“By…tepungnya yang mana?” Clara mengangkat dua buah stoples berisi tepung. Dari warnanya yang putih, Clara sangat susah membedakan antara tepung tapioka dan tepung terigu.
Sejak subuh tadi, keduanya memutuskan berkolaborasi di dapur. Membuat sesuatu yang baru untuk menu sarapan. Setelah percakapan pada pukul dua dini hari, Byanca memutuskan untuk bercerita semuanya kepada Clara. Ia merincikan setiap kejadian antara dia dan Bian. Byanca juga mengaku bahwa saat ini ia sedang tidak baik-baik saja. Ada rasa sedih, kesal dan amarah yang tak tersalurkan, namun harus Byanca biarkan mengendap dalam hati saja. Kini, tak ada lagi rahasia, Byanca yakin jika Clara mampu menjaga ceritanya. Alhasil, mereka tak tidur lagi dan berakhir dengan aksi memasak.
Clara bukanlah seorang wanita yang akrab dengan segala tetek bengek penghuni dapur, hanya saja ketika bersama Byanca entah mengapa ia sangat antusias memasak. Ia sangat suka melihat tangan Byanca begitu lihai mencampurkan satu persatu bahan menjadi sebuah hidangan. Menurutnya itu sangat menarik.
“Yang putih banget itu tepung tapioka, Cla,” beritahu Byanca. Ia memberi isyarat untuk meminta tepung tersebut. Clara segera menurut. Ia menuangkan tepung dalam adonan Byanca sesuai instruksi.
“Nah, setelah ini kita cetak deh. Kamu mau bentuk apa?” Byanca berjalan ke arah rak, sedang mencari-cari cetakan yang ia maksud.
“Kalau ngga pake cetakan bisa ngga, By?”
Byanca berbalik menatap Clara. “Eumm… bisa sih. Kalau gitu kita bentuk bulat-bulat kecil aja, setelah itu kita pipihkan pake garpu.”
Clara memperhatikan Byanca dengan seksama. Byanca sudah seperti chef profesional yang ada di vidio, sementara Clara mencoba mengikutinya. Adonan pertama gagal. Clara membuatnya terlalu besar. Kemudian mencoba lagi dan gagal juga. Ah, mungkin Clara memang tidak berbakat.
“Nggak papa. Kalau nggak sempurna, Cla. Kita hanya perlu mencoba lagi dan lagi. Lagipula jika sempurna akan menghasilkan rasa sayang. Sayang untuk dimakan dan akhirnya hanya menjadi pajangan.”
Clara terdiam. Ucapan Byanca benar. Terus menjadi sempurna hanya akan membuatmu lelah. Menjadi sempurna bukan cita-cita atau wajib diciptakan. Menjadi sempurna hanya sebuah kiasan bagi banyak orang dalam berbuat sesuatu. Itu hanya pengandaian bukan untuk digapai. Tidak apa, menjadi biasa saja, toh hidup juga begitu adil. Jika kita tidak sempurna, maka akan ada satu celah diberi kelebihan yang berguna. Gunanya menutupi kerusakan yang ada. Sudah ya, jangan overthinking untuk sempurna terus. Kasian waktu yang terbuang sia-sia. Kalau kita salah, ya berusaha minta maaf lalu perbaiki. Kalau hasil yang kita lakukan belum ‘cukup’, terima saja sambil buat strategi untuk lebih baik lagi.
Ucapan Byanca tadi juga sebagai teguran untuk dirinya sendiri. Ia selalu menyematkan ‘menjadi sempurna’ untuk Bian. Semua Byanca lakukan semata hanya menyenangkan Bian. Ia meninggalkan kesukaannya jika memang itu membuat Bian tidak nyaman. Ia melakukan sesuatu yang baru—walau ia sering dilanda jenuh. Ya, Byanca melakukan itu hanya untuk Bian. Bodoh bukan? Tapi, sekarang Byanca sadar bahwa itu hanya bayangan semu. Ia mengejar kata sempurna hingga lupa meraih kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Bahkan kini, ia tak mendapatkan hasil yang baik. Perjuangan terdengar sia di kala semua sudah usai.
“Mami dan Tante Cla buat apa?” suara serak khas bangun tidur Ken menginterupsi kedua wanita dewasa itu. Mereka menghentikan kegiatannya sebentar dan menghampiri Ken dengan pakaian tidur bergambar kartun beruang.
“Anak gantengnya Mami udah bangun.” Byanca mencium kedua pipi Ken serta mengusap rambutnya.
“Ken sudah gosok gigi, belum? Kalau sudah, cobain kue buatan Tante Cla dan Mami, ya.” Clara membawa sebuah piring kecil berisi sebuah kue keju yang rasanya pasti enak.
“Ken sudah gosok gigi, Tante,” lapornya. Ia menunjukkan deretan gigi putihnya itu. “Kalau buatan Mami, Ken mau makan.”
“Kalau buatan Tante?” tanya Clara. Dia sudah mewanti-wanti jika Ken pasti menolak kue buatannya. Sebenarnya bukan salah Ken juga sih, pasalnya setiap kali memasak, rasa masakan Clara hambar dan bentuknya acak-acakan. Baik itu masak masakan manis atau pun masakan asin. Clara memang payah jika urusan memasak.
“Ini enak kok,” Byanca sengaja menekankan kata enak. Agar menjadi mantra untuk putranya. Ia tak enak hati jika Ken menolak atau menghina masakan Clara. Selain tidak sopan juga dapat menurunkan mood Clara tentunya.
Ken langsung menurut, ia mengambil piring itu dan membawanya ke meja makan. Pertama-tama yang ia lakukan adalah memotong menjadi kecil kemudian menciumnya. Ah, itu adalah kebiasaan Bian. Mencium segala sesuatu yang akan masuk ke dalam mulutnya. Entah untuk apa, tapi tangannya seperti bekerja secara otomatis.
“Bagaimana rasanya?” Clara menangkupkan kedua tangannya di dada. Sangat berharap Ken akan menjawab enak. Walau Clara tahu bahwa ini bukan semata masakannya sendiri, melainkan atas bantuan Byanca. Tetapi, ide menunya dari dia. Hahaha… Clara masih boleh dong berbangga diri.
Byanca dan Clara masih menatap Ken yang memakan kue dengan perlahan. Gemas sekali, anak ini seperti memperlambat adegan hingga membuat dua orang dewasa tersebut jantungan.
Ken menatap Byanca dan Clara bergantian dengan wajah masam. Byanca dan Clara sudah tahu jawabannya. Pasti tidak enak. Saat mereka ingin mengambil piring Ken. Ken langsung memeluk keduanya. “Ken suka. Enak. Ken cuma bercanda.”
Anak ini, masih kecil tapi sudah bisa buat prank. Hampir saja Clara meledak marah jika Ken tak memeluknya dengan erat. Ken seperti tahu reaksi keduanya. Oleh sebab itu, ia berbuat manis. “Kamu tuh mau Tante gigit tahu.” Clara melototinya sebelum akhirnya mengangkat Ken dalam gendongan dan menghadiahi gelitikan di sekujur tubuh Ken. Sontak saja Ken tertawa bahagia dengan sesekali minta berhenti.
Mendengar tawa Ken, tak sengaja membua air mata Byanca luruh. Ia terharu mendapati anaknya bisa tertawa lepas seakan tak ada beban. Memang seharusnys seperti itu. Biarlah Ken tidak mengetahui betapa buruknya sikap Bian terhadap mereka. Byanca berjanji akan kuat demi Ken. Ia akan berusaha membuat tawa itu tak akan hilang dari bingkai wajahnya. Entah dengan cara apapun, ia pasti akan melakukan.
Setiap anak berhak mendapatkan kebahagiaan. Anak seperti kain putih yang terlahir ke dunia ini. Mereka tidak mengenal siapapun, tidak membawa apapun, atau mengetahui apapun tentang dunia. Tugas orang tua adalah mengenalkannya dan mendampingi setiap tumbuh kembang anaknya. Anak itu anugerah terindah dari Tuhan, karena setiap anak membawa suka cita yang tak bisa dirangkaikan dengan kata. Anak adalah permata hati orang tuanya. Mungkin ketika dua orang dewasa sedang berselisih paham, mereka akan bertahan untuk tidak salingbertegur sapa. Namun, ketika anak yang menjadi alasan mereka untuk berbaikan. Maka, rasa ego itu sirna bersama dengan rasa bersalah.
“Mi… hari ini Ken ada les renang. Mami temani, boleh?”
Byanca tak berselera untuk bekerja. Ia menitipkan segala urusan perusahaan pada Nirina, asistennya. Ini baru kali pertama ia lakukan, biasanya sesibuk apapun atau secapek apapun Byanca tetap profesional. Berdiri dan menaungi perusahaan yang ia rintis sejak usia 20 tahun itu dengan senang hati. Namun, tidak dengan sekarang. Semangatnya hilang bersama angan. Ombak menenggelamkannya ke dasar laut.Menemani Ken seperti candu baginya. Berapa waktu yang ia gunakan untuk bekerja hingga tidak memperhatikan perkembangan putra semata wayangnya. Lihatlah, sekarang Ken sudah pandai berenang. Ia tak takut lagi dan terlihat lihai. Entah sejak kapan itu terjadi, Byanca tak tahu dan ia menyesal membiarkan waktu berjalan sesuka hatinya.“Ken pintar banget. Masih umur empat tahun udah jago ini itu.” Clara datang dengan membawa dua minuman kaleng untuk mereka.Clara pun sama dengan Byanca—tak berselera kerja. Clara memang
‘Abian, anak pasangan musisi David Backson dan Rentina Sarasti mengaku sudah bercerai dengan istrinya, Byanca’‘Tak ada angin, tak ada hujan. Tiba-tiba saja Bian mengumumkan sudah bercerai dengan istrinya dan akan segera melangsungkan pernikahan dengan Indira Baskoro’Tepat pada pukul sepuluh pagi, Bian menghadiri sebuah konferensi pers. Dimana ia mengakui bahwa sedang berkencan dengan Indira dan juga mengakui telah resmi menyandang status duda. Sekitar tiga bulan mendatang, mereka akan menggelar sebuah resepsi pernikahan.Tak ada raut sendu di wajah Bian, justru ia terlihat santai dan tenang. Seakan yang diaktakannya adalah sebuah kenyataan. Tidak, itu sama sekali tidak benar. Ia dan Byanca belum resmi bercerai. Bian hanya melayangkan talak lewat telepon. Byanca ingin memaki di depan Bian, setengah mati ia menahan rasa yang seenaknya dihancurkan begitu saja tanpa sisa. Bian jahat, Bian bukan Bian
Basri menghela napas berat, kemudian ia menatap Byanca. “Tidak ada. Beliau hanya berpesan bahwa rumah ini beserta isinya, villa yang ada di Bali, Appartement lama, Alphard dan Range Rover semua akan ditangguhkan atas nama anda dan Ken. Ah, iya saya lupa ia juga memberikan saham 10% atas perusahaannya untuk Ken dewasa kelak, Bu.”“Saya tidak butuh harta.” Dada Byanca naik turun menahan emosi. Apa Bian berpikir bahwa selama ini Byanca bersamanya hanya karena harta? Apa Bian tak merasakan ketulusan di hati Byanca. Keterlaluan sekali. Bian sama sekali menjijikkan dan tak punya hati. Mengapa Byanca bisa mencintai pria seperti itu.“Sampaikan pada Bian. Aku tak menginginkan harta. Yang aku inginkan adalah ia datang menemui ku dan Ken. Setidaknya ia menyampaikan maksudnya dengan baik. Aku tidak akan menahannya untuk pergi atau menghancurkan mimpi indahnya untuk menikah lagi. Tidak sama sekali. Yang aku inginkan hanya s
Yang membencimu akan semakin membenci ketika kamu dalam kerterpurukan. Tak peduli seberapa baik usahamu menyenangkannya. Karena itu semua hanya kamuflase.“Pak Bian tidak ada. Anda dilarang masuk!” Resepsionis itu — Amel mengusir Byanca dengan nada ketus. Ia bahkan berkacak pinggang seakan lupa bahwa dulu ia sangat menghormati wanita ini.“Amel jangan kurang ajar kamu. Saya mau ketemu Bian,” tekan Byanca. Ia sebenarnya bukan tipe orang yang selalu mempermalukan diri di hadapan publik. Namun, Amel terus saja menghalangi langkahnya.“Kamu yang kurang ajar. Saya sudah bilang kalau kamu tidak boleh masuk.” Amel mencengkeram tangan Byanca kemudian mendorongnya keluar.“Pak… Usir wanita ini! Dia mengganggu saja.”Seorang sekuriti berlari menghampiri Byanca dan segera menarik pergelangan tangan Byanca. Ia tak mengenal siapa se
“Kalau ada apa-apa telepon Tante, ya?” Clara mengelus rambut tebal Ken. Sebenarnya dia enggan berpisah dengan Byanca dan Ken. Ia ingin tetap bersama keduanya. Baginya, Byanca tidak hanya sahabat namun sudah seperti kerabat. Namun, dia juga setuju pada Tante Rina. Jika Byanca berlama-lama di sini yang ada ia akan semakin terluka, lebih baik ia ke Korea bersama Tante Rina, untung-untung Byanca dapat Oppa yang lebih tampan dari Bian. Biar Bian menyesal.“Nirina, aku percaya pada kamu. Tolong urus perusahaan. Sekitar dua atau tiga hari lagi seorang direktur baru akan datang. Mami mengutus keponakannya mengelola perusahaan untukku.” Byanca menyerahkan segala dokumen kepada Nirina.“Aku ingin semua aset dan sahamku ditangguhkan atas nama Ken. Tolong ya.” Byanca memiliki perasaan tak enak atas nasib perusahaannya mendatang, oleh karenanya ia sudah memberikan beberapa persiapan untuk Nirina. Setidaknya ia bisa men
“Cucu Oma sudah besar sekali.” Rina menggendong Ken kemudian membawanya memutar.“Mi, Ken sudah gede lo. Nanti Mami sakit pinggang,” ucap Byanca tak enak hati. Ia tak ingin maminya nanti mengeluh sakit pinggang dan berujung dengan Byanca yang memijatnya.“Mami kamu ini bagaimana sih, Ken? Orang Oma sehat begini, malah dibilang sakit pinggang,” ujar Rina dengan mencebikan bibirnya, sementara Ken hanya tertawa lepas. Baginya, pemandangan Oma Rina dan Mami Byanca sedang berselisih paham sangat lucu.Yang tidak diketahui oleh Byanca bahwa Rina sangat rajin berolah raga akhir-akhir ini. Jadi, dia terlihat lebih sehat dan muda. Banyak teman-temannya yang menyarankan agar Rina merawat diri agar tak termakan oleh usia.“Eh… Maksud Byanca nggak gitu, Mi.” Byanca meraih pundak Rina dan menciumi wajahnya. “Byanca kan juga kangen Mami. Masak cuma Ken a
Pancaran bahagia dari raut wajah Ken tak bisa dimanipulasi. Bayi empat tahun itu tak hentinya tertawa dan mengoceh ria. Ia menceritakan semua kisah sekolahnya pada Rina. Tentu saja, ia menyelipkan cerita Rayya di sana. Sesekali ia menutupi mulutnya yang suka keceplosan. Rina terbahak-bahak menyaksikan tingkah konyol Ken. Pemandangan itu menohok Byanca. Selama ini ia hanya sibuk bekerja dan menyampingkan keinginan Ken. Maunya sederhana rupanya hanya liburan kecil dan menemani bermain. Itu saja tidak mudah dikabulkan oleh Byanca. Ingin mengutuk diri sendiri karena belum bisa menjadi ibu yang baik untuk Ken. Mulai sekarang, Byanca berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan meluangkan waktu lebih kepada Ken dari pada pekerjaan yang tak berujung itu. Ken adalah nafasnya. Sumber kebahagiaannya. Maka, segala cara ia korbankan demi putra semata wayangnya ini. Ya, Byanca akan berjanji itu. Bian telah meninggalkan Ken bersama impian yang lenyap dimakan pengkhian
“Ken tidak mau berenang lagi,” rajuk Ken karena mendapati dirinya yang selalu kalah adu renang bersama Rina. “Oma terlalu jago.”Rina tertawa riang. Melihat aksi Ken mengingatkannya pada Byanca kecil. Byanca juga tidak sehebat dirinya berenang, justru Byanca sangat malas berenang karena menurutnya itu terlalu merepotkan dan melelahkan. Namun, Rina terus menyemangatinya dan mengimingkan hadiah mahal jika Byanca bisa menandinginya. Byanca akan setuju namun ketika tiga kali putaran dan ia selalu kalah, maka ia akan merajuk seperti Ken. Pada saat itulah Dewo akan memujuknya dengan makanan dan mainan yang Byanca sukai. Oleh sebab itu, Byanca menjadi putri yang sangat manja.Semua kenangan itu hancur ketika Dewo mengaku telah menikah dengan wanita lain. Byanca, si putri manja berubah menjadi seseorang tertutup bahkan kepada Rina. Ia cenderung mengobati lukanya seorang diri. Byanca lebih suka menghabiskan waktu di kamar kecilnya. Byanca lebih suka memb