Byanca tak berselera untuk bekerja. Ia menitipkan segala urusan perusahaan pada Nirina, asistennya. Ini baru kali pertama ia lakukan, biasanya sesibuk apapun atau secapek apapun Byanca tetap profesional. Berdiri dan menaungi perusahaan yang ia rintis sejak usia 20 tahun itu dengan senang hati. Namun, tidak dengan sekarang. Semangatnya hilang bersama angan. Ombak menenggelamkannya ke dasar laut.
Menemani Ken seperti candu baginya. Berapa waktu yang ia gunakan untuk bekerja hingga tidak memperhatikan perkembangan putra semata wayangnya. Lihatlah, sekarang Ken sudah pandai berenang. Ia tak takut lagi dan terlihat lihai. Entah sejak kapan itu terjadi, Byanca tak tahu dan ia menyesal membiarkan waktu berjalan sesuka hatinya.
“Ken pintar banget. Masih umur empat tahun udah jago ini itu.” Clara datang dengan membawa dua minuman kaleng untuk mereka.
Clara pun sama dengan Byanca—tak berselera kerja. Clara memang selalu begini, ia akan menjadi tiang untuk Byanca di kala ia rapuh. Clara akan selalu ada untuknya, seperti janjinya lima belas tahun yang lalu. Oleh sebab itu, Clara menemani Ken dan Byanca kemanapun mereka pergi.
“Thanks.”
“Untuk?” Clara memperhatikan raut wajah Byanca yang merunduk. Masih ada jejak sendu di tengah hinar binar matanya.
“Everything.” Byanca memeluk Clara. “Kamu selalu ada untuk aku, Cla. Terima kasih.”
Clara tercenung. Ini seperti mimpi baginya. Byanca bukan orang yang romantis. Menyuarakan isi hatinya dengan cara manis adalah sebuah momen langka yang harus diabadikan. Terhitung baru pertama kali, Byanca dengan suka rela memeluk Clara. Biasanya Clara lah yang terlebih dahulu meminta.
“I-iya, By. Lepas ah, nanti dikira orang kita lesbian lagi,” seloroh Clara. Ia melihat beberapa pengunjung kolam renang memperhatikan mereka. Sebenarnya ia senang dipeluk Byanca tapi waktu yang tidak tepat.
Byanca turut memperhatikan sekeliling dan benar saja, mereka menatap Byanca dan Clara dengan pandangan menghakimi. Oh, memalukan.
“Mami…” Ken melambaikan tangannya. Ia sangat senang ditemani Byanca. Semangatnya kian membara seiring senyum yang tak pernah pudar. Pelatihnya saja sampai berulang kali keheranan. Memang Ken, anak yang luar biasa.
“Sudah selesai?” Byanca berdiri karena melihat Ken bersama pelatih menghampiri mereka.
Ken mengangguk dan berangsur mendekati Byanca.
“Terima kasih ya, Coach sudah sangat membantu Ken hingga mahir berenang.”
“Ken anak yang pintar, Bu Byanca. Saya sangat suka mengajarinya,” ujar sang pelatih. Ia tersenyum kepada Byanca kemudian menatap Clara dengan senyuman jua.
“Ini teman saya. Namanya Clara.”
Clara mengulurkan tangannya. “Clara,” ucapnya.
Kemudian Pelatih itupun menyambut tangan Clara. Mereka berjabat tangan dalam waktu sepersekian detik. “Saya Barra.”
“Coach… Tante Cla itu orang nya baik, lho. Tante Cla juga suka olahraga. Ya kan, Tante?”
Entah apa maksud ucapan Ken yang terdengar seperti mempromosikan Clara. Namun dibalas dengan anggukan canggung oleh Clara.
“Oh, ya. Suka olahraga apa saja?” Barra bertanya dengan antusias. Sebagai pecinta olahraga dan pelatih beberapa jenis olahraga, ia sangat suka mendapati seseorang yang memiliki hobi sama dengannya.
