Hari ini, Setya kembali ke kota untuk kuliah. Karna masa akhir pekan sudah berlalu. Sebenarnya, hati Setya sangat berat meninggalkan Kamila di desa. Tapi, dia juga tak bisa libur dari kuliahnya, karna sedang berlangsung ujian.
Setelah pamit dengan Kamila kemarin sore, dan meninggalkan sebuah ponsel pada Kamila, hati Setya tak lagi begitu gelisah. Dia sudah sedikit tenang, karna bisa bertanya kabar Kamila, melalui telepon.
Setya memberikan ponsel yang dulu dibelikan oleh ayahnya, pada Kamila. Ponsel itu sudah jarang ia gunakan. Karna, Setya sudah memiliki ponsel baru, yang dibelinya memakai uang dari gajinya bekerja.
Dan atas usul dari pak Wiguna dan bu Indri juga, Setya memberikan ponsel itu pada Kamila. Agar Setya tidak berat hati meninggalkan Kamila.
Ya, meskipun ibu dan ayah Setya berada di desa yang sama dengan Kamila, dan jarak rumah mereka tidak begitu jauh, Setya tetap saja tak tenang. Jika sewaktu-waktu Kamila memerlukan bantuan, dan dia
Setya dan Rizki sudah sampai di pos, tempat pengiriman surat terakhir yang dikirim oleh Bu Ratih, ke desa. Setelah memasuki pagar, Setya dan Rizki lalu memakirkan motor Setya. Di sana terlihat seorang lelaki paruh baya, yang sepertinya, telah bekerja cukup lama di kantor itu. Bisa dilihat dari pakaian dinasnya yang sudah tampak sedikit usang. Melihatnya, Rizki lantas menghampiri lelaki itu. "Selamat sore, Pak," ucap Rizki, sembari menyambangi lelaki yang terlihat seusia ibunya itu, dengan duduk persis di samping lelaki yang tengah santai di kursi panjang, di halaman kantor tersebut. "Iya, Nak. Ada yang bisa saya bantu?" balas lelaki itu ramah pada Rizki dan Setya. "Mari, duduk," ujar lelaki itu pada Setya yang tampak masih berdiri di samping Rizki. "Iya, Pak. Perkenalkan, saya Setya." Setya kemudian duduk di sebelah Rizki, lalu mengulurkan tangannya pada lelaki berseragam kantor pos itu, yang lantas disambut hangat olehnya. "Saya, Jupr
Rintik hujan menghiasi pemandangan di luar jendela kamar Setya. Usai mengerjakan pekerjaan yang ditugaskan oleh om Ilham, Setya tak kunjung merasa lelah dan mengantuk. Sementara, jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dinihari. Seharian, Setya tak menerima kabar dari Kamila. Dan dia pun, tak berusaha untuk menghubungi Kamila. Bukan karna dia enggan, namun, kesibukannya dari pagi hingga sore, membuatnya tak punya luang untuk menghubungi Kamila. Setya menatap layar ponsel pintarnya, lalu memandangi poto Kamila, yang dijepret secara diam-diam olehnya, dengan kamera ponsel miliknya. Potret Kamila yang tengah membaca buku itu, terpajang manis menghiasi layar depan ponsel pemuda itu. Rasa rindu, lantas menyeruak dalam hatinya. Jika tak mengingat jam yang sudah sangat larut, Setya ingin sekali menghubungi Kamila. "Kamila. Bersabarlah, sayang. Aku pasti akan mencari keberadaan ibu," lirihnya sembari menatap gambar diri Kamila. Malam itu, Setya benar-benar tak
Setya duduk termenung diteras kontrakan tempatnya tinggal. Dia tengah menunggu kedatangan sahabatnya, untuk menelurusi lebih lanjut, tentang pak Jupri, yang mereka temui kemarin sore. Setya masih belum bisa memecahkan teka-teki, siapa sebenarnya pak Jupri, dan apa hubungannya dengan bu Ratih, serta bangunan bekas kebakaran itu. Kriiing. Bunyi ponsel, membuyarkan lamunan Setya. Bunda Indri yang menelpon. "Assalamualaikum, Nak." Suara Bu Indri langsung terdengar dari sebrang sana. "Waalaikumsalam, Bunda." Setya menjawab salam sang Ibu. "Setya, ada sesuatu yang ingin Bunda bicarakan, Nak. Ini mengenai Kamila." Bu Indri sepertinya ingin segera menceritakan apa yang terjadi pada Kamila, pada Setya. "Ya, ada apa dengan Kamila, Bunda?" Mendengar suara sang Bunda, yang jelas terdengar sedang khawatir itu, membuat Setya menjadi tak tenang. "Tapi, Bunda mohon, kamu jangan tersulut emosi, Nak. Dan Bunda mohon, setelah
"Tahan sebentar, ya, Kamila. Bunda oleskan cairan antiseptik dulu pada lukamu," ujar Bu Indri yang membantu Kamila mengoleskan cairan antiseptik yang diberikan oleh pak Wiguna. "Pelan pelan saja, Bun. Itu pasti perih sekali. Memang keterlaluan anak itu. Tega-teganya menyerang Kamila sampai terluka." Pak Wiguna yang segera bergegas datang dari puskesmas, setelah ditelpon oleh bu Indri, tampak merasa geram pada Utari, yang telah melukai calon menantunya itu. "Iya, Nak Wiguna. Ibu juga merasa sangat terkejut dengan kedatangan Utari. Ibu menyangka, bahwa Kakeknya lah yang datang, dan menggedor pintu dengan keras. Tapi ternyata bukan. Ibu tak bisa berbuat apa-apa. Ibu sangat cemas mendengar keributan yang terjadi di luar rumah. Untung saja, Nak Indri menyelamatkan Kamila. Kalau Nak Indri tak kebetulan akan mampir kemari, entah apa lagi yang anak itu lakukan pada Kamila, cucuku." Nek Sumi menyambut perkataan pak Wiguna. Hatinya sangat terluka melihat cucu yang sangat
