Hutan Lambusango kembali bergolak. Sementara Sinta dan Jun-ho berupaya memperkuat perlindungan dengan zona larangan dan teknologi pemantauan, sebuah perusahaan tambang dengan kekuatan besar terus menggempur dari sisi lain. Di luar zona perlindungan, penambangan dimulai dengan diam-diam, menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang berada di tepi hutan. Namun, bukan hanya kerusakan yang menjadi masalah—kehadiran perusahaan tambang membawa konflik yang lebih dalam dan mengancam keharmonisan masyarakat adat. Beberapa hutan adat sudah memiliki IUP dan itu tentunya sangat merugikan masyarakat lokal. Mereka menyadari akan hal itu, ruang rotan, kemiri, kenari, berbagai Bunga anggrek tumbuh. Semua akan hilang untuk selamanya, jika sudah dikelola sebagai tambang.
Di jalan utama menuju lokasi tambang, alat-alat berat terparkir dengan keheningan yang menegangkan. Di hadapan mereka, puluhan masyarakat adat berdiri bergandengan tangan, dipimpin oleh tokoh-tokoh adat seperti La Tahang dan beberapa pemuda pemberani. Mereka menghadang dengan penuh keberanian, meskipun tahu ancaman besar ada di depan mereka. La Tahang, pemimpin parabhela berdiri paling depan.
“La Tahang, mereka sudah membawa tentara!” bisik seorang wanita tua sambil melirik ke arah truk yang membawa personel bersenjata. Di antara mereka, tampak tiga jenderal yang dikenal karena reputasi kerasnya dalam mendukung proyek-proyek besar seperti ini. Perempuan itu masih memiliki trauma pada kasus yang pernah menghabisi Buton puluhan tahun silam.
La Tahang tetap tenang. “Kita berdiri di tanah kita sendiri. Mereka bisa membawa senjata, tetapi kita punya kehormatan dan doa. Kita juga memiliki leluhur, yang bisa melindungi kita dengan keberkahan mereka,” La Ode Harimao hanya tersenyum, ia hanya, menjaga jangan sampai hatinya yang bertindak. Ia hanya berzikir mengawasi anak-anak muda itu. Anak-anak muda itu semakin takut pada ancaman. Tetapi, panggilan hati mereka mengalahkan ketakutan mereka.
Ketegangan semakin meningkat ketika salah satu jenderal, Brigadir La Ghani, turun dari kendaraannya. Ia berjalan dengan langkah penuh percaya diri, diikuti oleh anak buahnya. Ia hadir untuk menyelesaikan masalah sosial tambang yang tidak pernah kunjung usai, pada hal tokoh-tokoh adat dan bahkan tokoh nasional asal Buton sudah terlibat. Tetapi anak-anak muda yang dibesarkan oleh para bela ini tidak bergeming. Mereka tetap menutup jalan, tidak ada hasil tambang yang bisa keluar dari hutan Lambusango tanpa seizin kami.
“Kalian ini bodoh!” teriaknya dengan nada mengejek. “Ini adalah proyek untuk pembangunan. Apa kalian ingin tetap hidup di hutan selamanya? Tanah ini milik negara, dan negara memutuskan bahwa tambang ini harus berjalan.”
Namun, La Tahang tidak bergeming. “Tanah ini adalah tanah leluhur kami. Kami tidak menolak pembangunan, tetapi kami menolak perusakan. Hutan ini adalah hidup kami. Hutan ini adalah warisan bangsa Buton untuk generasi Buton dan juga dunia, sehingga kami harus menjaganya. Hutan ini harusnya mampu menyekolahkan anak-anak Buton dan bangsa ini hingga ke luar negeri, para penambang seharusnya tahu, bahwa kalau ini dieksploitasi, tetapi harus taat pada aturan adat.”
Jenderal itu tersenyum sinis. “Kalau begitu, kita lihat siapa yang lebih kuat.” Ia kembali ke mobilnya, karena ia sadari bahwa jika ia memaksa, maka ia akan berhadapan dengan masyarakat adat Buton. Ia menghindari konflik secara langsung, namun ia mundur mengatur siasat, untuk melewati rintangan tambang itu. Ia memulai memikirkan strategi, memanggil para preman Buton untuk menghadapi para anak muda yang dipimpin para bela. Beberapa pemuda ia temukan, para preman. Merencanakan apa yang akan dilakukan untuk memenangkan permainan.
