Dania baru saja kehilangan bayinya yang lahir prematur. Saat tubuhnya masih lemah dan jiwanya hancur, suami dan ibu mertua justru menudingnya sebagai penyebab kematian sang buah hati. Belum juga pulih dari duka, suaminya malah menikah lagi dengan perempuan muda yang lebih cantik, meninggalkan Dania dalam kesepian dan rasa sakit yang menyesakkan. Namun takdir berputar tak terduga. Di tengah luka itu, Dania dipertemukan kembali dengan mantan kekasihnya, pria yang pernah ia cintai beberapa tahun lalu. Pria itu datang membawa tawaran yang tak biasa. "Lari lah, Dania. Pergi sejauh mungkin dan jadilah ibu susu untuk bayi di rumahku." Antara cinta lama yang belum padam dan luka yang belum sembuh. Keputusan apa yang akan Dania ambil? Bertahan dalam pernikahan yang setiap hari terasa mencekiknya atau memilih pergi lalu menjadi ibu susu untuk bayi dari mantan kekasihnya?
View More"Aku mau nikah lagi."
Kalimat itu bagaikan sembilu yang menusuk tepat di jantung Dania, disusul dengan suara menggema akibat ponsel yang jatuh dari tangannya. Dania mengalihkan pandangan dengan mata berkaca. "Jadi yang dikatakan Ibumu benar, Mas?" Suaranya bergetar, bahkan sesuatu yang menggenang di pelupuk mata tak lagi bisa ia tahan. "Tega sekali kamu. Aku kira ...." Ucapan Dania terpotong oleh suara langkah kaki yang mendekat dari arah pintu. Ibu mertuanya muncul dari balik pintu. "Ya, memang benar!" "Seharusnya kamu sadar, semua ini karena ulahmu sendiri!" Wanita paruh baya bertubuh gemuk itu mendekat, tatapan sinisnya menghujam Dania. Ada senyum kemenangan di wajahnya. "Ini semua gara-gara kamu, Dania! Kalau saja kamu becus menjaga kandunganmu, anakmu pasti gak akan lahir prematur, dan gak akan berakhir meninggal seperti ini!" "Bayu gak akan menikah lagi kalau saja kamu becus!” "Cucuku tuh meninggal gara-gara kamu!" Ucapan pedas itu meluncur dari mulut ibu mertua, menusuk hati Dania tanpa ampun. Dania terdiam, tubuhnya masih lemah usai operasi. Luka di perutnya bahkan belum benar-benar kering, tapi luka batin akibat tuduhan itu terasa jauh lebih menyakitkan. Dania hanya menunduk dalam, air matanya menganak sungai. Tak ada pembelaan. Entah karena sudah terbiasa selalu disalahkan, atau karena merasa percuma untuk membela diri. Dalam situasi duka seperti ini, Dania hanya butuh dirangkul dan diberi semangat oleh orang terdekat. Namun mereka hanya bisa menyalahkan dan menyudutkan Dania. "Sudahlah lama hamilnya, eh ... setelah hamil malah anak meninggal. Lemah banget jadi perempuan!" tukas ibu mertuanya lagi, membuat Dania meremas sisi selimut yang ia kenakan. Hatinya terasa perih, tapi tak ada lagi tenaga untuk hanya sekedar melakukan pembelaan. Sudah terlalu banyak tenaga yang ia habiskan untuk menangisi kepergian putrinya. "Padahal sebentar lagi aku akan gendong cucu, tapi sekarang gagal gara-gara kamu yang gak becus!" serang ibu mertua lagi, dengan tatapan tajamnya. Dania menggigit bibirnya sembari mengusap air mata yang terus mengalir. "Bukan cuma Ibu saja yang kehilangan, aku juga merasa kehilangan, Bu. Apalagi aku sebagai ibunya. Kenapa Ibu gak pernah mikirin perasaanku, sih?" Dania mencoba memberanikan diri untuk melawan. Suaranya gemetar di sela isak tangis. Dengan mata melebar, ibu mertuanya berkacak pinggang. "Heh, sadar dong kamu! Semua ini gara-gara kamu, kamu yang menyebabkan bayimu