LOGINAlexa Valaryan tak pernah menyangka rumah tangga yang ia bangun dengan penuh cinta harus runtuh hanya karena seorang sahabat yang tega merebut suaminya sendiri. Luka itu terlalu dalam, meninggalkan patah yang hampir membuatnya menyerah pada hidup. Namun, di tengah kepedihan itu, hadir sosok Alvaro Dirgantara — seorang CEO muda yang dingin, arogan, sekaligus mempesona. Pertemuan mereka bermula dari sebuah kesalahpahaman kecil, tapi perlahan dunia Alexa yang runtuh mulai terisi kembali dengan kehadirannya. Alvaro yang selama ini terkenal tak tertarik pada cinta, justru menemukan ketertarikan berbeda pada wanita yang baru saja dikhianati. Alexa sendiri tak menyangka, kehilangan yang begitu menyakitkan justru membawanya pada cinta baru yang jauh lebih tulus dan berharga. Namun, ketika suami lamanya kembali dan menyesali keputusannya, Alexa dihadapkan pada pilihan sulit: memaafkan masa lalu atau melangkah bersama CEO yang kini menggenggam hatinya.
View MoreTetesan hujan berderap di kaca jendela kafe, meninggalkan jejak yang berbaur dengan air mata yang tak lagi bisa kutahan. Lima bulan. Sudah lima bulan sejak dunia yang kubangun dengan susah payah runtuh hanya karena sebuah pesan singkat di ponsel suamiku.
"Aku tunggu di suite-ku, Sayang. Jangan lama-lama. – Nadine." Sejak malam itu, aku bukan lagi istri. Rendy pulang bukan dengan kemeja rapi yang masih beraroma pelembut, melainkan dengan bibir bengkak dan aura bersalah yang begitu tebal, bisa dipotong dengan pisau. "Aku mencintainya, Lex. Aku minta cerai." Kalimat dingin itu keluar dari mulutnya seakan hanya laporan keuangan. Tapi buatku, dunia berhenti. Pernikahan dua tahun, rencana punya anak, mimpi sederhana tentang bahagia selamanya—semuanya remuk jadi serpihan kaca yang menancap di dadaku. “Maaf, nona. Kami mau tutup.” Suara pelayan membuyarkan lamunanku. Kafe hampir kosong. Aku buru-buru menyeka pipi dengan punggung tangan yang dingin. Membayar kopi yang nyaris tak tersentuh, lalu melangkah keluar ke udara Jakarta yang basah dan lembab. Aku berjalan tanpa tujuan. Hanya tubuh yang menggigil di bawah hujan deras, mencoba mencari sudut kering di halte bus. Dan saat itulah aku menabraknya. Tubuhku oleng, nyaris jatuh, sebelum sepasang tangan kuat menangkap lenganku. “Hati-hati.” Suaranya dalam, tenang, menembus riuh hujan. Aku mendongak. Sepasang mata hazel menatapku—hangat, asing, dan menenangkan sekaligus. Lelaki itu tinggi, jas mahalnya basah kuyup tapi tetap tampak berwibawa. CEO vibes, pikirku getir. “S-saya… maaf,” ucapku gugup, buru-buru mencoba melepaskan diri. Sentuhan asing itu membuat tubuhku bergetar, terlalu lama aku mengurung diri dari dunia luar. “Tidak apa-apa. Anda baik-baik saja?” tanyanya, matanya meneliti wajahku. “Anda kedinginan. Mobil saya di sana, saya bisa mengantar.” Alarm dalam kepalaku langsung berbunyi. Pria tampan dan baik hati? Itu hanya ada di novel dan drama. Rendy sudah cukup membuktikan kebalikannya. “Tidak, terima kasih. Saya naik bus.” Dia menoleh ke halte yang kosong. “Bus terakhir sudah lewat sejam lalu. Nona, saya tidak berniat jahat. Kalau ragu, silakan lihat KTP saya.” Dengan tenang, ia mengeluarkan dompet kulit dan memperlihatkan kartu identitas. Alvaro Atmajaya. Alvaro. Nama itu terdengar kokoh, seperti dirinya. “Alexa,” gumamku akhirnya. “Alexa,” ulangnya pelan, seakan mengecap namaku di lidahnya. “Mari, Alexa. Sebelum kita berdua sakit pneumonia.” Ada sesuatu di nadanya—perpaduan tulus dan tegas—yang membuatku akhirnya mengangguk. Aku mengikutinya masuk ke BMW hitamnya. Interior mobil itu hangat, wangi, kontras sekali dengan kacau-balaunya pikiranku. Ia menyetir dengan tenang. Aku menatap jendela, berusaha menahan tangis. Rasanya aneh: duduk di samping pria asing yang begitu berbeda dari suamiku. “Alamat rumah?” tanyanya lembut. Aku menyebutkan alamat apartemen kecilku. Ia hanya mengangguk, tak berkomentar. “Terima kasih,” bisikku akhirnya. “Untuk tadi… dan untuk tumpangan ini.” “Jangan khawatir. Kebetulan saya juga kehujanan.” Ia tersenyum kecil, senyum yang sampai ke matanya. Dia tidak memaksaku bicara. Sunyi di antara kami bukan sunyi yang menyesakkan. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, aku merasa aman. Perasaan asing yang hampir kulupakan. Sesampainya di apartemen, ia bahkan mengantarku sampai depan pintu. “Anda yakin baik-baik saja?” “Iya. Terima kasih banyak, Tuan Alvaro.” “Alvaro saja.” Ia mengulurkan kartu nama. “Kalau butuh bantuan… pekerjaan, atau sekadar teman bicara.” Aku menerima kartu itu. Alvaro Atmajaya, CEO & Founder ALCORP. Kertasnya tebal, bertekstur. Tanganku sedikit gemetar. Aku hanya janda cerai yang hancur, sementara dia… pria besar dengan nama yang punya bobot. Sebelum pergi, ia menatapku sekali lagi. “Luka lama butuh waktu untuk sembuh, Alexa. Tapi jangan biarkan itu menutup jalanmu menuju hangatnya hari baru.” Kata-katanya bergema lama setelah ia pergi. Hangatnya hari baru. Apakah itu mungkin untukku? Keesokan harinya, aku mencoba bangkit. Wawancara kerja kelima dalam dua bulan. Hasilnya sama: senyum sopan, kalimat manis, lalu penolakan terselubung. Kami akan menghubungi Anda. Artinya: jangan berharap. Keluar dari gedung perkantoran yang megah, perasaan kosong menyergap lagi. Ponselku bergetar. Satu pesan dari nomor tak dikenal. "Dia meninggalkanmu karena kau tidak cukup baik. Ingat itu. Jangan coba-coba merangkak kembali ke hidupnya." Tanganku langsung gemetar. Nadine. Hanya dia yang bisa sekejam itu. Dadaku sesak. Semua percaya diri yang susah payah kupungut hancur lagi. Mungkin dia benar. Aku tidak cukup cantik. Tidak cukup pintar. Tidak cukup kuat untuk mempertahankan suamiku. Dengan pandangan kabur, aku hampir menabrak seseorang di trotoar. “Alexa?” Suara itu membuat napasku tercekat. Suara yang dulu membisikkan “aku cinta kamu,” tapi juga suara yang berkata “aku minta cerai.” Aku mendongak. Rendy berdiri di depanku, masih dengan setelan Armani-nya, wajah lelah, mata penuh konflik. “Kau baik-baik saja?” tanyanya ragu. Aku mendesis, “Apa pedulimu? Istrimu sudah repot-repot mengingatkanku lewat pesan, bahwa aku ini tidak berharga. Jadi kau tidak usah repot-repot lagi.” Rendy mengernyit. “Apa? Nadine? Apa yang dia bilang?” “Tanyakan saja padanya. Sekarang, minggir. Aku harus pergi.” Aku mencoba berjalan, tapi dia menahan lenganku. Sentuhan pertama sejak perceraian. “Lex, tunggu. Aku… aku menyesal. Tidak seperti yang kubayangkan.” Aku tertawa getir. “Apa? Suite hotelnya tidak senyaman tempat tidur kita? Atau dia berhenti memujamu di depan cermin?” “Ini serius, Lex. Aku salah besar.” Lima bulan lalu, mungkin aku akan langsung runtuh di pelukannya. Tapi sekarang? Setelah pesan Nadine, pertemuanku dengan Alvaro, setelah perlahan kutancapkan serpihan kaca jadi perisai—aku menepis tangannya kasar. “Kesalahanmu, Rendy, bukan urusanku lagi. Nikmati hidup barumu dengan ratumu.” Aku pergi, meninggalkannya terpaku di trotoar. Jantungku berdegup keras. Bukan karena cinta, tapi karena marah dan rasa kuat yang baru kutemukan. Langkahku tanpa arah, sampai akhirnya aku sadar berada di depan gedung pencakar langit yang megah: kantor ALCORP. Aku menatap kartu nama Alvaro. Kalau butuh pekerjaan, atau sekadar teman bicara. Mungkin ini nekat. Tapi setelah Rendy dan Nadine, apa lagi yang bisa kukalahkan? Dengan napas berat, aku masuk lobi berkilauan. Resepsionis tersenyum ramah. “Ada yang bisa saya bantu, nona?” Aku menggenggam kartu nama itu