Sabotase dan Ancaman
Malam itu, serangkaian sabotase dimulai. Ladang masyarakat yang berada di sekitar jalan utama mendadak terbakar. Air di sungai yang mengalir ke desa menjadi keruh, seolah-olah ada sesuatu yang sengaja dilemparkan ke hulu untuk mencemarinya. Di beberapa tempat, masyarakat adat menemukan pohon-pohon besar ditebang tanpa izin, seolah-olah untuk menunjukkan bahwa perusahaan bisa melakukan apa saja.
La Ode yang merupakan seorang guru, dekat dengan para bela, salah satu pemuda desa, menemui Sinta di balai desa dengan napas tersengal-sengal. “Mereka sudah mulai, Bu Sinta. Mereka membakar ladang kita dan mencemari sungai. Ini bukan hanya tentang tambang, mereka ingin menghancurkan kita.”
Sinta mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya bergejolak. “Kita tidak akan menyerah, La Ode. Tapi kita juga tidak bisa melawan mereka dengan cara yang sama. Kita harus tetap menjaga kepala dingin. Tolong temui La Ode Harimao, untuk minta petunjuk”, suara itu langsung terdengar di telinga Sinta, laksana suara leluhur yang baru saja di dengarnya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, Sinta mendapatkan pentujuk. Yah, saya harus menemui mancuana itu, ia memiliki kekuatan. Sinta memilih masuk ke dalam kamarnya untuk berdialog lewat batin dengan para leluhur dan La Ode Harimao. “Tidak perlu kau ragu, kekuatan terbesar dalam perjaungan adalah kemurnian hati, maka itu jaga kesucian fisik, pikiran dan rasa dari anak-anak muda itu, sehingga kami bisa bersama mereka”, bisik La Ode Harimao mewakili para leluhur.
Pertemuan dengan Anak Muda
Sinta memandang sekelompok anak muda yang berkumpul di bawah pohon besar di balai desa. Wira panggilan akrab untuk La Ode Wira, dengan tatapan penuh semangat, berdiri di tengah mereka. Beberapa pemuda dan pemudi lainnya—La Ode, Ilham, dan Sari—ikut mendengarkan, wajah mereka mencerminkan perpaduan rasa takut dan tekad. Sinta tahu bahwa mereka adalah harapan masa depan Lambusango, tetapi juga menyadari bahwa semangat tanpa arah bisa menjadi pedang bermata dua.
“Kita tidak bisa hanya berdiam diri, Sinta,” ujar Wira, suaranya penuh tekanan. “Mereka membakar ladang kita, mencemari air kita, dan sekarang mencoba mengambil hutan kita. Apa yang harus kita lakukan jika tidak melawan? Anak-anak Buton harus bangkit melawan atau selamanya akan kehilangan, dan ini bukan hanya soal Buton, tetapi ini soal bumi.”
Sinta menatap Wira dengan tatapan lembut, tetapi tegas. “Wira, aku mengerti amarahmu. Kita semua merasakannya. Tapi jika kita hanya mengandalkan amarah, kita akan kalah.”
La Ode, yang biasanya pendiam, akhirnya angkat bicara. “Tapi bagaimana kita bisa melawan mereka tanpa kekerasan? Mereka punya senjata, punya uang, bahkan punya jenderal. Kita hanya punya tangan kosong.”
Sinta menarik napas panjang. “Kita punya lebih dari itu, La Ode. Kita punya alasan yang kuat, kita punya tanah ini, dan kita punya persatuan. Jika kita bertindak dengan hati dan pikiran yang berangkat dari kangkilo yang kita yakini, bukan hanya dengan otot, kita bisa melindungi Lambusango.”
Ia melanjutkan, “Kalian harus ingat, ini bukan hanya tentang melawan. Ini tentang membela. Membela hutan, membela kehidupan kita, dan membela warisan leluhur kita. Kita harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita tidak hanya marah, tetapi kita juga bijak.”
Sinta meminta para pemuda untuk duduk melingkar di tanah. Ia menggunakan tongkat kecil untuk menggambar sketsa Lambusango di tanah berpasir. Dengan suara yang penuh keyakinan, ia mulai merancang strategi yang melibatkan kekuatan kolektif dan teknologi modern.
“Kita akan membuat zona pertahanan di jalur-jalur utama yang mereka gunakan,” kata Sinta. “Kita tidak membutuhkan kekerasan, tetapi kita membutuhkan keberadaan. Barikade manusia adalah simbol perlawanan kita.” Sinta meminta para pemuda untuk menjaga jalur ini secara bergantian, memastikan bahwa masyarakat tetap hadir tanpa memprovokasi kekerasan.
