Setelah pengkhianatan La Putu terungkap dan Kerang Kehidupan berhasil diperoleh, suasana istana Wakaaka menjadi semakin tegang. Wakaaka tahu bahwa pertempuran terakhir dengan Bayangan Lautan sudah dekat. Namun, ia juga sadar bahwa dirinya dan rakyatnya masih belum sepenuhnya memahami kekuatan yang akan mereka hadapi.
Bayangan Lautan Memulai Serangan
Di dasar laut di sekitar Pulau Buton, Bayangan Lautan mulai mengumpulkan kekuatannya. Sosok pemimpinnya, yang dikenal sebagai Sang Bayang, berdiri di atas batu karang besar. Tubuhnya seperti kabut hitam yang bergerak tanpa bentuk pasti, dengan sepasang mata merah menyala yang tampak mampu menembus kegelapan.
“Kita akan menyerang di saat ritual mereka dimulai,” ucap Sang Bayang dengan suara berat seperti ombak yang menghantam tebing. “Ritual itu adalah simbol kekuatan mereka. Jika kita menghancurkannya, rakyat Buton akan kehilangan harapan, dan kita akan menguasai pulau ini.”
Ia memanggil makhluk-makhluk laut yang telah dipengaruhi oleh kekuatannya: ular laut sebesar pohon kelapa, kawanan ikan hiu beracun, dan pasukan manusia yang telah menjadi budaknya. Gelombang besar mulai terbentuk di laut, menandai pergerakan pasukan Bayangan Lautan menuju pantai.
Persiapan di Istana
Di istana, Wakaaka mengumpulkan rakyatnya. Para tetua desa mempersiapkan ritual adat, sementara para pemuda dan pejuang mempersiapkan pertahanan. Di tengah keramaian, Aji mendekati Wakaaka dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Ratu, aku merasakan sesuatu yang aneh,” katanya. “Kerang Kehidupan sepertinya belum menunjukkan kekuatan penuhnya. Apakah kita benar-benar siap?”
Wakaaka mengangguk, tetapi dalam hatinya ia merasakan keraguan yang sama. Ia membawa Kerang Kehidupan ke sebuah ruangan meditasi yang sunyi, mencoba mencari petunjuk dari leluhurnya.
Dalam keheningan, suara lembut terdengar, seolah berasal dari dalam Kerang Kehidupan. “Kekuatan artefak ini hanya akan muncul ketika kau menggunakannya dengan niat yang benar. Ini bukan alat untuk menyerang, tetapi untuk melindungi.”
Wakaaka membuka matanya dengan pemahaman baru. “Artefak ini bukan senjata, melainkan perisai.”
Serangan Dimulai
Ketika malam tiba, gelombang pasukan Bayangan Lautan menghantam pantai. Makhluk-makhluk laut melompat ke daratan, menghancurkan segala yang ada di jalannya. Pasukan Wakaaka, yang telah dipersiapkan, segera melawan dengan senjata tradisional dan sihir yang diajarkan oleh para leluhur.
Sang Bayang muncul di tengah medan pertempuran, tubuhnya menjulang tinggi seperti kabut yang menutupi langit malam. Suaranya menggema di seluruh pulau. “Ratu Wakaaka, keluar dan hadapi aku jika kau berani!”
Wakaaka melangkah maju, memegang Kerang Kehidupan di tangannya. Cahaya dari artefak itu perlahan memancar, menciptakan lingkaran perlindungan di sekitarnya. “Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan pulau ini!”
Sang Bayang tertawa dingin. “Kau tidak bisa mengalahkanku. Aku adalah keturunan kegelapan yang tidak pernah mati.”
Peran Kerang Kehidupan
Wakaaka mulai memahami bahwa Kerang Kehidupan bukan hanya alat perlindungan, tetapi juga kunci untuk mengungkap kelemahan Sang Bayang. Ia mengarahkan cahaya artefak itu ke arah Sang Bayang, yang langsung merespons dengan raungan marah. Cahaya itu membuat tubuh Sang Bayang bergetar, seolah-olah membakar kabut hitam yang menyelimutinya.
Sang Bayang mencoba menyerang Wakaaka, tetapi lingkaran perlindungan yang diciptakan oleh Kerang Kehidupan menahan serangan itu. Aji dan para pejuang memanfaatkan momen ini untuk menyerang pasukan Bayangan Lautan, menggunakan senjata yang telah diberkati dalam ritual adat.
Namun, kekuatan Sang Bayang masih terlalu besar. Ia memanggil gelombang besar dari laut, mencoba menenggelamkan seluruh pantai. Wakaaka, yang kini semakin memahami kekuatan artefak, menggunakan cahaya Kerang Kehidupan untuk menenangkan gelombang itu.
Rahasia yang Terungkap
Di tengah pertempuran, Wakaaka mendengar suara gaib dari Kerang Kehidupan. Suara itu berkata, “Sang Bayang hanya bisa dikalahkan jika kau menghadapi akar ketakutannya. Di hatinya, ia adalah jiwa yang tersesat, mencari cahaya yang pernah hilang.”
Wakaaka menyadari bahwa Sang Bayang adalah sisa dari leluhur yang dulunya kehilangan keseimbangan antara kekuatan gelap dan terang. Ia memutuskan untuk tidak hanya melawan Sang Bayang, tetapi juga menyembuhkan jiwanya.
“Engkau bukan musuhku,” teriak Wakaaka, suaranya menggetarkan medan pertempuran. “Engkau adalah bagian dari keseimbangan yang hilang. Aku di sini untuk memulihkanmu!”
Sang Bayang terhenti, kebingungan dengan kata-kata Wakaaka. Cahaya Kerang Kehidupan semakin terang, menciptakan pusaran energi yang menarik Sang Bayang ke dalamnya. Dalam pusaran itu, Sang Bayang berubah menjadi sosok manusia dengan wajah penuh kesedihan.
“Aku hanya ingin kembali,” ucapnya sebelum tubuhnya larut dalam cahaya.
Kemenangan dan Persatuan
Dengan menghilangnya Sang Bayang, pasukan Bayangan Lautan kehilangan kekuatannya dan mundur ke laut. Rakyat Buton bersorak sorai, tetapi Wakaaka hanya tersenyum kecil. Ia tahu bahwa pertempuran ini lebih dari sekadar menang atau kalah.
Kerang Kehidupan kini bersinar dengan damai, seolah-olah memberi restu pada Wakaaka dan rakyatnya. “Keseimbangan telah dipulihkan,” kata Wakaaka kepada Aji. “Tetapi ini bukan akhir. Kita harus terus menjaga pulau ini dengan persatuan dan kebijaksanaan.”
Di bawah sinar bulan yang tenang, Wakaaka memimpin Ritual Kesatuan Adat. Generasi tua dan muda bergandengan tangan, menari dan bernyanyi dalam harmoni. Ritual itu menjadi simbol bahwa tradisi dan perubahan dapat berjalan seiring, menciptakan masa depan yang lebih cerah untuk Pulau Buton.
Namun, di kedalaman laut, bayangan kecil terlihat bergerak perlahan. Sebuah tanda bahwa kegelapan tidak pernah benar-benar hilang, hanya menunggu untuk bangkit kembali.
Setelah kemenangan besar atas Bayangan Lautan, malam di Pulau Buton kembali tenang. Laut Banda yang luas, tempat Bayangan Lautan berasal, kini hanya dihuni oleh suara ombak yang menenangkan. Di kedalaman laut, Sang Bayang, yang kini kembali menjadi roh, bersemedi dalam kegelapan abadi. Ia tidak lagi menjadi ancaman, tetapi tetap menjadi bagian dari keseimbangan alam, menunggu hingga dunia membutuhkannya lagi.
Sementara itu, Kerang Kehidupan, yang telah memainkan perannya sebagai penjaga keseimbangan, kembali ke liang suci di Kuri-kuri, sebuah gua kuno di Tomia. Kerang itu menyatu dengan lingkungan gua, memancarkan cahaya lembut yang hanya dapat dilihat oleh mereka yang hatinya murni. Seperti Wakaaka, kerang itu juga harus beristirahat, menyimpan energinya untuk masa depan.
***
Di istana, Ratu Wakaaka menggelar diskusi dengan masyarakatnya. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian keluhan dan harapan rakyat, berusaha menciptakan harmoni yang abadi. Namun, di tengah diskusi itu, Wakaaka mulai merasakan dirinya perlahan-lahan ditarik kembali ke dunia modern.
Saat ia membuka matanya, ia tidak lagi berada di istana. Kini ia berada di tengah Hutan Lambusango, di sebuah panggung kecil tempatnya biasa memandu wisatawan. Wakaaka bukan lagi seorang ratu, melainkan seorang wanita cantik bernama Sinta, pemandu wisata yang dihormati karena pengetahuannya tentang budaya dan alam Pulau Buton.
Sinta tersenyum kepada sekelompok mahasiswa Eropa yang tengah sibuk menulis laporan penelitian mereka. Mereka menggunakan perangkat canggih, termasuk kecerdasan buatan (AI), untuk menganalisis data tentang keanekaragaman hayati dan budaya lokal.
“Bu Sinta, menurut Anda, apa hubungan antara mitos lokal dan pelestarian hutan?” tanya seorang mahasiswa, menatapnya dengan antusias.
Sinta terdiam sejenak, memandang pepohonan besar di sekelilingnya. “Mitos dan cerita rakyat adalah bagian dari identitas kita. Mereka bukan hanya cerita, tetapi juga cara leluhur kita memahami dan menjaga keseimbangan alam. Hutan ini tidak hanya tentang pohon atau hewan, tetapi juga tentang sejarah, jiwa, dan kehidupan masyarakatnya.”
Mahasiswa itu mengangguk, mencatat setiap kata dengan serius. Di sisi lain, Sinta merasa kagum dengan teknologi yang mereka gunakan. AI membantu mereka mengidentifikasi pola ekosistem, memprediksi perubahan iklim, dan bahkan menganalisis dampak sosial dari kebijakan lingkungan.
Sinta, atau Wakaaka dalam dirinya, mulai merasakan dilema yang mendalam. Ia adalah bagian dari dua dunia yang berbeda. Sebagai titisan Ratu Wakaaka, ia mewarisi tanggung jawab untuk menjaga tradisi dan keseimbangan alam. Namun, di dunia modern, ia menyaksikan bagaimana teknologi mampu membawa kemajuan yang luar biasa.
Ketika malam tiba, Sinta duduk sendiri di tepi hutan, menatap langit penuh bintang. Ia memikirkan apa yang baru saja terjadi—bagaimana ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.
“Apakah aku harus memilih satu di antara keduanya?” gumamnya.
Bayangan Ratu Wakaaka muncul dalam pikirannya, memberikan jawaban yang menenangkan. “Tidak ada yang harus dipilih, karena keduanya adalah bagian dari dirimu. Gunakan kebijaksanaan leluhur untuk menuntun dunia modern, dan gunakan teknologi untuk memperkuat tradisi.”
Keesokan harinya, Sinta kembali berdiskusi dengan para mahasiswa. Salah satu dari mereka menunjukkan hasil analisis yang mengejutkan.
“Bu Sinta, menurut data kami, daerah Kuri-kuri di Tomia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pelestarian budaya dan lingkungan,” ujar seorang mahasiswa. “Namun, tempat itu tampaknya memiliki energi yang berbeda. Beberapa dari kami merasa seperti diawasi.”
Sinta tersenyum tipis. “Itu bukan hal yang aneh. Kuri-kuri adalah tempat suci. Banyak orang percaya bahwa itu adalah rumah bagi roh leluhur. Bahkan, legenda mengatakan bahwa *Kerang Kehidupan* beristirahat di sana.”
Mahasiswa itu tertawa kecil, tetapi matanya berbinar karena rasa ingin tahu. “Apakah legenda itu benar?”
Sinta hanya tersenyum. “Beberapa hal tidak perlu dijawab dengan pasti. Yang penting adalah bagaimana kita menghormati dan melestarikan apa yang ada di sana.”
Ketika mahasiswa kembali ke negara mereka, Sinta merenungkan perannya di dunia modern. Ia menyadari bahwa tugasnya sebagai titisan Wakaaka tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menghubungkan masa lalu dengan masa kini.
Ia mulai bekerja dengan komunitas lokal untuk menciptakan program wisata berbasis budaya yang melibatkan teknologi. Bersama para peneliti muda, ia mengembangkan aplikasi berbasis AI yang memungkinkan wisatawan memahami legenda Pulau Buton sambil menjelajahi keindahan alamnya.
Namun, ia juga menetapkan batasan: kawasan suci seperti Kuri-kuri akan tetap dilindungi dari eksploitasi. Teknologi hanya digunakan untuk mendukung pelestarian, bukan untuk merusaknya.
Di malam terakhir, Sinta kembali ke Hutan Lambusango. Ia duduk di bawah pohon besar, mendengarkan suara angin dan burung. Dalam keheningan itu, ia mendengar suara lembut Ratu Wakaaka di dalam dirinya.
“Teruslah menjadi jembatan, Sinta. Dunia membutuhkan lebih banyak orang seperti dirimu. Mungkin kau akan bertemu dengan orang-orang yang kau tidak kenal, memiliki kekayaan yang luar biasa, memiliki asset di BTC atau bitcoin, tetapi mereka membutuhkan dirimu, karena mereka penuh dengan ketakutan, mereka membutuhkan kekuatanmu, kekuatan leluhur untuk melindungi Pulau Buton dan bahkan dunia. Jangan kau takut, mereka akan membantumu dengan uang mereka. Sinta membuka tasnya, ia menyalakan laptopnya dan juga starlink dan kemudian melihat akun di binance tempat ia melakukan trading”. Sinta berharap bisa bertemu dengan pemilik BTC dan menukarkan cincin delima miliknya yang ia dapatkan dari kerang kehidupan. “Saya harus memiliki kemampuan financial untuk dapat mempengaruhi kehidupan modern dan lingkungan.
Dengan senyuman, Sinta menatap langit malam yang penuh bintang, menyadari bahwa ia tidak perlu memilih antara dua dunia. Ia adalah penghubung, seorang penjaga keseimbangan, baik sebagai wanita modern maupun titisan seorang ratu.
Salju Rusia yang abadi berguguran perlahan di atas landasan sejarah yang terhampar bak naskah kuno. Di jantung negeri yang dikenal dengan julukan “Beruang Merah,” Lintang melangkah penuh pertanyaan, membawa jiwa dari Buton yang telah lama belajar tentang nilai‑nilai Madrasah Langit. Kini, ia ingin menyelami akar peradaban yang telah lama dibingkai oleh bayangan kekuasaan dan keangkuhan, serta menemukan makna sejati di balik wilayah yang terhampar luas di bumi Rusia.Di sebuah pondok tua di pinggiran kota Vladimir, Lintang ditemui oleh guru‑guru kebijaksanaan yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai penjaga kearifan leluhur. Suasana di sekitarnya begitu sunyi, dengan udara dingin yang menusuk namun sekaligus menyegarkan, seperti kata‑kata pujangga yang menenangkan jiwa. Di sana, Lintang duduk bersama seorang lelaki tua berjanggut putih lebat—sensei Ivan Sergeyevich—yang wajahnya terukir oleh alur waktu dan pengalaman."Setiap butir salju ini," ujar Sensei Ivan sambil menatap langi
Lintang berdiri di atas panggung kayu sederhana di tengah lapangan Desa Lambusango, dikelilingi oleh ribuan wajah dari berbagai suku, bahasa, dan budaya. Angin lembut membawa aroma rerumputan basah dan pembicaraan pelan. Ia menatap horizon, sejenak menenangkan pikirannya sebelum berkata lantang:“Saudara-saudaraku, hari ini kita tidak lagi berbicara hanya tentang pertanian organik, tentang teknologi ramah lingkungan, atau tentang tata kelola adat. Hari ini kita berbicara tentang ekonomi berbasis rakyat, sebuah ekonomi di mana tanah adat, pengetahuan leluhur, dan keterampilan lokal menjadi batu fondasi, bukan sekadar komoditas yang ditukar di pasar.”Suara Lintang bergema di setiap sudut lapangan. Tepuk tangan meriah mengiringi setiap patah kata, seolah memberi dukungan penuh pada gagasan barunya: membangun jaringan waralaba rakyat yang menghubungkan usaha-usaha kecil masyarakat adat di seluruh dunia menjadi satu kesatuan ekonomi yang tangguh.Ia melanjutkan, “Bayangkan, kopi luwak but
Seiring matahari pagi menyembul di ufuk timur Lambusango, udara basah menyambut jemari Lintang yang menorehkan sketsa besar di papan tulis bambu: “Politeknik Madrasah Langit”. Di hadapannya berkumpul perwakilan masyarakat adat dari berbagai penjuru—Sunda, Papua, Tolaki, Mandar, dan Buton—bersama mahasiswa muda dari kota-kota besar, guru Tai Chi, instruktur Balaba, serta para CEO teknologi Tiongkok yang sejak lama menjadi mitra.Sejak menancapkan akar baru, antusiasme kaum adat dan global belum surut. Kini, Madrasah Langit merintis politeknik—lembaga pendidikan terapan yang melangkah jauh melampaui model akademik konvensional. Lintang memaparkan gagasannya mengenai upayanya untuk mendekatkan masyarakat adat dengan universitas; ia malah menawarkan satu gagasan mengenai sebuah universitas. Ia ingin membangun peradaban. Ia memperkenalkan satu gagasan Politeknik Langit. Ia mulai menawarkan konsepnya dalam seminar internasional yang dihadiri berbagai pihak. Politeknik Langit diharapkan dapa
Lintang terbangun sebelum fajar.Meski tubuhnya letih, hatinya terasa lega.Malam tadi, ia kembali menelusuri mimpi alam bawah sadarnya—bertemu Sang Ratu Wakaaka, membisikkan ajaran kebaikan abadi, saling memelihara, menyayangi, melindungi, dan menghormati sebagai akar peradaban. Seolah Sang Ratu menyadarkannya:“Lintang, kekuatan sejati bukanlah gesekan kekerasan,tapi harmoni gerak yang meredam amarah,dan menyatukan manusia dengan alam semesta.”Kata-kata itu kembali bergaung di kepala Lintang ketika ia bersiap memulai hari baru di Madrasah Langit.Di aula beratap anyaman daun nipah, puluhan relawan lokal merakit panel surya, drone pertanian, dan alat ukur kualitas tanah.Madrasah Langit kini berfungsi sebagai laboratorium hidup—mengawinkan kearifan lokal dan teknologi canggih.Anak-anak desa belajar menenun bambu sambil memahami prinsip elektronika dasar untuk sensor kelembapan.Guru Tai Chi mengajari gerakan lambat yang menstimulasi aliran energi, menenangkan pikiran, dan menyelara
Lintang duduk sendiri di tepi danau tua yang tersembunyi di pegunungan tinggi.Ia tidak lagi bicara, tidak lagi menulis, bahkan tidak membuka gawai.Hari-hari yang panjang, penuh ketegangan, ketakutan, dan perlawanan telah menyapih jiwanya dari dirinya sendiri.Ia merasa kosong.Jiwanya seperti tak memiliki tanah—tergantung di udara.Lintang letih.Letih bukan karena pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam—karena keterputusan.Ia merasa jauh dari asal muasal dirinya.Malam itu, langit sangat hening.Bintang-bintang berkilau, namun tidak bersuara.Angin seolah memeluk dirinya, membisikkan kata-kata tak terdengar.Di tengah meditasi diamnya, Lintang mulai tertidur.Namun dalam tidurnya, ia tidak bermimpi seperti biasanya.Ia jatuh ke dalam lubang kesadarannya sendiri.Bukan gelap.Melainkan terang…Lembut…Hangat.Ia berdiri di sebuah hutan yang tidak pernah ia kenal, namun terasa begitu dekat.Hutan itu tidak berbicara dengan kata-kata, tetapi berbicara lewat rasa.Pepohonan
Angin pagi membawa aroma tanah basah ke ruang Madrasah Langit.Lintang duduk termenung di bawah pohon tua, menggenggam secangkir kopi pahit. Ia baru saja menerima laporan dari berbagai penjuru dunia.Perjuangan belum selesai.Malah, badai baru sedang bertiup.Oligarki tidak tinggal diam.Dengan kelicikan yang diwariskan dari generasi ke generasi, mereka kini menyusup lewat jalur yang paling berbahaya: hukum.Mereka membiayai oknum pengacara, politisi, dan aparat, menyusun skenario untuk "mengalihkan" hak tanah adat ke tangan-tangan korporasi.Caranya sederhana namun licik:Mereka menghasut sebagian kecil masyarakat untuk mengklaim tanah atas nama pribadi, dengan janji keuntungan besar.Setelah itu, mereka membeli klaim tersebut dalam diam, lalu mendaftarkannya dengan segala dokumen legal yang telah mereka manipulasi.Dengan stempel