Clara sibuk memikirkan jawaban apa yang akan ia ucapkan. Sudah banyak nama jenis olahraga di kepalanya, tapi sangat sulit untuk disuarakan.
“Tante suka renang, berkuda, Ice Skating, Yoga, dan apa itu, Mi, namanya?” Ken memperagakan sebuah gerakan menari dengan pinggulnya.
Bukannya mengerti, Byanca malah tertawa. Kenapa Ken sangat lucu? Ya, Tuhan. Byanca sangat beruntung terpilih jadi ibunya.
“Ken…” nada tidak senang terbingkai dari suara Clara. Ia sangat malu. Terlebih Ken berbicara di depan Barra—yang baru ia kenal. Yang benar saja si Ken ini. Tadinya ia senang Ken membantunya, namun sekarang malah dipermalukan. Ken seperti membawa Clara terbang ke langit lalu menghempaskannya begitu saja ke bumi.
Barra tersenyum canggung, kemudian ia menjawab, “Apakah itu maksudnya zumba?” Barra menggaruk tengkuknya, ia sangat grogi. Tapi tak mau membuat suasana canggung.
“Ah, iya.. Coach Barra memang hebat.”
Barra memperhatikan wajah Clara yang mendadak merah. Tak ingin membuat gadis itu dalam suasan malu terlalu lama, ia segera pamit. Dalam hatinya berharap jika suatu saat nanti bisa bertemu lagi dengan gadis cantik ini.
Pertemuan yang tidak disengaja memang bisa menimbulkan bekas yang sulit dihapus begitu saja. Terkadang pertemuan kecil bisa menciptakan sebuah masa depan besar. Kita tidak pernah tahu bagaimana semesta mengatur pertemuan dan perpisahan. Pertemuan yang dibungkus secara manis sangat bisa berbuah dengan sadis. Tidak bisa bersama lagi bahkan patah hati. Entahlah, rasanya manusia hanya ditakdirkan untuk mencicipi segala rasa itu tanpa harus tahu bagaimana cara menghindarinya. Atau manusia saja yang tidak bisa membaca kondisi.
Kini, mereka menghabiskan waktu makan siang dia sebuah restoran di area kolam renang tersebut. Tak ada obrolan karena ketiganya sangat kelaparan. Maklum saja, Ken latihan hampir tiga jam. Dari pukul sepuluh hingga pukul satu siang. Sementara tadi pagi, mereka hanya sarapan kue.
“Pelakor lagi yang menang. Gue mah dulu mikir si Abian itu setia banget. Secara postingan i*******m-nya aja selalu foto berdua sama istrinya. Romantis banget. Eh taunya kesandung pelakor juga.”
“Emang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bapaknya kan juga milih pelakor dari pada ibunya.”
“Ih amit-amit banget punya laki kek gitu. Jangan sampe ya Tuhan.”
Byanca tersedak mendengar ucapan orang dari belakangnya. Jika ia tak salah dengar mereka menyebut nama Abian. Mungkinkah Abian yang mereka maksud adalah suaminya?
“Minum dulu.” Clara menyerahkan air bening pada Byanca. Kemudian ia bergegas menghampiri dua orang remaja tersebut.
“Kalian lagi bicarain siapa sih? Suaranya gede banget. Mau gosip atau mau buat pengumuman?”
Salah satu diantara mereka tak terima dengan ucapan Clara. Ia berdiri dan memindai Clara dari atas sampai bawah. “Eh, Mbak. Kok sewot gitu sih? Mbak perawan tua ya, makanya sewot banget. Pantes aja ngga laku, suka ngurusin urusan orang sih.”
Kalimatnya seakan sayatan bagi Clara. Dengan segala keberanian, dia menatap mereka tajam. “Saya yang suka ngurusin urusan orang? Kalian tuh yang ngomong, suaranya keras banget.”
Rasa marah yang meluap di dada Clara perlahan menciut ketika melihat Ken menatapnya. Clara tak ingin membiarkan dirinya menjadi contoh buruk untuk Ken. “Sudahlah. Ngomong sama kalian buat saya nambah dosa. Sekali lagi, kalau mau gosip di rumah sana!”
Mereka berdua tak ingin kalah. Salah satu diantaranya ingin menjambak rambut Clara, namun terhenti kala manajer restoran melerai. Untung saja, jika tidak itu sangat melelahkan bagi Clara.
Clara kembali pada meja Byanca. Dengan wajah ditekuk, ia berjalan menunduk.
“Oh, ya ampun. Itu kan Byanca, istrinya Bian. Pantes aja temannya sewot. Gilak… kita gosip di depan orangnya.” Salah satunya menunjuk ke arah Byanca. Tanpa rasa malu, mereka tak mengucapkan maaf atau apapun. “Sudah yuk kabur…”
Clara ingin mengejar, langsung dicegah oleh Byanca. Samar-samar dari ucapan remaja itu, Byanca bisa menerka bahwa benar Abian yang mereka maksud adalah suaminya. Sakit menyelimuti hati Byanca, ia segera membuka internet dan mencari berita tentang Bian.
‘Bian Akan Segera Melangsungkan Pernikahan Dengan Seorang Aktris Pendatang Baru’
Tidak ada yang bisa menerima sebuah perpisahan. Baik pisah hidup maupun mati. Semua yang pernah bersama ingin selalu bersama hingga akhir hayat bahkan di kehidupan selanjutnya. Dunia fana ini selalu diimingi dengan kebahagiaan semata. Nyatanya kebahagiaan itu semu.Renata melakukan aksinya untuk memisahkan Dewo dan Rina karena kebenciannya pada ayah Dewo, Pramasta yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Tidak hanya itu, menurut Rentina sejak sahabatnya itu—Dewo—mengenal Rina waktunya sangat sedikit untuk Rentina. Hal itu semakin memupuk rasa kebenciaannya.Strategi demi strategi untuk balas dendam telah direncanakan. Salah satu yang direalisasikannya adalah masuknya orang ketiga dalam rumah tangga Dewo. Sebenarnya itu tidak murni rencananya. Rams berselingkuh dengan seorang wanita bernama Mellisa. Suatu hari, Rams mengatakan bahwa Mellisa tengah mengandung anak mereka. Rentina tidak dapat menerima itu, dia pun kesal pada Rams dan mengancam Rams atas
Rentina tersadar dari hanyutan masa lalunya. Matanya memerah menatap Dewo. Aura kebencian terpancar dari lensa hitam tersebut. Aliran darahnya seakan membuncah untuk membalaskan dendam kepada Dewo. Sialnya, rantai yang kuat ini menjeratnya.“Pramasta apa kabar?”Ini adalah kali pertama ia menyebut nama ayah Dewo tanpa menggunakan embel-embel panggilan ‘om’ untuk kesopanan. Sejak ia menyelidiki lebih lanjut ucapan mantan supirnya, Rentina tidak menelan informasi itu mentah-mentah melainkan ia menyelidiki lebih lanjut. Masih ada harapan Rentina bahwa ayah temannya itu tidak bersalah. Satu demi satu bukti dan saksi Rentina kumpulkan selama bertahun-tahun hingga akhirnya bahwa kecurigaan itu adalah benar.Lalu apa yang dilakukan Rentina?Apakah ia langsung membalaskan dendamnya pada Pramasta?Tidak!!Ya, jawabannya tidak. Rentina tidak melakukan apapun kepada Pramasta karena ketika ia telah berhasil mengumpulkan semua buk
Perusahaan warisan ayah Rentina telah dikelola oleh adik kandung ayahnya sendiri yang mana nantinya akan diserahkan kepadanya. Rentina tidak terlalu mengambil berat hal itu karena ia menganggap dirinya masih belum mampu untuk mengelola perusahaan tersebut. Rentina hanya menerima hasil setiap bulan dan dimanfaatkan untuk biaya sekolahnya. Rentina sering berkunjung hanya untuk mendapatkan teka-teki atas kematian orang tuanya. Dia mulai melibatkan diri dalam pekerjaan di perusahaan. Mulanya hanya untuk memecahkan teka-teki, lama kelamaan menjadi ketertarikan untuk bekerja di sana. Rentina meminta kepada omnya untuk diajak bekerja, ia pun ingin mengambil peran dari mulai yang terendah dahulu. Rentina mempelajari setiap liku pekerjaan tersebut. Perusahaan ayah mengalami gejolak hingga hampir gulung tikar. Om Irwan, omnya mengaku sudah melakukan banyak cara untuk menstabilkan permasalahan tersebut. Permasalahan ini dipicu karena mereka salah memilih distributor. Uang yang
Flashback on“Rentina, ikhlaskan kepergian mereka!” ucap tantenya sambil memeluk tubuh remaja Rentina.Rentina mengatupkan mulutnya. Membungkam kesedihan yang membendung. Hari itu adalah hari yang sangat buruk bagi Rentina. Tak pernah ia bayangkan bahwa hari itu datang, hari dimana ia kehilangan dua orang yang disayanginya yaitu papa dan mamanya.“Tante, kata ikhlas memang mudah diucapkan tetapi, sangat sulit untuk diimplementasikan. Bagaimana aku akan menjalani hariku tanpa mereka? Aku hanya anak tunggal. Aku tak memiliki apapun dan siapapun lagi.”Rentina tahu bahwa ini kehendak Tuhan akan tetapi ia belum siap. Hati dan kepalanya terus berbicara akan sendiri yang akan dihadapinya. Rentina menekuk lututnya kemudian memeluk lutut itu, menggambarkan bahwa ia hanya bisa bertahan dengan dirinya sendiri. Hartanya adalah dirinya sendiri. Ia menangkup dan menangis sekencang-kencangnya. Para pelayat yang mengirimkan doa kepada orangtuanya
“Apa sebenarnya penyebab kalian merusak rumah tangga ku?”Rina tak mampu menahan seluruh gejolak pertanyaan yang telah dari Singapore ia pendam. Rina tak mementingkan waktu jika saat ini antara Rentina dan Dewo sedang bersitegang. Ia hanya ingin tahu agar dadanya tak sesak menahan.Mata Rentina beralih pada Rina. Alih-alih menjawab, ia justru menyunggingkan senyuman seakan mengejek Rina. Senyuman yang dulunya hangat kini menjadi tajam yang mampu menyabik hati Rina.“Karena kamu terlalu sombong, Rina.”Rina terpancing untuk menghampiri Rentina. Entah hanya sekedar mendekatkan telinganya agar memastikan bahwa ia tak salah dengar. Namun, Dewo segera mencegahnya. Dewo menarik tangan Rina dan membisikkan kata-kata penenang.Rina memejamkan mata kemudian mengatur emosinya. Ia tak boleh terpancing demi permasalahan ini cepat diselesaikan. Melihat wajah Rentina terlalu lama akan mempengaruhi kesehatan jantungnya.“Kamu
Rina menyunggingkan senyuman kepada Bian setelah mendengar teriakan Indira. Wanita itu sangat kacau dan berantakan. Rina mengira bahwa mentalnya telah terguncang. Ia mendekati Dewo dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi kepada Indira. Dewo hanya menjawab dengan mengangkat bahunya membuat Rina menghela napas malas. Sudah dalam keadaan seperti ini pun Dewo masih sempat untuk bermain rahasia. Di hadapan Rams dan Rentina terbentang sebuah sofa panjang dengan sebuah meja di hadapannya yang berisi banyak makanan dan juga minuman. Dewo mengajak mereka semua untuk duduk. “Rentina, Rams dan Indira kehadiranku membawa mereka semua ke sini bukan untuk menghukum kalian. Aku tahu semua orang pasti pernah melakukan kesalahan tidak terkecuali diriku sendiri. Aku ingin kita menyelesaikan dengan damai dan secara kekeluargaan. Tolong akui semua kesalahan kalian!” Tak munafik bahwa kekesalan Dewo kepada tiga manusia di hadapannya sudah mengubun-ubun tetapi ia masih memiliki h