"Astaghfirullahalazim. ." lirih Bara dan Kanaya bersamaan setelah mendengar cerita tentang Suci dari mulut Ujang."Kondisinya kian hari kian memprihatinkan, tapi Neng Suci benar-benar tidak mau kami menghubungi keluargnya. Sedangkan untuk membawanya kembali ke rumah sakit, kami tidak lagi memiliki uang, Pak." lanjut Ujang jujur."Semua tabungan Emak telah habis untuk biaya rumah sakit kala Neng Suci koma hampir 2 minggu lamanya." lanjutnya dengan mata menerawang jauh ke depan. Lantas Ujang menghela nafas besar."Kami menghubungi Bapak bukan bermaksud untuk mengusir Neng Suci dari rumah ataupun keberatan mengurusnya yang dalam kondisi demikian, Pak. Tapi jujur, saya dan Emak sangat berharap Neng Suci bisa mendapatkan perawatan yang layak di rumah sakit supaya bisa kembali sembuh seperti semula." ucapnya sangat tulus dari hati.Bara dan Kanaya saling beradu pandang, terlihat jelas sorot iba dari mata Kanaya sedangkan Bara biasa saja."Apa kami boleh melihatnya, Kang?" mohon Kanaya."Ten
Dua bulan kemudian. . ."Selamat ya, Nay! Akhirnya, sah!" ungkap Kema sembari memeluk sahabat baiknya itu.Pernikahan impian itu akhirnya digelar dengan sangat mewah. Ribuan tamu undangan hadir untuk menjadi saksi atas pernikahan kedua pasang pengusaha ternama itu. Ratusan wartawan saling berdesakan untuk meliput momen sakral itu.Kanaya tampil luar biasa cantik dan anggun dengan balutan gaun mewah rancangan designer ternama tanah air. Bersanding dengan sang suami yang nampak begitu bahagia dengan senyum merekah sepanjang acara berlangsung.Rinjani, Wartini dan orang-orang yang mengasihi mereka tampak begitu bahagia. Bik Rum terlihat meneteskan air mata sepanjang acara berlangsung. Ia terharu dan bahagia melihat Kanaya yang ia rawat sedari bayi merah kini berbahagia bak putri raja di singgasananya.Berbagai media menayangkan perhelatan mewah ini secara live. Membuat jutaan orang berdecak kagum dengan kemewahan pernikahan sepasang pengusaha itu.Begitu pun dengan Suci yang hanya mampu
"Naya! Buka pintunya!"Brak brak brak,"Naya!!"Teriakan berbarengan dengan gedoran pintu saling bersahut-sahutan memekakkan telinga penghuni rumah."Kanaya!!" jeritnya lagi.Sang penghuni rumah yang dipanggil namanya seolah enggan beranjak dari tempatnya, ia masih fokus dengan cat kuku di jemari lentiknya."Ber*ngs*k! Heh, pelakor! Keluar kamu! Atau aku robohkan rumah reotmu ini!" teriaknya lagi sembari kedua tangannya terus menggedor pintunya."Coba saja kalau berani! Jangan cuma bac*t doang digedein!" teriak sang empunya rumah tak kalah sengit."Dasar lo*te! Mana suami aku, HAH!!" umpatnya lagi.Kanaya berdecak kesal, mau tak mau ia menyudahi kegiatannya dan beranjak menuju pintu utama."Apaan sih? Teriak-teriak kayak orang gila tau gak!" cebiknya setelah membuka pintu. Kanaya bersandar sembari bersedekap dada, angkuh."Kamu yang gila! Mana suami aku!" nyolotnya dengan mata melotot.Kanaya memutar bola matanya malas, ia membuka lebar daun pintu."Cari aja sendiri!" ucapnya malas.S
Dering ponsel mengalihkan perhatian Kanaya dari kenangan dan dendam yang ia simpan di hatinya. Ia menghapus kasar air mata yang masih mengalir di kedua pipinya kemudian beranjak menuju ruang tengah dimana ponselnya berada.Ia menghela nafas demi untuk menetralkan perasaan yang bergejolak di hatinya sebelum menjawab panggilan."Halo!" jawabnya pada si penelpon."Kak Naya baik-baik saja?" tanya seorang lelaki di seberang sana."Ya, Kakak baik-baik saja! Tenanglah! Kerjakan tugasmu dengan baik, jangan sampai ketahuan!" pesannya sebelum mengakhiri panggilan."Baik, Kak! Pasti!" jawab orang itu yakin. Kemudian mematikan panggilan.Kanaya meremas kuat ponsel dalam genggamannya, kilatan kemarahan terpancar jelas di sorot matanya meski masih berkabut."Bersiaplah, Suci!" gumamnya dibarengi dengan seringaian dari bibirnya.Ia segera beranjak dari ruang tengah menuju kamarnya. Lantas bersiap pergi ke suatu tempat.Sementara itu di perjalanan pulang, berkali-kali Suci mengumpat sembari memukul s
