Bab 37Kepergian emak"Pakde …." Aku menahan tangis dengan segenap tenaga yang tersisa.Setelah peristiwa keributan di rumah mertua, kini aku disuguhi kehilangan orang terkasih."Sabar … Ikhlaskan Emak, biar dia disana bahagia, Insya Allah surga tempatnya," ucap Pakde Pur menasihati."Iya, Pakde," Pakde Pur adalah saudara Emak yang tertua. Dia perhatian kepada setiap keponakannya tanpa terkecuali. Parasnya yang sangat mirip dengan Emak. Hingga melihat wajahnya saja mampu mengingatkan kembali memori tentang Emak.********Aku dan Hawa masih di Klaten. Sudah sepuluh hari sepeninggalan Emak. Kedua saudara ku berkumpul semua, beserta anak istrinya. Hanya Mas Wawan seorang yang tidak ada. Sebab setelah pemakaman selesai Mas Wawan berpamitan pulang.Biasanya pengajian akan digelar selama tujuh hari berturut-turut setelah ada yang meninggal.Berhubung malam ini sudah tidak ada pengajian, kakak tertua ku mengumpulkan kami semua di ruang keluarga. Setelah mengetahui bahwa anak-anak kami suda
Bab 38Pembagian warisanPOV Pakde PurAku adalah kakak dari Darti. Dia biasa di panggil Emak oleh anak-anaknya, hingga semua orang pun ikut memanggilnya Emak.Singkat cerita, hari ini tiba-tiba Emak datang ke rumah. Disambut hangat oleh istriku, yang kebetulan dia baru menyapu halaman."Pak … Pak …." Teriak istriku yang berjalan masuk ke dalam rumah."Ada apa tho, Bu?" Aku bertanya pada istriku yang baru saja masuk ke dalam rumah."Sini … Mak!" Tangan istriku melambai ke luar halaman.Di susul Emak dengan tergopoh-gopoh berjalan menghampiriku "Apa kabar, Mak?" "Alhamdulilah, sehat. Kamu bagaimana kabarnya? Pulang kampung kok gak mau. Ke tempat Emak?""Ngabisin waktu di rumah, Mak. Sudah tua, gampang capek!""Pakde Pur, langsung saja ya. Emak mau minta tolong!" Emak memulai menjelaskan maksud kedatangannya."Minta tolong apa, Mak? Insyaallah kalau bisa saya tolong!"Emak lantas menceritakan apa yang sedang membuat hatinya kalut. Dia bingung dan tidak tahu harus berbuat apa? Karena m
bab 39Salah sangkaAku sangat bersyukur, andai saja ibu mertua ku memang sudah berubah. Tapi aku juga tidak munafik, manusia secepat itu bisa berubah. Apa jangan-jangan ibu mertuaku tahu kalau aku mendapat warisan? Tapi tahu dari mana? Setahuku tidak ada yang tahu selain keluarga sendiri. Apakah kemarin saat Ibu melayat, ada tetangga yang duduk berdekatan dengan ibu? Alhasil, ibu mendapatkan cipratan informasi. Ah … pikiranku malah menerawang jauh. Mikir yang tidak-tidak malah membuatku pusing."Kita jadi ke toko bangunan?"Mas Wawan mengagetkanku. Dia menanyakan apakah aku jadi ke toko bangunan atau tidak? Sebab toko bangunan sudah hampir sampai."Tapi Mas? Aku cuma punya uang dua juta, cukup gak buat beli batu bata?"Mas Wawan terlihat tersenyum, aku tak sengaja melihatnya di spion motor yang berada di depan.Senyuman itu seperti senyuman bahwa dia tahu kalau aku punya uang banyak.Aduh, pikiranku kenapa jadi negatif terus sama orang.Aku memukul helm yang dipakai dengan pelan."Ke
Bab 40Penasaran"Adi, kamu kirim pesan sama Mas Mu! Tanya Nanda kapan pulang?"Ibu langsung meminta Adi segera menanyakan kapan menantunya itu kembali. Padahal baru saja ia turun dari motor."Baru juga nyampe, Bu. Mbak Nanda mau pulang kapan ya terserah dia tho, Bu! Namanya juga baru kehilangan keluarga. Ya … wajar kalau agak lama." Adi menaruh helm-nya di kaca spion.Bu Partini yang mendengar jawaban dari Adi, langsung bergegas masuk ke dalam rumah. Memang Adi itu gak tahu atau gak pengertian? Karena maksud pertanyaan ibunya, ya dia kepo tentang warisan yang didapat Nanda. Berapa juta atau berapa hektar sawah yang diberikan untuknya?******Hari ini Nanda kembali ke Wonogiri setelah sepuluh hari lebih dia tinggal di Klaten.Untuk menyambut kedatangan menantu yang dipikir akan membawa uang banyak, Bu Partini sengaja ke warung membeli kebutuhan dapur dan juga membeli beberapa makanan. Itung-itung menyambut sang menantu dengan baik agar kecipratan warisan."Wah … ini yang baru menerima
