Ibu mertua meminta sejumlah uang yang cukup besar kepadaku ketika aku melayangkan gugatan cerai pada putranya. Akan tetapi, ibu mertua dan suami tidak menduga sama sekali dengan apa yang aku lakukan.
Lihat lebih banyakKAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #1
“Lepaskan!”
“Apa-apaan ini? Kami tidak melakukan apapun!” Suara seorang pria membela diri.
“Arak saja, bila perlu telanjangi!” Suara riuh saling bersahutan dan memblokade jalanan.
Aku beranjak bangkit ketika mendengar keributan di jalanan sana, aku mengira jika ada kecelakaan. Karena banyak orang-orang yang berkerumun juga di sana. Bahkan beberapa teman sesama pemilik lapak di pinggiran kaki lima ini ikut heboh dan berlari menuju keramaian di sana. Akan tetapi, aku kurang tertarik, aku memilih berkemas karena malam semakin larut, apalagi sekarang sudah mulai gerimis mengundang.
“Ada apa sih?” tanyaku pada teman yang baru saja kembali sambil mengepalkan kedua tangannya geram.
“Huh, perempuan zaman sekarang ya, kok murah banget. Pelakor di pergoki istri sah di penginapan, di grebek noh sama warga dan RT, terus di arak, mereka hanya memakai pakaian dalam. Amit-amit, cantik mending, lah ini, auranya aura tengah malam, serem banget,” omel Atikah begitu menggebu-gebu. Bagaimana dia tidak begitu geram dan marah, rumah tangganya hancur juga karena orang ketiga.
“Astaghfirullahaladzim.” Aku hanya beristighfar, enggan berkomentar apapun, takut bernasib sama seperti Atikah yang suka berkoar-koar membanggakan suaminya, nyatanya, suaminya justru membuangnya. Masih ada untungnya Atikah belum memiliki anak.
“Makanya Ris, tuh si Azzam kamu jaga baik-baik. Mana ganteng, kerja enak di kantor camat lagi, aku yakin pasti banyak pelak-or yang sudah mengincar Azzam.” Tukas Atikah lagi dengan bibir tipisnya yang kadang berjengit. Aku hanya mengangguk, tersenyum dan meneguk saliva dengan kasar. Tentu saja ada rasa khawatir jika mas Azzam akan berpaling, apalagi zaman sekarang gempuran tentang orang ketiga ini semakin marak sekali, dan sepertinya mereka yang menjadi orang ketiga tidak memiliki rasa malu sama sekali.
“Dengar gak sih, Ris? Jangan sampai menyesal di kemudian hari, apalagi anak-anakmu masih kecil begitu, kasihan. Kalau aku mah bebas, gak ada yang gandoli dan membebani,” sambungnya lagi dengan nada ketus.
“Iya, Tik. Aku denger kok, nanti motor mas Azzam aku pakein GPS atau kamera tersembunyi, jadi tahu kemana dia perginya,” jawabku sedikit bercanda, karena, jika melihat sikap mas Azzam selama ini sepertinya ia tidak akan berpaling. Mas Azzam sangat perhatian, sering membantuku untuk menyiapkan keperluan jualan, karena kami memiliki tujuan yang sama, menyelesaikan rumah kami.
“Bercandanya gak lucu, Ris. Jangan sampai nanti kalau Azzam main serong, kamu curhat sama aku sambil nangis-nangis ya,” timpal Atikah lagi mengancam sambil menatap sinis padaku, namun tangannya terus bekerja membereskan barang-barang dagangannya, sama sepertiku.
***
Mas Azzam langsung menyambut dan membantuku ketika aku baru saja sampai, aku berhenti di teras rumah kami yang belum ada atapnya, karena rumah kami juga baru 60 persen yang jadi, itu sebabnya aku dan mas Azzam bekerja keras. Mas Azzam bekerja di kantor camat dari pagi hingga pukul 3 sore, dan aku mempersiapkan dagangan sambil momong kedua anak kami yang masih berusia 7 tahun. Sekitar pukul 4 sore aku berangkat berjualan dan bergantian dengan mas Azzam untuk mengurus Melisa dan Azkira.