erat. “Saya ingin bertemu Tuan Alvaro. Katakan padanya, Alexa ada di sini.” Di lantai atas, sepasang mata hazel sudah memperhatikan. Wanita dengan rambut lembap, mata penuh luka, tapi bahu tegak menantang. Alvaro tersenyum tipis. Ia menekan interkom. “Antar dia ke atas.” Alexa berdiri di depan pintu kantor CEO. Jantungnya berdebar. Ia tidak tahu, keputusannya masuk gedung itu akan mengubah segalanya. Di apartemen mewah, Nadine meremas gelas wine, matanya berkilat penuh amarah setelah mendapat kabar bahwa Alexa bertemu Rendy. Di trotoar, Rendy masih terpaku, dihantam penyesalan yang kian dalam. Dan di balik pintu kantornya, Alvaro menunggu. Ia tahu wanita yang terluka ini datang membawa badai. Dan ia siap menyambutnya.Musim hujan datang tanpa banyak peringatan. Awalnya cuma gerimis lembut yang membasahi jalan, lalu berubah jadi rintik-rintik yang menetap, mengetuk jendela dengan ritme tenang. Buat kami, hujan bukan sekadar cuaca. Ia seperti bab baru—bukan yang menutup, tapi yang menyembuhkan.Surya menemukan kesenangan aneh dari suara hujan. Sore itu, dia duduk di dekat jendela, dagunya bertumpu di lutut, dahinya menempel di kaca dingin.“Dengerin, Bu,” katanya pelan, matanya setengah terpejam. “Hujannya nyanyi.”Aku ikut diam, mencoba mendengar seperti dia. Suaranya bukan sekadar rintik air—ada dentuman kecil di talang, desisan lembut di daun, dan ketukan acak di teras. Seperti melodi yang nggak butuh alat musik.“Lagu apa yang dia nyanyikan?” tanyaku.“Lagu tentang yang hilang terus ketemu lagi,” jawabnya lirih. “Tentang bumi yang haus, terus akhirnya bisa minum. Kayak kita.”Aku tersenyum. Anak ini... selalu punya cara sendiri buat memahami hal-hal besar dengan kata-kata sederhana.Alvaro yang
Kemenangan hari itu kami rayakan dengan cara sederhana. Tidak ada pesta, tidak ada balon atau tumpeng. Hanya semangkuk es krim cokelat—favorit Surya—yang dia habiskan dengan penuh konsentrasi, seperti seseorang yang sedang menikmati sesuatu yang sakral. Setiap sendok yang masuk ke mulutnya adalah pengingat bahwa tubuhnya masih sanggup menerima kebahagiaan kecil."Enak," gumamnya sambil menjilat sendok. Matanya berbinar, cahaya itu kembali—belum sekuat dulu, tapi cukup untuk membuat dadaku sesak oleh rasa syukur."Pelan-pelan, Sayang," kataku, sambil menatapnya dengan senyum yang nggak bisa kutahan.Alvaro duduk di seberang, merekam dengan ponselnya. Gambar itu goyah, tapi justru di situlah keindahannya—rekaman tangan seorang ayah, bukan sinematografer. Bukan untuk dibagikan, hanya untuk disimpan. Sebuah kenangan kecil yang ingin kami genggam selamanya.Malamnya, setelah Surya tertidur dengan perut kenyang dan senyum yang masih menempel di bibirnya, aku dan Alvaro duduk di dapur. Teh c
Kata remisi itu seperti udara segar yang tiba-tiba masuk ke paru-paru setelah berbulan-bulan menahan napas. Bukan akhir dari perjuangan, tapi sebuah jeda—izin untuk bernapas lega, untuk berharap lagi, untuk percaya bahwa hidup masih punya ruang bagi keajaiban. Pulang dari rumah sakit tak seperti yang sering digambarkan film. Tidak ada tawa besar atau musik ceria. Yang menyambut kami justru keheningan yang lembut, seperti doa yang baru saja selesai dibisikkan. Rumah kami yang selama ini dipenuhi bau obat, botol antiseptik, dan langkah perawat kini terasa seperti tempat yang baru. Seperti ruang yang telah disucikan oleh air mata dan keberanian. Surya berdiri di ambang pintu. Tubuhnya masih kurus, gerakannya hati-hati, tapi matanya—mata itu sudah kembali bersinar. “Rumah,” katanya pelan, seolah mencicipi arti kata itu lagi. Alvaro berdiri di belakangnya, dan aku melihat bahunya bergetar. Dia tak berkata apa pun. Air matanya jatuh diam-diam, bukan karena kesedihan, tapi karena lega.
