Share

KEMBALINYA ISTRI TERBUANG
KEMBALINYA ISTRI TERBUANG
Penulis: Reinee

PART 1

"Pak Adjie, ini sekretaris baru Anda, Nona Livia. Dia ini rekomendasi dari Pak Bondan, sahabat Anda, Pak" jelas Pak Wisnu, memperkenalkanku pada Adjie Suseno Dipo Atmojo, direktur utama Signara Saint Group. 

 

Aku sedikit membungkuk untuk memberi hormat pada atasan baruku itu, yang juga adalah suamiku sendiri, dan menurut dugaanku ikut andil dalam upaya menyingkirkanku waktu itu. Entahlah, meskipun aku belum terlalu yakin, tapi untuk tujuan itulah aku datang ke tempat ini dengan identitas yang berbeda. Yaitu untuk mencari kebenaran dan merebut kembali apa yang menjadi milikku.

 

Sejenak kulihat mata tajam itu memicing ke arahku, memperhatikanku dari ujung rambut sampai kaki. Kurasakan kakiku sedikit gemetar saat tiba tiba muncul kekhawatiran, jangan jangan dia mengenaliku?

 

"Oke, Good! Dia bisa mulai bekerja hari ini. Tunjukkan ruangannya, Pak Wisnu," katanya kemudian. 

 

Ah, syukurlah. Sepertinya dia tidak mengenaliku. Dokter Okan benar, aku memang tidak boleh gugup dan harus lebih percaya diri untuk menunjang penampilanku yang sudah sangat sempurna ini. 

.

.

.

"Ini ruangan Anda, Nona Livia," ucap Pak Wisnu, kepala HRD itu, saat tiba di meja kerjaku. Dulu dia lumayan akrab denganku, saat aku sering datang ke kantor ini mengantarkan makan siang untuk suamiku, kami sering saling sapa. Tapi sepertinya, dalam jarak sedekat ini pun, dia sudah tidak bisa mengenaliku lagi.

 

"Terima kasih, Pak." jawabku dengan sikap seprofesional mungkin. Dan itu memang tidak terlalu sulit. Karena sebelum menikah dengan Mas Adjie, aku sudah terbiasa bekerja di kantor ini membantu papaku, sebelum akhirnya perusahaan diserahkan pada suamiku oleh almarhum papa waktu itu, saat  kelahiran anakku, Joe. 

 

Setelah menjelaskan padaku tugas-tugasku di kantor itu, bagaimana aku harus selalu siap kapanpun sang direktur memanggil dan membutuhkan, termasuk saat dia menginginkan untuk ditemani bertemu klien pada malam hari. 

 

Oh, pantas saja. Jadi rupanya seperti ini kerjaan Mas Adjie selama ini. Membawa-bawa sekretarisnya kemanapun dia pergi tak kenal waktu. Mustahil jika sampai tak terjadi affair dengan para sekretaris-sekretarisnya yang cantik dahulu. 

 

Mungkin, itu juga yang terjadi pada sekretarisnya yang satu itu, Afika Kusuma Dewi, yang akhirnya bisa menduduki posisiku sebagai istri Mas Adjie setelah berhasil menyingkirkanku dengan caranya yang luar biasa licik. 

 

Saat Pak Wisnu menyelesaikan tugasnya dan meninggalkanku, telepon internal di meja kerjaku mendadak berdering. Sedikit ragu aku mengangkatnya.

 

"Dengan sekretaris pribadi Direktur Signara Saint Group, Ada yang bisa Saya bantu?" sapaku.

 

Sejenak tak ada suara dari seberang. Lalu tak lama kemudian terdengar suara yang sudah sangat aku kenal itu.

 

"Nona Livia, tolong ke ruangan saya sebentar," kata suara itu dengan nada sangat berwibawa.

 

Seandainya saja aku bukan sekretaris gadungan saat ini, mungkin jantungku sudah berdebar-debar tak karuan menerima panggilan dari suara seksi dan maskulin di seberang sana itu. 

 

Mas Adjie memang sosok lelaki yang mempesona, hingga membuat siapapun akan rela bertekuk lutut di hadapannya. Apalagi ditunjang dengan jabatan direktur yang disandangnya itu. Siapa wanita yang tak akan rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya?

.

.

.

Dengan langkah pasti, kumasuki kembali ruang kerja suamiku. Dan kali ini aku benar-benar melakukannya sangat percaya diri. 

 

"Bapak memanggil saya?" tanyaku saat telah berada di dalam ruangannya, setelah sebelumnya mengetuk pintu ruangannya tiga kali.

 

Dia yang sedang berkutat dengan berkas di mejanya pun menoleh. Dan lagi lagi, mengamatiku dari atas sampai bawah dengan mata tajamnya. Bahkan kali ini sedikit lebih berani daripada saat ada Pak Wisnu bersama kami tadi. Nampaknya lelaki di depanku ini sudah mulai masuk dalam perangkapku sekarang. Dalam hati, aku tersenyum senang.

 

"Pak," panggilku kemudian karena Mas Adjie masih hanya terdiam saja menatapku dari kursi kebesarannya.

 

"Eh, iya. Silahkan duduk, Nona ... Livia," katanya sedikit gugup. Mungkin karena aku memergokinya sedang mengamatiku tadi.

 

Menuruti perintahnya, aku pun mendudukkan diri dengan anggun di depannya.

 

"Apa yang bisa saya kerjakan, Pak?" tanyaku lagi.

 

"Duduk saja dulu. Aku ingin Kamu temani aku di sini sebentar," katanya.

 

Wow, ternyata ada lagi pekerjaan lain suamiku yang baru kutahu. Menyuruh sekretarisnya untuk duduk saja menemaninya di ruang kerja. Hebat, Mas! Selama bertahun-tahun menjadi istrimu, aku baru tahu semua kebiasaan-kebiasaanmu yang ternyata seperti ini saat sedang di kantor.

 

Beberapa menit dia hanya membiarkanku duduk diam menungguinya sibuk dengan laptop di depannya, sambil dia sesekali menanyai hal yang bersifat lebih pribadi padaku. Apakah aku sudah menikah? Apa aku punya pacar? Bagaimana keluargaku? Dimana kuliahku dulu? Dan hal-hal yang sama sekali tak berhubungan dengan pekerjaan. 

 

Meskipun semua itu membuatku jengah, tapi memang inilah tujuanku sebenarnya. Membuatnya tertarik dan akhirnya jatuh hati padaku. Sehingga dengan mudah aku mengendalikannya.

.

.

.

Tak lama berselang, tiba-tiba pintu ruangannya dibuka oleh seseorang dari luar. Lalu seorang wanita berjalan dengan anggunnya ke dalam ruangan. Aku sedikit kaget, namun tentu saja aku masih ingat siapa dia. Aku takkan pernah lupa dengan wajah culas itu, yang telah membuat hidupku menjadi seperti ini sekarang. Berpisah dari suami dan anakku, kehilangan harta keluargaku, dan jauh dari orang-orang yang mengenaliku. 

 

Dialah Afika, sekretaris yang berhasil merebut suamiku dengan caranya yang kejam, yaitu membunuh dan membuangku. 

 

Melihat kedatangan istri direktur, aku segera bangkit dan membungkuk hormat. Sekilas Afika melirikku, nampak sekali raut tidak suka di wajahnya. Mungkin dia takut aku akan melakukan hal sama yang pernah dia lakukan pada istri sah direktur pada waktu itu. 

 

Tapi tunggu, Afika ternyata datang ke kantor ini tidak sendirian. Semenit setelah dia masuk, tiba tiba seorang bocah laki-laki berusia 6 tahun masuk dengan setengah berlari.

 

"Papa!" teriaknya memanggil Mas Adjie dan segera saja menghambur ke kursi kerjanya. 

 

Anak itu adalah Joe, putra kami.

 

"Kamu sama Mama dari mana, Sayang. Tumben mengunjungi Papa di kantor?" tanya Mas Adjie terlihat senang melihat putranya datang.

 

"Tante Fika ngajakin belanja baju, Pah," kata anak itu dengan gaya yang khas.

 

"Hei, kenapa selalu panggil "Tante Fika"? Panggil mama dong, Sayang," protes Mas Adjie. 

 

"Tante Fika kan bukan mamaku, Pah," kata anak itu, hampir membuatku berkaca-kaca. 

 

Jika saja saat ini aku tidak sedang dalam sandiwara, ingin rasanya kupeluk Joe dan mengungkapkan kerinduanku padanya. Tapi tidak, aku harus bertahan sesakit apapun, demi tujuanku. 

 

"Oya Livia. Kenalkan, ini istri tercintaku, Afika," kata Mas Adjie kemudian, memperkenalkan istri yang belum genap setahun dinikahinya itu.

 

Aku pun segera mengulurkan tangan ke Afika.

 

"Selamat siang, Bu. Saya Livia, sekretaris Pak Adjie," kataku memperkenalkan diri. Afika menerima jabat tanganku dengan acuh. 

 

"Dan ini putra kami, Joe. Joe, ini Tante Livia, dia bekerja di sini untuk papa," kata Mas Adjie memperkenalkan aku pada Joe.

 

Tak disangka, Joe justru berjalan mendekatiku. Jantungku berdetak makin keras saat dia mengulurkan tangan mungilnya padaku. 

 

Tubuhnya yang lebih pendek membuatku harus membungkuk untuk menerima uluran tangan itu. 

 

"Ganteng sekali. Namanya siapa, Sayang?" tanyaku basa-basi. Susah payah menahan air mataku agar tak jatuh.

 

Joe nampak tak menyahut. Dia justru memandang wajahku dengan lekat. Lalu aku kaget saat tiba-tiba dia menyentuh pipiku dengan tangan kirinya.

 

"Mama," katanya tiba tiba. Seketika jantungku seperti berhenti berdetak. Anakku mengenaliku? Bagaimana ini? Padahal ini baru permulaanku melancarkan aksiku. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status