Bab 41Numpang hidup"Nanda, kamu itu ya bener-bener kelewatan!" sungut Ibu yang tiba-tiba berapi-api."Ada apa tho, Bu? Tiba-tiba kok marah-marah gak jelas?" Aku seketika terkejut mendengar ucapan Ibu yang tiba-tiba meninggi."Kamu itu numpang ya disini! Inget itu, jadi setiap kamu ada uang sebaiknya bantu-bantu membeli kebutuhan rumah! Jangan sampai punya uang buat sendiri!""Ibu ngomong apa sih? Lagian aku juga kemarin sudah beli beras dan lainnya, masih kurang?" Aku kembali menjahit dan sedikit tak memperhatikan Ibu yang masih berdiri di hadapanku."Ini pasti Rina yang ngajarin kamu seperti ini, ngajari ngelawan sama mertua!" Wanita tua itu mengalihkan pandangannya ke arah Bude Rina."Woo … Ibu mu ini bener-bener kelewatan, Nanda. Asal bicara, gak ada sopan-sopannya! Menuduh yang tidak-tidak!" Bude Rina yang semula duduk kini berdiri dan menatap ibu dengan seksama."Sudah, Bu. Jangan seperti itu, Bude Rina gak ada sangkut pautnya sama Nanda!" Aku langsung mematikan mesin jahitku d
Bab 42Kepergian Nanda dan HawaPOV Bu PartiniDarahku mendidih karena hingga sampai detik ini Nanda tak juga memberikan aku uang sepeser pun. Entah dia mendapatkan sejumlah uang atau sawah yang luas itu?Yang tambah membuatku naik pitam, dia masih saja mengerjakan jahitannya. Yang suara jahitannya membuatku pusing tujuh keliling.Sepulang dari tetangga, melihat Nanda seakan amarah ku sudah berada di ubun-ubun.Terlebih ada sosok Rina yang pasti akan bicara yang tidak-tidak mengenaiku kepada tetangga.Hingga akhirnya aku meluapkan semuanya kepadanya.Hingga membuat dia angkat kaki dari rumah ini, syukur-syukur dia tidak akan pernah kembali. Entah mengapa kebencian ku terhadapnya tak pernah padam. Meskipun dia sudah membayar semua hutang-hutangku.Melihatnya pergi dengan membawa tas di tangan dan juga Hawa dalam gendongan tak lantas membuatku trenyuh. Aku malah berharap dia hilang selamanya.Setelah aku selesai membuat Nanda menangis. Aku berniat pergi ke kamar mandi, untuk sekedar men
Bab 43Bu Partini stroke Kemudian suamiku membukanya perlahan.Adi dan juga Wawan, akhirnya mereka datang."Wann… Adii." Kupanggil mereka agar segera menghampiriku."Iya, Bu. Bagaimana kondisi ibu sekarang? Apa yang masih dirasakan?" tanya Adi pada Ibu. "Nanda dan Hawa kemana, Bu? Dirumah sepi tidak ada orang? Aku pikir mereka ada disini?"Wawan menatapku lantas melempar pandangannya ke arah suamiku.Aku diam, nyali ku menciut tatkala mendengar kata Nanda. Ada sesal tapi sudah terlanjur.Suamiku mengajak Wawan keluar. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang pasti tentang Nanda, aku belum menjelaskan secara rinci perihal Nanda kepada lelaki halalku itu. Tapi sepertinya dia sudah bisa menyimpulkannya sendiri. Mungkin sudah hafal betul dengan sikapku yang terlalu kentara ketidaksukaan pada Nanda. Dan setelah cukup lama.Suamiku terlihat masuk seorang diri."Mas Wawan mana, Pak?" "Bapak suruh menjemput Nanda!""Lha memang Mbak Nanda kemana?" tanya Adi yang masih terlihat bingung."Sudah
Bab 44Nanda si keras kepalaWawan terlihat mencoba menghubungi istrinya, tapi lagi-lagi Nanda mengacuhkannya. Tak pernah diangkatnya.Tak berapa lama mobil pick up memasuki pekarangan rumah Wawan.Dan diikuti motor matic berboncengan. Sepertinya Nanda dan juga seorang teman.Wawan yang mengetahui mobil berhenti didepan rumah langsung berdiri dan menghampiri." Siapa ya, Mas?" Belum sempat si sopir menjawab Wawan melihat sosok Nanda berjalan menghampirinya."Nanda?" Wawan terlihat senyum sumringah. "Mas," Nanda terlihat tersenyum menegur Wawan yang masih berdiri di dekat mobil."Ayo … masuk!" ajak Wawan mendahului langkah. Apakah Nanda kembali? Bukankah tadi dia menolak?Semua yang melihat Nanda dan juga Hawa datang, langsung tersenyum sumringah. Ada kesempatan untuk mereka merubah sesuatu hal yang pernah ada."Nanda, ayo masuk! Ibu ada di kamar, dia selalu menanyakan kamu! Ayo …." ajak Bapak mertua yang dengan suka rela mengantar Nanda ke tempat ibunya terbaring.Entah mengapa mer