"Malah sekarang yang aneh kamu sama Mbak Sumi. Kok bisa sih mbak Sumi ngurusin kamu selingkuh atau nggak? Sebenarnya yang istri mu itu aku apa mbak Sumi?"
Mas Arif menelan ludah dan menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan."Nas, apa kamu mencintaiku?"Aku semakin heran dan bingung dengan mas Arif. Dia yang selingkuh tapi dia yang meragukan cintaku. Apa semua lelaki yang berselingkuh menjadi aneh seperti ini?"Kok kamu aneh sih, Mas? Kenapa nanyanya kek gitu?""Jawab saja, Nas. Apa kamu mencintaiku?"Aku terdiam dan memalingkan muka."Nas, jawab dulu pertanyaanku. Apa kamu mencintaiku? Apa kamu memaafkan kalau aku khilaf?"Aku terdiam. Apa mas Arif tahu kalau aku sudah menyadap wanya? Apa dia juga tahu kalau aku memergoki dia selingkuh?"Apa kamu khilaf?! Khilaf yang seperti apa, Mas? Dan dengan siapa?! Sekedar chating, atau sudah tidur bersama?"Mas Arif terdiam."Kok diam? Apa pertanyaan ku benar? Dengan siapa Mas? Jawab aku? Dengan teman kantormu kah? Atau ada yang lain?"Suasana hening begitu lama. Kami saling menatap. Aku mencoba mencari cinta dalam pendar matanya yang dulu tampak meluap saat melihatku. Tapi sayangnya malam ini aku tak melihatnya lagi.Mbak Sumikah yang telah merebut cintamu, Mas? Mantan kamu yang telah kubawa kemari? Mungkin aku ikut andil dalam rusaknya hubungan kita.Hatiku terasa bagai diremas lagi. Mendadak tangan mas Arif terulur."Aku bercanda! Aku hanya ingin melihat reaksi mu saja." Dia tertawa lalu memelukku erat. "Aku tidak selingkuh. Dan tidak akan pernah selingkuh. Kamu begitu baik padaku dan Mami, Nas. Mana mungkin aku selingkuh?"Mas Arif mengurai pelukannya. "Maaf ya, aku hanya ingin bercanda dengan mu. Sudah lama kan kita nggak bercanda bersama."Mas Arif membelai pipiku. "Udah malam, ayo tidur. Besok kita kan kerja, Nas."Mas Arif mengganti lampu kamar dengan lampu tidur. Lalu memelukku erat.Aku melepaskan pelukannya. "Bercandamu nggak lucu, Mas!""Apa kamu marah, Nas?""Ya. Mas itu aneh, mendadak ngomongin selingkuh. Ya gimana aku nggak marah?""Aku cuma mau nguji reaksi mu kalau aku pura-pura selingkuh. Dan apakah kamu juga cemburu kalau aku ngomongin perempuan lain?""Ck, kek abege labil aja, Mas.""Ya Mas cuma mau tahu saja apa kamu masih cinta sama Mas apa nggak?""Hm, ya sudah, Mas. Ayo tidur aja. Tapi karena mas tadi udah ngelucu yang nggak penting, mas tidur nya liat punggungku aja."Aku membelakangi mas Arif. Dan mas Arif pun memelukku dari belakang serta mengelus rambut ku. Membuat perasaan ku semakin campur aduk, antara muak, kesal, marah, dan sedih.*Pagi ini suasana sarapan berlangsung biasa. Mas Arif bercerita banyak hal tentang pekerjaannya kecuali bonus penjualannya.Aku baru saja merapikan kunciran Ana yang anteng duduk di kursi makan lalu membantunya memakai hijab saat mas Arif menegurku."Nas, kamu kenapa? Kok diam aja? Kamu sakit?" tanya mas Arif lalu mendadak meletakkan tangannya di keningku.Aku tersenyum dan menggeleng. "Aku nggak apa-apa, Mas.""Tapi kok lemes? Kalau lemes, mending cuti kerja.""Hhh, kalau jadi tenaga medis, nggak boleh ijin mendadak, Mas. Nggak ada yang nggantiin dinas nanti.""Hm, ya sudah. Aku tahu apa yang bikin kamu semangat.""Emang apaan?""Bentar ya, kamu tutup mata dulu.""Ish, apa-apaan sih Mas, tutup mata segala?!""Sudahlah. Tutup mata dulu gih."Mau tidak mau, aku pun menutup mata. Tak berapa lama terdengar suara tawa Ana."Hai, kalian mencurigakan deh. Ada apa sih? Mama boleh membuka mata nggak?""Oke. Boleh."Aku membuka mata dan tercengang saat melihat kotak besar berwarna merah di hadapanku."Apa ini Mas?""Buka aja."Aku pun membukanya."Mas! Ini cantik sekali!" Aku mengangkat sehelai gamis berwarna marun dari kain satin lengkap dengan hijabnya. Tak lupa tas handmade rajut. Cantik sekali."Ini untukku?" tanyaku tak percaya.Mas Arif menganggukkan kepalanya. "Kemarin di mall, aku melewati gerai baju muslimah. Dan kupikir baju itu cocok dengan kamu."Andai mas Arif tidak selingkuh dengan mantannya sekaligus asisten rumah tanggaku mungkin hal ini akan menjadi salah satu hal termanis yang pernah kudapatkan. Karena sebenarnya mas Arif adalah tipe suami yang romantis dan suka memberikan kejutan kecil, seperti saat ini."Nanti kita dinner. Sudah lama kan kita nggak diner?""Berdua? Gimana dengan Ana?""Ana biar sama mbak Sumi atau Mami. Ana mau kan nanti ke rumah Eyang?"Mata Ana berbinar. "Wah, mau banget, Pa!"Ana memang senang sekali ke rumah mami, karena banyak tetangga mami yang mempunyai anak seusia Ana."Kenapa kamu ngajak dinner, Mas? Kamu nggak lagi berbuat kesalahan kan? Atau jangan-jangan kamu merayu aku karena ingin nikah lagi?" bisikku.Mas Arif tampak terkejut tapi tak lama kemudian dia tersenyum."Untuk merefresh hubungan kita. Bagaimana? Kamu mau kan?"Aku mengangguk. 'Baiklah, aku mau Mas. Kita akan lihat apa permainan yang kamu sembunyikan kali ini.'*"Kamu kayak orang susah aja, Nas. Ada apa sih?" tanya mbak Eni, kepala ruanganku, ruang bersalin.Aku menatap mbak Eni. "Susah apaan dulu Mbak? Susah buat dilupain atau susah buat dihutangin?" tanyaku tertawa."Hahaha. Kamu bisa saja. Enak ya jadi kamu. Selalu beruntung. Keluarga bahagia.Mertua dan ipar baik, suami ganteng, punya pekerjaan bagus dan setia, anak juga sehat. Beda sama aku yang mertuanya nyinyir," tukas mbak Eni sendu.Aku tersenyum. Andai dia tahu kelakuan mas Arif mungkin dia tidak akan berkata seperti itu."Mbak, aku ke apotek dulu ambil obat pasien.""Oke."Aku pun berjalan melalui koridor rumah sakit menuju ke apotek."Duh, antriannya banyak banget," gumamku lalu aku pun duduk di kursi tunggu pasien.Iseng-iseng kubuka ponsel untuk memeriksa rekaman cctv dan beberapa saat kemudian aku mendapati pemandangan yang sangat mengejutkan.Mas Arif berada di kamar Sumi. Mereka berdua di atas ranjang milik perempuan itu dengan baju yang acak-acakan!Nastiti hanya mengedikkan bahunya. "Entahlah, Mas. Aku juga tidak tahu. Aku tidak mengundang mereka kemari. Kita tunggu saja mereka. Aku juga ingin tahu ada perlu apa mereka kemari," sahut Nastiti lirih. "Bagus sekali ya klinik dan rumah baru kamu," ucap Sumi saat dia dan Arif sudah sampai di hadapan Narendra dan Nastiti. Nastiti tersenyum. "Terimakasih. Ayo silakan duduk di dalam dulu. Karena masih dalam acara syukuran," sahut Nastiti ramah. "Hm, ada acara syukuran? Kok kamu nggak ngundang aku, Nas? Mana Ana?" sela Arif. "Iya. Kami tidak mengundang kalian. Karena rumah kalian kan jauh di luar kabupaten sini. Selain itu acara ini juga untuk syukuran lamaran," sahut Narendra yang lalu berjalan dan menuju ke arah Nastiti lalu berada di depan calon istri nya. Tampak wajah Sumi dan Arif yang tercengang. "Wah, sudah lamaran? Syukur deh. Semoga lancar sampai hari H, ya?" ujar Sumi terdengar tulus. "Terima kasih, ayo masuk dulu. Kita ngobrol di dalam sambil menikmati suguhan. Aku yakin
"Iya. Nastiti bermimpi salat berdua dengan diimami oleh mas Narendra selama 3 kali," sahut Nastiti membuat semua orang yang ada di ruang tamunya mengucap hamdalah. "Kalau begitu ayo kita menikah," ajak Narendra membuat Nastiti mendelik. "Tidak secepat itu, Mas Rendra.""Kenapa enggak? Kita sama-sama sudah siap dan sudah berumur juga. Apa menunggu rumah dan tempat praktik kamu selesai? Sekalian untuk acara syukuran?""Itu lebih, Mas. Daripada terburu-buru.""Baiklah. Aku setuju.""Bunda juga setuju.""Kamu ingin acaranya dibuat sederhana atau meriah?""Yang sederhana saja. Yang pentin khidmat.""Lalu kapan acara pernikahan nya?"Nastiti mendelik mendengar kan ucapan Narendra. "Ya Allah, Mas. Belum aja lamaran, kamu udah nanyain tanggal pernikahan," ucap Nastiti tertawa. Narendra tersenyum dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yah, gimana ya. Kan sudah duda 4 tahun. Jadi rasanya kalau sudah menemukan yang pas, lebih baik, langsung akad," seloroh nya disambut cubitan bunda. "W
Tatik menerima vonis dari hakim dengan kepala tertunduk. Dikumpulkannya semua rasa semua rasa dendam dalam hatinya. "Oke. Mungkin saat ini aku kalah. Tapi aku tidak akan pernah menyerah. Aku akan balas dendam setelah aku keluar dari penjara," gumam Tatik dalam hati. *"Bagaimana tadi sidangnya, Sum?" tanya Arif yang duduk di teras rumah Sumi. "Alhamdulillah, lancar."Sumi pun menceritakan tentang sidang yang terjadi di pengadilan tadi. Arif terlihat manggut-manggut. "Baguslah kalau begitu. Sekarang kamu bisa fokus mencari kebahagiaan kamu."Sumi mengangguk. "Oh ya, kalau kita menikah, kita akan tinggal dimana, Rif?" tanya Sumi. Arif menghela nafas panjang. "Aku juga kepikiran hal itu. Kalau aku menikah dan tinggal di rumah kamu, aku merasa kasihan pada mami.Tapi kalau kamu ikut aku ke rumah mami, kasihan anak-anak kamu. Masa setahun pindah sekolah dua kali. Lagipula warung kamu hampir jadi," sahut Arif lirih sambil menatap bangunan mungil di depan teras rumah Sumi. Rumah waris
Mata Sumi membulat. "Benarkah, Rif?"Arif mengangguk meskipun dia juga ragu membuat Sumi menjadi ragu dan tidak percaya. "Rif, aku serius. Aku benar-benar ingin mempunyai imam yang menerima aku dan anak-anak ku. Yang bisa membimbing, menafkahi, dan mengayomi. Aku terima semua keadaan kamu. Kita juga pernah berbuat sesuatu yang haram kan? Aku ingin kita sama-sama memperbaiki nya, Rif." Sumi tertunduk. Arif menjadi tidak tega saat melihat mantan pacarnya itu. "Sum, aku bilang kan aku mau menerima perasaan kamu. Aku mau menerima kelemahan dan kelebihan kamu. Baiklah, ayo kita mulai dari awal ya."Sumi mengangguk. Matanya berkaca-kaca. "Tapi aku ingin kamu berjanji satu hal padaku, Rif.""Apa itu, Sum?""Jangan pernah menghadirikan pihak ketiga dalam rumah tangga kita. Termasuk mbak Nastiti. Kamu mau kan?"Arif mengangguk pelan. Dia juga heran, dulu saat masih menikah dengan Nastiti, dia justru ingin bersama Sumi. Sekarang saat Sumi sudah di depan matanya dan dalam kondisi yang lebih
Flash back on. Arif menutup teleponnya dengan perasaan yang campur aduk. Ini kesekian kalinya, Ana menelepon nya dan menanyakan kapan Arif pulang. Dan Arif juga sudah kesekian kalinya berbohong bahwa Arif masih sangat sibuk dengan pekerjaannya dan belum bisa pulang. "Kenapa kamu?" tanya maminya sambil membawa piring besar berisi ayam dan tahu krispi. Arif menghela nafas panjang dan menatap mamanya dengan pandangan bingung. "Aku kangen Ana, Mi."Maminya menarik kursi di hadapan Arif dan menduduki nya."Ya sudah. Kalau begitu kamu jenguk saja anak kamu. Ayo, mami juga ikut."Arif menopang dagunya dengan tangan. "Apa mami pikir akan semudah itu untuk menjenguk Ana? Arif bisa berbohong kalau lewat telepon. Tapi kalau bertemu langsung dengan Ana, Arif tidak akan berani berbohong. Arif tidak tega untuk mengatakan bahwa ayah dan ibunya sudah bercerai."Maminya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terus kamu maunya apa? Itu kan semua menjadi salah kamu. Seharusnya sebelum kamu selingk
Arrgh! Tatik menjerit dan tubuhnya lemas seketika di samping ransum makanan nya. "Heh, dia pingsan beneran?" tanya salah seorang pengeroyoknya. "Ah, dia pasti pura-pura pingsan karena takut akan dikeroyok lagi!""Kita ambil saja makanan nya!""Kalau nanti kita dimarahi petugas gimana?""Salah sendiri. Coba dia nggak pelit buat bagi makanannya. Pasti dia nggak akan jadi seperti ini."Beberapa pengeroyok Tatik mulai mendekat ke arah Tatik. Dan mulai mengerubuti makanan yang ada di depan nya. "Heh, kalian!! Jangan ribut-ribut saat makan!" Sebuah suara menghentikan para pengeroyok Tatik yang sedang makan. Mendadak, Tatik terbangun dan menghambur ke arah petugas yang datang."Tolong! Tolong saya, Bu! Ini ada orang-orang gila yang mau merebut makanan saya!" seru Tatik sambil berpegangan pada tiang besi penjara yang dingin. Petugas itu terkejut saat melihat kondisi tubuh Tatik yang penuh dengan luka lebam. "Hm, ini pasti ulah kalian. Kalian harus menerima sanksi disiplin!" sahut petug