meninggal! Mikir!" bentak ibu mertua dengan urat leher yang nyaris keluar. Dada Dania bergemuruh rasanya, tapi ia memilih diam. Ibu mertuanya melengos dengan hentakan napas kasar. Tak lama, muncul seorang perempuan cantik berambut coklat berdiri di ambang pintu, membuat suasana kian menegangkan. Perempuan cantik itu membawa tubuh langsingnya mendekat, lalu meletakkan parsel buah ke atas meja nakas di samping ranjang Dania. Dania menatap penuh tanya. Belum sempat ia berucap, sebuah tangan terulur padanya. "Kenalin, aku Salsa." "Dia calon istri Bayu." Ibu mertua menyahut, membuat Dania tersentak merasakan sesak yang menyerang dadanya. "Lusa, aku dan Salsa akan melangsungkan akad. Aku harap kalian bisa akur." Ucapan Bayu barusan membuat hati Dania seperti diremas. Apalagi ketika Bayu menggenggam tangan Salsa tanpa merasa bersalah sedikitpun. Air mata Dania kembali berjatuhan, namun segera ia usap. Tatapannya yang sayu tertuju pada Salsa. "Alah, gak usah memelas kamu, Dania!" sentak Ibu mertua kejam. "Justru aku mau meringankan tanggung jawabmu selama ini, Dania. Aku dengar rahimmu lemah 'kan? Jadi kamu gak perlu lagi merasa terbebani, biar aku yang kasih keturunan untuk Bayu. Aku juga sudah lama mencintai Bayu, aku gak mau kehilangan kesempatan ini," imbuh Salsa dengan raut kemenangan. Suaranya lirih, tetapi mampu menusuk ke hati Dania. "Kalau kamu gak setuju, berarti kamu siap aku talak." Belum sempat nyeri di hati Dania mereda, ucapan Bayu terasa menikam lebih tajam. Wajahnya datar tanpa ragu, seolah kata talak bukan sesuatu yang bisa melukai hati sang istri. Dania merasakan dunianya runtuh. Tak ada seorang pun yang berpihak padanya. Bahkan untuk mengambil napas pun kini terasa sangat berat. *** Setelah hari itu, Dania dibiarkan seorang diri di rumah sakit. Tak ada satu pun dari mereka yang datang menemani Dania. Di saat Dania sedang berjuang untuk pulih, mereka sibuk dengan persiapan akad Bayu dengan Salsa—yang akan digelar secara sederhana. Selama di rumah sakit, Dania banyak menghabiskan waktu untuk menangis—meratapi nasib. Menangis karena duka kehilangan bayinya, juga karena perlakuan dari suami dan mertua. Sedangkan ia tak memiliki tempat pulang disaat sang suami tak berpihak padanya, sebab orang tuanya telah lama tiada. Diri sendiri adalah satu-satunya tempat pulang Dania setiap kali diterpa masalah. Biasanya pasien akan pulang didampingi keluarga, tapi tidak dengan Dania. Keluarganya justru sedang sibuk menggelar pernikahan kedua suaminya. Semalam Bayu hanya datang sebentar untuk menyelesaikan administrasi, dan hari ini Dania dibiarkan pulang seorang diri. "Biaya administrasinya sudah aku urus, tapi besok aku gak bisa datang menjemputmu. Ini ongkos untuk pulang besok," kata Bayu saat menemui Dania semalam. Pria itu memberikan sejumlah uang tunai pada sang istri yang menatapnya pias. Setelah selesai menata beberapa pakaian miliknya, Dania mengangkat tas berukuran sedang itu keluar ruangan. Langkahnya terasa berat, hatinya seperti ditusuk-tusuk saat membayangkan suaminya kini tengah mengucap janji suci pernikahan dengan perempuan lain. Dania segera mengusap air mata yang mulai berjatuhan. Dadanya terasa kian sesak, membuatnya semakin tersiksa,hingga ia tak sanggup lagi melanjutkan langkahnya. Tas di tangannya terjatuh begitu saja. Dania menyandarkan tubuhnya pada dinding