Aku melongok ke dalam sambil meletakkan barang-barang di ambang pintu, terdengar suara Melisa dan Azkira tertawa ketika sedang menonton, lalu terdengar suara orang sedang memasak, karena spatula yang menghantam kuali.
“Siapa yang sedang memasak, mas?” bertanya sambil terus menurunkan perkakas jualan burger miniku.
“Ibu, tadi mas ngerasa tidak enak badan, lapar, jadi minta tolong sama ibu untuk masakin mie,” jawab mas Azzam, memang terdengar suaranya agak sengau dan sesekali menyedot kembali cairan yang akan keluar dari hidungnya.
“Bukannya aku tadi sudah masak ayam kecap,” menjawab dengan agak kesal, karena aku sudah menyempatkan diri tetap masak di sela kesibukan mempersiapkan dagangan dan pada akhirnya tidak di makan juga.
“Lagi pengen makan mie saja, tadi Melisa dan Azkira makan kok,” jawabnya lagi, tetapi aku tidak menggubrisnya lagi, karena sudah terlanjur kesal. Aku langsung saja masuk menuju belakang, membawa semuanya ke dapur.
“Nah ini dia, istri tidak becus, suami sudah capek kerja, demam, malah di suruh ngurusin anak dan rumah lagi,” celetuk ibu mertua dengan nada ketus dan menjudge aku. Aku mengabaikan ucapan ibu, langsung saja menyalami lalu keluar menuju kamar mandi, karena gerah, namun aku masih bisa mendengar omelan ibu. Aku bersikap seperti itu karena ibu selalu saja menunjukkan sikap yang sama setiap kali bertemu, menuduhku ini dan itu.
“Istrimu itu, Zam, tidak punya sopan santun. Orang tua ngomong malah dicuekin,” ibu mengadu pada mas Azzam.
Setelah selesai mandi aku segera masuk ke kamar, ponsel mas Azzam berdering, namun aku abaikan hanya meliriknya sekilas saja.
‘Pak ketua’
Nomor itu terus saja memanggil berulang kali hingga aku selesai mengenakan baju. Aku langsung saja meraih ponsel mas Azzam, berniat akan memberikan padanya. Siapa tahu ada hal penting yang akan dibicarakan oleh atasannya saat ini.
Aku menghentikan langkahku ketika notif pesan masuk berdenting keras, bukan karena notifnya, tetapi sepenggal isi pesan yang terlihat.
[Mas cepat kesini, Alya sakit. Aku su…]
Aku segera membuka kunci sandi ponsel mas Azzam, tidak bisa. Aku mengulang kembali mengetikkan tanggal lahir pernikahan kami, nihil, salah. Lalu aku mengetikkan tanggal lahir Melisa dan Azkira, salah lagi. Astaghfirullahaladzim! Pesan dari siapa sih? Pak ketua siapa ya?
Aku mulai bingung dan panik, segala praduga dan kecurigaan pada mas Azzam.
Seketika aku teringat ucapan Atikah tadi, menggeleng, karena mas Azzam sepertinya tidak seperti itu. Aku yakin ini pesan nyasar. Aku mengunci pintu kamar, berpikir apa yang harus aku lakukan, ponsel mas Azzam masih di tangan.
“Kenapa mas Azzam mengganti sandi ponselnya, ada apa ya?” Bergumam, mencoba berpikir dengan jernih dan tenang tidak gegabah. Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan ponsel tersebut pada mas Azzam karena sudah berulang kali aku mencoba membuka sandi ponselnya tetap saja tidak bisa. Aku keluar dari kamar dengan tenang seperti tidak ada kejadian apapun meskipun rasa penasaran ini begitu bergejolak di dalam hati ini. Apalagi sepenggal pesan itu, kecurigaan ini semakin besar pada mas Azzam.
