Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku

Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku

last updateLast Updated : 2025-09-08
By:  laliza mpoetUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 rating. 1 review
10Chapters
9views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Alexa Valaryan tak pernah menyangka rumah tangga yang ia bangun dengan penuh cinta harus runtuh hanya karena seorang sahabat yang tega merebut suaminya sendiri. Luka itu terlalu dalam, meninggalkan patah yang hampir membuatnya menyerah pada hidup. Namun, di tengah kepedihan itu, hadir sosok Alvaro Dirgantara — seorang CEO muda yang dingin, arogan, sekaligus mempesona. Pertemuan mereka bermula dari sebuah kesalahpahaman kecil, tapi perlahan dunia Alexa yang runtuh mulai terisi kembali dengan kehadirannya. Alvaro yang selama ini terkenal tak tertarik pada cinta, justru menemukan ketertarikan berbeda pada wanita yang baru saja dikhianati. Alexa sendiri tak menyangka, kehilangan yang begitu menyakitkan justru membawanya pada cinta baru yang jauh lebih tulus dan berharga. Namun, ketika suami lamanya kembali dan menyesali keputusannya, Alexa dihadapkan pada pilihan sulit: memaafkan masa lalu atau melangkah bersama CEO yang kini menggenggam hatinya.

View More

Chapter 1

Rumah Tangga yang Retak

Matahari pagi menyelinap masuk melalui tirai tipis di kamar utama rumah megah keluarga Valaryan. Alexa Valaryan terbangun perlahan, pandangannya masih samar saat jemarinya meraba sisi ranjang yang dingin. Tempat tidur itu terlalu luas untuknya, padahal beberapa tahun lalu setiap pagi ia selalu mendapati tubuh hangat Rendy di sisinya.

Kini, yang tersisa hanya sisa lipatan selimut yang berantakan. Rendy, suaminya, sudah tidak pernah lagi tidur sampai pagi di rumah. Entah alasan apa yang kali ini akan ia dengar. “Meeting pagi, proyek mendadak, atau sekadar lembur,” pikir Alexa getir. Ia sudah hafal semua alibi yang diucapkan Rendy, dan semakin lama hatinya merasakan ada yang salah.

Alexa menatap cermin di meja rias. Wajah cantiknya masih sama, tatapan matanya masih lembut, tapi ada lingkaran hitam samar di bawah matanya akibat terlalu sering menangis diam-diam. Dia mencoba tersenyum pada bayangannya, seolah ingin menguatkan diri. “Aku istrimu, Ren. Aku cuma ingin kita baik-baik saja,” gumamnya lirih.

Di lantai bawah, suasana rumah tampak sunyi. Rumah besar bergaya modern itu terasa hampa, meski dihiasi perabotan mewah. Alexa melangkah ke dapur, membuatkan kopi hitam kesukaan Rendy. Sudah menjadi rutinitasnya selama tiga tahun pernikahan mereka. Bahkan ketika Rendy jarang menyentuh kopi buatannya lagi, ia tetap menyiapkannya. Sebuah kebiasaan kecil yang membuatnya masih merasa menjadi seorang istri.

Tak lama kemudian, suara pintu terbuka terdengar. Rendy masuk dengan setelan jas rapi, wajahnya segar seperti baru saja mandi. Alexa menoleh, matanya berbinar sejenak. “Ren, kamu baru pulang?” tanyanya lembut.

Rendy hanya mengangguk singkat. “Ada kerjaan. Aku nggak sempat pulang semalam.” Suaranya datar, seolah kelelahan.

Alexa tersenyum tipis, mencoba menahan pertanyaan yang ingin meluncur. “Aku buatkan kopi, masih hangat.”

“Taruh aja di meja. Aku harus berangkat lagi, ada meeting penting,” jawab Rendy tanpa menoleh. Ia langsung naik ke kamar untuk berganti pakaian.

Alexa menggenggam cangkir kopi itu erat-erat. Hatinyalah yang terasa panas, bukan minumannya. Ia duduk di meja makan yang panjang, menatap punggung Rendy yang menghilang di balik tangga. Ada rasa asing yang makin tumbuh setiap harinya (jarak).

Alexa masih duduk termenung di ruang makan, memandangi cangkir kopi yang kini mulai mendingin. Tangannya gemetar saat mencoba meneguk sedikit, tapi pahitnya terasa menusuk, seolah menggambarkan pahitnya hatinya sendiri.

Tak lama, suara langkah kaki terdengar menuruni tangga. Rendy muncul dengan kemeja putih segar dan dasi gelap. Ia terlihat tampan, berwibawa—seperti sosok pria mapan idaman banyak wanita. Alexa tahu, pesona itu dulu yang membuatnya jatuh cinta. Tapi sekarang, pesona itu terasa jauh, seolah tak lagi menjadi miliknya.

“Ren,” panggil Alexa hati-hati.

Rendy menoleh sekilas sambil merapikan jam tangannya. “Apa?”

“Kamu akhir-akhir ini sibuk banget ya? Aku jarang lihat kamu di rumah.”

“Aku kan sudah bilang, kerjaan lagi padat.”

“Tapi… sudah beberapa minggu, kamu nggak pernah ada waktu untuk makan malam sama aku. Sekali aja, Ren. Aku cuma pengin kita duduk bareng, ngobrol seperti dulu,” ucap Alexa dengan nada pelan, penuh harap.

Rendy mendesah panjang, tampak jengkel. “Lexa, aku capek. Jangan nuntut macam-macam. Semua yang kamu punya sekarang ini dari kerja keras aku juga. Jadi jangan rewel.”

Kata-kata itu menusuk hati Alexa. Ia menunduk, berusaha menelan perih yang membuncah. Ia tahu, Rendy salah besar: harta ini bukan sepenuhnya milik Rendy. Tapi karena cinta, ia biarkan semua tercatat atas nama suaminya. Ia percaya pada janji pernikahan mereka: satu untuk selamanya.

“Maaf, aku nggak maksud gitu,” bisik Alexa lirih.

Rendy tidak menanggapi lagi. Ia mengambil tas kerjanya lalu berjalan keluar. Sebelum pintu tertutup, Alexa sempat melihat Rendy tersenyum samar—bukan padanya, melainkan ke ponsel yang ia pegang. Ada pesan masuk, dan ekspresi Rendy berubah begitu hangat. Sesuatu yang sudah lama tak ia lihat dipersembahkan padanya.

Alexa menghela napas panjang. Hatinya mencelos.

Siang harinya, Alexa memutuskan pergi ke sebuah kafe kecil di pusat kota. Tempat itu biasa ia kunjungi bersama sahabatnya, Nadine. Kehadiran Nadine selalu membuatnya merasa sedikit lebih ringan. Nadine dikenal ramah, supel, dan selalu bisa membuat suasana jadi hidup.

“Lexa!” suara ceria menyambut ketika Alexa melangkah masuk. Nadine sudah duduk cantik dengan gaun merah maroon, make-up sempurna, dan senyum yang memukau. “Akhirnya kamu datang juga.”

Alexa tersenyum tipis lalu duduk. “Maaf telat, aku tadi ada urusan.”

“Urusan rumah tangga lagi?” Nadine mengedip genit. “Hmm, aku lihat wajahmu kelihatan capek banget. Jangan bilang Rendy lagi ya?”

Alexa tertawa hambar. “Aku nggak tahu, Din. Dia selalu bilang sibuk kerja. Tapi… aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan.”

Nadine pura-pura terkejut, padahal dalam hatinya ada rasa puas. Ia tahu jelas rahasia itu: Rendy dan dirinya sudah lama menjalin hubungan di belakang Alexa. Tapi tentu saja Nadine tak akan pernah menunjukkan wajah aslinya di depan Alexa.

“Lexa, jangan mikir aneh-aneh. Cowok kayak Rendy itu kan memang ambisius. Kamu harus percaya aja sama dia,” ucap Nadine sambil menggenggam tangan sahabatnya, berpura-pura peduli.

Alexa menatap mata Nadine, merasa sedikit tenang. “Mungkin kamu benar. Aku cuma takut kehilangan dia, Din.”

Nadine tersenyum samar. “Tenang aja… kalau dia beneran pergi, aku yakin kamu bisa dapat yang lebih baik.”

Alexa tak tahu, ucapan itu keluar dengan nada sinis yang ditutupi manis. Karena di balik senyum Nadine, ada keinginan egois: merebut semua yang dimiliki Alexa, termasuk suaminya.

Sore itu, Alexa pulang dengan hati sedikit lebih ringan setelah bicara dengan Nadine. Namun perasaan was-was itu masih ada. Begitu masuk rumah, ia mendapati ruang tamu kosong, tapi ada aroma parfum asing yang samar tertinggal. Ia mencoba mengabaikan, berpikir mungkin itu dari pembantu rumah tangga.

Namun malamnya, saat Alexa sedang membaca buku di kamar, ponselnya bergetar. Sebuah pesan tak dikenal masuk:

> “Kamu percaya suamimu sibuk kerja? Coba cek hotel Grand Luxe, kamar 1205.”

Alexa terdiam. Tangannya gemetar. Pesan itu tak berbalas, nomor pengirim pun tidak bisa dihubungi. Jantungnya berdegup kencang, pikiran buruk berkelebat. Ia ingin menepis, tapi firasatnya berkata lain.

Dengan langkah ragu, Alexa berdiri. Ia menatap cermin, air mata menitik. “Jangan… jangan sampai ini benar,” ucapnya lirih.

Langkah Alexa gemetar ketika ia memutuskan keluar malam itu. Jaket panjang ia kenakan, menutupi tubuhnya yang bergetar karena bukan hanya udara dingin malam, tapi juga rasa cemas yang menghantam. Tak biasanya ia bertindak gegabah, tapi pesan misterius yang masuk ke ponselnya membuat hatinya tak bisa tenang.

