“Hutan Lambusango harus menjadi magnet dunia” pikir Sinta. Dari para peneliti yang membawa alat-alat canggih hingga sindikat gelap yang bergerak dalam bayangan, semua mata tertuju pada kekayaan yang tersembunyi di bawah dan di atas tanah ini. Di tengah sorotan itu, Sinta merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia tahu bahwa menjaga hutan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga spiritual dan moral. Sinta juga membayangkan untuk bagaimana hutan ini sebagai pusat riset obat tradisional. Nenek moyangnya, telah memiliki tradisi untuk mengobati semua penyakit melalui tradisi mereka.
Pagi itu, Sinta menerima laporan dari tim Jun-hoo. Data dari kamera pengawas menunjukkan peningkatan aktivitas ilegal di beberapa titik. Ada pemburu yang masuk ke zona larangan, beberapa kelompok membawa peralatan berat untuk eksplorasi tambang, dan bahkan laporan tentang ritual mencurigakan yang dilakukan di tempat-tempat sakral. Namun, ada yang mereka yang tidak mengerti, ada bayangan orang-orang kecil juga yang muncul di kamera.
“Sinta, saya melihat hasil kamera yang kita pasang di hutan, rupanya ada mahluk aneh, yang belum pernah saya lihat. Mereka menaiki hewan kecil yang mirip kambing, hampir mirip juga dengan anoa”, ini menarik. Dunia akan mendapatkan banyak informasi dari data yang akan kita publikasi. Ini penting untuk isu yang akan menjadi underline dari mata uang crypto yang akan kita kembangkan.
“Sinta hanya ternganga, tetapi jiwanya justru langsung berbicara dengan mahluk itu, makhluk yang menghuni Pulau Buton. “Ini harus dijelaskan kepada dunia melalui teknologi, karena kesadaran yang masuk melalui jalan jiwa, tidak semua memahaminya”, pikirnya dalam hati.
Jun-hoo tampak lelah, tetapi masih mempertahankan nada tenangnya. “Ini lebih buruk dari yang kita duga. Ketika perhatian dunia tertuju ke sini, kita tidak hanya menarik mereka yang ingin melestarikan, tetapi juga mereka yang ingin merusak.” Sinta tersenyum, bahkan lebih dalam ia merasakan kedatangan makhluk lain, yang ia tangkap dan rasakan, rupanya banyak juga makhluk lain yang datang ke hutan Lambusango.
Sinta mengangguk, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Kita harus membuat keputusan yang lebih tegas. Tapi dimana batasnya? Kita tidak bisa melarang semua orang masuk, tetapi kita juga tidak bisa membiarkan hutan ini menjadi tempat eksploitasi.”
“Lambusango seperti berdiri di dua dunia,” kata Jun-hoo. “Dunia yang melihatnya sebagai paru-paru dunia, dan dunia yang melihatnya sebagai ladang emas.” Ini tanggung jawab kita akan lebih berat, kita harus membahas ini lebih serius, dan bisa melibatkan semua orang di dunia untuk melindungi paru-paru dunia ini.
Sinta memutuskan untuk mengadakan pertemuan dengan masyarakat adat di balai desa. Di tengah suasana yang tegang, para tetua adat dan generasi muda berkumpul, masing-masing membawa pandangan dan kekhawatiran mereka. Tetua adat La Ode Harimao merasakan apa yang sekarang terjadi, para leluhur terbangun, “Ini ada gejala penting yang harus kita lakukan”, leluhur memberi tahu kita untuk melindungi hutan ini. Kita harus menuju Benteng Siontapina, untuk melihat kunci di sana, kunci yang menyembunyikan semua hasil hutan di pulau ini”, pikirnya dalam hati. Ia hanya menggelengkan kepalanya, saat ia merasakan leluhur memanggilnya.
“Kita tidak bisa membiarkan mereka terus merusak hutan kita!” seru seorang pemuda bernama Wira. “Jika mereka datang dengan alat berat, kita harus melawan dengan apa yang kita punya.” Matanya menatap semua yang hadir, satu persatu. La Ode Harimao terdiam, semua ilmunya mampu menangkap apa yang di dalam diri Sinta, yang mengendalikan pikiran dan jiwa, ia selalu memandang Sinta sebagai Ratu Wakaaka.
“Tapi bagaimana?” jawab seorang wanita tua, wajahnya penuh kerutan. “Mereka punya kekuatan, uang, dan izin. Apa yang kita punya selain doa?” Saat menanggapi itu, ia merasakan apa yang ada di dalam diri Sinta. Merasakan pula siapa Jun-hoo sebenarnya. Jun-hoo adalah titisan leluhur yang menemukan tubuh yang suci yang lahir di pulau Jeju, Korea Selatan.
La Tahang, pemimpin adat, berdiri dengan tenang, lalu berbicara. “Kita punya hutan ini. Selama kita berdiri bersama, hutan ini tidak akan jatuh ke tangan siapa pun. Tapi kita harus bijak. Kekerasan bukan jawaban. Kita harus menggunakan kekuatan kita—kekuatan tradisi dan persatuan. Orang-orang tua kita dapat menyembunyikan hutan ini, mungkin kita harus membuat ritual yang selama ini untuk menyembunyikan potensi di hutan ini”. Jun-hoo mendengarkan tanggapan itu dengan seksama, ia memikirkan penguatan kapasitas masyarakat tentang kearifan lokal mereka.
Sinta mendengarkan dengan seksama. Ia merasa harus menjadi jembatan antara generasi tua yang masih memegang tradisi dan generasi muda yang ingin perubahan cepat. “Hutan ini bukan hanya milik kita,” katanya. “Ia milik dunia. Tapi dunia harus tahu bahwa kita adalah penjaga utamanya. Kita harus berdiri bersama, bukan hanya melawan mereka yang merusak, tetapi juga mengarahkan mereka yang ingin membantu.”
Pagi itu, Sinta berdiri di depan papan tulis besar yang dipasang di balai desa, menjelaskan rencana terperinci kepada masyarakat adat dan tokoh-tokoh penting. Di sekelilingnya, para tetua adat, pemuda-pemudi desa, dan Jun-hoo mendengarkan dengan penuh perhatian. Di sudut ruangan, La Tahang duduk dengan tenang, memegang tongkat kayu yang sudah usang, simbol kepemimpinannya yang bijaksana. Sementara La Ode Harimao tetap tenang, karena ia mampu memantau dari aspek spiritual.
“Kita harus melindungi Hutan Lambusango bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi mendatang,” kata Sinta dengan nada tegas. “Namun, melindungi berarti kita harus menetapkan batasan yang jelas. Tidak semua orang bisa masuk ke wilayah ini tanpa izin.”
Masyarakat Adat Menetapkan Zona Sakral
La Tahang mengangguk pelan. “Ada tempat-tempat yang telah kami lindungi sejak zaman nenek moyang. Pohon-pohon tua di Siontapina adalah rumah leluhur kami. Mereka tidak boleh disentuh.” Ia menunjuk pada peta yang dipajang Sinta. “Dan disini, di Sungai Wakorumba, anoa datang untuk minum. Itu juga harus kita jaga. Lembah yang ada di Punggung Kuda juga harus dilestarikan. Kita harus menjaga semua air terjun di pulau ini sebagai kekuatan kita.”
Sinta mencatat dengan teliti setiap lokasi yang disebutkan oleh masyarakat adat. Bersama Jun-hoo, ia menggabungkan informasi ini dengan data biodiversitas dari penelitian ekologi. Mereka sepakat membagi hutan menjadi tiga zona: Zona Sakral untuk wilayah spiritual, Zona Biodiversitas Tinggi untuk habitat satwa endemik, dan Zona Pemulihan untuk memperbaiki kerusakan akibat aktivitas ilegal sebelumnya.
Jun-hoo melangkah maju, membawa drone kecil yang melayang rendah di atas tangan kanannya. “Ini adalah salah satu alat yang akan kita gunakan,” katanya. “Dengan drone ini, kita bisa memantau seluruh zona perlindungan. Kamera infra merahnya bisa melihat aktivitas ilegal bahkan di malam hari.”
Ilham, seorang pemuda desa yang sebelumnya skeptis terhadap teknologi, mengangkat tangan. “Tapi bagaimana kita tahu drone itu tidak akan rusak di tengah hutan?”
Jun-hoo tersenyum. “Kita akan melatih beberapa dari kalian untuk mengoperasikan dan merawatnya. Drone ini milik kalian. Teknologi ini akan menjadi bagian dari alat perlindungan hutan kita.”
Di sudut lain, La Ode Taru, salah satu tetua yang sering meragukan perubahan modern, menyela dengan nada curiga. “Teknologi mungkin membantu, tapi siapa yang akan menjaga ketika teknologi gagal?”
La Harimao hanya terdiam, dalam hatinya ia berkata, “Yang akan menjaga semua itu adalah Hati kita, rasa kita dapat melindungi semua itu, leluhur kita mengajari kita dengan itu semua”, ia begitu tenang hingga ia hanya terdiam dan tersenyum. Hanya saja ia ingin menyaksikan kekuatan kearifan lokal dengan teknologi yang berbasis cryptocarency dalam pengelolaan lingkungan.
Sinta menjawab dengan tenang, “Itulah mengapa kita tidak hanya mengandalkan teknologi, tetapi juga kekuatan tradisi. Kita akan tetap berjaga dengan cara lama, tetapi teknologi ini akan memperkuat mata dan telinga kita. Semua ritual, serta norma-norma adat dalam pengelolaan hutan, harus kita gunakan untuk melindungi hutan kita”, ungkap Sinta penuh percaya diri.
La Tahang berdiskusi dengan Jun-hoo tentang lokasi strategis untuk memasang sensor gerak. “Di jalur ini,” katanya sambil menunjuk pada peta, “Sering ada orang luar yang masuk tanpa izin. Jika kita bisa mendeteksi mereka lebih awal, kita bisa menghentikan mereka sebelum mereka melangkah lebih jauh.”
Jun-hoo mengangguk, memasukkan titik-titik tersebut ke dalam perangkat GPS. Ia juga menjelaskan fungsi kamera perangkap, yang akan merekam siapa pun yang masuk tanpa izin. “Kamera ini bukan hanya untuk keamanan, tetapi juga bukti hukum,” katanya. “Jika ada pelanggaran, kita punya gambar yang bisa dilaporkan.”
Sinta mengajak para pemuda desa seperti Ilham dan Wira untuk mengikuti pelatihan intensif. Mereka belajar mengoperasikan drone, membaca data dari sensor gerak, dan menganalisis video dari kamera perangkap. Jun-hoo memimpin sesi pelatihan, memberikan penjelasan sederhana tetapi efektif.
“Teknologi ini bukan pengganti kalian,” kata Jun-hoo kepada mereka. “Ini adalah alat yang kalian kendalikan. Dan kalian adalah penjaga sejati hutan ini. Kita harus menyatukan kearifan lokal dan teknologi untuk menyelamatkan hutan ini”.
Ilham, yang sebelumnya ragu, akhirnya merasa bangga. “Jadi, kita tidak hanya melindungi hutan, tapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa kita bisa menjaga warisan kita dengan cara modern.”
Di balai desa, Sinta duduk bersama La Tahang dan Ustaz Abdul Karim, membahas aturan adat yang akan mendukung zona perlindungan ini. “Kita harus memperkuat ini dengan peraturan lokal,” kata Sinta. “Aturan yang bisa diakui secara hukum tetapi tetap menghormati tradisi.”
Ustaz Abdul Karim menambahkan, “Hutan ini bukan hanya tanah, tetapi juga jiwa kita. Aturan ini harus melindungi itu, bukan hanya pohonnya.”
Mereka menyusun dokumen yang menjadikan zona perlindungan sebagai wilayah adat yang tidak bisa disentuh tanpa izin. La Tahang memastikan bahwa dokumen ini tidak hanya mencantumkan larangan, tetapi juga tanggung jawab masyarakat untuk menjaga hutan.
Namun, tidak semua pihak setuju. La Ghani, seorang politisi lokal yang bekerja sama dengan perusahaan tambang, mulai menyebarkan isu bahwa program perlindungan ini adalah upaya untuk menguasai hutan demi keuntungan pribadi. “Mereka menggunakan teknologi asing untuk mengendalikan tanah kita,” katanya di salah satu media lokal, mencoba memecah belah masyarakat.
Sinta mendengar berita ini dengan hati yang berat, tetapi ia tidak mundur. “Mereka akan terus menyerang kita, tapi kita harus tetap berdiri. Lambusango bukan milik siapapun, tapi tanggung jawab kita semua.”
Malam itu, Sinta berdiri di tepi Sungai Wakarumba, memandang langit yang dipenuhi bintang. Drone kecil melayang di atasnya, menandakan bahwa zona perlindungan mulai bekerja. Namun, ia tahu bahwa perjuangan baru saja dimulai. Ancaman tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam—dari ketidakpercayaan dan kepentingan yang bertabrakan.
“Lambusango adalah kekuatan kita,” pikirnya. “Dan kita tidak akan membiarkan siapapun merampasnya.”
Bab ini menunjukkan bagaimana Sinta dan masyarakat adat mulai membangun perlindungan konkret untuk Hutan Lambusango, tetapi juga memperlihatkan tantangan besar yang akan datang, baik dari ancaman fisik maupun politik.
Namun, ancaman tidak berhenti. Perusahaan tambang yang merasa dirugikan oleh kampanye ini mulai menggerakkan tokoh-tokoh lokal untuk melawan Sinta dan masyarakat adat. Mereka menyebarkan desas-desus bahwa program konservasi hanyalah kedok untuk mengambil keuntungan dari hutan.
La Ghani, seorang politisi lokal yang menjadi dalang utama, mulai memainkan taktik kotor. Ia mengirim orang-orang untuk menyusup ke dalam komunitas adat, mencoba memecah belah mereka dari dalam.
“Kita harus hati-hati,” kata Jun-hoo kepada Sinta. “Mereka tidak hanya menyerang kita secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan sosial.”
Di tengah semua tekanan ini, Sinta merasa perlu kembali ke Lambusango, ke jantung hutan yang telah menjadi bagian dari jiwanya. Di sana, ia merasakan energi yang berbeda—sebuah campuran antara harapan dan ancaman.
Ia berdiri di bawah pohon besar yang dianggap suci oleh masyarakat adat. Menutup matanya, ia berdoa, meminta bimbingan dari leluhurnya. Dalam keheningan itu, ia mendengar bisikan lembut, seolah-olah Ratu Wakaaka sendiri berbicara padanya.
“Lindungi hutan ini dengan hati dan kepala. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu, tapi jangan pula biarkan amarah membutakanmu.”
Sinta membuka matanya dengan rasa tenang yang baru. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendiri.
Sinta berdiri di tengah Hutan Lambusango, dikelilingi oleh keindahan yang sekaligus rapuh. Di kejauhan, ia mendengar suara burung-burung dan gemerisik daun, seolah-olah hutan itu berbicara kepadanya. Sesekali longlongan anjing hutan memecahkan keheningan malam di sekitar hutan Lambusango.
“Hutan ini adalah kekuatan kita,” pikirnya. “Tapi kekuatan itu hanya berarti jika kita bisa menjaganya bersama.” Sinta semakin penasaran pada apa yang mereka akan lakukan bersama masyarakat. Dengan tekad baru, ia melangkah kembali ke desa, siap untuk menghadapi tantangan berikutnya dengan keberanian dan kebijaksanaan. Sementara Jun-hoo mengerjakan website untuk membangun hutan lambusango, sebagian ada yang mencoba menciptakan mata uang crypto dengan underline Hutan Lambusango, sambil menunggu hasil valuasi Hutan Lambusango untuk menemukan nilai Valuasi lingkungan dan mineral yang ada di dalam hutan itu.
Salju Rusia yang abadi berguguran perlahan di atas landasan sejarah yang terhampar bak naskah kuno. Di jantung negeri yang dikenal dengan julukan “Beruang Merah,” Lintang melangkah penuh pertanyaan, membawa jiwa dari Buton yang telah lama belajar tentang nilai‑nilai Madrasah Langit. Kini, ia ingin menyelami akar peradaban yang telah lama dibingkai oleh bayangan kekuasaan dan keangkuhan, serta menemukan makna sejati di balik wilayah yang terhampar luas di bumi Rusia.Di sebuah pondok tua di pinggiran kota Vladimir, Lintang ditemui oleh guru‑guru kebijaksanaan yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai penjaga kearifan leluhur. Suasana di sekitarnya begitu sunyi, dengan udara dingin yang menusuk namun sekaligus menyegarkan, seperti kata‑kata pujangga yang menenangkan jiwa. Di sana, Lintang duduk bersama seorang lelaki tua berjanggut putih lebat—sensei Ivan Sergeyevich—yang wajahnya terukir oleh alur waktu dan pengalaman."Setiap butir salju ini," ujar Sensei Ivan sambil menatap langi
Lintang berdiri di atas panggung kayu sederhana di tengah lapangan Desa Lambusango, dikelilingi oleh ribuan wajah dari berbagai suku, bahasa, dan budaya. Angin lembut membawa aroma rerumputan basah dan pembicaraan pelan. Ia menatap horizon, sejenak menenangkan pikirannya sebelum berkata lantang:“Saudara-saudaraku, hari ini kita tidak lagi berbicara hanya tentang pertanian organik, tentang teknologi ramah lingkungan, atau tentang tata kelola adat. Hari ini kita berbicara tentang ekonomi berbasis rakyat, sebuah ekonomi di mana tanah adat, pengetahuan leluhur, dan keterampilan lokal menjadi batu fondasi, bukan sekadar komoditas yang ditukar di pasar.”Suara Lintang bergema di setiap sudut lapangan. Tepuk tangan meriah mengiringi setiap patah kata, seolah memberi dukungan penuh pada gagasan barunya: membangun jaringan waralaba rakyat yang menghubungkan usaha-usaha kecil masyarakat adat di seluruh dunia menjadi satu kesatuan ekonomi yang tangguh.Ia melanjutkan, “Bayangkan, kopi luwak but
Seiring matahari pagi menyembul di ufuk timur Lambusango, udara basah menyambut jemari Lintang yang menorehkan sketsa besar di papan tulis bambu: “Politeknik Madrasah Langit”. Di hadapannya berkumpul perwakilan masyarakat adat dari berbagai penjuru—Sunda, Papua, Tolaki, Mandar, dan Buton—bersama mahasiswa muda dari kota-kota besar, guru Tai Chi, instruktur Balaba, serta para CEO teknologi Tiongkok yang sejak lama menjadi mitra.Sejak menancapkan akar baru, antusiasme kaum adat dan global belum surut. Kini, Madrasah Langit merintis politeknik—lembaga pendidikan terapan yang melangkah jauh melampaui model akademik konvensional. Lintang memaparkan gagasannya mengenai upayanya untuk mendekatkan masyarakat adat dengan universitas; ia malah menawarkan satu gagasan mengenai sebuah universitas. Ia ingin membangun peradaban. Ia memperkenalkan satu gagasan Politeknik Langit. Ia mulai menawarkan konsepnya dalam seminar internasional yang dihadiri berbagai pihak. Politeknik Langit diharapkan dapa
Lintang terbangun sebelum fajar.Meski tubuhnya letih, hatinya terasa lega.Malam tadi, ia kembali menelusuri mimpi alam bawah sadarnya—bertemu Sang Ratu Wakaaka, membisikkan ajaran kebaikan abadi, saling memelihara, menyayangi, melindungi, dan menghormati sebagai akar peradaban. Seolah Sang Ratu menyadarkannya:“Lintang, kekuatan sejati bukanlah gesekan kekerasan,tapi harmoni gerak yang meredam amarah,dan menyatukan manusia dengan alam semesta.”Kata-kata itu kembali bergaung di kepala Lintang ketika ia bersiap memulai hari baru di Madrasah Langit.Di aula beratap anyaman daun nipah, puluhan relawan lokal merakit panel surya, drone pertanian, dan alat ukur kualitas tanah.Madrasah Langit kini berfungsi sebagai laboratorium hidup—mengawinkan kearifan lokal dan teknologi canggih.Anak-anak desa belajar menenun bambu sambil memahami prinsip elektronika dasar untuk sensor kelembapan.Guru Tai Chi mengajari gerakan lambat yang menstimulasi aliran energi, menenangkan pikiran, dan menyelara
Lintang duduk sendiri di tepi danau tua yang tersembunyi di pegunungan tinggi.Ia tidak lagi bicara, tidak lagi menulis, bahkan tidak membuka gawai.Hari-hari yang panjang, penuh ketegangan, ketakutan, dan perlawanan telah menyapih jiwanya dari dirinya sendiri.Ia merasa kosong.Jiwanya seperti tak memiliki tanah—tergantung di udara.Lintang letih.Letih bukan karena pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam—karena keterputusan.Ia merasa jauh dari asal muasal dirinya.Malam itu, langit sangat hening.Bintang-bintang berkilau, namun tidak bersuara.Angin seolah memeluk dirinya, membisikkan kata-kata tak terdengar.Di tengah meditasi diamnya, Lintang mulai tertidur.Namun dalam tidurnya, ia tidak bermimpi seperti biasanya.Ia jatuh ke dalam lubang kesadarannya sendiri.Bukan gelap.Melainkan terang…Lembut…Hangat.Ia berdiri di sebuah hutan yang tidak pernah ia kenal, namun terasa begitu dekat.Hutan itu tidak berbicara dengan kata-kata, tetapi berbicara lewat rasa.Pepohonan
Angin pagi membawa aroma tanah basah ke ruang Madrasah Langit.Lintang duduk termenung di bawah pohon tua, menggenggam secangkir kopi pahit. Ia baru saja menerima laporan dari berbagai penjuru dunia.Perjuangan belum selesai.Malah, badai baru sedang bertiup.Oligarki tidak tinggal diam.Dengan kelicikan yang diwariskan dari generasi ke generasi, mereka kini menyusup lewat jalur yang paling berbahaya: hukum.Mereka membiayai oknum pengacara, politisi, dan aparat, menyusun skenario untuk "mengalihkan" hak tanah adat ke tangan-tangan korporasi.Caranya sederhana namun licik:Mereka menghasut sebagian kecil masyarakat untuk mengklaim tanah atas nama pribadi, dengan janji keuntungan besar.Setelah itu, mereka membeli klaim tersebut dalam diam, lalu mendaftarkannya dengan segala dokumen legal yang telah mereka manipulasi.Dengan stempel