Hari menjelang malam kala Suci melangkahkan kakinya keluar dari salah satu cabang resroran milik Bara. Dengan raut kesal ia kembali ke dalam mobil dan mentutup pintunya keras."Aarrrrgggghhhttttt!!" teriaknya frustasi sembari memukul setir kemudi."Bara, kamu di mana?" lirihnya berbarengan dengan air mata yang mengalir dari kedua netranya.Ia menghela nafas besar berkali-kali demi untuk menghalau sesak mengingat sang suami yang sudah hampir satu minggu ini menghilang bak ditelan bumi.Satu persatu cabang restoran milik suaminya ia datangi, namun hasilnya nihil. Semua karyawan kepercayaan tak ada satupun mengetahui keberadaan sang bos. Teman dekat dan sanak saudara yang ia kenal pun tak luput dari penelusurannya. Dan hasilnya masih sama, tak ada satupun mengetahui keberadaan Bara.Lama ia larut dalam pikirannya tentang keberadaan sang suami, dering ponsel dalam tasnya mengalihkan perhatian. Ia menyeka kasar air mata yang masih membasahi pipinya, lantas merogoh ponsel dari dalam tas. Te
[Kak, rencana kita berjalan lancar][3 hari lagi jalankan rencana berikutnya] Kanaya tersenyum simpul membaca pesan yang dikirimkan Arkan padanya. [Baik, jangan lupa tanda tangan Aryo harus kamu dapatkan]Pesan balasan ia kirimkan secepatnya. Dan segera centang biru oleh Arkan.[Tenanglah, aku bahkan sudah nendapatkan tanda tangan berikut uang 1 M] [Nanti siang kita ketemu di tempat biasa]Kanaya menggeleng tak percaya sejauh itu Arkan melangkah. Tapi, ada bagusnya juga Arkan mendapat uang itu, setidaknya dia tak harus bergantung pada uang Bara dan Bundanya.Kanaya segera menghubungi Bara dan mengabarkan perihal ini. Mereka sepakat utuk menyusun rencana berikutnya.Usai bertukar kabar, Kanya bersiap untuk pergi ke suatu tempat yang selalu ia kunjungi setiap 3hari sekali.Sembari bersiap ia memesan taksi online dan juga mengirim pesan pada Riko memberitahukan agenda kepergiannya hari ini. Agar Riko bisa membuat sandiwara pada Suci, sehingga Suci tak berulah yang akan menggagalkan re
Di sebuah restoran mewah bernuansa hijau dengan konsep outdoor itu, terlihat Suci tengah berbincang serius dengan dua orang paruh baya, Ratna dan Dewa."Ma, aku harus gimana sekarang?" lirihnya sembari meremas rambutnya frustasi. Ratna mengusap pelan punggung putri kesayangannya itu.Baru saja Suci menceritakan perihal gugatan cerai yang Bara berikan untuknya kepada Ratna dan Dewa, ayah kandungnya."Satu masalah belum selesai, justru tambah lagi dengan masalah lain. Gimana ini?" ungkap Ratna ikut terlihat panik."Aku curiga, salah satu orang kepercayaan kita berkhianat!" ujar Dewa mencoba tenang."Tapi siapa kira-kira, Pa!" gumam Suci."Entahlah, bahkan orang-orang kantor sudah mulai berkasak-kusuk mengenai legalitas nama pemilik perusahaan. Ruang gerak kita semakin sempit dengan kembali masuknya Wartini sebagai pemegang saham mayoritas dari ANGKASAJAYA grub. Itu semakin menekan posisi kita. Bisa-bisa perusahaan akan bangkrut dan jatuh ke tangan PT. ANGKASA." tambah Dewa meraup wajahn
"Arrrgghtt!!!" Jerit Suci untuk yang kesekian kalinya, ia melampiaskan seluruh amarahnya pada apa saja yang ia temui di kamarnya. Bantal, guling, tas, vas bunga sampai meja riasnya tak luput dari amukan wanita berambut panjang itu. Kondisi kamar yang sudah layaknya kapal pecah dengan semua barang berhamburan di lantai. Tubuhnya merosot ke lantai, ia tergugu dalam penyesalan dan amarah yang tak bisa lagi ia kendalikan. Jika saja ia tak mempermainkan janjinya pada Bara, mungkin sekarang dia masih bisa mendekap Bara dalam pelukannya. Meski, ia hanya mendapatkan raganya saja, tidak dengan hati dan cintanya. Tapi, setidaknya dia masih bisa bersama sebagai pasangan suami istri dan keluarga utuh.Cinta yang begitu membara, membutakan akal sehatnya hingga ia turut berambisi memiliki Bara seutuhnya. Namun, semakin ia genggam, Bara semakin jauh. Perlahan demi perlahan, Bara tak lagi mampu ia jangkau akibat dari ulahnya sendiri yang terlalu kemaruk dan ambisius.Air mata kian deras mengalir s