Hotel Grand Luxe berdiri megah di pusat kota. Lampu-lampu kuning keemasan menghiasi lobi, memantulkan bayangan indah di marmer mengilap. Alexa berdiri di depan pintu kaca, menarik napas panjang, lalu melangkah masuk.

Langkah kakinya terdengar jelas di lantai marmer yang hening. Resepsionis menyambut ramah, tapi Alexa hanya mengangguk sekilas. Hatinya berdebar tak karuan ketika lift mengantarnya naik ke lantai 12.

Pintu lift terbuka. Koridor panjang membentang, sunyi, hanya dihiasi cahaya lampu temaram. Alexa berjalan pelan, menahan napas setiap kali langkahnya mendekat ke pintu 1205. Nomor itu kini seakan berpendar di matanya.

Tangannya terulur, ragu, lalu ia tempelkan telinga di pintu. Sunyi. Hanya samar-samar terdengar tawa kecil dan denting gelas.

Jantung Alexa seolah berhenti berdetak. Ia mencoba mengetuk pelan, lalu… pintu terbuka sedikit, rupanya tidak terkunci.

Perlahan, Alexa mendorong pintu itu. Pandangannya langsung membeku.

Di dalam, Rendy duduk di sofa dengan setelan kasual, wajahnya penuh senyum—senyum yang sudah lama tidak ia tunjukkan pada Alexa. Di sampingnya, seorang wanita duduk manja, menyandarkan kepala di bahu Rendy. Alexa hampir tak percaya pada matanya. Nadine.

Sahabat yang selama ini ia percaya, sahabat tempat ia menangis dan mencurahkan semua keluh kesahnya—kini ada di pelukan suaminya.

Gelas anggur di tangan Alexa hampir jatuh kalau saja ia tak cepat-cepat menahannya. Tubuhnya kaku, bibirnya bergetar.

“N–Ren…” suara itu keluar begitu pelan, hampir seperti bisikan.

Rendy tersentak, Nadine pun mendongak. Untuk sesaat, keheningan melingkupi ruangan itu. Wajah Nadine memucat sesaat, tapi kemudian tersenyum licik seakan tak ada yang salah.

“Lexa? Kamu ngapain di sini?” Rendy berdiri cepat, wajahnya panik.

Alexa melangkah masuk, matanya berkaca-kaca. “Aku harusnya yang tanya itu, Ren. Kamu… dengan Nadine? Sahabatku sendiri?”

Nadine tersenyum miring, tangannya meraih lengan Rendy dengan manja. “Lexa, jangan salah paham. Aku cuma menemani Rendy. Dia kan stres kerja.”

“Stres kerja?!” suara Alexa meninggi, air mata menetes deras. “Dengan tidur di hotel dan bersenang-senang dengan sahabat istrinya sendiri? Itu yang kamu sebut kerja, Rendy?”

Rendy menutup wajahnya, kebingungan mencari alasan. “Lexa, aku bisa jelasin—”

“Jelaskan apa lagi?! Aku buta selama ini, Ren. Aku percaya sama kamu, aku percaya sama dia—” Alexa menatap Nadine tajam, “—aku kira kamu sahabatku. Tapi ternyata, kalian menusukku dari belakang!”

Nadine bangkit, berdiri anggun dengan senyum puas. “Lexa, jangan terlalu drama. Kamu terlalu sibuk jadi istri sempurna, sampai lupa kalau Rendy itu juga butuh dimengerti. Dan aku… ada di sini buat dia. Sesimpel itu.”

Alexa hampir terhuyung. Kata-kata itu menghantam jiwanya lebih keras daripada pukulan apa pun. Selama ini ia berjuang sendirian menjaga rumah tangga, sementara orang-orang yang ia cintai justru mengkhianatinya.

“Ren… kalau ini yang kamu mau, aku mundur. Tapi ingat, semua yang kamu banggakan itu bukan milikmu. Semua harta, semua nama besar… itu milikku. Aku yang warisi, aku yang izinkan kamu mengelola. Dan mulai hari ini, aku tarik semuanya kembali.”

Wajah Rendy memucat. Nadine terbelalak, tak menyangka Alexa bisa sekuat itu.

Alexa menatap keduanya dengan tatapan terakhir yang penuh luka namun tegas. “Nikmati saja kebahagiaan semu kalian. Karena sebentar lagi… kalian akan tahu rasanya kehilangan segalanya.”

Dengan langkah gemetar namun tegap, Alexa keluar meninggalkan kamar itu.

Di balik pintu yang tertutup, Rendy terduduk lemas. Nadine menggenggam lengannya, tapi kali ini Rendy tak merespons. Ada ketakutan yang baru saja menghantam: tanpa Alexa, tanpa hartanya, ia bukan siapa-siapa.

Langkah Alexa tertatih saat keluar dari hotel itu. Udara malam menusuk kulitnya, tapi hatinya jauh lebih membeku. Dunia yang ia kenal selama ini seolah runtuh dalam sekejap. Mobil-mobil berlalu-lalang di jalanan, klakson terdengar nyaring, tapi telinganya seakan tuli.

Ia masuk ke mobilnya dan duduk lama di balik kemudi. Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Tangannya memukul-mukul setir, terisak keras.

“Tiga tahun… Tiga tahun aku setia sama kamu, Ren. Tiga tahun aku percaya kamu. Dan ini balasanmu?” bisiknya parau.

Pandangan Alexa jatuh pada cincin di jarinya. Cincin pernikahan yang dulu ia kenakan dengan penuh cinta kini terasa berat, menyakitkan. Perlahan, ia lepaskan cincin itu, menggenggamnya erat, lalu meletakkannya di dashboard.

Hatinya hancur, tapi di balik rasa sakit itu, ada api kecil yang mulai menyala: tekad.

Keesokan paginya, Alexa duduk di ruang kerja besar di rumah keluarga Valaryan. Ruangan itu jarang ia masuki, karena sejak menikah, semua urusan perusahaan ia serahkan pada Rendy. Tapi kini, ia harus kembali.

Dokumen-dokumen lama terbuka di mejanya, foto almarhum ayahnya menatap dari pigura di dinding. Alexa mengusap bingkai itu dengan jemari gemetar. “Ayah… maaf. Aku lengah. Aku biarkan orang yang salah menguasai semua warisanmu. Tapi aku janji, aku akan ambil semuanya kembali.”

Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini bukan air mata kelemahan. Alexa tahu, jalan di depan akan berat, tapi ia tidak akan lagi diam dan pasrah.

Sementara itu, di apartemen mewah yang kini ditempati Rendy dan Nadine, suasana berbeda jauh. Nadine bersenandung riang sambil mencoba gaun barunya, sedangkan Rendy duduk di sofa dengan wajah tegang.

“Sayang,” ujar Nadine, mendekat dan melingkarkan tangan di leher Rendy, “kamu lihat kan? Kita sekarang bebas. Alexa pergi, dan semua harta itu jadi milik kita.”

Rendy terdiam. Kata-kata Alexa di hotel semalam terngiang di kepalanya: “Semua itu milikku. Dan mulai hari ini, aku tarik semuanya kembali.”

“Din…” suara Rendy serak. “Kamu yakin semua ini bakal lancar? Alexa… dia punya hak penuh. Semua aset, saham, perusahaan… semua atas nama dia.”

Nadine tertawa kecil. “Kamu terlalu takut, sayang. Alexa itu lemah. Dari dulu dia cuma istri yang nggak bisa apa-apa tanpa kamu. Mana mungkin dia berani melawanmu?”

Rendy menggertakkan giginya. Ia tahu Alexa memang lembut, tapi malam itu ia melihat sesuatu yang berbeda. Tatapan Alexa saat meninggalkan kamar hotel itu… bukan tatapan wanita rapuh. Itu tatapan seseorang yang sudah memutuskan untuk berjuang.

Tiba-tiba, rasa takut menghantam dadanya.

Hari-hari berikutnya berjalan lambat bagi Alexa. Ia masih sering menangis diam-diam di kamar, tapi setiap kali ia menatap cermin, ia paksa dirinya untuk kuat.

Beberapa kali, ia menerima telepon dari Rendy. Panggilan itu tak pernah ia jawab. Ia tahu, cepat atau lambat, Rendy akan menyesal.

Suatu sore, Alexa menerima undangan rapat dewan dari perusahaan keluarganya. Itu adalah rapat pertama yang ia hadiri sejak lama. Dengan gaun putih sederhana namun elegan, ia melangkah masuk ke ruang rapat. Semua mata terarah padanya.

Beberapa direktur senior sempat terkejut, tapi mereka segera berdiri memberi hormat. “Nona Alexa,” ucap salah satu dari mereka. “Kami senang akhirnya Anda kembali.”

Alexa mengangguk. “Mulai hari ini, saya akan kembali mengelola perusahaan. Semua wewenang yang sempat saya serahkan kepada Rendy, saya tarik kembali. Ini keputusan final.”

Suasana ruang rapat hening sesaat. Tapi kemudian, beberapa orang bertepuk tangan kecil. Mereka tahu, Alexa adalah pewaris sah, darah daging pendiri perusahaan. Tak ada yang bisa membantah keputusannya.

Saat itu, di luar gedung, sebuah mobil hitam berhenti. Dari balik kaca, Rendy melihat Alexa keluar dari lobi dengan langkah percaya diri. Senyum tipis terukir di wajah Alexa, meski matanya masih menyimpan luka.

Rendy menggenggam setir mobil erat-erat. “Lexa… jangan bilang kamu benar-benar berubah.”

Alexa pulang ke rumah malam itu dengan perasaan berbeda. Masih ada perih, masih ada luka, tapi di baliknya, ada kekuatan baru yang mulai tumbuh. Ia tahu jalannya akan panjang. Ia tahu Rendy dan Nadine tidak akan tinggal diam.

Namun, untuk pertama kalinya sejak pernikahannya hancur, Alexa merasa… bebas.

Ia berdiri di balkon rumah, menatap langit malam. Angin berhembus pelan, membawa bisikan lembut seolah menyemangati.

“Ini baru permulaan,” bisiknya pada diri sendiri.

