Azzam keluar dari kamar, ia sudah berpakaian rapi dengan seragam dinas kerjanya. Rambutnya kelimis, aroma parfum menguar ketika ia melintasi Risa yang sedang menyapu lantai. Mereka tidak saling tegur sapa, tampak Azzam memakai masker dan helm.
“Heh! Ternyata masih punya rasa malu juga.” Batin Risa sambil terus menyapu, ia hanya menatap Azzam sekilas saja.
“Mana kunci motor?” tanyanya entah dengan siapa, Risa abai.
“Risa! Telingamu tuli? Mana kunci motormu, si-alan!” Teriak Azzam sambil berkacak pinggang menatap penuh amarah pada Risa.
“Kukira kau bertanya dengan tembok. Untuk apa kau minta kunci motorku, pakai saja motor king ku itu.” Jawab Risa melanjutkan pekerjaannya, tidak ingin menanggapi Azzam lebih lama lagi.
“Kau masih bertanya untuk apa? Aku harus seperti ini karena ulahmu. Berikan kunci motormu, cepat!” Azzam tiba-tiba saja sudah mencekal dengan keras lengan Risa.
“Ssh, ahh! Sakit. Lepaskan Zam, sepagi ini, kau sudah menyakitiku dua kali. Singkirkan tangan kotormu itu dari lenganku.” Tegas Risa sambil menepiskan dengan kasar tangan Azzam.
“Makanya cepat berikan kunci motornya, bren-gsek!” Umpat Azzam kini sikapnya agak kasar dan pemarah, jauh dari biasanya yang terlihat begitu perhatian pada Risa. Mau membantu pekerjaan rumah tanpa mengeluh. Itu sebabnya Risa tidak pernah bertanya tentang gaji yang hanya diberi seperempatnya saja dari jumlah gaji Azzam. Akan tetapi Azzam benar-benar tidak bersyukur telah memiliki Risa.
“Ayah! Kenapa sih, ayah sama nenek marah-marah melulu sama ibu. Kasihan ibu, ayah.” Teriak Azkira, wajahnya masih pucat, mungkin Azkira belum fit betul karena semalam demam. Azkira meraih tangan Risa lalu memeluknya.
“Jangan ikut campur urusan ayah dan ibu, kau masih kecil. Sebaiknya kau siap-siap berangkat ke sekolah.” Bentak Azzam sambil mencekal kembali lengan Risa dan menyeretnya menuju kamar mereka.
“Lepaskan, mas.” Sentak Risa berusaha melepaskan cekalan tangan Azzam yang kuat.
“Ayah, lepaskan ibu.” Teriak Azkira sambil mengejar kedua orang tuanya dengan perasaan berkecamuk. Melisa yang melihat itu segera berlari menuju depan, dimana pak Raharjo dan bu Hafsah berada.
“Akung, ayah menyakiti ibu lagi. Cepat kung, tolong ibu.” Seru Melisa diiringi dengan isakan tangis, ia menarik tangan pak Raharjo dengan keras. Sang kakek dengan cepat mengambil tindakan, beranjak bangkit mengikuti langkah Melisa.
“Azzam, apa yang akan kau lakukan? Lepaskan Risa!” Bentak pak Raharjo dan segera menarik putranya, apalagi ketika melihat Azkira yang menarik tangan Risa. Itu semakin membuatnya panik, pak Harjo mendorong tubuh Azzam agak menjauh dari Risa dan Azkira.
“Apaan sih, pak. Aku hanya minta kunci motor dengannya, tapi Risa ini batu.” Tukas Azzam sambil menunjuk Risa.
“Anak sama ibu sama aja, suka memfitnah.” Lirih bu Hafsah sepertinya di dalam otaknya kini sudah dipenuhi dengan sesuatu yang tidak benar dari ucapan Azzam. Sehingga bu Hafsah tidak dapat melihat kebenaran. Padahal selama ini bu Hafsah tidak seperti itu, walaupun sering mengomel, dia tetap saja membantu dan mengurus Risa ketika sakit. Tetapi, akhir-akhir ini entah setan mana yang merasuki bu Hafsah sehingga tampak membenci Risa.