“Mas, ini pak ketua dari tadi nelpon terus. Pas diangkat langsung mati lagi, padahal sinyal bagus loh,” ucapku sedikit berbohong, padahal aku tidak sempat menjawab telepon tersebut, perubahan ekspresi wajah mas Azzam begitu kentara, panik. Ia segera bangkit menyambar ponsel yang kusodorkan padanya.
“Lain kali kalau ada yang nelpon di ponselku jangan diangkat. Biarkan saja.” Timpalnya terlihat agak kesal, aneh, ia langsung menuju keluar rumah. Aku masih menatapnya heran dengan degup jantung tidak karuan.
“Lagian, kau ini jadi perempuan terlalu lancang menyentuh barang-barang pribadi Azzam.” Tukas ibu sambil beranjak bangkit membawa mangkuk kosong bekas ia makan mie instan.
“Aku itu istri mas Azzam, bu. Wajarlah kalau hanya menjawab telepon, siapa tahu penting.” Menjawab, aku memang tidak pernah mau mengalah dengan ibu, meskipun melawanku masih di batas wajar saja untuk membela diri.
“Kau ini, kalau di bilangin ngeyel. Ibu sudah setua ini saja tidak pernah selancang itu menyentuh barang-barang pribadi bapaknya Azzam, jadi kau itu harus seperti itu. Suami dan istri bukan terus kau harus tau masalah kerjaan suamimu. Berikan mereka kepercayaan, biar rumah tangga itu langgeng,” jawab ibu panjang, yang menurutku aneh. Menurutku suami dan istri itu ya harus saling terbuka mau masalah apa saja, saling jujur dan percaya.
“Makanya ibu di bohongi terus sama bapak, jadi perempuan itu harus pintar, bu. Jangan mau dibod-ohi, lihat ibu sek…”
“Dek, aku keluar dulu sebentar ya. Pak Masrial minta tolong nih,” tiba-tiba saja mas Azzam masuk dan pamit akan pergi.
“Minta tolong apa, Zam? Malam-malam begini, Masrial siapa sih?” tanya ibu mewakili aku, mas Azzam terlihat bingung akan menjawab apa.
“Ehm. Itu bu, pak Masrial teman satu kerjaan sama aku. Dia minta tolong nyetirkan mobilnya untuk jemput saudaranya, iya saudaranya di terminal,” jawab mas Azzam agak mikir.
“Kenapa gak nyetir sendiri, kan sudah mobilnya sendiri?” tanyaku yang membuat mas Azzam agak terbengong sejenak, tampak agak bingung dan mikir.
“Dia belum lancar nyetir, sudahlah. Kau ini kayak wartawan saja, lagian kita ini manusia biasa dek, suatu saat akan membutuhkan bantuan orang lain juga.” Tukasnya dengan nada ketus sambil melangkah menuju kamar, ia keluar sudah mengenakan jaket, ekspresi wajahnya tampak panik dan ia melangkah tergesa-gesa, mencari helm dan yang ia perlukan, aku sengaja diam. Pikiranku masih tertuju pada pesan pak ketua tadi yang agak mencurigakan.
“Zam, sekalian antarkan ibu pulang,” seru ibu dari belakang.
“Ya sudah ayo, cepat bu, aku buru-buru nih,” jawab mas Azzam langsung keluar tanpa berpamitan denganku ataupun Melisa dan Azkira.
Seminggu sudah berlalu, seperti biasa aku menyiapkan semua daganganku. Kali ini aku akan mengajak Melisa dan Azkira, karena akhir-akhir ini mas Azzam selalu pulang terlambat.
***
Waktu terus berputar, tanpa terasa sudah hampir setahun. Aku melupakan tentang isi chat pak ketua tersebut dan menyibukkan diri dengan berdagang. Rumah impian kami kini sudah selesai 90 persen karena aku menjual bagian tanah yang dibagi oleh kedua orang tuaku.