Dan benar saja—permulaan inilah yang akan mempertemukannya dengan sosok yang tak terduga: Alvaro Dirgantara.

Hari itu, udara Jakarta terasa lebih terik dari biasanya. Gedung-gedung tinggi berkilauan diterpa sinar matahari, dan jalanan macet seperti biasa. Di salah satu menara kaca yang menjulang megah, sebuah rapat penting tengah digelar.

Alexa duduk di kursi rapat besar bersama para direktur. Walau jantungnya berdegup kencang, wajahnya tetap tegar. Ia tahu, keputusannya kembali ke perusahaan keluarganya akan menimbulkan banyak pro dan kontra.

Tiba-tiba, pintu ruang rapat terbuka. Seorang pria tinggi dengan jas hitam rapi melangkah masuk. Tatapannya tajam, dingin, penuh wibawa. Setiap langkahnya seolah menguasai ruangan.

“Maaf terlambat,” ucapnya singkat, suara berat namun tegas.

Semua orang segera berdiri memberi hormat. “Pak Alvaro,” ujar salah satu direktur.

Nama itu membuat Alexa menoleh. Ia mengenalnya dari cerita—Alvaro Dirgantara, CEO muda yang terkenal dingin, keras, dan tidak pernah kompromi. Reputasinya di dunia bisnis bukan main.

Tatapan Alvaro berkeliling, lalu berhenti tepat pada Alexa. Ia menatap cukup lama, seakan ingin menelanjangi sosok di depannya.

“Jadi ini… pewaris Valaryan yang katanya selama ini hanya jadi hiasan istri?” ucapnya dengan nada sinis.

Alexa terkejut, tapi ia tidak menunjukkan kelemahannya. Ia balas menatap, matanya tajam meski hatinya sedikit goyah. “Dan ini CEO arogan yang terkenal tidak pernah menghargai lawan bicaranya?” balas Alexa tenang, tapi jelas.

Suasana ruang rapat sontak hening. Para direktur saling pandang, canggung. Tidak ada yang berani melawan Alvaro, tapi Alexa berani membuka suara.

Sekilas, terlihat senyum tipis di bibir Alvaro, meski cepat ia sembunyikan. “Hm. Paling tidak, kamu punya nyali.”

Rapat berlanjut, membahas kerjasama strategis antara perusahaan Valaryan dan Dirgantara Group. Alexa berusaha fokus, meski tatapan Alvaro beberapa kali menusuk ke arahnya.

Di akhir rapat, saat semua orang mulai berkemas, Alvaro berdiri dan mendekati Alexa. Tingginya membuat Alexa harus mendongak sedikit.

“Kamu menarik perhatian saya, Nona Valaryan,” ucapnya dingin. “Tapi hati-hati. Dunia bisnis ini bukan tempat main-main. Banyak yang lebih kejam daripada sekadar suami yang berselingkuh.”

Alexa menahan napas. Ucapan itu menusuk, tapi juga membakar semangatnya. Ia balas menatap lurus. “Saya sudah kehilangan segalanya, Pak Alvaro. Tidak ada lagi yang bisa membuat saya takut.”

Untuk pertama kalinya, tatapan Alvaro berubah sedikit. Ada sesuatu di mata Alexa yang membuatnya terdiam sejenak—sebuah luka, tapi juga sebuah keberanian yang jarang ia lihat.

Saat Alexa keluar dari gedung itu, ia menarik napas panjang. Pertemuannya dengan Alvaro membuat dadanya berdebar—bukan karena cinta, tapi karena kesan kuat yang pria itu tinggalkan.

Di sisi lain, Alvaro berdiri di depan jendela kantornya, menatap mobil Alexa yang perlahan menjauh. Ia menyipitkan mata, mengingat wajah wanita itu.

“Menarik,” gumamnya. “Aku ingin tahu, sampai sejauh mana kau bisa bertahan, Alexa Valaryan.”

Sementara itu, di apartemen mewah, Nadine sibuk mencoba perhiasan baru yang ia beli dengan kartu kredit Rendy. Tapi wajah Rendy murung. Ia baru saja mendapat kabar dari salah satu kolega bisnis: Alexa kembali mengambil alih perusahaan.

Rendy terhenyak. Bayangan Alexa di ruang rapat, berhadapan dengan para direktur, membuatnya gelisah.

Dan tanpa ia sadari, di saat ia menyesal, Nadine malah semakin serakah. “Ren,” ucap Nadine manja, “aku dengar Valaryan Group akan kerjasama dengan Dirgantara Group, kan? Kamu harus pastikan kita dapat bagian keuntungan dari situ.”

Rendy terdiam lama, lalu bergumam, “Itu… bukan lagi ‘kita’, Din. Itu sudah jadi dunia Alexa.”

Malam itu, di kamar pribadinya, Alexa duduk di tepi ranjang, termenung. Pertemuan dengan Alvaro masih membekas di kepalanya. Pria itu dingin, tajam, tapi anehnya… ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa mengabaikannya.

Ia memejamkan mata, mengingat semua yang sudah ia lalui: pengkhianatan Rendy, rasa sakit yang ditimbulkan Nadine, dan kini… dunia baru yang menantinya.

Hatinya berbisik, perjalananku baru saja dimulai.

Beberapa hari setelah rapat itu, Alexa kembali ke kantor Valaryan Group. Hari-harinya kini penuh dengan jadwal rapat, laporan, dan strategi bisnis. Tidak ada lagi peran sebagai istri yang hanya menunggu kepulangan suami. Ia kini berdiri sebagai seorang wanita mandiri—dan itu membuat banyak orang kaget.

Namun yang lebih mengejutkan adalah ketika sekretaris pribadinya datang terburu-buru ke ruang kerja.

“Bu Alexa,” katanya panik, “Pak Alvaro Dirgantara… sudah ada di lobby. Katanya ingin bertemu langsung dengan Anda.”

Alexa terkejut. CEO Alvaro datang? Tanpa janji resmi? Itu bukan hal biasa.

Tak lama kemudian, pintu ruangannya terbuka. Alvaro melangkah masuk dengan wibawa khasnya. Jas hitamnya tampak sempurna, kemeja putihnya rapi, dan tatapannya setajam silet. Aura dingin itu membuat seluruh staf yang sempat menatap langsung menunduk.

Alexa berdiri, menyambutnya dengan profesional. “Pak Alvaro. Seharusnya saya yang datang ke kantor Anda. Kenapa repot-repot datang ke sini?”

Alvaro duduk begitu saja di kursi tamu, tanpa menunggu dipersilakan. “Aku tidak suka menunggu,” jawabnya singkat, suaranya datar tapi tegas.

Alexa menghela napas tipis. Pria ini benar-benar arogan.

“Apa yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan, walau sedikit tersirat dingin.

Alvaro menatapnya lama, seolah ingin menembus semua pertahanannya. “Kau bilang waktu itu tidak ada yang bisa membuatmu takut. Aku ingin menguji kebenarannya.”

Alexa terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Kalau itu alasan Anda datang… Anda akan kecewa, Pak Alvaro. Karena saya tidak lagi bermain dalam ketakutan.”

Tatapan mereka bertemu. Udara di ruang itu seperti menegang. Tidak ada yang berbicara selama beberapa detik, tapi keduanya tahu—ada percikan yang tak bisa dipungkiri.

Alvaro akhirnya menyandarkan tubuhnya, menatap Alexa dengan mata yang kini sedikit lebih lembut. “Kau berbeda dengan kebanyakan orang di dunia ini. Banyak yang berusaha mendekat padaku karena uang, kekuasaan, atau reputasi. Tapi kau… bahkan tidak mencoba bersikap manis.”

Alexa balas menatap, suaranya tenang. “Karena saya tidak butuh apa-apa dari Anda, Pak Alvaro. Dunia saya sudah cukup rumit tanpa harus menjadi ‘manis’ di depan orang lain.”

Untuk pertama kalinya, Alvaro tertawa kecil—tipis, singkat, tapi nyata. “Kau benar-benar menarik, Alexa Valaryan.”

Percakapan itu terhenti ketika sekretaris Alexa masuk membawa berkas. Namun sebelum keluar, Alvaro sempat berdiri mendekat ke arah Alexa. Ia membungkuk sedikit, suaranya rendah, hampir berbisik.

“Hati-hati, Alexa. Dunia ini tidak hanya penuh dengan persaingan. Ada juga orang-orang yang akan mencoba menjatuhkanmu… bahkan orang-orang yang paling dekat.”

Alexa membeku. Kata-kata itu jelas bukan sekadar peringatan bisnis. Ada sesuatu di balik tatapan Alvaro—seolah ia tahu, atau mungkin mencurigai sesuatu.

Setelah Alvaro keluar, Alexa terduduk di kursinya. Hatinya berdebar tanpa alasan yang jelas. Pria itu begitu… mengintimidasi, tapi sekaligus memunculkan rasa aman aneh yang belum pernah ia rasakan.

Sementara itu, di apartemen mewahnya, Rendy mulai gelisah. Ia mendapat kabar dari rekan bisnis lain bahwa Alvaro kini sering bertemu dengan Alexa.

“Kenapa harus Alvaro?” gumamnya gusar. “Kenapa harus dia yang dekat dengan Alexa?”

Nadine yang sedang bersantai di sofa hanya mendengus. “Kalau dia memang dekat, ya sudah. Lagipula kamu masih punya aku, kan?”

Tapi Rendy tidak mendengar. Di dalam hatinya, ia mulai merasakan sesuatu yang selama ini ia tekan—penyesalan.

Alexa berdiri di depan jendela kantornya sore itu, menatap langit Jakarta yang mulai oranye. Hatinya penuh campuran rasa: luka dari masa lalu, semangat untuk bertahan, dan entah kenapa… sebuah getaran baru yang datang setiap kali nama Alvaro muncul di kepalanya.

“Alvaro Dirgantara…” gumamnya pelan. “Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?”

