"Kita naek motor, nih, Ham?" tanya Jojo saat melihat Ilham keluar dari garasi dengan sebuah motor gede. "Hooh, nggak ada waktu lagi soalnya Bang. Nunggu Non Amira pulang--entar keburu basi dan lumutan.""Terus laptopnya?""Tenang, masih nyala. Walaupun dah kedip-kedip kek orang cacingan.""Ya udah kalau gitu. Gaskeun, Ham. Lagian suntuk juga dekem di rumah mulu jadi babunya si Zara.""Haha. Kayaknya kalian cocok, deh, Bang. Berantem mulu soalnya.""Hmm ... kalau emang jodoh siapa yang tahu, yepan?"Ilham kembali terbahak. "Anjay, ternyata lu ngarep juga.""Bukan ngarep, Ham. Tapi usaha. Nggak dapet Non Mimi, kan bisa sama temennya, buahaha--asyem." Seketika tawa Jojo terhenti saat melihat Zara tiba-tiba muncul di hadapan mereka. "Anjir sejak kapan dia berdiri di sono?" bisik Jojo pada Ilham. "Nggak tahu, Bang. Perasaan baru ngedip bentar. Terus gimana, dong?""Mau ke mana kalian?" Zara melotot sembari berpangku tangan di atas stang motor yang ditumpangi Jojo dan Ilham. "Ng, itu,
Amira melangkah lebar memasuki gedung Rumah Sakit Harapan tak lama setelah dia mendapat kabar dari kepolisian. Segala urusan yang semula sudah dijadwalkan, tanpa pikir panjang langsung dia tinggalkan demi prioritas para pegawal. Degub jantungnya yang berdetak tak keruan seiring mengiringi langkahnya yang terseok memasuki lift bersama Al yang tak kalah paniknya. Meski bibir ranum itu terbungkam, tak henti dia berdoa agar polisi tersebut salah mengidentifikasi korban. Lift berhenti di lantai dua. Bergegas mereka berjalan menuju sebuah ruang mayat yang terletak di ujung koridor."Non." Sedikit ragu, Al menyentuh pundak Amira. Perempuan itu menoleh masih dengan kecemasan yang sama. "Tarik napas dulu. Tenangkan pikiran," pintanya."Mana bisa, Al," sentak Amira setengah geram.Al tetap bersikukuh meyakinkan. "InsyaAllah bisa."Pada akhirnya Amira menurut juga. Di ambang pintu ruang mayat dia berpegangan pada dinding penyangga, lalu menghela napas dalam-dalam."Sekarang, ayo kita masuk." A
"Terkadang aku lelah, Al. Hingga ingin rasanya mengakhiri semua dan pergi tanpa apa pun, bersama Azriel dan Nicholle untuk tinggal bersama Enin di Desa. Namun, keadaan seakan memaksaku untuk tetap tinggal, menyelesaikan apa yang telah kusepakati pada kakek tanpa tahu harus memulai dari mana. Aku hanya tak ingin lebih banyak darah bertumpahan lagi, aku tak ingin ada korban baru lagi." Amira menyeka bulir bening yang lolos dari pelupuk matanya.Al yang tengah fokus menyetir sesekali melirik Amira, atau Zara yang duduk di jok belakang dari balik spion.Perempuan berambut pendek itu memberi isyarat dengan anggukan dagu agar Al menenangkan Amira."Bagaimana kalau kalian resign saja, sebisa mungkin aku akan membantu jika kalian ingin membuka usaha. Pekerjaan ini sepertinya cukup berbahaya bagi kalian. Taruhannya nya--" "Amira." Tubuh perempuan itu menegang saat sadar panggilan itu bukan berasal dari Zara melainkan Al. "Bisa kita bicara sebagai teman, alih-alih atasan dan bawahan?"Amira me
Amira membulatkan bibirnya. "Oh, begitu. Ya sudah, aku duluan ke atas, ya. Sudah mau masuk waktu maghrib. Nanti kita berkumpul lagi saat makan malam." Amira dan Zara pun berlalu dari pandangan Andini."Kamu lihat Nic, Zar?" "Kayaknya dia di dapur, deh, Mir. Akhir-akhir ini Nicholle suka nemenin Mbok Ambar."Amira mengernyitkan dahi."Terus mereka komunikasinya bagaimana?"Zara mengedikkan bahunya. "Entah, pake google translet, mungkin.""Ya ampun, Zara." Amira hanya menggeleng pelan.mereka pun memisahkan diri dan masuk ke ruang masing-masing. Sebelum masuk ke kamarnya Amira sempat mengintip dari balik pintu kamar Azriel yang setengah terbuka. Kebetulan kamar mereka memang terletak berhadapan.Di meja belajarnya, Azriel terlihat tengah sibuk berkutat dengan IPad, mengerjakan tugas yang dikirimkan melalui online. Ternyata Azriel cukup bersemangat di hari pertamanya sekolah.Setelah puas memerhatikan putranya, Amira pun masuk ke dalam. Merobohkan diri di atas kasur sembari melepas pas
"Menurut keterangan beberapa saksi dan bukti-bukti. Saudara Hanung Adijaya terjerat pasal berlapis, seperti yang sudah tercantum dalam pasal 340 KUHP tentang pembunuhan, juga pasal 310 ayat 1 tentang fitnah dan pencemaran nama baik pada saudari Lena Aprilia, serta pasal 242 ayat 1 tentang keterangan palsu. Dengan ini kami putuskan bahwa terdakwa dijatuhi hukuman maksimal tiga puluh tahun penjara, dan denda tiga miliar rupiah."Palu hakim pun diketuk. Bersamaan dengan itu kepala Hanung tertunduk. Masih dengan kedua jemari yang tertaut dia menoleh ke arah Amira yang berada di barisan paling depan bersama Rafael dan Rama, sementara Dona sama sekali tak terlihat batang hidungnya. Beberapa bulir air mata terlihat lolos dari pelupuk mata dan membasahi pipinya yang kemerahan. Amira bangkit menghampiri Hanung yang tersenyum lemah menatapnya.Tanpa aba-aba perempuan itu berlari dan menerjang tubuh pamannya, dia terisak dalam dekapan Hanung."Air mata berharga itu sama sekali tak pantas kau ja
"Zar! Kira-kira secara keseluruhan meeting room yang tertutup di rumah ini ada berapa?" Amira bertanya pada Zara sepulang dari kantor, sembari menyisir pandangan ke seluruhan bangunan megah di sekelilingnya. "Kalau nggak salah dua, deh, Mir. Satu lantai dasar--di sini, yang satu lagi di lantai tiga," sahut Zara."Sofanya?" tambah Amira."Kalau yang paling atas kayak ruang keluarga biasa. Sofanya ada dua berhadapan. Kalau yang dibawah itu muat lebih banyak, sofanya juga kayak buat meeting biasa. Dua-duanya ada TV ukuran 42 inci."Amira manggut-manggut tanda mengerti."Yang di lantai ini kursinya tolong ganti pake sofa panjang, ya!" pinta Amira."Oh, boleh-boleh, Mir. Ada lagi?""Sama minta tolong kabarin bagian kitchen buat nambah stok besok. Kita bakal kedatangan beberapa tamu soalnya."Zara menulis semua catatan yang Amira minta di dalam sebuah tab berbentuk persegi dengan pen khususnya."Oh, iya, Zar. Perkembangan kondisi Jojo sama Ilham bagaimana?" Zara mengangkat kepalanya, seket
Matahari tampak terik siang hari ini. Namun, embusan angin masih terasa menggoyangkan pohon-pohon yang rindang di sekeliling bangunan megah tersebut. Akhir pekan di kediaman Adijaya dimulai dengan mobil-mobil mewah yang terparkir di pelataran. Lalu-lalang para pelayan menyiapkan jamuan makan yang sudah dipersiapkan sejak beberapa hari lalu pun menjadi pertanda akan diadakannya sebuah pertemuan antar keluarga. Seorang wanita paruh baya yang mengenakan dress selutut terlihat baru saja keluar dari salah satu mobil yang berjejer. Rambut panjangnya yang disemir pirang, tampak terurai menyentuh punggung mungilnya. Sebuah kaca mata hitam yang dipenuhi dengan permata mengkilap bertengger di hidung bangirnya. Namun, ada sedikit yang berbeda dari penampilan wanita ini. Bibirnya yang penuh tak lagi dihiasi gincu berwarna mencolok, hanya warna nude yang dia bubuhkan, hingga terkesan sedikit pucat. "Mari Bu Dona, saya antar menuju ruangan yang sudah disediakan."Zara menuntun Dona menuju meeting
"Selamat datang Pak Rendy. Mari saya antar ke ruangan." Zara menyambut Rendy yang baru saja turun dari mobil Ferrari dan mengiringnya menuju lantai tiga. Dua hari lalu lelaki itu melakukan penerbangan langsung dari London menuju Jakarta, setelah melakukan kesepakatan dengan Amira terkait Andini yang masih sah sebagai istrinya. Selama dua bulan menghambiskan waktu dalam pengasingan di negara yang dipimpin oleh Ratu Elisabeth tersebut, Rendy banyak belajar tentang arti kehidupan. Dia juga lebih banyak menghabiskan waktu dalam kegiatan amal, serta menyempatkan diri untuk berkonsultasi dengan seksolog terkait penyimpangan seksualnya. Rendy merasa bahwa waktu yang dia habiskan untuk main-main sudah selesai. Kehidupan terlalu singkat bila hanya dihabiskan untuk mengejar dunia dan segala isinya yang fana. Toh, harta dan kekuasaan yang susah payah dia perjuangkan sejauh ini tak membuat dirinya puas menikmati hidup. Sampai di lantai tiga, Zara menuntun Rendy menuju ruangan dengan dua orang