rumah sakit yang dinginnya seakan menusuk hingga ke jantung. Satu tangannya berpegangan pada tembok, sedang tangan lainnya menekan dadanya yang sesak. Di koridor sepi itu, tangis Dania pecah, meluapkan rasa sakit yang mendalam. Cukup lama Dania berada di sana. Beberapa pasang mata yang melintas—menatapnya dengan tatapan penuh tanya, tapi ia tak peduli. Dania mengusap air matanya setelah merasa cukup lega. Tak lama, dengan sisa tenaga yang ia punya, Dania menegakkan tubuhnya. Tas warna coklat susu kini sudah ada di tangan kanannya. Ia kembali melangkah gontai. Namun, sekuat apapun Dania berusaha terlihat tegar, genangan di pelupuk matanya tak bisa berbohong. Dania terus berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan pandangan yang seakan diselimuti kabut putih. Setiap langkah terasa berat seolah seluruh tenaganya telah terkuras bersama air mata yang tak lagi mampu ia bendung. Ia reflek memekik kaget, saat tiba-tiba tubuhnya menabrak punggung seseorang. "Akhhh ...." "Kamu gak apa-apa?" Suara berat seorang pria terdengar. Lelaki berkemeja hitam itu segera berbalik, menatap ke arah Dania yang menunduk lemah sambil memegangi bagian perutnya. Lelaki itu melangkah mendekat, tangannya terulur, berniat menolong. Namun begitu Dania mendongak dan pandangan mereka bertemu, waktu seakan berhenti. “Dania?” Suara itu meluncur pelan dari bibirnya. Tatapannya dipenuhi rasa tak percaya. Ada rindu yang menyeruak bersama luka lama yang belum benar-benar sembuh. Sebelum sempat menjawab, pandangan Dania mengabur. Lututnya melemas, dan tubuhnya perlahan ambruk ke lantai dingin rumah sakit.Dania berdiri mematung di dekat box bayi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca saat melihat makhluk mungil dalam box itu. Ada getaran aneh yang ia rasakan di dada.Bayi itu, mengingatkan Dania pada bayinya yang telah berpulang beberapa hari lalu. Buliran bening dari pelupuk matanya jatuh begitu saja saat ia menunduk.Tepukan dari mbok Inem di bahunya membuatnya sontak menoleh. "Mbok tahu dari Pak Ardan, kalau kamu baru kehilangan bayimu. Yang sabar ya, Nduk. Melihat Den Jayden pasti bikin kamu ingat lagi sama bayimu."Dania mengangguk. "Aku cuma gak nyangka, Mbok, sekarang aku bisa merasakan menggendong dan menyusui meskipun bukan bayiku," lirihnya sambil sibuk mengelap air matanya."Den Jayden juga pasti akan senang karena bisa kembali merasakan ASI.""Coba lah, Nduk, gendong dia," lanjutnya lembut sembari mengarahkan dagunya pada si bayi.Tepat ketika mbok Inem selesai bicara, bayi Jayden menggeliat pelan. Tubuh mungilnya bergerak mencari kenyamanan, disertai rengekan yang terdengar li
Di depan jendela kaca, Dania berdiri bersisian dengan Ardan. Mereka menatap ke arah yang sama — tubuh Melinda yang terbaring lemah di dalam ruang ICU.Matanya terpejam rapat, bibirnya kering, kulitnya pucat seputih sprei. Mesin-mesin di sekitarnya berdentang pelan, menandakan hidup yang masih bertahan karena alat.Dania menarik napas panjang. Udara rumah sakit terasa dingin dan asing. Entah mengapa, dada kirinya ikut sesak setiap kali melihat sorot muram di mata Ardan.“Yang sabar, ya, Ar… semoga Melinda cepat sadar.”Tangannya terulur, menyentuh pelan bahu lelaki itu.Ardan mengangguk lemah. “Aku cuma khawatir sama bayinya. Dia belum sempat—”“Ssst,” potong Dania pelan. “Melinda akan segera sehat.”Senyumnya lembut, tapi suaranya bergetar tipis. Ada bagian dalam dirinya yang berusaha terlihat kuat, padahal hatinya sendiri sedang hancur.Ardan menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat. “Terima kasih, Dania. Kamu mau aku antar pulang?”Dania tak langsung menjawab. Tatapannya masih te