Hari itu Alexa baru saja menghadiri rapat bersama beberapa investor asing. Ia berhasil mempertahankan posisi Valaryan Group meski sempat diserang isu miring yang disebar oleh kompetitor. Namun kemenangan kecil itu tidak berlangsung lama.

Ketika ia turun ke lobby, sekilas ia melihat Nadine sedang bersama salah satu wartawan gosip. Mereka berbincang sambil sesekali melirik ke arah Alexa.

Alexa mengeraskan rahangnya. Ia tahu Nadine pasti sedang mengatur sesuatu.

Benar saja, malam harinya, sebuah artikel gosip tersebar cepat di media online:

> “Alexa Valaryan hanya numpang nama di Valaryan Group! Semua aset dan bisnis sebenarnya milik mantan suaminya, Rendy!”

Berita itu disertai foto-foto lama Alexa bersama Rendy. Nadine dengan lihai berperan sebagai “narasumber anonim” yang membocorkan kabar miring itu.

Alexa menatap layar ponselnya, tangannya sedikit bergetar. Ia tahu kabar ini bisa mengguncang reputasinya, apalagi ketika ia baru mulai membangun nama sendiri setelah perceraian.

Keesokan paginya, Alexa datang ke kantor lebih cepat. Beberapa karyawan menatapnya dengan tatapan ragu, bahkan ada yang berbisik-bisik di belakang.

Namun sebelum ia sempat memanggil tim humas untuk mengurus klarifikasi, pintu ruangannya kembali terbuka.

Alvaro Dirgantara.

Pria itu berjalan masuk dengan langkah mantap, meletakkan koran bisnis di atas meja Alexa. Di halaman depan, artikel gosip tentang dirinya terpampang jelas.

“Sudah baca?” tanyanya dingin.

Alexa mengangguk, berusaha tenang. “Saya akan menanganinya.”

Alvaro menatapnya lama. “Dengan cara apa? Membantah? Atau membiarkan semua orang percaya bahwa kau hanyalah bayangan mantan suamimu?”

Alexa terdiam. Kalimat itu menohok jantungnya.

Alvaro lalu duduk, mencondongkan tubuhnya. “Dengar baik-baik, Alexa. Dunia bisnis tidak mengenal belas kasihan. Jika kau tidak bergerak cepat, satu artikel murahan bisa menghancurkan reputasimu.”

Alexa menggertakkan gigi. “Saya tahu risikonya. Saya bisa menghadapinya sendiri.”

Tapi Alvaro tidak bergeming. Ia mengeluarkan ponsel, menekan beberapa nomor, lalu berbicara singkat dengan seseorang. Tak sampai lima menit, ia meletakkan ponselnya kembali.

“Artikel itu sudah diturunkan. Redaksinya meminta maaf. Dan besok, sebuah klarifikasi resmi akan muncul—bahwa kau adalah pemilik sah Valaryan Group. Lengkap dengan data hukum.”

Alexa ternganga. “Anda… apa yang baru saja Anda lakukan?”

Alvaro hanya mengangkat bahu, seolah itu bukan hal besar. “Menghapus kebisingan. Kau butuh orang yang berdiri di belakangmu, Alexa. Dan sekarang, aku ada di sini.”

Alexa menatapnya, antara kagum dan bingung. Pria ini… begitu mudah menyingkirkan masalah besar yang semula terasa menyesakkan dada.

Tapi di sisi lain, ada perasaan aneh di hatinya. Perasaan yang menakutkan.

Karena ia sadar, semakin lama, ia mulai bergantung pada Alvaro.

Malam itu, di apartemennya, Alexa menatap bayangan dirinya di cermin. “Aku tidak boleh goyah… aku tidak boleh terlalu dekat dengan dia,” bisiknya pada diri sendiri.

Namun bayangan Alvaro tetap muncul di kepalanya—tatapan dinginnya, sikap protektifnya, dan suara tegasnya.

Sementara itu, di tempat lain, Nadine menghentakkan ponselnya dengan kesal ketika artikel gosipnya tiba-tiba hilang dari peredaran.

“Alvaro… sial! Jadi dia yang melindungi Alexa?!”

Dan Rendy yang sedang duduk di dekatnya hanya bisa menunduk, wajahnya suram. Hatinya tersiksa melihat mantan istrinya kini memiliki pelindung baru—seorang pria yang jauh lebih kuat darinya.

Seminggu setelah gosip murahan itu padam, sebuah undangan resmi datang ke meja Alexa. Acara Gala Dinner & Business Summit tahunan—tempat berkumpulnya para pengusaha besar, pejabat, dan media.

Alexa menatap undangan itu dengan perasaan campur aduk. Tahun sebelumnya, ia hadir bersama Rendy, tangan mereka erat seolah pasangan sempurna. Namun tahun ini, ia harus datang sendirian… atau mungkin tidak?

Siang harinya, Alvaro tiba di ruangannya tanpa diminta. Seperti biasa, langkahnya mantap, jas hitamnya rapi, wajah dinginnya tak berubah.

Ia meletakkan undangan yang sama di meja Alexa.

“Kau dapat juga, kan?” suaranya datar.

Alexa mengangguk. “Saya berniat menghadirinya.”

“Sendirian?” Alvaro menatap tajam.

Alexa mengerutkan kening. “Kenapa memangnya? Saya bisa berdiri di sana tanpa siapa pun.”

Tiba-tiba, Alvaro bersandar di kursinya, menatap Alexa tanpa berkedip. “Tidak. Kau akan datang bersamaku.”

Alexa membelalakkan mata. “Apa?!”

“Besok malam. Aku akan menjemputmu jam tujuh. Pakailah gaun yang pantas. Aku tidak suka orang-orang meremehkan wanita yang berdiri di sisiku.”

Kalimat itu menancap dalam-dalam. Alexa hampir ingin membantah, tapi ada sesuatu di tatapan Alvaro yang membuat lidahnya kelu.

Keesokan malamnya, Alexa berdiri di depan cermin apartemennya. Ia mengenakan gaun hitam elegan dengan belahan tinggi, rambutnya disanggul anggun, perhiasan perak sederhana di lehernya. Ia terlihat… berbeda. Lebih kuat, lebih berkelas.

Saat bel pintu berbunyi, Alexa menarik napas dalam. Ia membuka pintu, dan di sana berdiri Alvaro dengan jas hitam tiga potong, dasi perak, dan tatapan yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

“Siap?” tanyanya singkat.

Alexa hanya bisa mengangguk.

Di ballroom hotel mewah itu, semua mata langsung tertuju pada mereka. Alexa berjalan di sisi Alvaro, lengannya tersangkut di lengan pria itu. Para tamu berbisik-bisik, terkejut sekaligus iri.

“Bukankah itu mantan istri Rendy?”

“Kenapa dia datang bersama Alvaro Dirgantara? CEO Dirgantara Corp?!”

“Mereka terlihat… cocok sekali.”

Alexa berusaha tetap tegak, meski dalam hati gemetar.

Namun kejutan sesungguhnya baru datang ketika ia melihat sepasang wajah yang sangat ia kenal.

Rendy dan Nadine.

Rendy mengenakan jas biru tua, sementara Nadine berdiri anggun dengan gaun merah menyala, senyum sinisnya tak pernah lepas.

Tatapan mereka membentur Alexa—lalu bergeser ke pria di sampingnya.

Wajah Rendy menegang, matanya penuh keterkejutan sekaligus penyesalan.

Sedangkan Nadine, untuk pertama kalinya, kehilangan senyum angkuhnya.

“Alvaro…? Jadi pria itu… Alvaro Dirgantara?!” bisiknya tidak percaya.

Alexa merasakan dadanya berdebar, tapi ia menegakkan dagunya lebih tinggi. Kali ini, ia bukan lagi wanita yang ditinggalkan. Ia berdiri dengan bangga—dan di sisinya ada pria yang jauh lebih berkuasa daripada siapa pun di ruangan itu.

Alvaro merunduk sedikit, berbisik di telinganya dengan suara rendah namun penuh wibawa.

“Jangan takut. Malam ini, semua orang akan tahu… kau bukan lagi bayangan siapa pun. Kau berdiri di sisiku, Alexa.”

Dan seketika, Alexa tahu… malam ini hanyalah awal dari pertarungan baru.

Musik klasik bergema di ballroom megah itu, gelas sampanye beradu satu sama lain, dan percakapan bisnis mengalir di setiap sudut ruangan. Namun bagi Alexa, semua suara terasa jauh—karena matanya terpaku pada sosok yang pernah menjadi dunia baginya: Rendy.

Rendy menatapnya seakan waktu berhenti. Di mata itu ada keterkejutan, ada penyesalan, dan ada sesuatu yang dulu pernah membuat Alexa luluh. Tapi kini… semuanya hanya menyisakan luka yang dingin.

Di sisi Rendy, Nadine menggandeng lengannya erat. Senyum manis terpatri di wajahnya, tapi matanya penuh api iri dan kebencian. Nadine tidak menyangka bahwa pria yang kini berdiri di samping Alexa adalah Alvaro Dirgantara—sosok yang namanya bergaung di dunia bisnis internasional, pria yang kekayaannya bahkan membuat Rendy tampak kecil.

Alexa menarik napas dalam, menegakkan bahunya, lalu membalas tatapan Rendy dengan senyum tipis penuh sindiran.

Alvaro, yang sejak tadi memperhatikan, tiba-tiba menggenggam tangannya di depan semua orang. Genggaman itu tegas, penuh kepemilikan.

Bisikan-bisikan pun pecah di antara para tamu:

“Astaga, jadi benar mereka berdua…”

“Alexa Valaryan sekarang bersama Alvaro? Itu berarti…”

“Kalau begitu, Rendy kehilangan segalanya. Wanita, harta, bahkan reputasi.”

Rendy mengepalkan tangan, berusaha menahan gejolak di dadanya. Ia melangkah mendekat, menatap Alexa dengan sorot mata penuh penyesalan.

“Alexa…” suaranya rendah, hampir bergetar. “Kita bisa bicara sebentar?”

Alexa mengerutkan kening, tapi sebelum ia sempat menjawab, Alvaro sudah melangkah maju. Wajahnya dingin, suaranya penuh wibawa.

“Wanita ini tidak punya urusan denganmu lagi, Rendy.”

Tatapan mereka bertemu. Dua pria, dua dunia, dua kuasa berbeda. Rendy mencoba menahan diri, tapi genggaman Alvaro di tangan Alexa seakan menampar harga dirinya.

Nadine, yang melihat semuanya, merasa darahnya mendidih. Ia menggertakkan gigi, lalu melangkah maju dengan senyum palsu.

“Alexa… kau benar-benar cepat, ya? Belum lama bercerai, sudah dapat pengganti. Dan bukan sembarang pria…” Nadine menatap Alvaro dari ujung kaki sampai kepala. “…tapi CEO paling dingin dan berkuasa di negeri ini. Apa kau sengaja memancingnya, hm?”

Beberapa tamu terkesiap, menunggu reaksi Alexa.

Tapi sebelum Alexa bisa membuka mulut, Alvaro sudah menatap Nadine dengan sorot tajam yang membuat wanita itu mundur setengah langkah.

“Saya tidak suka wanita yang rendah moralnya berbicara seenaknya,” ujar Alvaro dingin. “Jika kau ingin tahu kenapa Alexa bersamaku, jawabannya sederhana: dia pantas. Lebih pantas daripada siapa pun di ruangan ini.”

Hening. Semua orang menahan napas.

Alexa menatap Alvaro, dadanya hangat. Kata-kata itu bukan hanya pembelaan, tapi juga pengakuan.

Sementara Rendy menunduk, wajahnya merah karena malu, dan Nadine menggertakkan gigi, merasa dirinya ditelanjangi di depan umum.

Alexa tersenyum tipis, menatap Nadine. “Kau benar satu hal, Nadine. Aku memang cepat. Cepat belajar bahwa aku layak bahagia, dan aku tidak butuh pria yang hanya menempel pada harta yang bukan miliknya.”

Wajah Nadine langsung pucat. Kata-kata itu menusuk tepat di jantungnya, seolah semua orang baru sadar bahwa selama ini Rendy hanyalah bayangan dari Alexa.

Rendy terdiam, menunduk semakin dalam. Ia sadar—semua ini adalah buah dari pilihannya sendiri.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Alexa berdiri bukan sebagai wanita yang ditinggalkan, tapi sebagai wanita yang dihormati.

Acara gala berakhir dengan tepuk tangan meriah dan kilatan lampu kamera yang tak berhenti menyorot Alexa dan Alvaro. Pasangan baru itu meninggalkan ballroom dengan aura kemenangan yang sulit dipungkiri.

Namun di balik panggung kemewahan, Rendy justru menanggung rasa malu yang menusuk. Setiap bisikan tamu yang menyebut namanya hanya membuat langkahnya semakin berat. Nadine, yang sedari tadi mengaitkan lengannya, mencoba tersenyum, tapi sorot matanya dipenuhi rasa cemas dan iri.

“Rendy…” Nadine berbisik pelan, mencoba menenangkan. “Kita pulang saja. Tidak perlu memperhatikan mereka lagi. Kau masih punya aku.”

Tapi Rendy tidak menjawab. Matanya hanya mengikuti kepergian Alexa, dan untuk pertama kalinya ia sadar—betapa kosongnya dirinya tanpa wanita itu.

Di parkiran belakang hotel mewah itu, Alexa baru saja hendak masuk ke mobil ketika sebuah suara memanggil pelan.

“Alexa…”

Suara itu membuatnya berhenti. Alexa menoleh, dan di sana berdirilah Rendy—tanpa Nadine, hanya dirinya yang terlihat begitu rapuh.

Alvaro langsung sigap, langkahnya maju setengah, menempatkan dirinya di antara Alexa dan Rendy. “Kau masih belum mengerti batasan, Rendy?” suaranya dingin, menusuk.

Rendy mengangkat tangannya cepat, menunjukkan bahwa ia tidak berniat macam-macam. “Aku hanya ingin bicara sebentar. Tolong… hanya lima menit.”

Alexa menatapnya lama, ragu. Hatinya sudah mengeras, tapi ada bagian kecil di dalam dirinya yang masih penasaran—apa yang sebenarnya ingin Rendy katakan?

“Alvaro…” Alexa menatap pria di sampingnya. “Izinkan aku sebentar.”

Mata Alvaro menajam, jelas tidak setuju. Tapi saat melihat keseriusan Alexa, ia akhirnya mengangguk.

“Aku akan menunggu di mobil. Tapi jika dia menyakitimu sedikit saja, aku tidak akan tinggal diam.”

Alexa mengangguk. Alvaro pun masuk ke dalam mobil, meninggalkan mereka berdua di bawah temaram lampu parkiran.

Hening beberapa saat. Angin malam berembus pelan, seakan memberi ruang bagi percakapan yang tak terelakkan.

“Kenapa, Rendy?” suara Alexa akhirnya terdengar, tenang tapi tajam.

Rendy menunduk, lalu menghela napas berat. “Aku… salah, Lex. Aku menyesal sudah meninggalkanmu. Semua yang kulakukan… aku bodoh. Aku kira Nadine bisa memberiku segalanya. Tapi nyatanya, semua yang kupunya dulu hanya ada karena dirimu.”

Alexa terdiam, matanya dingin. “Dan kau baru sadar sekarang?”

Rendy mengangguk pelan. “Aku… aku ingin menebus semuanya. Bisakah… bisakah kita memulai lagi dari awal?”

Alexa terkekeh kecil, tawanya getir. “Memulai lagi? Setelah kau buang aku demi wanita itu? Setelah kau injak harga diriku, lalu kau datang dengan wajah menyesal, berharap aku menerimamu kembali?”

Rendy menelan ludah, wajahnya penuh putus asa. “Aku mencintaimu, Lex. Selalu.”

Kata-kata itu membuat Alexa terdiam sejenak, tapi hanya sekejap. Tatapannya mengeras.

“Cinta?” Alexa mendekat, menatapnya tajam. “Kalau kau benar mencintaiku, kau tidak akan pernah meninggalkanku. Kau tidak akan pernah memilih Nadine, apalagi mengkhianatiku. Kau tahu apa artinya kata cinta, Rendy? Itu artinya kesetiaan. Dan itu… sudah tidak pernah ada di antara kita lagi.”

Rendy terdiam, wajahnya pucat.

Alexa berbalik, melangkah menuju mobil Alvaro. Sebelum masuk, ia menoleh sekali lagi.

“Jangan pernah muncul di hadapanku lagi, Rendy. Karena bagiku, kau sudah mati.”

Pintu mobil tertutup, meninggalkan Rendy berdiri sendiri di parkiran. Ia menunduk, bahunya bergetar, sementara Nadine yang sedari tadi mengintip dari kejauhan mengepalkan tangan dengan wajah penuh kebencian.

Nadine melangkah cepat ke arah Rendy, tumit stiletto-nya berdentum keras di lantai parkiran. Wajahnya memerah karena marah bercampur panik.

“Jadi itu yang kau lakukan di belakangku, Rendy?!” suaranya meninggi. “Kau memohon-mohon lagi pada Alexa? Setelah semua yang kukorbankan untukmu?!”

Rendy terdiam, tak punya tenaga untuk membela diri. Sorot matanya kosong, seperti seorang pecundang yang kehilangan segalanya.

“Jawab aku!” Nadine mendorong dada Rendy keras. “Aku tinggalkan semua demi kau! Aku lawan omongan orang, aku hadapi cibiran karena merebutmu! Dan sekarang kau bahkan masih merangkak pada mantan istrimu?! Apa gunanya aku, hah?”

“Cukup, Nadine…” suara Rendy serak, pelan. “Aku… aku lelah.”

Kalimat itu justru membuat Nadine semakin murka. Ia tertawa sinis, matanya berkilat.

“Lelah? Kau tahu kenapa aku bersamamu, Rendy? Karena aku kira kau punya segalanya. Kekayaan, nama besar, kuasa. Tapi ternyata? Semua itu bukan milikmu. Itu milik Alexa!”

Wajah Rendy seketika pucat.

“Kau… tahu?”

Nadine mendengus. “Aku bukan bodoh. Kau pikir aku tidak bisa membaca situasi? Dari awal semua yang kau pamerkan hanyalah bayangan Alexa. Kau hanyalah laki-laki lemah yang bersembunyi di balik kejayaan istrinya!”

Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada yang bisa Rendy bayangkan. Bahunya melemas, tubuhnya gemetar.

Nadine mendekat, suaranya menurun jadi bisikan dingin.

“Dan sekarang, dia bukan hanya mengambil kembali hartanya… dia juga punya Alvaro. Seorang CEO muda, tampan, berkuasa. Jauh lebih dari yang bisa kau berikan padanya. Kau sadar tidak, Rendy? Kau sudah kalah di semua sisi.”

Rendy menutup wajahnya, menahan rasa malu dan sakit yang tak tertanggungkan.

Tapi Nadine—ia tidak berhenti. Justru dari bibirnya keluar sebuah tekad baru.

“Kalau Alexa bisa merebut kembali segalanya… maka aku juga bisa. Dan kali ini, aku tidak akan salah pilih. Kalau aku tidak bisa punya Rendy yang sejati… maka aku akan mengambil Alvaro.”

Ucapan itu membuat Rendy menoleh cepat, matanya terbelalak.

“Jangan gila, Nadine. Dia tidak akan pernah melirikmu.”

Tapi Nadine hanya tersenyum tipis, penuh keangkuhan. “Oh, semua laki-laki bisa kululuhkan, Rendy. Kau contohnya. Dan Alvaro… cepat atau lambat akan jadi milikku.”

Sementara itu, dari dalam mobil, Alexa yang duduk di samping Alvaro merasa hatinya bergetar aneh. Seolah firasat buruk baru saja muncul.

