LOGINRumah bergetar semakin hebat, seperti hendak runtuh dari dalam. Aku dan Gibran berusaha bangkit, namun sosok hitam itu sudah mengisi hampir seluruh ruang tamu. Udara dingin dan berat, seperti menekan dada dari segala arah.Gibran meraih tanganku. “Alya! Tetap sadar! Jangan biarkan dia menguasamu!”Tapi suaranya terdengar jauh—sangat jauh.Karena sosok itu sekarang tepat di hadapanku.Ia mengangkat wajah gelapnya, dan dari balik kabut hitam yang berputar, wajah perempuan itu muncul semakin jelas. Bekas luka bakar, kulit mengelupas, mata yang tak lagi berbentuk. Meski rusak, aku mengenalinya.Itu adalah wajah perempuan yang dulu—bertahun-tahun lalu—aku lihat di sebuah warung kecil di pasar tua. Wajah yang dulu terlihat murung… dan hilang beberapa minggu setelahnya."Alya…" suara sosok itu menggema dalam kepalaku, bukan di telinga.Kata-katanya menusuk seperti jarum es.“KAU MENGAMBIL TEMPATKU…”Aku mencoba mundur, tapi tidak bisa. Kakiku seperti terpaku oleh bayangan gelapnya.“Aku… aku
Gelap menelan seluruh ruang, begitu pekat sampai aku tidak bisa melihat telapak tanganku sendiri. Hanya suara napas cepatku yang terdengar—dan napas Gibran yang berusaha tetap tenang meski aku bisa merasakan tubuhnya menegang.“Alya, tetap di belakangku,” bisik Gibran. Suaranya serak, nyaris tak terdengar.Aku mengangguk meski ia tidak bisa melihat.Di tengah kegelapan itu, langkah kaki berat yang tadi terdengar kini menjadi lebih jelas. Tidak cepat. Tidak terburu-buru. Justru lambat… dan seolah menikmati setiap detik ketika mendekati kami.DUG…DUG…DUG…Setiap hentakan membuat lantai bergetar halus, seperti ada sesuatu yang jauh lebih besar daripada manusia yang melangkah di atasnya.Gibran meraih senter ponselnya. Baru saja ia menyalakannya—lampu itu langsung mati seperti dicabut paksa oleh sesuatu.Aku menahan napas. “Gibran…”“Ssh…” Ia meraih tanganku, menggenggamnya erat. “Dia ingin kita takut. Jangan beri dia yang dia mau.”Tapi itu mustahil. Karena rasa dingin mulai merayap da
Malam sudah hampir bergeser menuju dini hari, tapi rumahku tidak terasa seperti rumah. Tidak ada kehangatan. Tidak ada rasa aman. Hanya ada keheningan tebal yang terasa seperti menempel di kulit, seolah udara pun takut bergerak.Aku duduk di sofa dengan tubuh yang masih bergetar. Tangisku sudah berhenti, tapi setiap kali mengingat tatapan suamiku barusan, jantungku kembali mencelos.Di sampingku, Gibran masih duduk dalam diam. Tidak memaksa bertanya, tidak menuntut penjelasan. Ia hanya berada di sana—dan entah mengapa, kehadirannya lebih menenangkan daripada kata-kata apa pun.Setelah cukup lama, ia akhirnya berbicara.“Alya… kalau kamu takut dia akan melakukan sesuatu, kamu boleh ikut aku pergi. Setidaknya untuk malam ini.”Aku menatapnya. Ada kekhawatiran tulus di matanya. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lain—ketidakpercayaan terhadap apa yang bisa dilakukan suamiku.“Aku nggak tahu,” jawabku pelan. “Aku belum siap meninggalkan rumah ini. Belum sekarang.”Gibran mengangguk
Langkah kaki itu mendekat—cepat, berat, dan penuh amarah yang sudah lama kukenal. Nafasku tersengal, seolah dada terlalu sempit untuk menampung semua kecemasan yang tiba-tiba meledak.Suamiku muncul dari balik pagar. Matanya langsung menyapu halaman, lalu tertancap ke arahku—dan seseorang di sampingku.Gibran.Aku melihat bagaimana ekspresi suamiku berubah dalam hitungan detik—dari bingung, menjadi curiga, lalu membara. Rahangnya mengeras. Tangan kanannya mengepal. Aku bisa menebak isi kepalanya bahkan sebelum ia membuka mulut.“Apa ini?” suaranya rendah, tapi jelas sedang menahan ledakan.Gibran hanya berdiri tegak, tidak mundur. Tidak mencari alasan. Tidak kabur. Ia memandang suamiku dengan tatapan netral, tapi tegas. Sementara aku—aku berdiri di tengah, seperti seseorang yang diikat di antara dua jurang yang sama-sama menganga.“Apa yang kamu lakukan di sini?” suamiku mendekat, suaranya mengeras. “Siapa kamu?”Gibran menelan ludah, kemudian menjawab dengan suara tenang yang justru
Rumah itu terasa terlalu hening malam ini. Bukan hening yang menenangkan, melainkan hening yang membuat dada terasa sesak, seperti seseorang menaruh batu besar di atas napasku. Lampu ruang tamu menyala redup, menorehkan bayangan panjang di lantai keramik yang dingin. Aku berdiri di ambang pintu kamar, memandangi isi rumah yang dulu begitu kukenali, dan kini terasa seperti tempat asing yang entah bagaimana masih harus kutinggali.Hari ini seharusnya biasa saja. Tapi hidup tidak pernah benar-benar memberi jeda pada orang-orang yang sudah terlalu lama bertahan dalam luka.Ponselku bergetar pelan di atas meja kecil. Nama yang muncul membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat—bukan karena cinta, bukan karena rindu, tapi karena campuran takut dan sesuatu yang tak bisa kuterjemahkan.Gibran.Pesan pendek muncul:“Alya… kamu baik-baik saja hari ini?”Pertanyaan sederhana, tapi entah mengapa menamparku lebih keras dari teriakan siapa pun. Karena suamiku sendiri tidak pernah menanyakan itu.
Pintu rumah itu menganga seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang masuk. Udara yang keluar dari dalamnya terasa dingin, lembap, dan berbau seperti tanah basah bercampur darah lama. Arini menutup hidungnya, berusaha tidak muntah.Aminah melangkah paling depan. “Jangan tertinggal. Jangan menyentuh apa pun yang tidak perlu. Dan apa pun yang terjadi… jangan menatap bayangan kalian sendiri.”Pak Jaya menelan ludah. “Bayangan?”Aminah tidak menjawab. Ia hanya masuk ke kegelapan rumah itu, membawa lampu minyak kecil yang baru dinyalakannya.Cahaya lampu itu tidak memantul.Seolah rumah itu menelan cahaya.Di Dalam Rumah GelapBegitu mereka masuk, pintu rumah tertutup dengan gedebuk keras, membuat Arini menjerit.Pak Jaya mencoba membuka pintu, namun pintu itu tidak bergerak sama sekali. Bahkan tidak bergoyang.“A-apa ini…? Bu Aminah… pintunya terkunci!”Aminah berdiri tegak, tanpa menoleh. “Memang begitu. Begitu kita masuk, rumah ini akan menentukan siapa yang boleh keluar.”Ar