Setya masih merasa marah, atas apa yang telah terjadi kepada Kamila. Dia tak berhenti mengkhawatirkan Kamila. Hingga, suara dari sepeda motor Rizki membuyarkan perhatiannya. "Wah, itu muka kusut banget. Ada masalah apa?" Rizki yang baru saja sampai, dan belum turun dari motor, lantas mencecar Setya dengan pertanyaan. "Turun dulu, dan duduk disini. Melepas helm aja belum, udah langsung nyari topik." Setya belum menjawab pertanyaan Rizki yang masih nangkring diatas motor, diiringi tawa kecil Rizki yang menyadari kebenaran dari perkataan Setya tadi. "Ya, iya. Nih, udah turun. Tapi itu muka, gak usah ditekuk juga, kali," ujar Rizki dengan muka tengilnya, menggoda Setya yang sedang kelihatan sedang tak ingin bercanda itu. "Kamila, Ki. Dia terluka. Wajahnya dicakar Utari." Setya mulai membuka pembicaraan pada Rizki, yang kini sudah duduk disampingnya. "Ha, Utari? Siapa lagi itu?" tanya Rizki yang memang tidak mengenal gadis berambut pirang itu
"Ayo, masuk. Kita ngobrol di dalam," ajak pak Jupri pada Setya dan Rizki, yang masih berdiri di ambang pintu. Merekapun masuk ke dalam rumah pak Jupri, dan duduk di kursi bambu yang terletak di ruang tamu rumahnya. "Nak Setya, dan Nak Rizki, mau minum apa? Biar Bapak bikinin." Pak Jupri menawarkan. "Tidak usah, Pak. Kami baru saja minum tadi. Iya kan, Setya," tolak Rizki halus, seraya melihat ke arah Setya, agar juga menolak tawaran minum dari pak Jupri. Karna sejujurnya, Rizki masih menaruh curiga pada pak Jupri. Dia takut, pak Jupri akan mencelakai dirinya dan juga Setya. "Eh, iya, Pak. Tidak usah minum. Bapak duduk di sini saja. Banyak yang ingin kami tanyakan pada bapak." Setya yang langsung mengerti dengan kode yang diberikan oleh Rizki, lantas mencegah pak Jupri untuk menyuguhkan minuman pada mereka. "Oh, ya sudah. Bapak mengerti." Pak Jupri mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan tau tentang Rizki yang menaruh curiga padanya. "Ba
Triing.. Bunyi pesan yang masuk ke ponsel Jupri. [Jupri, temui aku di taman kota. Aku ingin bicara, penting!] isi pesan dari Ratih itu, lantas membuat Jupri tidak tenang. Dan sesuai yang diminta oleh sahabatnya, Jupri langsung bergegas menuju taman kota dengan motornya. Tak lama, Jupri pun sampai di sana. Karna jarak taman kota dengan rumah Jupri tidak terlalu jauh. Dia menyisir sekeliling taman, mencari keberadaan Ratih. Dan akhirnya, dia menemukan Ratih sedang duduk di bangku taman yang agak jauh dari keramaian. Melihatnya, Jupri pun langsung menghampiri sahabatnya itu. "Hei, Ratih. Ada apa?" Jupri menepuk pundak Ratih, dan membuat gadis itu menoleh ke arahnya. Namun, tanpa berbicara sepatah katapun, Ratih langsung memeluk Jupri. Jupri yang sejak mendapat pesan dari Ratih tadi bertanya-tanya, semakin heran dengan sikap Ratih saat ini. Ratih yang terlihat gusar, membuat Jupri membiarkannya menangis di pelukan Jupri. Jupri menenangkan Ratih se
Jupri sangat mengkhawatirkan tentang keadaan Ratih. Meskipun selama ini, mereka hanya sebatas bersahabat, namun tak dapat dipungkiri, bahwa hati Jupri sangat mencintai Ratih. Sudah sering dia mengutarakan isi hatinya pada Ratih. Dan gadis itu, selalu menolak Jupri. Ratih merasa tak pantas, jika dicintai oleh lelaki baik seperti Jupri. Karna Ratih, merasa bahwa dirinya bukanlah perempuan baik baik. Ratih datang kekota besar, untuk mencari pekerjaan,agar dapat membantu ekonomi keluarganya yang tinggal didesa. Namun entah bagaimana, Ratih terjerat didalam pekerjaan kotor itu. Ratih bekerja disebuah "Rumah Mucikari", sebagai wanita malam. Ratih merupakan gadis yang paling cantik disana. Tak jarang, para pejabat dan pengusaha menyewa Ratih untuk waktu yang lama. Mereka hanya ingin, Ratih yang "menemani" malam mereka. Dan pada saat ini, pengusaha muda, tampan dan kaya raya, yaitu Hans Hermawan lah yang menyewa Ratih. Dan Hans Hermawan pula, yang sudah membuat Ratih sampai hamil se