Pameran “Keluarga Seutuhnya” memang telah berakhir, tapi gema emosinya masih terasa di mana-mana. Surat-surat mulai berdatangan ke kampus Sri Wirawan—dari orang-orang yang bercerita tentang keluarganya sendiri, tentang rahasia yang dulu mereka sembunyikan, tentang luka yang akhirnya mereka berani hadapi. Kampus itu, yang dulu hanya menjadi tempat belajar, kini menjelma menjadi ruang penyembuhan. Tempat di mana orang datang bukan hanya untuk mencari ilmu, tapi juga untuk berdamai dengan masa lalu mereka.Di dalam keluarga kami sendiri, suasana damai itu terasa nyata, tapi berbeda dari sebelumnya. Ini bukan ketenangan karena tidak ada masalah, melainkan karena kami tahu, apapun masalah yang datang nanti, kami bisa menghadapinya bersama.Alvaro dan Siska terlihat semakin dekat. Hubungan mereka yang dulu rumit kini berubah jadi sesuatu yang tulus—aneh, tapi hangat. Mereka bukan sekadar paman dan keponakan, bukan juga hanya teman seperjuangan, tapi dua jiwa yang saling memahami karena pern
Ketenangan setelah pengungkapan terakhir tentang Ibu Sari terasa seperti tarikan napas pertama setelah lama menyelam. Ada kelegaan yang hampir bisa kurasakan secara fisik—seolah-olah beban yang selama ini menekan punggung kami akhirnya terangkat. Rumah baru kami yang sederhana bukan lagi tempat berlindung dari ancaman, melainkan ruang yang benar-benar meneduhkan, tempat di mana kami belajar bernapas dengan damai. Alvaro dan Siska melewati minggu-minggu berikutnya dengan cara mereka sendiri. Mereka sering pergi berdua, mengunjungi tempat-tempat yang dulu berarti bagi ibu mereka. Bukan untuk mencari jawaban lagi, tapi untuk berdamai dengan kenangan. Kadang, aku melihat mereka duduk di taman sambil berbagi cerita lama. Ada tawa, ada air mata, tapi selalu ada kedekatan yang tulus di antara keduanya. Rasanya seperti menyaksikan luka lama perlahan berubah jadi sesuatu yang lembut. Sementara itu, Diana yang sudah mulai pulih kembali menemukan semangatnya lewat musik. Ia memutuskan untuk men
Kehidupan di rumah baru berjalan dengan irama yang sama sekali berbeda. Tidak lagi terburu-buru, tidak lagi dibayang-bayangi agenda rapat atau dering telepon tanpa henti. Pagi hari dimulai dengan tawa Surya yang sibuk menceritakan mimpinya sambil menyendokkan sereal. Alvaro, yang dulu bahkan jarang turun ke dapur, kini punya ritual baru: membuat kopi dengan metode tuang perlahan. Aku sering memperhatikan caranya menuang air panas di atas bubuk kopi dengan kesabaran yang tak pernah kubayangkan darinya. Aku sendiri menemukan ketenangan sederhana dalam menanam basil dan rosemary di pot-pot kecil di jendela dapur. Ada rasa puas yang aneh saat memetik daun segar untuk masakan malam.Perubahan ini merembes ke segala hal. Alcorp, di bawah kepemimpinan generasi baru, mulai bergerak ke arah yang lebih berani, menekankan pada keberlanjutan dan bisnis yang etis. Sementara kampus Sri Wirawan semakin ramai. Tidak lagi sekadar ruang kuliah, tapi pusat dialog lintas budaya. Festival tahunan yang mer






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments