Arya bangkit, menjulurkan tangannya meraih jemari Rena. Mereka melangkah ke ruang keluarga hendak pamitan pada si empunya rumah.Dengan sopan, Arya berpamitan pada Dokter Fredy juga ibunya. Bu Wulan menyambut uluran tangan Arya dengan ramah. Sebliknya dengan DOkter Fredy, pandangan matanya setajam elang. Seakan ingin menembus isi hati Arya.Tangan Arya kembali terulur pada Dokter Fredy. Namun, kali ini lelaki tinggi itu tidak menepisnya. Dia terima uluran tangan Arya. Jabatan tangan itu terlihat erat, sangat erat malah. Membuat Arya meringis kesakitan.“Rena, ingat, jangan lama!” ucap Dokter Fredy dengan pandangan tajam tetap pada Arya.“Hush! Kamu ini, kaya gak tau anak muda aja. Biarin mereka nyari jodoh di usia muda. Jangan kaya kamu, udah umur segini masih aja betah melajang,” sindir Bu Wulan. Dokter Fredy melengos.“Sana kalian. Hati-hati ya.” Bu Wulan melambaikan tangan, mengusir. Arya tampak bagai seorang yang telah memenangkan pertempuran.*Arya menuntun Rena memasuki pintu r
Meja makan kini lebih ramai dengan kehadiran Bu Wulan. Mulutnya yang cerewet menambah ramai suasana rumah yang selama ini selalu sepi. Mereka duduk bertiga. Rena duduk bersebelahan dengan Bu Wulan, sedangkan Dokter Fredy duduk di seberang ibunya.Berkali-kali Dokter Fredy mencuri pandang pada istrinya. Bu Wulan yang hendak mengambil makanan, beberpa kali memergokinya.“Hei, Fredy. Kamu ngapain larak-lirik sama si Rena? Suka kamu sama dia, hah?” tanyanya tegas. Dokter Fredy yang tengah meneguk air langsung terbatuk. Untung saja air di mulutnya tidak menyembur.“Dia itu sudah punya pacar. Kenapa kamu gak terima aja itu si Dewi? Katanya kemarin kamu minta dia belikan celana dalam? Kamu mau kasih dia isinya, apa?”Kali ini tidak hanya Dokter Fredy yang tersedak karena tengah mengunyah makanan, Rena pun sama. Bu Wulan merasa aneh, dua orang di samping dan di depannya terbatuk-batuk mendengar ucapannya.“Kalian ini kenapa sih? Kaya lihat hantu saja!” rutuknya.“Lagi makan jangan ngobrol, Bu
“Kau tidak punya adab. Apa kau ingat saat aku tak punya pilihan, dan kau memanfaatkan keadaanku itu?” Rena mencoba mengingatkan. Dia bangit berdiri hendak meninggalkan suaminya yang masih terpaku.“Dan satu lagi. Kau terlalu tua untukku!”DEG!Sebuah perkataan yang sungguh menghancurkan hatinya. Bukan karena apa, tapi Rena mengatakan suatu kebenaran yang tidak bisa diubah. Dokter Fredy tertunduk lemah.Keesokan harinya Bu Wulan meminta Rena untuk menelepon Dewi agar datang pagi-pagi. Demi permintaan bakal calon ibu mertuanya, Dewi dengan semangat menurutinya.Bu Wulan mengajak Dewi belanja ke pasar modern yang tak jauh dari rumah, tanpa mengajak Rena. Sepulang dari pasar, Bu Wulan langsung mengajak Dewi memasak. Wanita sepuh itu dengan telaten mengajari Dewi memasak. Dari membuat gulai kepala kakap, gado-gado, juga balado telur, yang menurut Bu Wulan itu adalah makanan favorit puteranya.“Dewi, tambahkan santan ke gulainya.” Terdengar suara Bu Wulan di dapur. Rena hanya bisa memperhat
“Fredy, hari Minggu besok kita jalan-jalan. Sudah lama Ibu pengen ke pantai. Tolong luangkan waktu. Jangan lupa kasih tau Dewi dari sekarang,” ujar Bu Wulan saat tengah menikmati makan malam.Dokter Fredy tak menjawab. Dia hanya mengangguk pelan dan melanjutkan suapannya. Rena melirik ke arah ibu mertuanya. Bu Wulan sepertinya sadar sedang diperhatikan. Dia kemudian menoleh ke arah Rena.“Kenapa? Kamu mau ikut?” tanyanya. Rena melengos, terlihat kikuk karena kepergok.“Kamu boleh ikut, ajak pacar kamu kalau mau,” ucapnya tegas. Rena mengangguk ragu.Bu Wulan memang terlihat tegas, tapi wajahnya menyiratkan ketulusan. Wanita yang berpostur tinggi montok ini, masih terlihat segar di usianya yang sudah tak muda lagi.Beberapa hari kemudian, mereka bersiap untuk berangkat ke pantai. Dokter Fredy sengaja menyewa mobil untuk traveling lengkap dengan sopirnya. Tas-tas mereka sudah rapi berjejer di bagian belakang. Bu Wulan tampak semringah melihat kehadiran Dewi. Rencananya untuk menjodoh
“Hai, kalian ke sini juga? Ayo kita naik perahu!” ajak Arya. Dokter Fredy merasa diselamatkan. Dewi meloncat girang. Rena hanya tersenyum datar.Gelombang ombak membuat perahu bergoyang hebat. Beberapa kali tanpa sadar Dokter Fredy meraih tangan Rena yang sempat menjerit karena takut. Tanpa disadari dua pasang mata memperhatikan itu dengan curiga. Walaupun memang saat tangan kekar itu meraihnya, Rena segera menepisnya.Berulang kali menerima penolakan dari Rena, Dokter Fredy mulai menerima, jika gadis itu benar-benar tidak menginginkannya. Dia teringat nasihat dan permintaan ibunya yang ingin segera ia menikah dan punya anak. Dokter Fredy berpikir untuk mencoba dekat dengan Dewi, wanita yang telah bertahun-tahun memberikan perhatian padanya..“Wah, lihat ada penjual bunga!” pekik Dewi saat tengah berjalan-jalan sore di sekitar pantai. Seorang gadis kecil dengan sebuah keranjang di tangannya menyodorkan pada Dewi juga Dokter Fredy. Lelaki itu mengambil sekuntum mawar merah lalu diber
Suara azan Subuh samar-samar terdengar dari masjid tak jauh dari resort. Rena menggeliat pelan. Sebuah tangan melingkar di perutnya. Rena menoleh, dan ia pun tersenyum saat dilihat wajah suaminya mendengkur halus di belakang telinganya. Perlahan Rena melepaskan tangan itu dan membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Rena menjerit kecil saat menyadari tak sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Sebuah tangan menariknya. Rena terjungkal kembali di atas kasur. Ciuman hangat bertubi-tubi mendarat di pipinya. Rena mendengkus saat sang suami mengedipkan matanya menggoda.“Mau ke mana?” tanyanya nakal.“Mau mandi, udah Subuh itu.” Rena mencubit pinggang suaminya. Dokter Fredy meringis. “Mandi bareng ya?” godanya lagi dengan tangan makin dieratkan.“Ish, apaan sih?” Rena memutar bola matanya. “Lah, kenapa?” Dokter Fredy mengendus-endus telinga Rena. “Malu.” Wajah Rena merona merah. Dokter Fredy menyangga kepalanya dengan tangan kanannya. “Lho, kenapa malu? Aku kan sudah lihat semuanya,
Setelah makan malam, Rena segera mencuci piring kotor. Makan malam terbaik yang pernah gadis itu alami selama hidupnya. Senyum manis tak henti-hentinya terkembang di bibirnya saat sang suami beberapa kali menyuapinya. Tanpa menghiraukan keberadaan sang ibu yang melihat tingah laku mereka yang seperti pengantin yang baru saja menikah. “Ibu tidur duluan ya,” ujar Bu Wulan sambil mengulum senyum, saat melihat anaknya mendekati sang istri yang tengah asyik mencuci piring, lalu memeluknya dari belakang. Tanpa menunggu jawaban, Bu Wulan segera bangkit dan beranjak ke kamarnya. “Sini, aku bantuin beresin piringnya,” ujar Dokter Fredy. Rena melirik suaminya. Tangannya masih membilas piring yang sudah ia sabuni sebelumnya.“Kenapa harus cepat-cepat sih? Tenang aja.” Rena menaruh piring di tangannya ke rak yang berada di samping kirinya.“Soalnya masih ada yang harus kita lakukan selanjutnya,” ucap Dokter Fredy sembari tersenyum nakal.“Apaan emangnya?” kening Rena mengerut. Lelaki berkaos pu
Wangi bawang bersatu dengan minyak panas menguar menciptakan aroma yang begitu menggoda. Semakin membuat Dokter Fredy kelaparan sepulang tugasnya di rumah sakit. Dia mendekat ke arah istrinya yang asyik mengaduk sayuran dalam wajan.Sudah seminggu ini Rena berhenti dari kursusnya. Dia merasa tidak nyaman jika terus bertemu dengan Arya. Walaupun Dokter Fredy tak pernah memintanya, tetapi Rena tak ingin membuat hubungannya semakin rumit dengan kehadiran Arya. “Masak apa, Sayang? Sepertinya enak,” tanya Dokter Fredy. Rena menoleh sekilas. “Sudah pulang, Sayang? Ini aku bikin cah kangkung sama ayam teriyaki. Cepet ganti baju, kita makan bersama,” pinta Rena. Lelaki itu tersenyum manis, mengecup kening istrinya sekejap lalu beranjak ke kamarnya untuk mandi dan ganti pakaian. Selesai mandi, ternyata semua hidangan sudah tersaji di meja makan. Perutnya sudah bertalu-talu minta diisi. Rena menyendok nasi merah, kangkung juga ayam teriyaki ke atas piring lalu menaruhnya di depan sang suami.