Alvaro menoleh sebentar, menggenggam tangannya lembut.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya tenang.

Alexa tersenyum tipis, meski tatapannya keluar jendela masih kosong. “Aku hanya merasa… badai belum selesai. Dan aku harus siap menghadapi yang lebih besar lagi.”

Mobil hitam yang dikendarai Alvaro melaju tenang di jalan raya. Di dalam kabin, keheningan terasa nyaman. Alexa bersandar di kursinya, menatap keluar jendela, melihat gedung-gedung kota yang tampak asing sekaligus akrab.

Alvaro sesekali meliriknya, lalu kembali fokus pada jalan. “Kau tidak harus menahan semua sendiri, Alexa,” ucapnya tenang.

Alexa menoleh, menatap wajah Alvaro yang serius. “Aku sudah terbiasa, Al. Dari dulu aku yang lebih sering mengurus semuanya. Aku tidak pernah ingin merepotkan orang lain.”

Alvaro menggeleng, senyum tipis muncul di bibirnya. “Kalau itu membuatmu terlihat kuat, aku kagum. Tapi jika itu membuatmu terluka, aku tidak bisa diam saja. Kau tahu, ada kalanya seorang perempuan berhak bersandar.”

Kata-kata itu membuat hati Alexa bergetar. Ia terdiam beberapa saat, kemudian menghela napas pelan. “Aku takut, Al. Takut kalau aku mulai percaya lagi, aku akan jatuh pada luka yang sama.”

Alvaro menoleh sebentar, menatap matanya dalam. “Kalau kau jatuh, biarkan aku jadi orang yang menangkapmu.”

Alexa tercekat. Ada sesuatu dalam nada suara Alvaro yang tulus, bukan sekadar kalimat manis. Rasanya hangat, berbeda dengan semua janji kosong yang dulu sering ia dengar dari Rendy.

Mobil berhenti di sebuah kafe kecil bernuansa hangat. Alvaro turun terlebih dahulu, lalu membuka pintu untuk Alexa. Gerakannya sederhana, tapi penuh penghormatan. Sesuatu yang sudah lama tidak Alexa rasakan.

Mereka duduk di sudut kafe, aroma kopi dan kayu manis mengisi udara. Alexa menatap cangkir cappuccino di hadapannya, lalu berkata pelan, “Dulu aku selalu membuatkan kopi untuknya… tapi dia bahkan tidak pernah menyentuhnya lagi.”

Alvaro menaruh kopinya, lalu menatap Alexa. “Kau terlalu berharga untuk diabaikan, Lex. Kalau dia tidak bisa menghargaimu, maka dia yang bodoh. Bukan kau.”

Alexa tersenyum samar, matanya berkaca-kaca. “Kenapa kau selalu tahu cara membuatku merasa… tidak sendiri?”

Alvaro tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Alexa dengan hangat. Alexa terdiam, lalu perlahan membiarkan genggaman itu bertahan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa ada seseorang yang benar-benar melihat dirinya, bukan hanya apa yang bisa ia berikan.

Di luar jendela, hujan turun perlahan. Seakan dunia ingin memberi ruang tenang bagi dua hati yang mulai saling mendekat.

Namun jauh di tempat lain, Nadine menatap layar ponselnya dengan senyum penuh rencana. Ia baru saja membuka profil Alvaro—CEO muda yang tampan dan berkuasa. Foto-fotonya di berbagai acara bisnis terpampang jelas di media.

“Nah, ini dia,” bisik Nadine pada dirinya sendiri. “Kalau aku berhasil mendapatkan pria ini… Alexa akan tahu rasanya direbut.”

Malam itu, di apartemen mewah yang baru saja ia tempati, Nadine duduk di depan laptop dengan secangkir anggur merah di tangannya. Lampu kamar hanya setengah redup, menyorot wajahnya yang penuh ambisi.

Di layar, terbuka berbagai artikel tentang Alvaro Adrian Lesmana. CEO muda yang dalam lima tahun terakhir namanya meroket di dunia bisnis. Wajah tampannya terpampang jelas dalam setiap berita. Tatapan matanya tegas, senyumnya kharisma.

Nadine mendesah panjang, senyum kecil terbentuk di bibirnya.

“Tak kusangka, ternyata ada pria seperti dia… jauh lebih layak dari Rendy.”

Ia membaca satu artikel, lalu berhenti pada sebuah foto di mana Alvaro berdiri dengan Alexa di sampingnya, saat menghadiri acara peluncuran produk terbaru perusahaan. Senyum Alexa begitu tulus, dan Alvaro menatapnya dengan penuh ketenangan.

Seketika, api cemburu membakar hati Nadine.

“Alexa, kau pikir kau sudah menang hanya karena punya dia? Kau merebut kembali segalanya dariku, tapi kali ini… aku akan membalas. Dan aku akan melakukannya dengan cara yang lebih menyakitkan.”

Tangannya lincah mengetik, mencari informasi detail tentang acara bisnis yang akan dihadiri Alvaro. Ia menemukan sebuah gala dinner perusahaan besar, tiga hari lagi, di hotel bintang lima. Alvaro dijadwalkan hadir sebagai pembicara utama.

Nadine menyeringai.

“Tiga hari. Itu cukup untuk menyiapkan segalanya. Aku akan memastikan Alvaro melihatku.”

Sementara itu, di sebuah sudut kota, Alexa baru saja selesai makan malam bersama Alvaro. Mereka berjalan keluar dari kafe, hujan sudah berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang menenangkan.

“Terima kasih, Al,” ucap Alexa pelan sambil menggenggam mantel yang dipinjamkan Alvaro. “Aku tidak ingat kapan terakhir kali merasa se… ringan ini.”

Alvaro menatapnya dalam, lalu tersenyum hangat. “Kau berhak merasa bahagia, Lex. Jangan biarkan siapa pun meyakinkanmu sebaliknya.”

Alexa terdiam. Ada sesuatu di hati yang mulai berubah—perlahan tapi pasti, dinding yang ia bangun setelah pengkhianatan Rendy mulai retak.

Alvaro kemudian mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah.

“Aku tahu kau masih takut. Tapi jangan lupa… aku bukan dia.”

Alexa menatap mata Alvaro, sejenak merasa seluruh dunia hening. Namun sebelum ia bisa menjawab, suara dering ponselnya memecah momen itu. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

[“Jangan terlalu percaya diri dengan kebahagiaan barumu, Alexa. Segalanya bisa hilang lagi, lebih cepat dari yang kau kira.”]

Alexa membeku. Tangannya bergetar ketika memperlihatkan pesan itu pada Alvaro.

Alvaro membaca cepat, lalu rahangnya mengeras. “Siapa pun pengirimnya… dia baru saja menantangku.”

Alexa menggigit bibirnya, firasat buruk yang ia rasakan sore tadi kini terasa nyata.

Dan di suatu tempat, Nadine tersenyum puas sambil meletakkan ponselnya.

“Selamat menikmati rasa was-was itu, Alexa. Ini baru permulaan.”

Tiga hari berlalu. Malam itu, ballroom hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi cahaya lampu kristal yang berkilauan. Musik jazz lembut mengalun, menyambut para tamu yang hadir dengan gaun dan jas terbaik mereka. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi anggur premium yang dituang oleh para pelayan.

Alvaro melangkah masuk dengan setelan hitam elegan, dasi sutra terikat rapi di lehernya. Karismanya langsung menyedot perhatian banyak mata. Namun yang membuatnya berbeda malam itu bukan hanya penampilannya, melainkan sosok di sampingnya—Alexa.

Alexa mengenakan gaun biru gelap yang jatuh anggun, rambutnya disanggul sederhana namun memancarkan keanggunan. Banyak tamu berbisik, kagum melihat pasangan itu. Alvaro tak pernah melepaskan genggaman tangannya dari Alexa, seolah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa ia ada di sisinya.

“Semua orang menatap kita, Al…” bisik Alexa dengan sedikit gugup.

Alvaro menunduk, tersenyum lembut. “Biar saja. Mereka hanya melihat apa yang memang sudah seharusnya mereka lihat.”

Alexa menunduk, pipinya bersemu. Di dalam hatinya, ia berusaha keras menolak rasa hangat yang semakin tumbuh.

Di sisi lain ruangan, Nadine melangkah masuk dengan gaun merah menyala, rambut hitamnya terurai, bibirnya dilapisi lipstik berwarna wine. Ia tampak seperti magnet yang menarik pandangan ke mana pun ia pergi. Nadine tahu, kepercayaan dirinya adalah senjata utama malam ini.

Matanya langsung menemukan Alvaro—dan Alexa di sampingnya. Senyum sinis menghiasi wajahnya.

“Cantik sekali, Alexa,” gumamnya lirih. “Sayang sekali, kebahagiaanmu hanya sebentar.”

Dengan langkah penuh perhitungan, Nadine mendekat ke arah mereka.

“Alvaro Adrian Lesmana,” suara Nadine terdengar hangat, penuh percaya diri.

Alvaro menoleh, keningnya sedikit berkerut. Alexa ikut menoleh, dan matanya langsung membesar ketika menyadari siapa yang berdiri di hadapan mereka.

“Nadine…” suara Alexa tercekat.

Nadine tersenyum manis, seolah pertemuan itu hanya kebetulan. “Alexa, lama tak bertemu. Dan… oh, rupanya kau datang dengan CEO terkenal ini. Dunia ini memang kecil, ya?”

Alvaro menatap Nadine dengan tatapan dingin. Ia bisa merasakan sesuatu yang tidak beres dari aura perempuan itu. Namun ia tetap menjaga sikap profesional. “Anda siapa?” tanyanya datar.

Nadine pura-pura terkejut. “Oh, maaf. Namaku Nadine Pramesti. Teman lama Alexa.”

Kata teman lama diucapkannya dengan tekanan halus, seolah ingin mengingatkan luka lama. Alexa menggenggam tangan Alvaro lebih erat, dan Alvaro langsung merespons dengan meremas lembut tangannya—tanda bahwa ia ada di sana untuk melindungi.

Nadine menangkap detail kecil itu, tapi bukannya merasa gentar, ia malah semakin bersemangat. Dalam hatinya ia bersumpah, malam ini hanya awal dari permainan panjang.

Di atas panggung, MC mengumumkan sesi pidato dari Alvaro sebagai pembicara utama. Saat Alvaro maju, Alexa duduk di kursi depan. Nadine, yang kini duduk di barisan agak samping, memperhatikan dengan tatapan penuh rencana.

“Segera, Alvaro… kau akan menoleh padaku. Dan saat itu terjadi, Alexa akan tahu rasanya direbut.”

Alvaro berdiri di panggung, tubuh tegapnya memancarkan kewibawaan. Semua mata tertuju padanya. Dengan suara yang tenang namun penuh karisma, ia membuka pidato:

“Selamat malam. Terima kasih sudah hadir di acara malam ini. Dunia bisnis tidak hanya soal angka, melainkan juga soal manusia—hubungan, kepercayaan, dan integritas.”

Kata-katanya mengalun jelas, setiap kalimatnya terdengar penuh makna. Alexa menatapnya dari kursi depan, dadanya hangat oleh rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu, Alvaro bukan hanya seorang CEO, tapi seorang pemimpin sejati.

Namun di sisi lain ruangan, Nadine memandangnya dengan cara berbeda. Matanya berkilat penuh keinginan.

“Wibawa, tampan, kaya… lebih sempurna daripada Rendy,” pikirnya dengan sinis.

“Tak heran Alexa cepat pulih. Tapi itu justru membuatku semakin ingin merasakan apa yang Alexa miliki sekarang.”

Pidato berlanjut, Alvaro menceritakan pengalamannya membangun kepercayaan dalam dunia bisnis. Sementara ia berbicara, Alexa merasa setiap kata juga seakan diarahkan padanya: percaya pada dirimu sendiri, jangan biarkan siapa pun merendahkanmu.

Tepuk tangan menggema ketika pidato selesai. Alvaro kembali ke meja, duduk di samping Alexa. Ia menoleh, menatapnya dalam.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya pelan.

Alexa tersenyum samar. “Aku baik. Aku hanya… bangga padamu.”

Alvaro terdiam sesaat, lalu mengangguk. Senyum kecil muncul di bibirnya, meski ia berusaha menyembunyikannya.

Namun, sebelum kehangatan itu bisa bertahan lama, Nadine sudah melangkah mendekat. Segelas anggur di tangannya, dan senyum menggoda di bibirnya.

“Pidato yang mengesankan, Tuan Lesmana,” ujarnya dengan nada lembut. “Tak heran semua orang mengagumimu.”

Alvaro hanya menoleh sekilas, tatapannya tetap dingin. “Terima kasih.”

Alexa bisa merasakan niat tersembunyi dari Nadine. Tangannya spontan meremas tangan Alvaro di bawah meja.

Nadine memperhatikan itu. Senyumnya makin lebar, namun matanya menusuk tajam. “Alexa… kau beruntung sekali.”

Alexa menarik napas panjang, mencoba menahan diri. “Aku tahu,” jawabnya tenang, meski dadanya bergejolak.

“Pertanyaannya,” bisik Nadine lirih, mendekat ke telinga Alexa hingga hanya mereka berdua yang mendengar, “sampai kapan kau bisa mempertahankannya?”

Alexa membeku. Kata-kata itu menusuk seperti belati.

Alvaro, yang memperhatikan gerak-gerik mereka, menatap Nadine dengan tatapan tajam. “Nona Nadine,” katanya tegas, “sebaiknya Anda menikmati acara ini tanpa mengganggu siapa pun.”

Nadine terkekeh pelan, lalu menyesap anggurnya. “Santai saja, Tuan Lesmana. Aku hanya bercanda…”

Namun dalam hati, ia bersumpah—ini baru permulaan.

Acara gala usai. Mobil-mobil mewah berderet keluar dari gedung, meninggalkan cahaya lampu yang perlahan meredup. Alexa dan Alvaro pulang bersama, sementara Nadine memilih tetap tinggal, duduk di balkon lantai atas dengan segelas anggur.

Di tangannya, ponsel bergetar—nama Rendy muncul di layar. Nadine tersenyum miring, lalu mengangkat panggilan itu.

“Rendy… kebetulan sekali kau menelepon,” ujarnya dengan nada lembut, penuh permainan.

Suara Rendy terdengar serak di seberang. “Nadine, aku… aku butuh uang lagi. Bisnis kecilku gagal, dan aku—”

“Shhh…” Nadine memotong dengan nada genit. “Kau tahu, aku tidak masalah memberimu apa yang kau butuhkan. Tapi…” ia berhenti sejenak, menyesap anggurnya. “Aku ingin sesuatu sebagai gantinya.”

“Apa maksudmu?” Rendy terdengar bingung, meski nada putus asanya jelas.

Nadine berdiri, berjalan menuju kaca besar yang menghadap kota. Lampu-lampu gedung memantul di matanya. “Aku ingin tahu segalanya tentang Alexa dan… pria barunya itu. Alvaro Lesmana.”

Hening sejenak. Rendy terdiam, seperti tersadar akan sesuatu. “Kenapa kau… kenapa kau ingin tahu tentang mereka?”

Nadine tertawa kecil, suaranya dingin. “Karena aku benci kalah, Rendy. Dan aku paling benci melihat Alexa tampak lebih bahagia setelah semua ini. Aku ingin membuatnya jatuh lagi. Sama seperti dulu… saat aku berhasil merebutmu darinya.”

Rendy mengepalkan tangannya. Hatinya terasa campur aduk—antara rasa bersalah, amarah, dan keterpurukan.

“Aku tidak bisa melakukan itu…” suaranya lirih, nyaris patah.

“Oh, tentu bisa,” bisik Nadine lembut, penuh racun. “Kau hanya perlu memilih: tetap miskin, atau bekerja sama denganku dan mendapatkan kembali segalanya… bahkan mungkin Alexa.”

Nama itu membuat dada Rendy bergetar. Bayangan wajah Alexa muncul di benaknya—tatapannya yang dulu penuh cinta, senyumnya yang tulus. Rendy menunduk, hatinya kacau.

“Pikirkan baik-baik, Rendy. Dunia ini milik orang yang berani mengambil apa yang mereka mau.” Nadine menutup telepon dengan senyum puas.

Sementara itu, di mobil, Alexa bersandar di kursi penumpang dengan kepala yang sedikit miring. Lampu jalan berkelebat melewati jendela, dan di sisinya, Alvaro menyetir dengan tenang.

“Terima kasih sudah menemaniku malam ini,” ucap Alexa pelan, hampir seperti berbisik.

Alvaro meliriknya, lalu tersenyum kecil. “Bukan hanya malam ini. Aku ingin selalu ada di sisimu, Lex.”

Alexa menatapnya, matanya bergetar. Hati yang sempat remuk, perlahan menemukan ruang baru untuk percaya. Ia belum berani memberi jawaban, tapi dalam diamnya, ia membiarkan dirinya merasakan kehangatan itu.

Tanpa mereka sadari, badai yang lebih besar sedang dipersiapkan oleh seseorang yang dulu pernah menghancurkan rumah tangga Alexa. Dan kali ini, sasarannya bukan hanya Alexa—tapi juga pria yang kini menggenggam tangannya.

Rendy duduk di ruang tamu rumah kontrakannya yang suram. Dinding catnya mulai terkelupas, sofa yang dulu empuk kini sobek di beberapa bagian. Kontras sekali dengan kehidupannya dulu, ketika ia bersama Alexa—semua serba mewah, elegan, dan penuh kemapanan.

Tangannya gemetar saat menatap layar ponselnya. Nama Nadine masih tertera di sana. Kata-kata terakhir wanita itu bergema di kepalanya: “Pikirkan baik-baik. Dunia ini milik orang yang berani mengambil apa yang mereka mau.”

Rendy mengusap wajahnya kasar. “Apa aku benar-benar kehilangan segalanya hanya karena kesalahanku sendiri?” gumamnya.

Ia teringat saat-saat bersama Alexa. Senyum lembut istrinya, tangannya yang selalu sigap membantu, bahkan ketika Rendy gagal dalam bisnis pertamanya. Alexa yang menopangnya, yang memberi modal, yang percaya pada dirinya. Dan ia balas dengan apa? Perselingkuhan. Kebohongan.

Air matanya menetes tanpa sadar. “Alexa… kenapa aku sebodoh itu?”

Sementara itu, Nadine duduk di sebuah restoran elit, mengenakan gaun merah yang memeluk lekuk tubuhnya. Tatapannya tajam, penuh strategi. Di hadapannya, ada dokumen berisi profil lengkap Alvaro Lesmana—CEO muda yang kini dekat dengan Alexa.

Ia tersenyum licik. “Menarik sekali. Pria ini tidak hanya kaya raya, tapi juga berpengaruh. Jika aku berhasil merebutnya, Alexa akan hancur untuk kedua kalinya.”

Pelayan datang menghampiri. Nadine menutup mapnya, lalu mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor. “Halo? Ya… aku ingin kau atur pertemuan dengan Alvaro. Katakan padanya ada investor asing yang ingin bicara bisnis. Pastikan dia datang.”

Matanya berkilat penuh ambisi. “Kali ini aku tidak akan gagal.”

Di sisi lain kota, Alexa dan Alvaro tiba di depan rumah Alexa. Mobil berhenti dengan lembut, dan Alvaro bergegas membukakan pintu untuknya.

“Terima kasih,” ucap Alexa, suaranya lembut.

Alvaro menunduk sedikit, menatap wajah Alexa dengan serius. “Lexa, aku tahu kau masih ragu… masih terluka. Tapi aku ingin kau tahu, aku berbeda dari dia. Aku tidak akan pernah mengkhianatimu.”

Alexa tertegun. Ada ketulusan di mata pria itu yang sulit ia sangkal. Hatinya berdebar, namun ia memilih menunduk, menyembunyikan rona wajahnya.

“Aku… aku butuh waktu, Alvaro,” bisiknya pelan.

Alvaro tersenyum tipis, penuh pengertian. “Ambil semua waktu yang kau butuhkan. Aku akan tetap di sini, menunggu.”

Alexa menatapnya sekilas sebelum masuk ke rumah. Di balik pintu yang tertutup, ia menyandarkan punggungnya dan menekan dadanya yang berdebar. “Kenapa hatiku… mulai goyah lagi?”

Namun malam itu, tanpa sepengetahuan Alexa dan Alvaro, seseorang sedang menyiapkan panggung baru. Nadine tidak hanya mengincar kekayaan—ia mengincar luka di hati Alexa, dan ia tahu persis cara menusuk di titik yang paling dalam.

Dan Rendy? Ia berdiri di persimpangan. Antara menuruti permainan Nadine atau menebus kesalahannya, meski semua sudah terlambat.

Rendy menyalakan sebatang rokok, asapnya mengepul di ruangan sempit itu. Namun bahkan asap pun tidak bisa menutupi kenyataan pahit yang kini ia hadapi: kehilangan Alexa, kehilangan harta, kehilangan harga diri.

"Semua ini salahku… semua salahku." pikirnya berulang kali.

Pikiran tentang Nadine yang dulu ia pilih terus menghantamnya. Wanita itu memang cantik, menggoda, penuh gairah—tapi hatinya kosong. Ia hanya tertarik pada kilauan uang, bukan pada dirinya. Dan kini, saat kilauan itu lenyap, Nadine mulai menjauh, menyisakan kehampaan yang membunuh perlahan.

Rendy menunduk, air matanya jatuh lagi. Sesuatu yang dulu tidak pernah ia bayangkan: ia, seorang pria yang dulu disanjung, kini hanya seorang pecundang.

Di sisi lain kota, Nadine melangkah memasuki sebuah ballroom hotel mewah. Rambutnya digelung anggun, gaunnya berkilau, parfum mahal menempel di setiap langkah. Namun senyumnya bukan sekadar pesona—ada racun tersembunyi di balik itu.

Ia mendekati seorang pria bertubuh tegap yang berdiri di pintu masuk. “Kau sudah atur pertemuan dengan CEO Alvaro?” tanyanya pelan.

Pria itu—seorang event organizer yang dibayarnya mahal—mengangguk. “Ya, nona. Dia akan datang malam ini. Dia pikir ada investor asing yang tertarik dengan perusahaannya.”

Nadine tersenyum puas. “Bagus. Pastikan semuanya berjalan lancar. Aku ingin bertemu langsung dengannya.”

Di matanya terpantul ambisi yang membara. “Alexa pikir dia sudah menang hanya karena bersama CEO itu? Kita lihat siapa yang akan tertawa terakhir.”

Malam semakin larut. Alexa berdiri di balkon rumahnya, menatap bintang. Angin malam berhembus lembut, namun pikirannya tetap kacau.

"Apakah aku benar-benar bisa percaya pada Alvaro? Setelah semua luka yang kualami… apakah aku berani membuka hati lagi?"

Ingatan tentang Rendy kembali datang. Tatapan matanya, pengkhianatannya, dan kenyataan pahit bahwa cinta yang pernah ia jaga dengan tulus hancur begitu saja. Hatinya berperang antara rasa sakit masa lalu dan harapan baru yang ditawarkan Alvaro.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal:

> “Alexa, kau pikir kau sudah menang? Lihat saja. Segera aku akan ambil semua yang kau miliki—termasuk pria barumu.”

Alexa terdiam, wajahnya menegang. Tangannya bergetar saat membaca pesan itu. Nadine… hanya satu nama yang terlintas di kepalanya.

Di sisi lain, Alvaro sedang bersiap-siap menghadiri pertemuan di hotel tempat Nadine menunggu. Ia belum tahu bahwa yang menunggunya bukan investor asing, melainkan musuh dalam selimut—wanita yang dulu merebut Rendy dari Alexa, dan kini mengincarnya.

Lampu kristal yang berkilauan di ballroom hotel memantulkan cahaya mewah ke segala arah. Musik klasik mengalun lembut, para tamu berdandan elegan, dan suara tawa memenuhi udara malam itu.

Alvaro masuk dengan langkah mantap, jas hitamnya rapi, dasinya terikat sempurna. Tatapannya tegas, penuh wibawa. Beberapa orang langsung menoleh, membicarakannya, karena ia memang salah satu CEO muda paling berpengaruh di kota itu.

Namun di antara keramaian itu, sepasang mata mengawasinya penuh rencana. Nadine.

Gaun merahnya membungkus tubuh sempurna, bibirnya dilukis dengan senyum manis yang penuh tipuan. Ia melangkah anggun, lalu pura-pura hampir menabrak Alvaro.

“Oh! Maaf sekali, Tuan…” suaranya dibuat serak manja, sambil menyentuh lengannya.

Alvaro menoleh sekilas, lalu memberi anggukan sopan. “Tidak apa-apa.” Ia hendak melangkah pergi, tapi Nadine cepat menahan pergelangan tangannya, seolah-olah itu sebuah refleks alami.

“Sebentar…” Nadine menatapnya dengan tatapan penuh minat. “Anda pasti Alvaro kan? CEO Veyron Corp?”

Alvaro menatapnya dengan alis sedikit terangkat. “Ya. Dan anda?”

Nadine tersenyum penuh pesona. “Nadine. Investor dari luar negeri yang katanya akan bertemu dengan Anda. Tapi sepertinya kita dipertemukan lebih dulu oleh takdir.”

Nada suaranya lembut, tapi penuh kelicikan. Alvaro sempat terdiam, lalu menarik tangannya dengan sopan. “Kalau begitu, mari kita bicara setelah acara ini. Saya tidak terbiasa mencampur urusan bisnis dengan basa-basi.”

Jawaban itu membuat senyum Nadine sedikit menegang. Namun ia cepat menguasai diri lagi, lalu tertawa kecil. “Ah, pria seperti anda memang selalu serius. Itu yang membuat saya tertarik.”

Sementara itu, di rumahnya, Alexa masih berdiri di balkon dengan ponsel di tangannya. Pesan dari nomor misterius tadi terus menghantui pikirannya.

Ia menatap layar ponsel, lalu menghela napas berat. “Kenapa aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi…? Apakah Nadine benar-benar akan mencoba merebut Alvaro?”

Tiba-tiba ponselnya berdering—nama Alvaro tertera di layar. Alexa cepat mengangkatnya.

“Lex, aku mungkin pulang agak larut. Ada pertemuan mendadak di hotel,” ucap Alvaro dari seberang, suaranya terdengar formal.

Alexa terdiam sejenak, lalu bertanya hati-hati. “Pertemuan dengan siapa?”

“Aku juga tidak tahu detailnya. Katanya investor baru. Aku harus memastikan apakah serius atau hanya main-main,” jawab Alvaro tenang.

Alexa menggigit bibir bawahnya, rasa tidak enak kian menguat. “Baiklah. Hati-hati, Al. Jangan terlalu percaya begitu saja.”

Alvaro tersenyum samar, meski Alexa tak bisa melihatnya. “Tenang saja. Aku selalu berhati-hati.”

Setelah menutup telepon, Alexa bersandar di dinding. Firasatnya semakin kuat. Ia tahu Nadine tidak akan tinggal diam, dan ada kemungkinan besar bahwa wanita itu sedang merencanakan sesuatu malam ini.

Di ballroom, Nadine sudah mulai menyusun kata-kata manisnya untuk menjebak Alvaro. Tapi ia tidak tahu, pria yang hendak ia permainkan bukanlah Rendy—Alvaro jauh lebih cerdas, dan lebih sulit ditaklukkan.

Ballroom masih ramai, tapi perhatian Nadine hanya tertuju pada satu sosok: Alvaro.

Ia tahu pria itu berbeda dari Rendy—lebih dingin, lebih berkelas, lebih sulit ditembus. Tapi justru itulah yang membuat ambisinya terbakar.

Nadine melangkah semakin dekat, sengaja menyentuhkan lengannya ke lengan Alvaro saat mereka berjalan berdampingan menuju meja VIP.

“Pria seperti Anda,” bisiknya pelan, “biasanya punya kelemahan juga. Dan saya suka menebak kelemahan itu apa.”

Alvaro menghentikan langkahnya. Menoleh perlahan, sorot matanya dingin menusuk.

“Kalau Anda ingin bicara bisnis, silakan. Tapi kalau yang Anda maksud permainan pribadi…” ia mendekat, suaranya rendah tapi tegas, “…saya sarankan berhenti di sini. Saya bukan tipe pria yang mudah digoda.”

Kata-kata itu membuat senyum Nadine membeku sesaat. Namun ia cepat mengembalikan ekspresinya yang manis.

“Oh, tenang saja. Saya hanya bercanda.” Nadine menyembunyikan rasa kesal di balik tawanya. “Kau belum kenal aku, Alvaro. Kau pasti akan takluk juga, cepat atau lambat.”

Di rumah, Alexa berusaha memejamkan mata, tapi rasa gelisah tak juga hilang.

Ia mengusap dadanya, firasat buruk semakin menekan. “Tolong jangan sampai Nadine mencoba sesuatu malam ini…” bisiknya dalam hati.

Sementara itu, di apartemen lain, Rendy duduk sendirian dengan botol alkohol di tangannya. Wajahnya kusut, matanya merah, pikirannya penuh penyesalan.

Bayangan Alexa terus muncul di benaknya.

Ia menunduk, lalu tertawa getir.

“Alexa… aku bodoh. Aku kehilanganmu… demi wanita seperti Nadine. Dan sekarang aku tak punya apa-apa lagi…”

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
laliza mpoet
Saran dong spuh
2025-09-08 14:48:46
0
10 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status