Hari ini aku mengantarkan Melisa dan Azkira ke sekolah, dan mas Azzam berangkat kerja. Setelah mengantar anak sekolah, aku tidak langsung pulang, melainkan memilih berbelanja di toko grosiran di kampung sebelah yang terkenal murah. Namun ada yang menarik perhatianku ketika melewati salah satu rumah warga, di depan sana tampak motor yang sangat aku kenal, karena itu motor semasa aku gadis dulu terparkir dengan cantik di teras rumah tersebut.
“Bukannya itu motor mas Azzam?” Bergumam, lirih.
Di atas lemari kayu yang reyot, Risa berusaha menyeimbangkan tubuhnya sambil terus mencoba menghubungi seseorang dari ponsel Azki. Sayangnya, sinyal di tempat itu sangat lemah, membuat panggilannya tidak pernah tersambung.Dengan napas tersengal, ia menatap ke bawah. Azki dan Melisa bersembunyi di balik meja tua, berusaha menahan tangis mereka agar tidak menarik perhatian Claudia dan kedua temannya yang masih berada di ruangan sebelah.“Ya Tuhan, tolonglah...” gumam Risa pelan, jemarinya masih sibuk menekan layar ponsel, berharap sinyal kembali muncul. Ia mencoba menghubungi Pramudya, tapi tidak ada hasil.Sementara itu, di tempat lain, Pramudya dan Azzam melaju dengan kecepatan tinggi menuju lokasi yang dideteksi oleh pelacak cincin Risa. “Berapa lama lagi?” tanya Azzam dengan nada gelisah.“Sekitar lima belas menit,” jawab Pramudya sambil menatap peta di layar GPS.Di rumah kosong, Claudia mulai merasa tidak sabar. Ia mendekati ruangan tempat Risa dan anak-anaknya dikurung. “Kau pik
Risa, Azki, dan Melisa dibawa ke sebuah rumah kosong yang terletak di pinggiran kota. Aroma lembab bercampur dengan bau kayu lapuk menyeruak begitu mereka memasuki tempat itu. Rumah tersebut terlihat tak terawat, dengan dinding yang penuh coretan dan lantai yang berdebu. Claudia berdiri di tengah ruangan dengan masker masih menutupi sebagian wajahnya, namun matanya yang penuh kebencian terlihat jelas."Jadi ini harga dirimu, Risa?" Claudia melepas maskernya, menampakkan senyuman sinis."Kau pikir bisa mengambil segalanya dariku dan mendekati Pram dengan seenaknya?" Sambungnya lagi dengan nada tidak senang, bahkan Claudia membuang salivanya asal ke arah Risa. Risa yang tangannya terikat di belakang tubuhnya menatap tajam ke arah Claudia."Aku tidak pernah ingin mengambil apapun darimu, Claudia. Semua ini hanya ada di kepalamu yang sakit. Kedekatanku dengan mas Pram juga berjalan begitu saja, kami juga tidak memiliki hubungan apapun. Hanya sebatas rekan kerja," teriak Risa, ia tidak mer
Claudia menelan ludah, merasakan kepalanya berputar dengan beban pikiran yang kini menghantamnya. Risa, yang berdiri tidak jauh dari mereka, menatap dengan tatapan yang penuh kemenangan, seolah sudah memenangkan pertarungan tanpa berkeringat. Pram, dengan sikap dominannya, menatap Claudia dengan tegas, menuntut kepatuhan. “Baiklah, aku akan menyelesaikan ini,” ucap Claudia dengan suara serak, hatinya berkecamuk antara rasa malu dan keinginan untuk melawan. Namun, di hadapan Pram yang berwibawa dan Risa yang menyeringai, pilihan tampak begitu terbatas. Claudia berjalan ke arah rak yang berantakan, tangannya gemetar saat ia mulai merapikan barang-barang yang berserakan. Setiap gerakan yang ia lakukan seakan menandakan kekalahan. Pram mengikutinya, mengawasi setiap detail dengan mata elang, tidak memberi ruang untuk kesalahan sedikit pun. Risa, di sisi lain, berdiri dengan tangan terlipat, matanya berkilat dengan kepuasan yang nyata. Nuri sesekali memberikan komentar kecil yang menyaki