Dania berdiri lama di depan kasir rumah sakit, menatap angka di lembar tagihan yang terasa tak masuk akal.Jumlah itu sudah berkurang karena bantuan pria itu, tapi tetap saja membuatnya sesak.“Kalau bisa jangan stress ya, Bu,” kata petugas dengan suara pelan.Dania mengangguk, padahal matanya masih buram. Ia tidak tahu bagaimana membayar sisa itu. Semua tabungan habis untuk biaya inkubator… yang akhirnya tak menyelamatkan siapa pun.Bayi itu sudah tiada.Ia bahkan belum sempat menimangnya lama.Langkah Dania keluar dari ruang administrasi seperti melayang. Dunia terasa ringan tapi kosong.Udara sore yang sejuk justru menamparnya dengan kenyataan bahwa tidak ada lagi yang menunggunya di kamar pasien. Tidak ada tangisan kecil. Tidak ada alasan untuk bertahan di tempat ini.Ia berjalan ke arah lift, memeluk map dokumen dan kantong obat.Dadanya perih, masih nyut-nyutan setiap kali tersentuh kain. Tubuhnya belum benar-benar pulih, tapi yang paling sakit bukan luka fisik — melainkan rasa
Suara detak jarum jam dan aroma obat-obatan menyambut Dania begitu ia membuka mata. Pandangannya buram sesaat, sebelum cahaya putih dari langit-langit rumah sakit menyilaukan matanya.Ia menarik napas panjang, namun dada terasa sesak. Rasa nyeri masih menempel di seluruh tubuhnya, terutama di bagian perut—bekas operasi caesar yang gagal menyelamatkan bayinya.Tangannya refleks meraba sisi ranjang yang kosong. Kosong.Tak ada suara tangisan bayi. Tak ada genggaman mungil yang seharusnya ia rasakan di sana. Yang tersisa hanya keheningan yang memekakkan telinga.Air matanya mengalir begitu saja. Entah sudah berapa kali ia menangis sejak dua hari lalu. Semua orang bilang, waktu akan menyembuhkan. Tapi bagi Dania, waktu justru terasa seperti musuh yang memperpanjang penderitaannya.Ia menatap jendela kamar rawatnya yang terbuka sedikit. Cahaya matahari pagi masuk, hangat di kulit, tapi dingin di hati.Ia masih ingat sempat menabrak seseorang sebelum kesadarannya menghilang. Dan entah menga
"Aku mau nikah lagi."Kalimat itu bagaikan sembilu yang menusuk tepat di jantung Dania, disusul dengan suara menggema akibat ponsel yang jatuh dari tangannya.Dania mengalihkan pandangan dengan mata berkaca. "Jadi yang dikatakan Ibumu benar, Mas?" Suaranya bergetar, bahkan sesuatu yang menggenang di pelupuk mata tak lagi bisa ia tahan. "Tega sekali kamu. Aku kira ...."Ucapan Dania terpotong oleh suara langkah kaki yang mendekat dari arah pintu. Ibu mertuanya muncul dari balik pintu."Ya, memang benar!""Seharusnya kamu sadar, semua ini karena ulahmu sendiri!" Wanita paruh baya bertubuh gemuk itu mendekat, tatapan sinisnya menghujam Dania. Ada senyum kemenangan di wajahnya. "Ini semua gara-gara kamu, Dania! Kalau saja kamu becus menjaga kandunganmu, anakmu pasti gak akan lahir prematur, dan gak akan berakhir meninggal seperti ini!""Bayu gak akan menikah lagi kalau saja kamu becus!”"Cucuku tuh meninggal gara-gara kamu!" Ucapan pedas itu meluncur dari mulut ibu mertua, menusuk hati
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments