หน้าหลัก / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 4: Di Antara Tradisi dan Bayangan**

แชร์

Bab 4: Di Antara Tradisi dan Bayangan**

ผู้เขียน: Oceania
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-11-18 12:18:18

Pantai Selatan Pulau Buton selalu dipandang sebagai tempat yang misterius. Di sana ada kuburan Wa Mbuliga, manusia sakti yang selamat dari tuduhan bahwa ia hamil insest. di daerah itulah kemarat laut itu mengabadikan karang, dan legenda menjadikannya pintu untuk menjaga lautan. Hanya sedikit orang yang berani menginjakkan kaki di sana pada malam hari, karena cerita tentang bayangan putih yang turun dari langit dan nyanyian aneh yang menggema di atas ombak telah menjadi bagian dari legenda lokal. Namun, malam itu, Ratu Wakaaka memutuskan untuk memimpin sendiri perjalanan ke pantai tersebut. Bersamanya adalah Aji, pemuda yang kini menjadi kepercayaannya, serta sekelompok pemuda terlatih yang siap menghadapi apa pun.

Di sepanjang perjalanan, mereka melewati desa-desa kecil di mana penduduk berkumpul di balai desa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Ketika Wakaaka mendengar keluhan mereka, ia berhenti sejenak untuk menenangkan hati rakyatnya.

“Ratu,” ujar seorang tetua desa bernama La Tando, dengan nada penuh keprihatinan, “kami khawatir bahwa bayangan itu adalah pertanda buruk. Mungkin leluhur kita marah karena kita telah melupakan tradisi.”

Wakaaka menatapnya dengan lembut. “La Tando, tradisi kita adalah akar yang menjaga kita tetap berdiri, tetapi itu tidak berarti kita tidak boleh tumbuh. Aku percaya bahwa apa pun yang kita temui malam ini akan membawa kita lebih dekat pada kebenaran. Percayalah padaku.”

Tetua itu terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kami percaya pada Anda, Ratu.”

Saat mereka mendekati pantai selatan, suasana menjadi semakin ganjil. Udara terasa lebih dingin, dan angin laut berhembus membawa aroma yang aneh, seperti campuran garam dan sesuatu yang membusuk. Di kejauhan, mereka mulai melihat bayangan putih melayang di atas ombak, bergerak perlahan seperti tarian anggun.

Ketika mereka tiba, Wakaaka melangkah maju, sementara yang lain berdiri di belakangnya. Ia mengangkat tangannya, mencoba berkomunikasi dengan sosok itu. “Siapa kau? Apa yang kau inginkan dari kami?”

Bayangan itu berhenti. Lalu, sebuah suara lembut namun penuh kekuatan bergema di udara, seperti nyanyian yang tidak berasal dari dunia ini. “Aku adalah penjaga keseimbangan. Aku datang untuk memperingatkan bahwa ancaman besar sedang mendekat, dan kalian belum siap.”

Sosok itu perlahan turun ke atas pasir. Ketika cahaya bulan menerangi wujudnya, mereka melihat seorang wanita tua dengan rambut putih panjang dan mata yang bersinar biru. Ada aura yang menenangkan sekaligus menakutkan di sekelilingnya.

“Ancaman seperti apa?” tanya Wakaaka.

Wanita itu menggeleng pelan. “Bayangan Lautan telah bangkit, membawa kekuatan gelap yang akan menghancurkan keseimbangan dunia. Jika kalian tidak bersatu, kalian akan hancur.”

Keesokan harinya, Wakaaka kembali ke istana dengan pesan dari penjaga pantai selatan. Ia segera memanggil para penasihat dan tokoh masyarakat untuk membahas ancaman tersebut. Namun, seperti yang diduga, perbedaan pendapat segera mencuat.

La Putu, penasihat tua yang terkenal konservatif, berdiri dan berkata dengan nada tajam, “Ratu, kita tidak perlu mencari artefak atau melibatkan generasi muda yang belum memahami tradisi. Yang harus kita lakukan adalah memohon kepada leluhur dengan ritual adat, seperti yang telah kita lakukan selama berabad-abad.”

Sahril, seorang pemuda yang turut hadir, segera menyela. “La Putu, Anda terlalu terikat pada masa lalu. Dunia sudah berubah, dan kita tidak bisa hanya mengandalkan tradisi. Kita butuh pendekatan baru untuk melindungi pulau ini.”

Perdebatan pun memanas, dengan La Putu dan pendukungnya di satu sisi, sementara generasi muda berada di sisi lain. Wakaaka berdiri di tengah-tengah ruangan, mendengarkan dengan saksama, sebelum akhirnya mengangkat tangannya untuk meminta keheningan.

“Kita tidak bisa memilih salah satu sisi dan mengabaikan yang lain,” katanya dengan suara tenang namun tegas. “Tradisi adalah fondasi kita, tetapi inovasi adalah jembatan menuju masa depan. Jika kita tidak bersatu, bagaimana kita bisa melawan ancaman yang jauh lebih besar?”

Ia kemudian mengumumkan rencananya untuk menggelar *Ritual Kesatuan Adat*, sebuah upacara besar yang akan memadukan elemen tradisional dan modern. Generasi tua akan memimpin bagian ritual adat, sementara generasi muda akan menggunakan teknologi untuk mendokumentasikan dan mempromosikan ritual tersebut sebagai warisan budaya yang hidup.

Namun, di balik dinding istana, La Putu memiliki rencana lain. Ia tidak percaya pada pendekatan Wakaaka dan merasa bahwa sang ratu telah mengkhianati tradisi mereka. Diam-diam, ia mengirim pesan kepada orang-orang misterius yang ia tahu adalah pengikut Bayangan Lautan.

“Mereka sedang bersiap untuk ritual besar,” tulisnya dalam pesan itu. “Jika kalian menyerang pada saat itu, rakyat akan melihat kelemahan Wakaaka, dan aku akan memastikan kalian mendapatkan apa yang kalian cari.”

Pesan itu disampaikan dengan cara yang licik, tanpa ada yang mencurigai niat La Putu. Namun, Aji, yang telah mencurigai La Putu sejak awal, mulai memantau gerak-geriknya.

Sementara itu, Wakaaka meminta Aji untuk memimpin pelatihan bagi para pemuda. Mereka dilatih bukan hanya dalam seni bela diri, tetapi juga dalam teknik bertahan hidup dan pertahanan spiritual, menggunakan warisan pengetahuan leluhur Aji.

Saat pelatihan berlangsung, seorang pemuda berlari masuk, membawa kabar bahwa bayangan putih telah terlihat lagi di pantai selatan. Kali ini, suara nyanyian yang terdengar lebih jelas, seolah-olah memanggil Wakaaka dan Aji untuk kembali.

Wakaaka segera memutuskan untuk pergi ke sana lagi, membawa Aji dan beberapa pemuda terbaiknya. Setibanya di pantai, mereka mendapati bayangan putih itu menunggu di depan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik air terjun.

“Wakaaka,” panggil suara lembut itu, “ujianmu telah tiba. Di dalam gua ini terdapat *Kerang Kehidupan*, artefak yang akan memberimu kekuatan untuk melawan Bayangan Lautan. Tetapi untuk mendapatkannya, kau harus membuktikan bahwa hatimu murni dan niatmu benar.”

Wakaaka melangkah maju, diikuti oleh Aji. Dengan napas yang dalam, mereka memasuki gua yang gelap dan penuh misteri, bersiap menghadapi ujian yang akan mengubah takdir Pulau Buton.

Wakaaka dan Aji melangkah masuk ke dalam gua, di mana kegelapan seakan-akan menelan mereka. Suara gemericik air dari air terjun di luar semakin memudar, digantikan oleh keheningan yang pekat. Hanya cahaya redup dari lentera yang dibawa Aji yang membimbing mereka.

“Ratu, gua ini terasa hidup,” bisik Aji. Matanya menatap dinding gua yang dipenuhi ukiran kuno, menampilkan cerita tentang perjuangan leluhur Pulau Buton melawan kekuatan gelap.

Wakaaka mengangguk. “Ini adalah bagian dari ujian kita. Kekuatan gua ini akan menguji hati dan niat kita.”

Langkah mereka terhenti ketika jalan di depan tiba-tiba dipenuhi bayangan. Dari bayangan itu muncul makhluk-makhluk mengerikan dengan mata merah menyala, gigi tajam, dan tubuh besar seperti gabungan manusia dan binatang. Makhluk-makhluk itu mendekat dengan geraman rendah, memancarkan rasa takut yang menusuk hati.

Aji menghunus pedangnya, tetapi Wakaaka menghentikannya. “Ini bukan musuh nyata, Aji. Mereka adalah bayangan ketakutan kita sendiri. Kita harus melawannya dengan keberanian, bukan kekerasan.”

Wakaaka melangkah maju, menatap langsung ke mata salah satu makhluk. “Aku tidak takut pada kalian. Aku berdiri di sini untuk melindungi rakyatku, bukan untuk diriku sendiri.”

Makhluk itu berhenti, tubuhnya mulai memudar seperti kabut. Satu per satu, makhluk lainnya mengikuti, hingga jalan di depan mereka kembali kosong.

“Keberanian tidak datang dari kekuatan, tetapi dari keyakinan,” ujar Wakaaka, melanjutkan perjalanan.

Di ruangan berikutnya, mereka menemukan sebuah meja besar dengan tiga cawan yang terbuat dari batu hitam. Di atas meja terdapat tulisan kuno yang berbunyi:

*"Hanya air kehidupan yang dapat membuka jalan. Pilihlah dengan hati yang murni."*

Di samping meja, terdapat tiga kendi yang masing-masing berisi cairan berwarna berbeda: merah, biru, dan bening. Aji membaca tulisan itu dengan saksama. “Air kehidupan… Tapi tidak ada petunjuk lebih lanjut.”

“Kadang, jawaban paling sederhana adalah yang benar,” kata Wakaaka. Ia mengambil cawan dan menuangkan air bening ke dalamnya. Ketika ia meneguk air itu, jalan di depan mereka terbuka, menunjukkan lorong panjang yang dipenuhi cahaya biru.

“Kesederhanaan sering kali menjadi jawaban bagi kebijaksanaan,” ujar Wakaaka.

Di ruangan terakhir, Wakaaka dan Aji dihadapkan pada cermin besar yang memantulkan bayangan mereka sendiri. Namun, pantulan itu segera berubah. Wakaaka melihat dirinya dalam momen terburuk—rasa bersalah, keraguan, dan ketakutannya muncul dengan jelas di cermin.

“Lihatlah dirimu sendiri,” suara gaib bergema. “Hanya mereka yang dapat menerima kelemahan dan berdamai dengan bayangan mereka yang layak melanjutkan.”

Air mata mengalir di pipi Wakaaka ketika ia melihat bayangan itu. “Aku telah melakukan kesalahan. Aku memiliki keraguan. Tetapi aku tidak akan membiarkan itu menghentikanku untuk melindungi rakyatku.”

Aji, di sisi lain, melihat bayangan dirinya sebagai seorang pemuda yang kehilangan keluarganya. Ia menatap pantulan itu dengan mata berkaca-kaca, tetapi ia berkata dengan suara mantap, “Aku mungkin kehilangan orang-orang yang kucintai, tetapi aku akan menggunakan rasa kehilangan itu untuk melindungi yang lain.”

Ketika mereka menerima bayangan itu, cermin memudar, dan di belakangnya terdapat *Kerang Kehidupan*. Artefak itu bersinar dengan cahaya emas lembut, memancarkan kehangatan yang menenangkan.

Di istana, La Putu memanfaatkan ketidakhadiran Wakaaka untuk melancarkan rencananya menggagalkan *Ritual Kesatuan Adat*. Ia menghasut beberapa tokoh tua untuk percaya bahwa ritual tersebut adalah penghinaan terhadap leluhur. 

“La Tando,” ujar La Putu dengan nada penuh tipu daya, “Ritual ini akan mengundang kutukan. Generasi muda telah melupakan nilai-nilai kita. Mereka bahkan berani mengubah cara kita menghormati leluhur!”

La Tando, yang masih dihormati oleh banyak orang, mulai terpengaruh. Ia mengumpulkan kelompok kecil untuk menyabotase ritual, termasuk menyebarkan kebohongan bahwa ritual itu akan membangkitkan kekuatan gelap.

Namun, Aji yang telah memantau pergerakan La Putu melalui jaringan pemuda desa, berhasil mendapatkan bukti pengkhianatannya. Saat Wakaaka kembali dengan *Kerang Kehidupan*, Aji segera melaporkan semuanya.

“Ratu, La Putu tidak hanya mencoba menggagalkan ritual ini, tetapi ia juga bekerja sama dengan Bayangan Lautan,” kata Aji dengan nada tegas.

Wakaaka menghadap La Putu di depan para penasihat dan rakyat. Dengan suara yang penuh wibawa, ia berkata, “La Putu, aku telah mendengar cukup banyak tentang rencanamu. Tetapi aku ingin mendengar darimu sendiri—apa alasanmu?”

La Putu, yang sadar bahwa rahasianya telah terbongkar, tersenyum tipis. “Kau terlalu naif, Wakaaka. Bayangan Lautan adalah masa depan pulau ini. Mereka membawa kekuatan yang tidak pernah kita miliki. Kau mencoba melawan mereka dengan tradisi yang usang dan inovasi yang bodoh.”

Wakaaka mengangkat *Kerang Kehidupan*, yang bersinar terang. “Kekuatan ini bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk melindungi. Leluhur kita telah meninggalkan alat ini untuk melawan ancaman seperti Bayangan Lautan, bukan untuk menyerah pada mereka.”

La Putu tertawa sinis. “Bayangan Lautan lebih dari sekadar ancaman. Mereka adalah garis keturunan dari kekuatan yang pernah dikalahkan oleh leluhurmu, tetapi mereka tidak pernah benar-benar lenyap. Artefak itu adalah satu-satunya hal yang dapat menghentikan mereka, dan aku akan memastikan mereka memilikinya.”

La Putu mencoba melarikan diri, tetapi pasukan Wakaaka berhasil menangkapnya. Dengan bukti yang ada, La Putu diadili oleh dewan istana dan dijatuhi hukuman pengasingan.

Dengan *Kerang Kehidupan* di tangannya dan pengkhianatan La Putu yang telah diungkap, Wakaaka mempersiapkan *Ritual Kesatuan Adat*. Ia tahu bahwa serangan terakhir Bayangan Lautan akan segera datang, tetapi ia percaya bahwa persatuan rakyat Buton, ditambah kekuatan artefak leluhur, akan menjadi kunci kemenangan mereka.

Namun, di kejauhan, Bayangan Lautan mulai menggerakkan pasukannya, siap untuk menghadapi Wakaaka dalam pertempuran yang akan menentukan nasib Pulau Buton.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 123 – Di Bawah Bayang Beruang Merah dan Makam Imam Bukhari

    Salju Rusia yang abadi berguguran perlahan di atas landasan sejarah yang terhampar bak naskah kuno. Di jantung negeri yang dikenal dengan julukan “Beruang Merah,” Lintang melangkah penuh pertanyaan, membawa jiwa dari Buton yang telah lama belajar tentang nilai‑nilai Madrasah Langit. Kini, ia ingin menyelami akar peradaban yang telah lama dibingkai oleh bayangan kekuasaan dan keangkuhan, serta menemukan makna sejati di balik wilayah yang terhampar luas di bumi Rusia.Di sebuah pondok tua di pinggiran kota Vladimir, Lintang ditemui oleh guru‑guru kebijaksanaan yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai penjaga kearifan leluhur. Suasana di sekitarnya begitu sunyi, dengan udara dingin yang menusuk namun sekaligus menyegarkan, seperti kata‑kata pujangga yang menenangkan jiwa. Di sana, Lintang duduk bersama seorang lelaki tua berjanggut putih lebat—sensei Ivan Sergeyevich—yang wajahnya terukir oleh alur waktu dan pengalaman."Setiap butir salju ini," ujar Sensei Ivan sambil menatap langi

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 152 – Jaringan Waralaba Rakyat: Ketika Tanah Menjadi Ekonomi Hidup

    Lintang berdiri di atas panggung kayu sederhana di tengah lapangan Desa Lambusango, dikelilingi oleh ribuan wajah dari berbagai suku, bahasa, dan budaya. Angin lembut membawa aroma rerumputan basah dan pembicaraan pelan. Ia menatap horizon, sejenak menenangkan pikirannya sebelum berkata lantang:“Saudara-saudaraku, hari ini kita tidak lagi berbicara hanya tentang pertanian organik, tentang teknologi ramah lingkungan, atau tentang tata kelola adat. Hari ini kita berbicara tentang ekonomi berbasis rakyat, sebuah ekonomi di mana tanah adat, pengetahuan leluhur, dan keterampilan lokal menjadi batu fondasi, bukan sekadar komoditas yang ditukar di pasar.”Suara Lintang bergema di setiap sudut lapangan. Tepuk tangan meriah mengiringi setiap patah kata, seolah memberi dukungan penuh pada gagasan barunya: membangun jaringan waralaba rakyat yang menghubungkan usaha-usaha kecil masyarakat adat di seluruh dunia menjadi satu kesatuan ekonomi yang tangguh.Ia melanjutkan, “Bayangkan, kopi luwak but

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 151 – Politeknik Langit: Menenun Keterampilan, Membuka Pintu Dunia

    Seiring matahari pagi menyembul di ufuk timur Lambusango, udara basah menyambut jemari Lintang yang menorehkan sketsa besar di papan tulis bambu: “Politeknik Madrasah Langit”. Di hadapannya berkumpul perwakilan masyarakat adat dari berbagai penjuru—Sunda, Papua, Tolaki, Mandar, dan Buton—bersama mahasiswa muda dari kota-kota besar, guru Tai Chi, instruktur Balaba, serta para CEO teknologi Tiongkok yang sejak lama menjadi mitra.Sejak menancapkan akar baru, antusiasme kaum adat dan global belum surut. Kini, Madrasah Langit merintis politeknik—lembaga pendidikan terapan yang melangkah jauh melampaui model akademik konvensional. Lintang memaparkan gagasannya mengenai upayanya untuk mendekatkan masyarakat adat dengan universitas; ia malah menawarkan satu gagasan mengenai sebuah universitas. Ia ingin membangun peradaban. Ia memperkenalkan satu gagasan Politeknik Langit. Ia mulai menawarkan konsepnya dalam seminar internasional yang dihadiri berbagai pihak. Politeknik Langit diharapkan dapa

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 150 – Harmoni Gerak, Resonansi Langit

    Lintang terbangun sebelum fajar.Meski tubuhnya letih, hatinya terasa lega.Malam tadi, ia kembali menelusuri mimpi alam bawah sadarnya—bertemu Sang Ratu Wakaaka, membisikkan ajaran kebaikan abadi, saling memelihara, menyayangi, melindungi, dan menghormati sebagai akar peradaban. Seolah Sang Ratu menyadarkannya:“Lintang, kekuatan sejati bukanlah gesekan kekerasan,tapi harmoni gerak yang meredam amarah,dan menyatukan manusia dengan alam semesta.”Kata-kata itu kembali bergaung di kepala Lintang ketika ia bersiap memulai hari baru di Madrasah Langit.Di aula beratap anyaman daun nipah, puluhan relawan lokal merakit panel surya, drone pertanian, dan alat ukur kualitas tanah.Madrasah Langit kini berfungsi sebagai laboratorium hidup—mengawinkan kearifan lokal dan teknologi canggih.Anak-anak desa belajar menenun bambu sambil memahami prinsip elektronika dasar untuk sensor kelembapan.Guru Tai Chi mengajari gerakan lambat yang menstimulasi aliran energi, menenangkan pikiran, dan menyelara

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 149 — Dalam Sunyi, Bertemu Ratu Wakaaka

    Lintang duduk sendiri di tepi danau tua yang tersembunyi di pegunungan tinggi.Ia tidak lagi bicara, tidak lagi menulis, bahkan tidak membuka gawai.Hari-hari yang panjang, penuh ketegangan, ketakutan, dan perlawanan telah menyapih jiwanya dari dirinya sendiri.Ia merasa kosong.Jiwanya seperti tak memiliki tanah—tergantung di udara.Lintang letih.Letih bukan karena pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam—karena keterputusan.Ia merasa jauh dari asal muasal dirinya.Malam itu, langit sangat hening.Bintang-bintang berkilau, namun tidak bersuara.Angin seolah memeluk dirinya, membisikkan kata-kata tak terdengar.Di tengah meditasi diamnya, Lintang mulai tertidur.Namun dalam tidurnya, ia tidak bermimpi seperti biasanya.Ia jatuh ke dalam lubang kesadarannya sendiri.Bukan gelap.Melainkan terang…Lembut…Hangat.Ia berdiri di sebuah hutan yang tidak pernah ia kenal, namun terasa begitu dekat.Hutan itu tidak berbicara dengan kata-kata, tetapi berbicara lewat rasa.Pepohonan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 148 — Perampasan dan Kebangkitan

    Angin pagi membawa aroma tanah basah ke ruang Madrasah Langit.Lintang duduk termenung di bawah pohon tua, menggenggam secangkir kopi pahit. Ia baru saja menerima laporan dari berbagai penjuru dunia.Perjuangan belum selesai.Malah, badai baru sedang bertiup.Oligarki tidak tinggal diam.Dengan kelicikan yang diwariskan dari generasi ke generasi, mereka kini menyusup lewat jalur yang paling berbahaya: hukum.Mereka membiayai oknum pengacara, politisi, dan aparat, menyusun skenario untuk "mengalihkan" hak tanah adat ke tangan-tangan korporasi.Caranya sederhana namun licik:Mereka menghasut sebagian kecil masyarakat untuk mengklaim tanah atas nama pribadi, dengan janji keuntungan besar.Setelah itu, mereka membeli klaim tersebut dalam diam, lalu mendaftarkannya dengan segala dokumen legal yang telah mereka manipulasi.Dengan stempel

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 147 — Kemenangan Tanah, Suara Langit

    Malam itu, langit di atas Wakatobi dipenuhi bintang. Laut tenang, dan angin membawa aroma garam yang lembut. Di sebuah ruang terbuka Madrasah Langit, di bawah pancaran lampu-lampu kecil bertenaga surya, Lintang duduk menghadap layar besar. Di sebuah kafe yang dikelola masyarakat adat, persis di Bukit Wungka Toliamba, ia duduk dengan beberapa anak muda, menikmati malam.Hari itu, ia tidak hanya merayakan kebebasan ibunya, Sinta.Ia merayakan kemenangan tanah.Kemenangan kehidupan.Kemenangan dari segala akar yang selama ini diam, tapi kini mulai bersuara.Lintang membuka pertemuan daring Madrasah Langit internasional. Wajah-wajah dari berbagai belahan bumi mulai bermunculan di layar:Seorang petani tua dari pinggir Sungai Nil tersenyum sambil mengangkat segenggam tanah berwarna merah. Seorang gadis muda dari pegunungan Ural, Rusia, mengibarkan kain bordiran nenek moyangnya, lambang perlindungan tanah. Seorang nelayan dari pantai Pasifik menunjukkan ikan-ikan yang ia tangkap dengan ban

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 146 – Membela Ibu, Menanam Langit

    Malam itu, Lintang duduk di bawah langit Lambusango yang kelam. Angin laut membawa aroma asin, bercampur bau tanah basah yang baru saja disiram hujan. Tapi pikirannya jauh, melayang ke sel tahanan kecil di kota: tempat di mana Sinta, perempuan yang ia panggil Ibu, sedang ditahan karena mempertahankan hak paling mendasar manusia: hak atas tanahnya sendiri.Lintang mengepalkan tangan. Ia tahu, ini bukan sekadar membela Sinta, ini membela kehormatan seluruh gerakan Madrasah Langit."Kalau aku tidak melindunginya," bisiknya, "maka aku telah mengkhianati semua yang kami perjuangkan."Pagi itu, di depan gedung pengadilan, ratusan orang berkumpul. Petani, nelayan, anak-anak muda, bahkan beberapa profesor idealis berdiri dalam barisan.Mereka membawa spanduk bertuliskan: "Bebaskan Sinta. Tanah untuk rakyat."Di belakang mereka, suara drum bambu dan teriakan semangat menggema.Lintang berdiri di mimbar kecil, wajahnya tegas:

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 145 – Tangan Besi dan Lidah Tanah

    Di balik udara hangat Lambusango, Lintang menyaksikan kabut pekat mulai menggantung. Bukan kabut embun, melainkan kabut politik, dikirim dari kantor-kantor gelap para oligarki yang tak senang gerakan Madrasah Langit terus berakar dan menjalar.Pagi itu, berita mengejutkan menghentak komunitas: Sinta, sahabat karib sekaligus ibu Lintang, ditahan. Tuduhan: provokasi, menghalang-halangi pembangunan nasional. Polisi bersenjata lengkap mendatangi rumahnya di pinggir hutan, menggiringnya seperti penjahat besar.Lintang berdiri membatu di depan Madrasah, napasnya berat. Sinta, yang selalu menanam pohon dengan anak-anak, yang mengajari tentang tanah sebagai ibu, kini diikat oleh tangan hukum yang dikendalikan uang. Dia merasa marah dan putus asa, namun juga penuh tekad untuk melawan ketidakadilan yang terjadi. Dengan langkah mantap, Lintang memutuskan untuk mencari bantuan dari teman-teman seperjuangannya di Madrasah Langit. Mereka berkomitmen untuk tidak tinggal diam melihat sahabat mereka di

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status