussie ya? Ntar gue ajak main keliling Sydney dan Melbourne deh.”

Insya Allah ya, Dis. Ntar gue cari waktu yang tepat dulu, sekarang masih susah ke mana-mana karena lagi banyak proyek,” tutur Bran.

“Benar, Dis. Perusahaan sejak di-handle Bran semakin berkembang pesat. Belum lagi garment sekarang juga sedang naik.” Sandy angkat bicara.

Perusahaan The Harun’s Group memang sedang memasuki masa jaya saat ini, bahkan omset-nya jauh lebih besar dibandingkan dulu.

“Semua nggak lepas dari saran Iin, Pa. Dia yang sering kasih masukan untuk proyek,” desis Bran sambil menggenggam jemari istrinya.

“Kamu hebat, Rin. Sudah waktunya kembali ke perusahaan berarti.” Sandy mengalihkan paras ke arah menantunya.

Arini memberi senyuman kepada ayah mertuanya. Dia masih belum bisa memutuskan apakah kembali lagi ke perusahaan atau tidak. Dulu, Iin pernah bekerja di sana sebagai sekretaris Brandon saat mengelola anak perusahaan. Tepatnya sebelum hamil El.

“Nanti aku diskusikan dengan Bran ya, Pa.”

Mereka kembali berbincang membahas berbagai hal. Arini memanfaatkan momen pertemuan ini sebagai melepas rindu dengan Gadis, setelah lama tidak bersua.

***

Tiba di apartemen, Arini, Bran dan Farzan duduk di ruang tamu. Sementara Al dan El memilih bermain di sisi ruangan lainnya.

“Farzan.” Arini menatap lekat adik iparnya. “Tadi Mommy minta kakak carikan rumah untuknya setelah keluar nanti.”

Bran memilih diam dan membiarkan Iin berbicara dengan Farzan, karena sejak dulu anak itu selalu mendengarkan apa yang dikatakan Arini.

“Setelah mempertimbangan berbagai hal, kayaknya Kakak akan cari tempat tinggal di luar daerah Jakarta. Yogyakarta atau Bali misalnya. Kamu keberatan nggak?” sambung Arini lagi.

Kepala Farzan menggeleng pelan. “Aku serahkan sama Kakak dan Mas aja. Kalau Mommy tinggal di dekat sini, khawatir nanti susahin Papa,” tanggap Farzan dengan sikap dewasanya.

Dia tahu apa yang akan terjadi jika Ayu tinggal berdekatan dengan Sandy. Farzan tidak ingin Lisa terluka lagi dengan kehadiran ibu kandungnya itu.

“Kalau kamu ingin bertemu Mommy, nanti bisa terbang ke sana, Dek,” usul Iin.

“Aku nggak mau ketemu Mommy lagi, Kak. Keluargaku ada di sini. Kakak, Mas Brandon, Papa, Mama, El dan Al. Kalian semua udah cukup bagiku,” papar Farzan tersenyum lembut.

Arini tersenyum kecut, karena tidak sepenuhnya setuju dengan perkataan Farzan. Untuk saat ini, dia memilih diam dulu sambil terus menasihati Farzan pelan-pelan. Setelah berdiskusi, mereka kembali ke kamar masing-masing.

Brandon mengamati Arini sedang berganti pakaian. Pandangannya tidak lepas dari tubuh istrinya yang masih terlihat sama meski telah memberi dua orang anak. Tidak ada yang berubah dari wanita itu.

“Kamu kenapa sih lihatin aku kayak gitu?” risik Iin.

Pria itu tersenyum nakal, lantas menarik tangan Iin sehingga terjatuh di lengan kekarnya.

“Aku pengin aja lihat kamu begini. Rasanya kembali saat awal-awal kita bersama,” bisik Bran sembari memberi kecupan kecil di pinggir leher istrinya.

“Bran, aku belum mandi loh ini,” protes Iin menahan geli.

“Nanti aja. Aku mau begini dulu.” Bran masih melanjutkan aksinya. “Nyesel deh waktu itu sebut kamu kutilangdara.”

“Rasain kemakan omongan sendiri,” ledek Arini di sela napas yang mulai tidak teratur.

“Kamu juga, Sayang. Kita berdua sama-sama kemakan omongan sendiri.”

Arini tertawa pelan, lantas kembali menikmati perlakuan suaminya.

“Eh, kamu nggak mau begituan sekarang, ‘kan?” desah Arini.

“Aku mau. Gimana dong?”

“Masih sore, Sayang. Kalau anak-anak masuk gimana?”

“Pintu dikunci, In.”

“Maksud aku, kalau anak-anak pengin ketemu gimana?”

Bran menghentikan aksinya sambil mengembuskan napas berat. Dia seperti masih belum puas bermesraan dengan sang Istri.

“Ya udah, ntar malam ya?” goda Bran tersenyum nakal.

Arini tersenyum sambil berdecak, lantas mengambil pakaian sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi. Banyak hal yang harus mereka bahas malam ini, mulai dari Ayu yang sebentar lagi akan keluar dari penjara hingga permintaan kedua orang tua Bran tadi.

“Kamu mau mandi sekarang atau nanti, Sayang?” tanya Iin setelah kembali dari kamar mandi.

“Ntar aja deh. Kita diskusi yang tadi dulu,” jawab Bran sambil meraih tangan istrinya.

Arini duduk di pinggir tempat tidur, tepat di samping Bran.

“Kamu mau kembali lagi ke perusahaan?” Bran memandangi wajah polos Arini lekat.

Meski tanpa menggunakan make up kecantikannya masih terpancar.

“Aku khawatir nggak bisa handle perusahaan dengan benar, Bran,” cetus Iin.

“Nggak bisa gimana? Usaha katering kamu berkembang pesat loh.”

“Beda bidang, Sayang.” Arini menangkupkan kedua daun tangan di pipi. “Tapi, kalau kamu butuh aku untuk mendampingi. Apa boleh buat. Apapun akan kulakukan demi kamu.”

Senyuman terbit di wajah Bran.

“Tapi dengan satu syarat,” lanjut Arini.

Raut paras Bran berganti bingung sekarang. “Syarat apa?”

“Aku mau kerja di perusahaan, jika kamu setuju pindah ke Menteng Dalam.”

Bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Just Married (Trilogi Just Seri-3)   BAB 50: Still Like Just Married

    ElfarehzaEl tersenyum melihat Arini yang masih berkutat dengan papan Scrabble. Sejak lima belas menit yang lalu wanita itu memikirkan bagaimana menyusun abjad menjadi sebuah kata.“Payung,” ujar El menukar letak huruf Y dan G yang salah.Arini menoleh ke arah El dengan kening berkerut.“Payung, Mami. Yang biasa kita pakai lagi hujan.”Wanita paruh baya itu mengangguk cepat, kemudian kembali lagi melihat papan Scrabble.“Sekarang mainnya udah dulu ya, Mi. Ada yang mau aku ceritakan sama Mami.” El memegang lengan sang Ibu kemudian membantunya duduk di sofa.Arini melihat putranya dengan tersenyum samar. Sejak beberapa bulan terakhir ini, dia mengalami penurunan dalam mengucapkan kosa kata. Iin memilih banyak diam dan mendengar cerita El dan Bran, termasuk Al yang baru menikah lima bulan yang lalu.“Mami masih ingat nggak dulu aku pernah cerita tentang perempuan yang disu

  • Just Married (Trilogi Just Seri-3)   BAB 49: The Wedding Day

    Arini dan BrandonDua tahun berlalu setelah Brandon mengetahui apa yang terjadi antara Arini dan Farzan. Sejak saat itu, Farzan jarang pulang ke rumah. Hubungannya dengan sang Kakak tidak lagi sebaik dulu.Ketika ingatan membaik, Iin menanyakan kenapa Farzan tidak berkunjung? Bran mengatakan adiknya sedang sibuk dengan pekerjaan, sehingga hanya bisa datang satu kali dalam sebulan. Selama berada di kediaman keluarga Harun, Farzan hanya berinteraksi sekedarnya dengan Arini.Hari ini akan menjadi hari yang bersejarah bagi Alyssa. Tepat satu bulan lalu, Alfatih datang melamar bersama dengan kedua orang tua. Pria itu menunaikan janji untuk menikahi Al empat tahun setelah hari pertama kunjungannya ke Menteng Dalam.Selama empat tahun nyaris tidak ada komunikasi secara langsung yang terjalin antara Alyssa dan Fatih. Keduanya hanya mendapatkan kabar melalui kedua kakak masing-masing. Mereka terkesan sedikit kuno, tapi begitulah Fatih yang memegan

  • Just Married (Trilogi Just Seri-3)   BAB 48: Pengakuan Farzan

    BrandonSejak tadi pikiran Brandon tidak tenang. Dia menduga kemungkinan yang terjadi antara Arini dan Farzan dua tahun silam. Pria itu tidak bisa marah dengan Iin, karena penyakit yang dideritanya. Apalagi saat itu sang Istri juga pernah salah mengenali putranya sendiri.Selepas salat Isya, Brandon meminta Arini tidur terlebih dahulu. Dia memutuskan untuk menunggu Farzan datang. Hari ini adiknya pulang ke Menteng Dalam.Setelah lulus dari Zurich, Farzan memilih tinggal di apartemen yang dekat dengan tempatnya bekerja di daerah Cikarang. Pemuda itu baru bisa pulang ke Menteng Dalam setiap akhir minggu.Brandon menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Arini untuk memastikan apakah telah tidur atau belum? Perlahan-lahan, dia turun dari tempat tidur lalu bergerak ke luar kamar.Farzan pasti udah di rumah. Aku harus menanyakan langsung apa yang sebenarnya terjadi, batin Brandon tidak tenang.Langkah pria itu terus berlanjut menuju kamar adiknya yang berada di lantai dua. Bran melihat pi

  • Just Married (Trilogi Just Seri-3)   BAB 47: Pengakuan Arini

    AriniDua tahun kemudian“Ayo, Mi. Coba sambung lagi kata-katanya,” cetus Al menyemangati Arini.Gadis itu sedang bermain scrabble di ruang keluarga bersama dengan El dan Arini, sembari menunggu Brandon pulang kantor. Mereka sekarang menyusun kosa kata dalam bahasa Indonesia.Arini berpikir lama agar bisa membentuk satu kata yang pas dengan kepingan huruf yang sudah tersusun. Dia mengambil huruf C, kemudian huruf T. Setelah diletakkan huruf ketiga, Iin tersenyum puas.El dan Al saling berpandangan saat membaca huruf tersebut tertukar tempat sehingga tidak bisa dibaca dengan benar.“Huruf T ditaruh sebelah sini, Mi.” Al meletakkan huruf T di samping huruf N. “Nah ini masih kurang G.”Setelah dibenarkan posisinya, baru terbentuk satu kata ‘Canting’.Begitulah perkembangan penyakit Arini sekarang. Kemampuan menyusun kata dan kalimat mulai mengalami penurunan. Dia sering lupa dengan ejaan kata. Bukan hanya itu, terkadang Iin tidak bisa menyusun kalimat yang seharusnya.“Mami besok mau aku

  • Just Married (Trilogi Just Seri-3)   BAB 46: Perasaan yang Terdalam

    AriniDua bulan kemudianSelama dua bulan ini Brandon dan kedua anak-anaknya lebih banyak meluangkan waktu bersama dengan Arini. Banyak hal yang dilakukan mereka ketika waktu senggang, salah satunya bermain Scrabble dan mengisi buku TTS. Sudah banyak buku TTS yang telah diisi Iin. Untungnya kegiatan tersebut bisa memperlambat menurunnya kemampuan berbahasa wanita itu.Rencana jalan-jalan ke Swiss terpaksa dibatalkan, karena kondisi kesehatan Arini. Bran khawatir jika istrinya pergi dan tersesat sendirian di negeri orang. Dia bisa saja mengendap-endap pergi tanpa sepetahuan Bran.“Abang Farzan kok lama banget ya, Mi? Bukannya udah sampai Jakarta siang ini?” celetuk Al melihat tak sabar ke arah jam dinding.Arini mengangkat bahu, lalu mengambil ponsel. Dia menghubungi adik kesayangannya.“Halo, Kakak Cantik.” Terdengar suara bariton Farzan dari ujung telepon.Wanita itu tergelak mendengar pujian yang selalu dilontarkan adiknya. “Kamu udah di mana, Dek? Ada yang dari tadi ngedumel terus

  • Just Married (Trilogi Just Seri-3)   BAB 45: Keberanian Mengutarakan Niat Mulia

    AlyssaPandangan netra hitam Alyssa bergerak menyapu taman belakang sekolah. Ada beberapa siswa duduk santai di sana sambil bercengkerama. Beberapa di antara mereka lesehan di atas rumput hijau yang bersih dan segar, sebagian lain duduk di kursi seperti dirinya dan Fatih sekarang.“Makasih udah mau ngobrol, Kak,” ucap Al memecah keheningan. Dia menoleh sekilas sambil mengulas senyum.“Pasti ada hal penting yang mau kamu bicarakan ya?” tebak Fatih to the point. Selama ini mereka hanya berkomunikasi jika ada hal penting yang ingin dibahas.Al mengangguk pelan, kemudian mengalihkan pandangan lurus ke depan. Dia berpikir beberapa detik sebelum mengutarakan maksudnya mengajak Fatih berbicara.“Mami dan Papi … mau ketemu sama, Kakak,” ungkap Al hati-hati.“Katanya mau ucapin terima kasih karena udah tolong aku waktu itu,” sambung Al cepat antisipasi jika Fatih salah paham.Pemuda itu tertawa pelan membuat kening Al berkerut.“Oke. Mau ketemu kapan?” sahutnya santai tanpa beban.Al semakin d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status