Risa dan Nuri langsung saja keluar dari mobil berjalan dengan sedikit terhuyung, perut terasa mual dan kepala seperti sedang berputar-putar.“Hueek!” Risa mengeluarkan isi perutnya, kepalanya tiba-tiba saja terasa berdenyut, begitu juga Nuri, ia juga muntah-muntah. Karena selama ini mereka tidak pernah mengendarai mobil seugal-ugalan ini.“Kalian tidak apa-apa?” Panik Pram, ia mengusap punggung Risa dan Nuri secara bersamaan.“Tidak apa-apa bagaimana? Mas Pram bisa lihat sendirikan, kami hampir mati karena kamu ngebut bawa mobilnya. Untung saja jantung ini buatan Allah, kalau gak sudah tercecer di jalanan.” Sentak Risa merasa kesal sembari menepiskan tangan Pram, ia menyeka mulut menggunakan punggung tangannya. Namun Pram langsung saja menyodorkan sapu tangannya pada Risa. Sedang Nuri memilih untuk duduk, meraup oksigen dengan rakus, karena tadi, ia merasa berhenti bernafas ketika mobil melaju dengan kencang.“Maaf, saya hanya tidak ingin Claudia lepas. Saya ingin memberi peringatan p
Claudia menyeringai puas ketika melihat mobil Risa keluar dari parkiran. Ia mendengus kesal, sepulangnya dari luar negeri berharap jika Pram mengatakan sangat merindukan dan tidak bisa hidup tanpanya, eh ternyata ia mendapatkan kabar dan kenyataan jika Pram, sang adik, ralat, Claudia dan Pram tidak memiliki hubungan darah sama sekali, hanya saudara angkat. Claudia mendapatkan kabar jika Pram sedang dekat dengan seorang wanita yang statusnya justru telah menjadi janda. Itu yang membuat amarah Claudia semakin membuncah. “Entah apa istimewanya perempuan itu,” dengus Claudia, lalu ia menutup dengan kasar kaca jendela ruangan tersebut setelah mobil Risa memasuki jalan raya. “Bagaimanapun caranya, Pram harus menjadi milikku.” Tukasnya dengan nada penuh amarah, giginya bergemeletuk kasar, kedua tinjunya mengepal. Lalu ia beranjak bangkit, ia ingin menemui seseorang dan akan mencari tahu lebih lanjut tentang Risa. Ia akan menguliknya hingga tuntas dan akan menyingkirkan Risa. “Lihat sa
Risa berjalan menuju ruangannya dengan langkah cepat, berkas-berkas yang baru saja ditandatangani oleh Pram dalam genggamannya. Ia merasa puas dengan hasil kerjasama yang telah dicapai bersama grup Pramudya. Namun, kebahagiaan itu segera terganggu oleh getaran ponselnya. Drrt! Ponsel Risa bergetar di dalam saku blazernya. Ia segera merogohnya dan membaca pesan yang masuk dari Nuri, adik iparnya yang juga menekuni usaha jualan mereka hingga bekerja sama dengan grup Pramudya. [Mbak sedang sibuk tidak, kalau tidak, bisa ke toko sekarang juga,] bunyi pesan dari Nuri. [Seharusnya mbak harus menyelesaikan laporan akhir bulan ini dan akan menjemput Azki dan Meli. Memangnya ada apa?] Risa mengetik balasan dengan jari-jarinya yang lincah, rasa penasarannya mulai terpicu. [Sudah, yang penting mbak langsung saja ke toko, penting.] Nuri kembali membalas, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Risa mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Merasa cemas, Risa segera mengakhir
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen