Share

BAB 2

 

 

Daren merengkuhku, tangisku pecah dalam pelukannya. 

 

"Menangislah, luapkan semuanya!" ucapnya seraya mengusap punggungku. 

 

Daren menangkup wajahku, lalu membuat wajah kami saling menatap. "Jangan terlihat lemah di hadapan para pengkhianat, buktikan kamu kuat!" ucapnya seraya mengusap air mataku, bahkan ia membersihkan darah yang masih mengalir di hidungku tanpa rasa jijik. 

 

Aku menengadahkan kepalaku, rasa sakit di kepala ini tak seberapa. Dengan rasa sakit di hati, kulirik Daren menggulung tisu lalu menyumpalkannya kehidungku, untuk menghentikan darah yang mengalir. 

 

Masih teringat jelas raut wajah Ibu yang tampak khawatir, tapi ia begitu berat meninggalkan keluarga barunya. Terlebih Dira, bocah teng ik itu, merengek ingin digendong. Entah kenapa rasa benci timbul begitu saja pada gadis kecil itu. 

 

"Ren, kalau gue enggak ada lagi, jagain Nara ya!" ucapku seraya menatapnya sendu. 

 

"Kebiasaan banget, kalau sakit ngomongnya suka ngelantur!" sahutnya seraya menyentil bibirku. 

 

Kami memutuskan makan pecel lele tak jauh dari rumah sakit. 

 

"Masih pusing?" tanya Daren. 

 

Aku menggeleng. "Aman," jawabku. 

 

Aku merogoh ponselku, begitu banyak pesan caci maki yang dikirimkan Ibu di w******p.

 

[Dasar anak gak tahu diri! Durhaka kamu, Zahira. Mempermalukan Ibu dan Papamu di depan umum!]

 

Aku menyeringai, sejak kapan lelaki itu menjadi papaku? Bagiku papa, hanya Ayah Rizal. 

 

[Maaf, aku gak punya Papa. Aku hanya punya Ayah!] balasku. 

 

Tak lama Ibu mengirimkan sebuah video, rupanya pertengkaran kami tadi ada yang merekamnya cukup ramai di aplikasi tok tok. Bahkan masuk fyp, ditonton hampir tujuhratus ribu orang dalam hitungan menit. 

 

Begitu banyak hujatan yang ditujukan pada Ibu, dianggap orang tua yang zalim karena menelantarkan anak demi selingkuhannya. 

 

Ibu tak lagi mengirimkan pesan, tapi membuat status w******p dengan foto Dira. Lagi-lagi, Dira.

 

[Semoga kelak kamu jadi anak yang berguna dan tak membuat malu orang tua ya, Nak. Hanya kamu permata hati, Mama!] Captionnya melukai hati ini. 

 

Kualihkan pandangan ke jalanan, berlalu lalang mobil dan motor. Tak lama, berhenti sebuah motor tua tampak dua orang anak bersama kedua orang tuanya turun dari motor itu. Mereka tampak bahagia, seperti tak ada beban.

 

"Bapak, adik mau makan ayam ya!" ucap anak kecil seumuran Nara. 

 

Wanita paruh baya yang kuduga ibunya itu, mengangguk. "Iya, hari ini kita makan ayam goreng kesukaan kalian!" ucap beliau penuh kelembutan. 

 

Aku kembali menatap Daren yang masih sibuk dengan ponselnya, wajahnya tampak merengut. "Kenapa sih?" tanyaku. 

 

Daren memperlihatkan percakapannya dengan ayahnya. 

 

Mataku sedikit membelalak, Om Imran mengirimkan foto ada Ayah di sana menangis di sisi Nara. Kenapa ada Ayah di kota ini? Bukannya Ayah belum waktunya cuti? 

 

"Kok ada Ayah?" tanyaku. 

 

Daren menghembuskan napas kasar. "Bokap lu udah dari lama risegn dari kerjaannya, dia buka usaha di kampung orang tuanya, cukup sukses usahanya. Udah nikah lagi, tapi bininya ternyata kagak mau nerima kalian berdua! Tadi Ayah introgasi bokap lu!" jelas Daren panjang lebar, membuatku membisu. 

 

Mendadak makanan yang ada di mulut terasa hambar, perut yang semula lapar menjadi kenyang. Kenyang makan hati, karena sikap kedua orang tua yang mementingkan perasaan mereka sendiri. 

 

Aku tersenyum getir. "Lalu, untuk apa lagi datang jenguk Nara?" ucapku datar. 

 

"Habis diomelin Bunda habis-habisan, akhirnya dia mau datang sama bini barunya. Tadinya mereka mau bulan madu, di hotel bintang lima," jelasnya seraya menyeruput segelas es teh. 

 

Ternyata kami tak berarti lagi di hidup mereka, bahkan Ayah ternyata sudah lama tak bekerja dipelayaran. Tapi menjenguk ke rumah pun tak pernah, terakhir datang enam bulan yang lalu. Jika kuhubungi alasannya sibuk atau tak ada jaringan. 

 

Rupanya, ada perasaan seorang wanita muda yang tengah ia jaga. 

 

Aku mendengkus keras, lalu cepat-cepat menghabiskan makananku. 

 

"Ayo cepat Ren! Aku gak sudi, kalau mereka terlalu lama bersama Nara!" 

 

____

 

Aku sudah kembali ke ruang NICU, benar saja ayah bersama istri barunya ikut duduk di ruang tunggu. Bunda Rena dan Om Imran juga masih ada di sana. 

 

"Bun," ucapku seraya menyalami beliau. 

 

Kucium punggung tangan Om Imran dan Ayah, tapi tidak dengan istri mudanya. 

 

Kuperhatikan penampilannya, sepertinya usianya tak jauh dariku. Penampilannya sudah seperti toko emas berjalan, penuh dengan perhiasan. 

 

"Istri Ayah?" tanyaku. 

 

Ayah mengangguk kaku. 

 

"Oh ... cantik, semoga akhlaknya juga sebagus parasnya. Tak menjauhkan seorang ayah dari anak-anaknya," ucapku seraya tersenyum tipis. 

 

Sementara wanita itu tampak salah tingkah. 

 

"Mas!" ucapnya, seraya bergelendot manja di lengan Ayah. 

 

Aku mengendikan bahu, lalu ikut duduk di seberang mereka. Hatiku panas rasanya, dulu aku yang suka bergelayut manja di lengan ayah, tapi semenjak perpisahan terjadi, hubungan kami merenggang. Ayah seperti menjauhi aku dan Nara. 

 

"Silahkan lanjutkan bulan madunya, Nara tak membutuhkan kehadiran orang yang hanya terpaksa datang ke sini!" ucapku tegas, seraya menatap Ayah tajam. 

 

Ayah menghela napas kasar. "Maaf, Ayah pikir kamu bercanda bilang Nara sakit. Kata Mami Dela, biasanya anak sepertimu hanya suka mengada-ngada demi mendapat uang tambahan," 

 

Jadi, nama perempuan itu, Dela. Apa tadi katanya, Mami? 

 

Aku menyeringai seraya menatap wanita itu sinis. Ternyata dia menghasut Ayah. 

 

"Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa memutakan mata sekaligus hati!" sinisku. 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status