Share

KAMI JUGA ANAKMU, BU
KAMI JUGA ANAKMU, BU
Penulis: calsava

BAB 1

 

 

KAMI JUGA ANAKMU, BU! 

 

___

 

[Bangun-bangun minta makan ....] 

 

Seperti ada yang teriris di dalam hati ini, ketika membaca status w******p Ibu disertai video adik tiriku yang sedang makan, di keningnya terdapat kompres anak merk k00lf3v3r. Kulirik, Naraya -adik bungsuku- terbaring lemah, tanpa Ibu di sisinya.

 

Apa tak sedikitpun Ibu memikirkan kami? 

 

Kuberanikan diri mengirimkan pesan pada Ibu, disertai foto Naraya yang tengah demam. 

 

[Bu, Naraya demam. Apa Ibu gak bisa ke sini?] tulisku, lalu kuklik kirim. 

 

Centang dua yang tadinya berwarna abu-abu, berubah menjadi biru, pertanda pesanku sudah dibaca. 

 

[Dira sakit, jadi gak bisa ke sana! Ada Ayahmu juga kan, sekarang Dira lebih membutuhkan Ibu!]

 

Aku tersenyum getir membaca balasan dari Ibu. Rasanya ingin sekali berteriak, bahwa kami juga anakmu, Bu! Bukan hanya Dira. 

 

Sejak kehadiran Dira, adik berbeda ayah dari kami itu. Ibu berubah, bahkan suaminya terang-terangan mengusir kami, jika kami berkunjung ke sana. Ibu hanya diam, dengan dalih, kini surganya ada pada lelaki b4j!ng4n itu. 

 

Apa dia pikir surga akan terbuka lebar untuk orang yang menelantarkan anak-anaknya?

 

Perpisahan kedua orang tua kami, benar-benar memberi luka yang sulit untuk diobati. Terlebih untuk Naraya, gadis kecil berusia empat tahun itu harus merasakan sakitnya kehilangan figure seorang Ibu. 

 

___

 

[Alhamdulillah, anak cantik Mama sudah sehat.] 

 

Melihat wajah Dira, terbesit rasa iri sekaligus benci di hati ini. Seharusnya Nara yang ada di sana, bukan Dira. Seharusnya Nara yang dipeluk dan dicium, bukan Dira. 

 

"Jangan melamun!"

 

Aku terkesiap, seraya menatap datar lelaki bertubuh jangkung yang kini berdiri dihadapanku. "Kenapa?" tanyanya lagi. 

 

"Ibumu lagi, ya?" 

 

"Biarlah, wanita seperti itu tak akan sadar kecuali nanti saat tua!" 

 

Kuhela napas kasar. "Dia ibuku, Daren!" ketusku, seburuk apapun ibuku rasanya tak terima jika ada yang membicarakannya seperti itu. 

 

Daren sahabatku sejak kecil, seluk beluk keluargaku dia sudah tahu. Bahkan dia ikut menyaksikan saat Ayah memergoki ibu selingkuh dengan lelaki yang saat ini menjadi suaminya. Ia juga yang menjadi saksi, saat Ayah menjatuhi talak tiga terhadap ibu. 

 

Kejadian tiga tahun yang lalu, masih membekas dalam ingatanku. 

 

"Eh, Nara gimana?" tanya Daren menyadarkanku dari lamunan.

 

"Belum turun demamnya, tadi sudah kupesani Mbak Mira kalau demamnya makin tinggi langsung bawa ke rumah sakit," jelasku. 

 

Aku dan Daren sudah seperti orang tua bagi Naraya, di usianya yang baru menginjak satu tahun saat itu harus merasakan pahitnya kehilangan Ibu. Sementara Ayah kembali bekerja di pelayaran, hanya pulang 3 bulan atau 6 bulan sekali. Ayah hanya mencukupi kami dengan materi, tapi tidak dengan kasih sayang. 

 

Hanya Daren dan orang tuanya yang masih peduli padaku dan Nara. 

 

"Kenapa gak kuliah aja, sih?" tanya Daren. 

 

Aku menggeleng. "Mau kerja, ngumpulin modal, buka usaha. Itu impianku, jadi jangan diusik!" sahutku. 

 

Daren mencebik. "Ayahmu berduit, ya tinggal minta aja lah!" 

 

Aku tergelak. "Tak semudah itu, ferguso! Kamu tahu sendiri Ayahku bagaimana." 

 

Sejak lulus SMK, aku bekerja sebagai barista di cafe. Bukan karena uang kiriman Ayah tak cukup, hanya saja dengan cara seperti ini aku bisa melupakan sejenak luka yang ditorehkan Ibu. 

 

___

 

Langkahku berjalan tergesa-gesa di lorong rumah sakit, tadi sore Mbak Mira mengabarkan bahwa Nara dilarikan ke rumah sakit karena kejang. Bahkan aku masih memakai apron dan juga seragam kerjaku. 

 

Kulihat Mbak Mira ada di depan ruang NICU, terlihat jelas kekhawatiran di sana. Padahal Mbak Mira bukan siapa-siapa kami, tapi ia begitu menyayangi kami. 

 

"Mbak, gimana Nara?" tanyaku. 

 

Wanita berusia duapuluh delapan tahun itu menggeleng. "Nara kritis," gumamnya. 

 

Tubuhku membeku, lidah ini terasa kelu. Masih teringat jelas ucapan Nara tadi malam, ia merindukan Ibu. Bahkan dalam tidurnya pun, ia memanggil-manggil wanita yang telah melahirkannya. 

 

Kurogoh saku celanaku, menghubungi Ibu. 

 

[Bu, Nara masuk rumah sakit!] 

 

Tak sampai lima menit, pesanku langsung dibaca. 

 

Hanya dibaca. Karena setelah itu, nomorku diblokir, terbukti dengan hilangnya foto profil w******p. Kembali kukirimkan pesan, hanya centang satu.

 

Aku tersenyum tipis. "Sepertinya Ibu benar-benar tak menginginkan kami lagi, padahal kami juga anakmu, Bu." lirihku seraya terduduk di kursi tunggu. 

 

Air mata yang sejak tadi tertahan, akhirnya luruh membasahi wajah. 

 

Kututupi wajah dengan telapak tangan, tangisku semakin deras. Aku terisak, menangisi nasib yang begitu tragis terhadap kami. Aku dan Nara harus merasakan pahitnya kehilangan Ibu, jika ditinggal mati mungkin rasanya tak akan sesakit ini. Ditinggal pergi seperti ini, rasanya lebih sakit dua kali lipat, bayang-bayang Ibu bersama Dira seperti menaburkan garam di atas luka hati ini. 

 

Tak lama, tubuh ini seperti direngkuh seseorang. "Ishbir, Zahira. Mbak yakin, kamu kuat," bisik Mbak Mira. 

 

Rengkuhan itu semakin kuat, seiring dengan air mata yang semakin deras. 

 

___

 

Malam ini aku sendirian menunggu Nara, karena Mbak Mira harus pulang. Sejak tadi aku menghubungi Ayah tapi tak ada jawaban, padahal whatsappnya terakhir dilihat limabelas menit yang lalu. Status whatsappnya saja, tengah berada di hotel. 

 

Akhirnya kuhubungi Daren, sejak tadi lelaki itu tak kuberi kabar. 

 

Beginikah rasanya jadi anak broken home, duniaku seperti jungkir balik. Dahulu keluargaku bisa dibilang harmonis, hidup berkecukupan bahkan mewah. Apapun keinginanku selalu terkabulkan.

 

Jarak usiaku dengan Nara cukup jauh. Kehadiran Nara semakin memberi warna dihidupku, tapi hanya satu tahun. Setelah itu, semuanya hangus terbakar karena Ibu bermain api. 

 

Ting! 

 

[Ayah sudah kirim uang untuk biaya rumah sakit, jangan ganggu Ayah!]

 

Aku bergeming membaca pesan dari Ayah, disertai bukti transfer. 

 

Kami benar-benar tak berarti lagi di hidup mereka. Lalu untuk apa dulu mereka menikah, dan menghadirkan kami ke dunia ini, jika akhirnya  mereka menorehkan luka sedalam ini di hati kami?

 

Saat tengah memikirkan nasibku dan Nara, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan Daren dan orang tuanya. 

 

"Ya Allah, Za! Kenapa gak ngasih tahu, Bunda! Sekarang Nara gimana? Kamu sudah makan? Ya Allah, kamu pucat banget Za!" cecar Bunda Rena, seraya menangkup wajahku. 

 

Orang lain saja sekhawatir ini padaku dan Nara, tapi kenapa Ibu dan Ayah tak peduli? 

 

"Nara masih kritis, Bun," lirihku. 

 

Kulirik Om Imran tengah menggerutu. "Keterlaluan Iren sama Rizal, anak sakit tapi satupun dari mereka tak ada yang datang! Padahal Rizal lagi cuti, lho!" 

 

Orang tua Daren dan orang tuaku cukup dekat, terutama Om Imran dan Ayah. 

 

"Bawa Zahira makan dulu, Ren!" ucap Bunda Rena. 

 

Aku awalnya ingin menolak, tapi melihat ekspresi Bunda Rena rasanya segan untuk menolak. Akhirnya aku dan Daren, pergi mencari makan. Daren menggenggam tanganku, lalu tersenyum tipis. 

 

"Jangan merasa sendiri, ada kami!" ucapnya. 

 

Daren membawaku ke restauran langganan kami dulu, bahkan hampir setiap minggu kami membawa Nara ke tempat ini. pancake dengan toping ice cream red velvet, dessert kesukaan Nara di sini. 

 

Mendadak aku rindu senyuman Nara, apa Ibu tak merindukannya juga? 

 

Baru saja kaki ini melangkah memasuki restauran, mata ini harus menyaksikan keluarga bahagia tengah menikmati malam. 

 

Gadis kecil berusia dua tahun, tengah makan dengan riang disuapi oleh Ibu. 

 

Ya, Ibu beserta anak dan suaminya tengah berada di restauran ini juga. 

 

"Ibu!" panggilku. 

 

Wanita yang melahirkanku duapuluh tahun yang lalu itu, menatapku tak suka. 

 

Aku melangkahkan kaki jenjangku ke arah mereka, tampak jelas lelaki di sampingnya tak menyukai kedatanganku. 

 

"Jadi ... demi mereka Ibu tak menjenguk Nara?" ucapku seraya menatap Ibu tajam. 

 

Suaraku cukup keras, hingga membuat beberapa pengunjung menatap kami penasaran. 

 

"Sudah ada Ayahmu, kan? Jadi untuk apa lagi Ibu di sana?" sahut Ibu dengan tatapan sinis. 

 

Jemariku mengepal. "Kami juga anakmu, bukan hanya Dira! Demi lelaki ke pa rat ini, Ibu meninggalkan aku dan Nara! Apa kurangnya Ayah sehingga Ibu selingkuh!" cecarku. 

 

Wajah Ibu dan suaminya tampak merah padam. 

 

Tubuhku bergetar.

 

"Jaga mulutmu, Zahira!" bentaknya. 

 

Plak! 

 

Satu tamparan keras melayang ke wajahku. Rasa panas menjalar ke wajah ini, kurasakan sesuatu yang hangat mengalir di hidungku. 

 

"Zahira!" lirih Ibu, seraya menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. 

 

Ia berusaha mendekatiku, kukibaskan tangan agar ia tak mendekatiku. 

 

Aku menatap wajah Ibu. "Semoga Ibu tak menyesal dengan keputusan ini, berbahagialah dengan keluarga barumu, kami memang tak berarti lagi dihidupmu!" tegasku seraya menarik tangan Daren untuk ke luar dari restauran.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status