Klunting!
Risa melemparkan kunci motor matic yang biasa ia pakai ke arah Azzam, dan terjatuh di lantai. Setelah itu ia segera menarik tangan kedua putrinya, ia begitu kalut ketika pertengkarannya dengan Azzam disaksikan kedua putrinya. Sementara Risa hingga setua ini tidak pernah melihat ayah dan ibunya bertengkar, itu sebabnya dia merasa begitu sedih.
Brak!
Risa menutup pintu dengan kasar, lalu terdengar dari dalam sana anak kunci yang diputar beberapa kali.
“Perempuan sinting, bau keringat. Seperti ini kelakuanmu, macam mana aku akan betah di rumah.” Ucap Azzam sambil menempelkan kepalanya ke daun pintu, kini sifat aslinya terlihat setelah 10 tahun pernikahan mereka.
“Azzam, kau tidak boleh bicara seperti itu. Lagian, semua ini juga salahmu, jangan memutar balikkan fakta,” tegur pak Harjo karena melihat Azzam bersikap agak kelewatan.
“Salah Azzam bagaimana sih, pak. Jelas-jelas ini semua ulah Risa yang sudah membuang kotoran ke wajah kita, sadar, pak.” Sangkal ibu Hafsah menunjuk wajahnya sendiri, ia tampak tidak terima dengan ucapan suaminya.
“Kamu yang seharusnya sadar, bu. Buka mata kamu, Azzam yang melakukan dosa, dan Risa hanya korban. Kenapa ibu malah menyalahkan Risa.” Sahut pak Harjo meninggalkan bu Hafsah.
“Heh! Apa yang sudah di ucapkan sama perempuan itu, kenapa bapak sampai berpihak padanya. Ya sudah bu, aku mau berangkat kerja dulu, nanti terlambat.” Timpal Azzam ngeloyor pergi begitu saja. Bu Hafsah juga mengikuti langkah Azzam hingga ke depan. Tampak Azzam dan pak Harjo sudah menyalakan motornya.
“Bapak mau kemana?” tanyanya.
“Ya kerja lah, mau kemana lagi.” Jawab pak Harjo ketus lalu melajukan motornya perlahan.
“Pak, libur saja. Nanti bapak bisa-bisa dihujat di tempat kerja, kau juga Zam, lebih baik libur saja daripada malu,” teriak bu Hafsah, akan tetapi pak Harjo abai, ia tetap melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Azzam sempat berpikir sejenak dengan ucapan bu Hafsah barusan tentang dihujat. Akan tetapi ia menepis semua bayangan buruk tersebut.
“Mereka semua mempercayaiku, mana mungkin langsung percaya dengan video berdurasi 20 detik itu.” Sangkalnya sambil melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
***
[Heh perempuan dekil penampilan kayak babu. Aku bisa saja menuntutmu karena sudah menyebarkan video itu tanpa seizinku. Aku akan melaporkan kamu dengan tuntutan pencemaran nama baik.]
[Pantas saja mas Azzam lebih memilihku, ternyata kau seperti itu. Kucel, dekil persis kayak babu. Dan satu lagi, ternyata kamu bod-oh.]
[Ingat ya babu, aku tidak akan tinggal diam jika kau berusaha memisahkan suamiku dari anak-anaknya. Kau akan tahu akibatnya, dan tentang rumah itu, anak laki-laki mas Azzam lebih berhak daripada kedua anakmu itu, paham?!]
[Aku tidak akan mundur. Mas Azzam milikku, paham?!]
Risa mengerutkan keningnya ketika membaca pesan dari nomor tidak dikenal. Dan Risa juga sangat yakin jika itu nomor Imas, gundiknya Azzam.
“Gundiknya Azzam urat malunya benar-benar sudah putus. Kau jual, aku akan beli, lihat saja nanti.” Gumam Risa sambil membuka lemarinya, ia mengeluarkan berkas-berkas penting yang dia butuhkan nanti saat menggugat cerai Azzam. Ya, Risa sepertinya akan menggugat cerai Azzam setelah melihat sikap Azzam pagi tadi, itu semakin membuat Risa menetapkan keputusannya.
“Risa! Ris!” Panggil bu Hafsah dari luar sana dengan suara lantang. Risa yang ada di dalam dengan malas beranjak bangkit, sebelum keluar, ia menyimpan terlebih dahulu berkas-berkas penting itu, terutama surat-surat motor dan perhiasan.
“Ada apa sih, bu?” tanyanya setelah membuka pintu agak kesal.
“Semua ini karena ulahmu, ini, belikan ibu ayam dan sayuran lainnya. Mau di letak mana muka ibu karena ulahmu itu, bikin malu saja.” Ucap bu Hafsah sembari meraih tangan Risa, ia meletakkan selembar uang berwarna merah di sana.
“Kenapa ibu masih terus menyalahkan aku, jelas-jelas yang membuat malu ibu itu mas Azzam, bukan aku.” Sangkal Risa tidak terima.
“Terserah, intinya, kalau semua ulahmu ini berdampak buruk pada Azzam. Saya tidak akan tinggal diam.” Ucap bu Hafsah melotot ke arah Risa.
Di atas lemari kayu yang reyot, Risa berusaha menyeimbangkan tubuhnya sambil terus mencoba menghubungi seseorang dari ponsel Azki. Sayangnya, sinyal di tempat itu sangat lemah, membuat panggilannya tidak pernah tersambung.Dengan napas tersengal, ia menatap ke bawah. Azki dan Melisa bersembunyi di balik meja tua, berusaha menahan tangis mereka agar tidak menarik perhatian Claudia dan kedua temannya yang masih berada di ruangan sebelah.“Ya Tuhan, tolonglah...” gumam Risa pelan, jemarinya masih sibuk menekan layar ponsel, berharap sinyal kembali muncul. Ia mencoba menghubungi Pramudya, tapi tidak ada hasil.Sementara itu, di tempat lain, Pramudya dan Azzam melaju dengan kecepatan tinggi menuju lokasi yang dideteksi oleh pelacak cincin Risa. “Berapa lama lagi?” tanya Azzam dengan nada gelisah.“Sekitar lima belas menit,” jawab Pramudya sambil menatap peta di layar GPS.Di rumah kosong, Claudia mulai merasa tidak sabar. Ia mendekati ruangan tempat Risa dan anak-anaknya dikurung. “Kau pik
Risa, Azki, dan Melisa dibawa ke sebuah rumah kosong yang terletak di pinggiran kota. Aroma lembab bercampur dengan bau kayu lapuk menyeruak begitu mereka memasuki tempat itu. Rumah tersebut terlihat tak terawat, dengan dinding yang penuh coretan dan lantai yang berdebu. Claudia berdiri di tengah ruangan dengan masker masih menutupi sebagian wajahnya, namun matanya yang penuh kebencian terlihat jelas."Jadi ini harga dirimu, Risa?" Claudia melepas maskernya, menampakkan senyuman sinis."Kau pikir bisa mengambil segalanya dariku dan mendekati Pram dengan seenaknya?" Sambungnya lagi dengan nada tidak senang, bahkan Claudia membuang salivanya asal ke arah Risa. Risa yang tangannya terikat di belakang tubuhnya menatap tajam ke arah Claudia."Aku tidak pernah ingin mengambil apapun darimu, Claudia. Semua ini hanya ada di kepalamu yang sakit. Kedekatanku dengan mas Pram juga berjalan begitu saja, kami juga tidak memiliki hubungan apapun. Hanya sebatas rekan kerja," teriak Risa, ia tidak mer
Claudia menelan ludah, merasakan kepalanya berputar dengan beban pikiran yang kini menghantamnya. Risa, yang berdiri tidak jauh dari mereka, menatap dengan tatapan yang penuh kemenangan, seolah sudah memenangkan pertarungan tanpa berkeringat. Pram, dengan sikap dominannya, menatap Claudia dengan tegas, menuntut kepatuhan. “Baiklah, aku akan menyelesaikan ini,” ucap Claudia dengan suara serak, hatinya berkecamuk antara rasa malu dan keinginan untuk melawan. Namun, di hadapan Pram yang berwibawa dan Risa yang menyeringai, pilihan tampak begitu terbatas. Claudia berjalan ke arah rak yang berantakan, tangannya gemetar saat ia mulai merapikan barang-barang yang berserakan. Setiap gerakan yang ia lakukan seakan menandakan kekalahan. Pram mengikutinya, mengawasi setiap detail dengan mata elang, tidak memberi ruang untuk kesalahan sedikit pun. Risa, di sisi lain, berdiri dengan tangan terlipat, matanya berkilat dengan kepuasan yang nyata. Nuri sesekali memberikan komentar kecil yang menyaki
Risa dan Nuri langsung saja keluar dari mobil berjalan dengan sedikit terhuyung, perut terasa mual dan kepala seperti sedang berputar-putar.“Hueek!” Risa mengeluarkan isi perutnya, kepalanya tiba-tiba saja terasa berdenyut, begitu juga Nuri, ia juga muntah-muntah. Karena selama ini mereka tidak pernah mengendarai mobil seugal-ugalan ini.“Kalian tidak apa-apa?” Panik Pram, ia mengusap punggung Risa dan Nuri secara bersamaan.“Tidak apa-apa bagaimana? Mas Pram bisa lihat sendirikan, kami hampir mati karena kamu ngebut bawa mobilnya. Untung saja jantung ini buatan Allah, kalau gak sudah tercecer di jalanan.” Sentak Risa merasa kesal sembari menepiskan tangan Pram, ia menyeka mulut menggunakan punggung tangannya. Namun Pram langsung saja menyodorkan sapu tangannya pada Risa. Sedang Nuri memilih untuk duduk, meraup oksigen dengan rakus, karena tadi, ia merasa berhenti bernafas ketika mobil melaju dengan kencang.“Maaf, saya hanya tidak ingin Claudia lepas. Saya ingin memberi peringatan p
Claudia menyeringai puas ketika melihat mobil Risa keluar dari parkiran. Ia mendengus kesal, sepulangnya dari luar negeri berharap jika Pram mengatakan sangat merindukan dan tidak bisa hidup tanpanya, eh ternyata ia mendapatkan kabar dan kenyataan jika Pram, sang adik, ralat, Claudia dan Pram tidak memiliki hubungan darah sama sekali, hanya saudara angkat. Claudia mendapatkan kabar jika Pram sedang dekat dengan seorang wanita yang statusnya justru telah menjadi janda. Itu yang membuat amarah Claudia semakin membuncah. “Entah apa istimewanya perempuan itu,” dengus Claudia, lalu ia menutup dengan kasar kaca jendela ruangan tersebut setelah mobil Risa memasuki jalan raya. “Bagaimanapun caranya, Pram harus menjadi milikku.” Tukasnya dengan nada penuh amarah, giginya bergemeletuk kasar, kedua tinjunya mengepal. Lalu ia beranjak bangkit, ia ingin menemui seseorang dan akan mencari tahu lebih lanjut tentang Risa. Ia akan menguliknya hingga tuntas dan akan menyingkirkan Risa. “Lihat sa
Risa berjalan menuju ruangannya dengan langkah cepat, berkas-berkas yang baru saja ditandatangani oleh Pram dalam genggamannya. Ia merasa puas dengan hasil kerjasama yang telah dicapai bersama grup Pramudya. Namun, kebahagiaan itu segera terganggu oleh getaran ponselnya. Drrt! Ponsel Risa bergetar di dalam saku blazernya. Ia segera merogohnya dan membaca pesan yang masuk dari Nuri, adik iparnya yang juga menekuni usaha jualan mereka hingga bekerja sama dengan grup Pramudya. [Mbak sedang sibuk tidak, kalau tidak, bisa ke toko sekarang juga,] bunyi pesan dari Nuri. [Seharusnya mbak harus menyelesaikan laporan akhir bulan ini dan akan menjemput Azki dan Meli. Memangnya ada apa?] Risa mengetik balasan dengan jari-jarinya yang lincah, rasa penasarannya mulai terpicu. [Sudah, yang penting mbak langsung saja ke toko, penting.] Nuri kembali membalas, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Risa mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Merasa cemas, Risa segera mengakhir
Risa lalu mendekat pada Nuri, membisikkan suatu rencana yang menurutnya bisa membawa ibu mertuanya pulang ke rumahnya ini. Walau bagaimanapun, Risa masih menyayangi Hafsah, dia tidak pernah benci dengan mertuanya tersebut. Karena Risa sudah menganggap Hafsah seperti ibunya sendiri, itu sebabnya ia merasa tidak sakit hari meskipun Hafsah sudah kelewat batas memperlakukan dan memfitnahnya demi membela Azzam dan Imas.“Aduh, mbak, itu sudah tidak mempan. Aku sudah katakan tadi sama Ibu, tapi ibu tetap memilih hidup bersama mas Azzam dan pelakor itu. Kita lihat saja mbak, sebulan kedepan, ibu betah apa gak tinggal bareng mas Azzam di kontrakan sempit. Karena mas Azzam juga tidak punya uang sepeserpun, lalu mas Azzam juga sudah menjadi pengangguran besar-besaran,” papar Nuri setelah Risa membisikkan idenya, namun kenyataannya Hafsah tidak takut jika tabungannya habis ketika tinggal bersama dengan Azzam.“Kamu serius?” tanya Risa merasa lesu.“Benar mbak Risa, bu Hafsah dengan tegas memilih
Nuri tersenyum lebar ketika mendengar tebakan Imas terbukti benar. Namun, ia tak menyangka bahwa Jenny dan Siska akan cukup membantu dalam rencananya. Akting keduanya terlihat sangat natural dan meyakinkan. Jenny sesenggukan sambil memeluk Siska erat-erat, seolah merasakan kesedihan yang sama."Jika ibu mau hidup tenang dan tak lagi terbebani, silahkan ikut denganku," ujar Nuri dengan lembut."Tapi jika ibu mau memulai hidup baru dari awal, silahkan ikut mas Azzam. Aku melakukan semua ini karena sayang pada ibu, dan ingin melindungi ibu dari bahaya yang mengancam, karena agunan yang tertulis di surat perjanjian yang telah bapak tandatangani akan segera diambil alih oleh para rentenir ini." Sambung Nuri sambil menunjuk kedua pria berpakaian safari tersebut, mereka duduk tidak jauh dengan Nuri, ekspresi wajah Hafsah tampak bimbang, tangannya gemetar saat menerima penawaran dari Nuri. Ia menatap ke arah Azzam yang duduk di seberangnya, mencari petunjuk dan kepastian. Azzam memandang Hafs
Hafsah berdiri di tepi gundukan tanah merah, menatap nanar ke liang lahat yang baru saja ditutup. Di tangannya, ia menggenggam erat keranjang berisi bunga-bunga segar yang ia petik di kebun belakang rumahnya. Dalam hati, ia masih terisak dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya, pak Harjo, telah pergi untuk selama-lamanya. Perlahan, Hafsah meraih bunga-bunga dari keranjang itu dan mulai menaburkannya di atas gundukan tanah merah. Setiap bunga yang jatuh seolah mewakili doa dan harapannya agar pak Harjo diberikan ketenangan di alam sana. Aroma bunga-bunga itu menggantikan bau tanah yang basah, namun tak mampu menghilangkan rasa sakit yang mendera hati Hafsah."Semoga Allah meringankan hukuman atas segala dosa-dosamu, pak." Lirih Hafsah sambil menyeka air yang masih mengalir dari pelupuk matanya.Di sebelah Hafsah, Imas berdiri dengan wajah penuh simpati."Ibu harus membalas rasa sakit ini pada Risa, jangan biarkan di bebas begitu saja, Bu." Imas semakin mengompori Hafsah, karen