“Jun-ho akan membantu kita memasang kamera di area yang rawan,” lanjut Sinta. “Kita akan merekam semua pelanggaran yang mereka lakukan. Bukti ini bisa kita gunakan untuk melaporkan mereka ke pihak yang lebih tinggi.” Ilham dan Sari ditugaskan untuk belajar menggunakan peralatan tersebut. “Level permainan kita harus ditingkatkan ke level internasional, kita harus cerdas.”
“Kita harus melibatkan dunia luar,” Lanjut Sinta. “Kita akan menghubungi media internasional, organisasi lingkungan, dan orang-orang yang peduli dengan Lambusango. Dunia harus tahu apa yang sedang terjadi di sini.” Sinta lebih serius menatap anak-anak muda itu satu persatu, seolah meminta persetujuan dan tekad.
“Kalian harus membantu menyebarkan cerita leluhur kita kepada orang-orang di luar,” ujar Sinta. “Cerita tentang hutan ini sebagai rumah spiritual, tentang pohon-pohon tua yang menjadi penjaga kehidupan. Tentang paru-paru dunia yang akan dihancurkan. Dunia tidak akan peduli jika mereka tidak tahu apa yang kita lindungi.”
Selama beberapa hari berikutnya, Sinta dan Jun-ho memimpin pelatihan intensif untuk para pemuda. Jun-ho mengajarkan mereka cara menggunakan drone dan kamera perangkap untuk memantau aktivitas ilegal. Ia juga menunjukkan cara menganalisis data dari sensor gerak yang sudah dipasang di beberapa titik.
“Teknologi ini adalah mata kita,” kata Jun-ho. “Tapi kalian harus ingat, teknologi ini hanya alat. Kalian yang akan menjadi penjaga sebenarnya. Kearifan lokal yang kalian miliki.”
Di sisi lain, Sinta mengajarkan tentang pentingnya menjaga hubungan dengan masyarakat adat yang lebih tua. Ia meminta para pemuda untuk mendengarkan kisah-kisah mereka, memahami nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi, dan menggunakannya sebagai fondasi dalam perjuangan mereka.
“Kalian adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan,” kata Sinta. “Gunakan itu dengan bijak.”
Sementara itu, tekanan dari perusahaan tambang semakin besar. Jalan-jalan menuju tambang terus dijaga oleh masyarakat adat, tetapi perusahaan mulai mengirim lebih banyak alat berat dan personel keamanan. Sabotase kecil-kecilan terus terjadi—ladang masyarakat dirusak, hewan ternak hilang, dan beberapa anggota masyarakat bahkan menerima ancaman langsung.
Di malam hari, ketika Sinta sedang duduk di pondoknya, Wira datang dengan tergesa-gesa. “Sinta, mereka membawa lebih banyak truk. Aku tidak tahu apakah kita bisa terus menahan mereka.”
Sinta menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. “Wira, kita tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita harus tetap bertahan. Kita punya rencana, dan kita harus mempercayainya.”
Keesokan harinya, barikade manusia yang dipimpin oleh masyarakat adat kembali terbentuk di jalan utama. Wira dan La Ode berdiri di barisan depan, diapit oleh para pemuda lainnya. Di belakang mereka, para wanita dan anak-anak memegang spanduk sederhana yang bertuliskan: “Hutan adalah Kehidupan Kami.”
Di sisi lain, alat-alat berat perusahaan tambang terhenti. Para sopir tampak ragu untuk melangkah lebih jauh, terutama dengan kehadiran kamera dan drone yang mengawasi setiap gerakan mereka. Namun, ketegangan tetap terasa, terutama dengan keberadaan jenderal yang mengawal operasi ini.
“Kalian pikir kalian bisa menang hanya dengan duduk di sana?” teriak salah satu jenderal. “Kami punya izin, dan kami akan melewati kalian.”
Namun, La Tahang melangkah maju dengan tenang. “Kalian mungkin punya izin, tetapi kami punya hak. Hutan ini adalah milik leluhur kami, dan kami tidak akan membiarkan kalian menghancurkannya. Hutan ini adalah paru-paru dunia yang harusnya kita jaga bersama”
Melihat keberanian masyarakat adat dan pemuda, Sinta merasa harapan yang tumbuh di tengah tekanan ini. Ia tahu bahwa perjuangan ini jauh dari selesai, tetapi ia juga tahu bahwa mereka tidak sendiri.
“Kalian adalah bukti bahwa kekuatan tidak selalu tentang senjata atau uang,” kata Sinta kepada para pemuda malam itu. “Kalian adalah penjaga sejati hutan ini, dan dunia akan mendengar suara kalian.”
Beberapa hari kemudian, perusahaan tambang mencoba membawa hasil tambang keluar dari lokasi. Namun, masyarakat adat menutup akses jalan dengan cara yang sederhana tetapi efektif—mereka duduk di tengah jalan, membentuk barikade manusia yang sulit ditembus. Mereka tidak membawa senjata, hanya simbol-simbol adat seperti bendera kain dan tombak kayu.
“Tembus barikade ini!” perintah salah satu jenderal kepada sopir truk.
Namun, sopir itu ragu. Ia tahu bahwa jika ia melanggar barikade ini, itu akan menjadi pemberitaan besar yang bisa memperburuk citra perusahaan.
Di balik barikade itu, Sinta berdiri dengan tegap. Ia tahu bahwa keberadaannya sebagai titisan Ratu Wakaaka memberi kekuatan simbolis kepada masyarakat adat. “Kalian tidak akan lewat di sini,” katanya dengan suara tegas. “Jalan ini adalah jalan leluhur kami, dan kami tidak akan membiarkan kalian merusaknya.”
Di tengah situasi yang semakin menegangkan, Sinta mencoba menjaga ketenangan masyarakatnya. Ia mengingatkan mereka untuk tetap sabar, meskipun tekanan semakin besar. “Jangan biarkan mereka memancing kita untuk bertindak ceroboh,” katanya. “Sabar adalah senjata kita yang paling kuat.”
Namun, sabar tidak berarti pasif. Sinta dan Jun-ho mulai menghubungi jaringan internasional mereka untuk melaporkan situasi ini. Media internasional mulai meliput konflik ini, menyoroti perjuangan masyarakat adat Lambusango yang melawan korporasi besar.
Di malam yang tenang, Sinta merenung di tepi Sungai Wakarumba. Ia merasa bahwa perjuangan ini adalah ujian bagi masyarakat adat, tetapi juga bagi dirinya sendiri sebagai titisan Ratu Wakaaka.
Jun-ho menghampirinya. “Sinta, kita harus menemukan jalan lain. Ini tidak bisa dibiarkan terus seperti ini.”
Sinta mengangguk, tetapi matanya tetap menatap ke kejauhan. “Aku tahu, Jun-ho. Tapi jalan itu belum terlihat. Semua terasa buntu.”
Jun-ho terdiam sejenak, lalu berkata, “Mungkin saatnya kita mencari cara untuk mengubah permainan ini. Mereka menggunakan kekuatan fisik, tetapi kita bisa menggunakan kekuatan hukum dan teknologi.”
Salju Rusia yang abadi berguguran perlahan di atas landasan sejarah yang terhampar bak naskah kuno. Di jantung negeri yang dikenal dengan julukan “Beruang Merah,” Lintang melangkah penuh pertanyaan, membawa jiwa dari Buton yang telah lama belajar tentang nilai‑nilai Madrasah Langit. Kini, ia ingin menyelami akar peradaban yang telah lama dibingkai oleh bayangan kekuasaan dan keangkuhan, serta menemukan makna sejati di balik wilayah yang terhampar luas di bumi Rusia.Di sebuah pondok tua di pinggiran kota Vladimir, Lintang ditemui oleh guru‑guru kebijaksanaan yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai penjaga kearifan leluhur. Suasana di sekitarnya begitu sunyi, dengan udara dingin yang menusuk namun sekaligus menyegarkan, seperti kata‑kata pujangga yang menenangkan jiwa. Di sana, Lintang duduk bersama seorang lelaki tua berjanggut putih lebat—sensei Ivan Sergeyevich—yang wajahnya terukir oleh alur waktu dan pengalaman."Setiap butir salju ini," ujar Sensei Ivan sambil menatap langi
Lintang berdiri di atas panggung kayu sederhana di tengah lapangan Desa Lambusango, dikelilingi oleh ribuan wajah dari berbagai suku, bahasa, dan budaya. Angin lembut membawa aroma rerumputan basah dan pembicaraan pelan. Ia menatap horizon, sejenak menenangkan pikirannya sebelum berkata lantang:“Saudara-saudaraku, hari ini kita tidak lagi berbicara hanya tentang pertanian organik, tentang teknologi ramah lingkungan, atau tentang tata kelola adat. Hari ini kita berbicara tentang ekonomi berbasis rakyat, sebuah ekonomi di mana tanah adat, pengetahuan leluhur, dan keterampilan lokal menjadi batu fondasi, bukan sekadar komoditas yang ditukar di pasar.”Suara Lintang bergema di setiap sudut lapangan. Tepuk tangan meriah mengiringi setiap patah kata, seolah memberi dukungan penuh pada gagasan barunya: membangun jaringan waralaba rakyat yang menghubungkan usaha-usaha kecil masyarakat adat di seluruh dunia menjadi satu kesatuan ekonomi yang tangguh.Ia melanjutkan, “Bayangkan, kopi luwak but
Seiring matahari pagi menyembul di ufuk timur Lambusango, udara basah menyambut jemari Lintang yang menorehkan sketsa besar di papan tulis bambu: “Politeknik Madrasah Langit”. Di hadapannya berkumpul perwakilan masyarakat adat dari berbagai penjuru—Sunda, Papua, Tolaki, Mandar, dan Buton—bersama mahasiswa muda dari kota-kota besar, guru Tai Chi, instruktur Balaba, serta para CEO teknologi Tiongkok yang sejak lama menjadi mitra.Sejak menancapkan akar baru, antusiasme kaum adat dan global belum surut. Kini, Madrasah Langit merintis politeknik—lembaga pendidikan terapan yang melangkah jauh melampaui model akademik konvensional. Lintang memaparkan gagasannya mengenai upayanya untuk mendekatkan masyarakat adat dengan universitas; ia malah menawarkan satu gagasan mengenai sebuah universitas. Ia ingin membangun peradaban. Ia memperkenalkan satu gagasan Politeknik Langit. Ia mulai menawarkan konsepnya dalam seminar internasional yang dihadiri berbagai pihak. Politeknik Langit diharapkan dapa
Lintang terbangun sebelum fajar.Meski tubuhnya letih, hatinya terasa lega.Malam tadi, ia kembali menelusuri mimpi alam bawah sadarnya—bertemu Sang Ratu Wakaaka, membisikkan ajaran kebaikan abadi, saling memelihara, menyayangi, melindungi, dan menghormati sebagai akar peradaban. Seolah Sang Ratu menyadarkannya:“Lintang, kekuatan sejati bukanlah gesekan kekerasan,tapi harmoni gerak yang meredam amarah,dan menyatukan manusia dengan alam semesta.”Kata-kata itu kembali bergaung di kepala Lintang ketika ia bersiap memulai hari baru di Madrasah Langit.Di aula beratap anyaman daun nipah, puluhan relawan lokal merakit panel surya, drone pertanian, dan alat ukur kualitas tanah.Madrasah Langit kini berfungsi sebagai laboratorium hidup—mengawinkan kearifan lokal dan teknologi canggih.Anak-anak desa belajar menenun bambu sambil memahami prinsip elektronika dasar untuk sensor kelembapan.Guru Tai Chi mengajari gerakan lambat yang menstimulasi aliran energi, menenangkan pikiran, dan menyelara
Lintang duduk sendiri di tepi danau tua yang tersembunyi di pegunungan tinggi.Ia tidak lagi bicara, tidak lagi menulis, bahkan tidak membuka gawai.Hari-hari yang panjang, penuh ketegangan, ketakutan, dan perlawanan telah menyapih jiwanya dari dirinya sendiri.Ia merasa kosong.Jiwanya seperti tak memiliki tanah—tergantung di udara.Lintang letih.Letih bukan karena pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam—karena keterputusan.Ia merasa jauh dari asal muasal dirinya.Malam itu, langit sangat hening.Bintang-bintang berkilau, namun tidak bersuara.Angin seolah memeluk dirinya, membisikkan kata-kata tak terdengar.Di tengah meditasi diamnya, Lintang mulai tertidur.Namun dalam tidurnya, ia tidak bermimpi seperti biasanya.Ia jatuh ke dalam lubang kesadarannya sendiri.Bukan gelap.Melainkan terang…Lembut…Hangat.Ia berdiri di sebuah hutan yang tidak pernah ia kenal, namun terasa begitu dekat.Hutan itu tidak berbicara dengan kata-kata, tetapi berbicara lewat rasa.Pepohonan
Angin pagi membawa aroma tanah basah ke ruang Madrasah Langit.Lintang duduk termenung di bawah pohon tua, menggenggam secangkir kopi pahit. Ia baru saja menerima laporan dari berbagai penjuru dunia.Perjuangan belum selesai.Malah, badai baru sedang bertiup.Oligarki tidak tinggal diam.Dengan kelicikan yang diwariskan dari generasi ke generasi, mereka kini menyusup lewat jalur yang paling berbahaya: hukum.Mereka membiayai oknum pengacara, politisi, dan aparat, menyusun skenario untuk "mengalihkan" hak tanah adat ke tangan-tangan korporasi.Caranya sederhana namun licik:Mereka menghasut sebagian kecil masyarakat untuk mengklaim tanah atas nama pribadi, dengan janji keuntungan besar.Setelah itu, mereka membeli klaim tersebut dalam diam, lalu mendaftarkannya dengan segala dokumen legal yang telah mereka manipulasi.Dengan stempel
Malam itu, langit di atas Wakatobi dipenuhi bintang. Laut tenang, dan angin membawa aroma garam yang lembut. Di sebuah ruang terbuka Madrasah Langit, di bawah pancaran lampu-lampu kecil bertenaga surya, Lintang duduk menghadap layar besar. Di sebuah kafe yang dikelola masyarakat adat, persis di Bukit Wungka Toliamba, ia duduk dengan beberapa anak muda, menikmati malam.Hari itu, ia tidak hanya merayakan kebebasan ibunya, Sinta.Ia merayakan kemenangan tanah.Kemenangan kehidupan.Kemenangan dari segala akar yang selama ini diam, tapi kini mulai bersuara.Lintang membuka pertemuan daring Madrasah Langit internasional. Wajah-wajah dari berbagai belahan bumi mulai bermunculan di layar:Seorang petani tua dari pinggir Sungai Nil tersenyum sambil mengangkat segenggam tanah berwarna merah. Seorang gadis muda dari pegunungan Ural, Rusia, mengibarkan kain bordiran nenek moyangnya, lambang perlindungan tanah. Seorang nelayan dari pantai Pasifik menunjukkan ikan-ikan yang ia tangkap dengan ban
Malam itu, Lintang duduk di bawah langit Lambusango yang kelam. Angin laut membawa aroma asin, bercampur bau tanah basah yang baru saja disiram hujan. Tapi pikirannya jauh, melayang ke sel tahanan kecil di kota: tempat di mana Sinta, perempuan yang ia panggil Ibu, sedang ditahan karena mempertahankan hak paling mendasar manusia: hak atas tanahnya sendiri.Lintang mengepalkan tangan. Ia tahu, ini bukan sekadar membela Sinta, ini membela kehormatan seluruh gerakan Madrasah Langit."Kalau aku tidak melindunginya," bisiknya, "maka aku telah mengkhianati semua yang kami perjuangkan."Pagi itu, di depan gedung pengadilan, ratusan orang berkumpul. Petani, nelayan, anak-anak muda, bahkan beberapa profesor idealis berdiri dalam barisan.Mereka membawa spanduk bertuliskan: "Bebaskan Sinta. Tanah untuk rakyat."Di belakang mereka, suara drum bambu dan teriakan semangat menggema.Lintang berdiri di mimbar kecil, wajahnya tegas:
Di balik udara hangat Lambusango, Lintang menyaksikan kabut pekat mulai menggantung. Bukan kabut embun, melainkan kabut politik, dikirim dari kantor-kantor gelap para oligarki yang tak senang gerakan Madrasah Langit terus berakar dan menjalar.Pagi itu, berita mengejutkan menghentak komunitas: Sinta, sahabat karib sekaligus ibu Lintang, ditahan. Tuduhan: provokasi, menghalang-halangi pembangunan nasional. Polisi bersenjata lengkap mendatangi rumahnya di pinggir hutan, menggiringnya seperti penjahat besar.Lintang berdiri membatu di depan Madrasah, napasnya berat. Sinta, yang selalu menanam pohon dengan anak-anak, yang mengajari tentang tanah sebagai ibu, kini diikat oleh tangan hukum yang dikendalikan uang. Dia merasa marah dan putus asa, namun juga penuh tekad untuk melawan ketidakadilan yang terjadi. Dengan langkah mantap, Lintang memutuskan untuk mencari bantuan dari teman-teman seperjuangannya di Madrasah Langit. Mereka berkomitmen untuk tidak tinggal diam melihat sahabat mereka di