Home / Horor / KUNTILANAK MERAH / Suara Dari Dalam cermin

Share

Suara Dari Dalam cermin

Author: West star
last update Last Updated: 2025-06-04 14:23:42

Bab 2: Suara dari Dalam Cermin

---

Udara pagi Desa Kalibungkus tidak pernah benar-benar segar. Meskipun matahari menyembul malu-malu di balik kabut, hawa dingin seperti masih menyelimuti tulang-tulang tua desa itu. Di rumah tua tempat Raka dan Ucup menginap, keheningan yang terlalu pekat terasa tidak wajar—seolah malam sebelumnya masih tertinggal di dinding-dinding kusam.

Raka membuka matanya perlahan. Punggungnya pegal karena semalaman tidur di atas kursi rotan tua yang patah satu kakinya. Ucup masih mendengkur, mulut menganga, dengan satu tangan memeluk tripod seolah itu guling.

“Cup... bangun,” desis Raka sambil menepuk pipinya pelan.

“Huh... kuntilanak... jangan masuk, saya udah puasa Senin-Kamis...” gumam Ucup dalam tidur.

“Cup! Beneran, bangun!” Raka berdiri, menatap ke arah laptop yang masih menyala—padahal mereka yakin semalam listrik padam.

Lebih aneh lagi, di layar monitor, aplikasi live-streaming masih terbuka. Tapi bukan halaman utama atau video mereka. Sebuah rekaman otomatis terputar—berisi sorotan dari kamera malam sebelumnya.

Namun kali ini, ada tambahan baru.

Sosok kuntilanak merah itu terlihat jelas, tapi... bukan hanya berdiri. Dalam rekaman itu, ia bergerak. Mendekati kamera. Menunduk. Dan... menatap langsung ke lensa.

Dan saat ia menatap, sorot matanya seperti menembus ke arah penonton. Tidak hanya itu—dia tersenyum. Bukan senyum biasa. Melainkan senyum lebar yang menyingkap deretan gigi tajam. Darah menetes dari matanya.

Raka membekap mulutnya. Ucup—yang kini benar-benar terjaga—ikut terpaku.

"Bro... elu... elu liat juga, kan?"

"Ya."

“Ini... bisa editan?” tanya Ucup dengan suara mengecil.

“Gue gak jago efek segila ini, Cup. Dan rekaman ini... ini nggak pernah kita save.”

Mereka menatap satu sama lain, lalu ke layar, lalu kembali saling tatap.

“Gue punya ide,” kata Raka dengan nada lirih. “Kita pulang aja, bro.”

Namun belum sempat mereka beres-beres, terdengar suara ketukan dari luar. Tiga kali. Pelan. Tapi menghantam seperti palu di dada.

Tok... tok... tok.

Raka berjalan ke arah pintu. “Desi?” tanyanya, berharap itu suara perempuan desa yang kemarin membantu mereka.

Tapi saat ia membuka pintu...

Tidak ada siapa pun.

Hanya angin yang membawa kabut pagi. Dan sesuatu di tanah—bekas tapak kaki. Kecil. Seperti kaki perempuan. Basah. Meninggalkan jejak menuju... cermin tua di ruang tamu.

Cermin itu sebelumnya ditutupi kain putih. Kini, kain itu tersingkap. Dan di dalam bayangan kaca, bukan Raka yang terpantul.

Bukan Ucup.

Tapi... sosok perempuan berkebaya merah.

Ia berdiri di dalam cermin. Senyumnya masih sama. Tapi kali ini, ia bicara.

“Sudah melihatku... maka kau tak akan pulang... sampai kau tertawa... atau mati.”

Ucup langsung berlari ke luar rumah. Raka menyusul.

“Brooo, kenapa cermin bisa... bisa gituan?!” Ucup nyaris tersandung batu di depan rumah.

Raka terengah. “Lu pikir gue ngerti? Ini kayak The Ring versi lokal!”

Desi tiba-tiba muncul dari belakang pohon pisang. “Kalian lihat cermin itu?”

Ucup mengangguk cepat. “Iya! Dan itu bukan cermin biasa! Itu cermin... rumah sakit jiwa!”

Desi menarik napas dalam. “Itu milik Simbah. Cermin itu katanya... dipakai untuk ‘menyimpan’ arwah.”

“Simpan?! Kayak toples Nutella?!”

Desi tidak tertawa. “Kuntilanak merah... konon tak bisa masuk dunia ini secara penuh. Dia butuh perantara. Lewat cermin, lewat kamera, atau... mimpi.”

Raka mulai pusing. “Berarti... setiap alat yang bisa menampilkan bayangan... bisa jadi portal?”

Desi mengangguk pelan.

Ucup menoleh panik ke arah mobil mereka. “Itu... kaca spion juga?”

“Bisa.”

“Dinding glossy?”

“Bisa.”

“Minyak goreng?!”

“Kalau bening, ya bisa juga.”

“MATI KITA!”

Raka menggenggam pundak Ucup. “Tenang, bro. Kita influencer. Kita punya satu senjata yang kuntilanak gak punya: ketololan dan koneksi internet. Kita bisa viralkan ini. Kita bisa cari netijen buat bantu.”

Desi menghela napas. “Ini bukan konten YouTube, Raka. Ini nyata. Dan jika kalian sudah membuka jalannya, kalian harus menutupnya. Atau... dia akan terus ikut. Lewat mana saja.”

Malam itu, mereka memutuskan untuk menyelidiki rumah simbah Raka lebih dalam.

Di ruang bawah tanah, mereka menemukan sebuah buku tua. Terbungkus kain kafan. Berdebu. Di halaman pertama, tertulis:

> “Sesudah darah jatuh, sesudah janji dilanggar, ia datang. Bukan untuk menakutimu. Tapi untuk menertawakan akhir hidupmu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KUNTILANAK MERAH   Bab 14: Sekolah Dasar Angker – Kapur Terbang dan Penghapus Berdarah

    Sekolah Dasar Angker – Kapur Terbang dan Penghapus Berdarah.......Sekolah Dasar Negeri Kalibungkus 02 punya reputasi aneh. Murid-muridnya rajin, guru-gurunya sopan, tapi semua orang kampung sepakat: jangan main ke sekolah itu setelah jam lima sore.Bangunannya berdiri sejak zaman Belanda. Plang nama sekolah sudah pudar, papan pengumuman miring, dan lonceng tua di tiang besi hanya dibunyikan manual dengan tali tambang. Dindingnya lembab, dan di salah satu kelas ada tulisan kapur yang tak pernah bisa dihapus: "Saya belum selesai ujian..."Semua berawal dari ruang kelas 4B. Ruangan itu lebih gelap dari yang lain, walau jendelanya besar. Lampu sering berkedip, dan kipas langit-langitnya menimbulkan suara mendengung seperti nyamuk raksasa. Guru-guru menyebutnya 'kelas keramat'.Suatu hari, Bu Kartini, guru Matematika senior yang terkenal disiplin dan anti-mitos, memutuskan mengajar les tambahan sepulang sekolah. Ia menolak semua peringatan murid dan g

  • KUNTILANAK MERAH   Bab 13: Arisan Emak-emak dan Undangan dari Alam Lain

    Arisan Emak-emak dan Undangan dari Alam Lain.....Hari Sabtu siang di Kalibungkus biasanya hanya diisi suara ayam berkokok telat, anak-anak main layangan, dan suara ibu-ibu menyapu halaman. Tapi hari itu, suara gaduh, tawa cekikikan, dan denting gelas sirup menggema dari rumah Bu Rumi, Ketua RT sekaligus tuan rumah arisan bulanan emak-emak Blok C.“Eh Bu Yayah, masa kamu belum setor bulan kemarin? Mau jadi peserta arisan arwah kayak Lastri?”“Eh jangan asal nuduh! Aku tuh udah setor, cuma belum sempat ditulis. Tanya aja Bu Iis!”Bu Iis yang lagi ngunyah pastel isi bihun keasinan cuma manggut-manggut sambil meletakkan kotak makan plastiknya di atas meja. Kursi plastik oranye berjejer di ruang tamu, sebagian mulai melengkung karena beban emak-emak plus bonus gorengan. Satu kursi di pojok ruangan sengaja dikosongkan, katanya buat 'tamu tidak diundang'.Tradisi arisan Kalibungkus memang aneh. Setiap bulan, selalu ada kejadian ganjil sejak tah

  • KUNTILANAK MERAH   Bab 12: Salon Wiwin – Sisir Hantu, Kursi Panas

    Bab 12: Salon Wiwin – Sisir Hantu, Kursi PanasSalon Wiwin berdiri di pojok Jalan Anggrek, sebuah gang kecil yang penuh tanaman pot dan kabel listrik menggantung seperti akar dari langit. Wiwin, seorang janda muda berusia tiga puluh lima tahun, memutuskan membuka salon setelah frustasi bekerja sebagai kasir toko elektronik yang setiap hari disuruh ganti baterai remote rusak.Salon itu kecil. Hanya dua kursi salon yang catnya sudah mulai mengelupas, satu cermin besar retak di ujung kiri dinding, kipas angin tua yang suaranya seperti orang mendengkur, dan lemari kayu tempat menyimpan semua alat perawatan rambut. Tapi, ada sesuatu yang istimewa: pelanggan selalu ramai. Mungkin karena Wiwin ramah, murah, atau karena dia sering memutar lagu dangdut remix sambil mencatok rambut.Namun sejak malam Jumat Kliwon bulan lalu, salon itu tak pernah sama lagi.Semuanya dimulai saat Wiwin merapikan lemari tua di pojok salon. Ia menemukan sebuah sisir kayu antik

  • KUNTILANAK MERAH   Penunggu Lapangan Voli – Bola Nyasar, Kepala Terbang

    Bab 11: Penunggu Lapangan Voli – Bola Nyasar, Kepala TerbangKalibungkus adalah desa kecil yang punya cara aneh menjaga kekompakan warganya: pertandingan voli antar RT tiap Jumat sore. Meski kelihatannya biasa, pertandingan ini terkenal tidak pernah selesai. Alasannya? Entah karena debat skor, bola nyangkut ke kandang ayam, atau tiba-tiba hujan padahal langit cerah. Tapi Jumat sore itu, pertandingan berhenti bukan karena hal-hal konyol seperti biasanya. Kali ini, pertandingan berhenti karena kepala orang terbang.Sore itu, langit cerah tanpa awan. Angin bertiup pelan, membawa bau tahu goreng dan keringat bapak-bapak yang sudah pemanasan sejak pukul tiga. Anak-anak duduk berderet di pinggir lapangan tanah merah, duduk di atas ban bekas yang disusun seperti tribun. Emak-emak membawa bekal—ada yang bawa singkong goreng, ada yang bawa kerupuk, ada juga yang bawa kipas tradisional dari lidi yang lebih sering dipakai buat ngusir nyamuk daripada buat angin.Pak L

  • KUNTILANAK MERAH   Kuntilanak Penjual Cilok – Dagangan Pedas, Tatapan Sadis

    Bab 10: Kuntilanak Penjual Cilok – Dagangan Pedas, Tatapan Sadis---Pukul empat sore di Kalibungkus biasanya adalah waktu sakral bagi anak-anak SD dan SMP. Itu adalah waktu jajan, ketika warung-warung pinggir jalan mulai ramai, dan suara gerobak dorong berdentang lebih nyaring dari azan magrib.Di situlah pertama kali warga melihatnya.Seseorang—orang?—menjual cilok dari balik kabut sore yang menggantung rendah. Gerobaknya tua, terbuat dari kayu cokelat kusam, dengan tulisan “CILOK PEDAS SETAN” yang tampak ditulis dengan darah (atau saus tomat basi).Tapi yang membuat geger bukan gerobaknya, melainkan... penjualnya.Dia tinggi, rambut panjang menjuntai sampai lutut, kulitnya pucat seperti mayat yang kelamaan di kulkas, dan matanya... merah menyala.---“Lu yakin itu orang?” tanya Ucup ke Desi saat mereka ngintip dari balik tembok sekolah.Desi melotot. “Lu kira setan bisa dagang cil

  • KUNTILANAK MERAH   Teror Tisu Toilet yang Bisa Menjerat Jiwa – Misteri Kamar Mandi Sekolah Dasar

    Bab 9: Teror Tisu Toilet yang Bisa Menjerat Jiwa – Misteri Kamar Mandi Sekolah Dasar---Sekolah Dasar Negeri Kalibungkus 1 adalah bangunan peninggalan zaman Belanda yang direnovasi terakhir kali… saat Presiden masih sering tampil di televisi dengan pita leher. Plafon lapuk, meja bolong, dan cat dinding yang mengelupas seperti kulit ular habis ganti musim adalah pemandangan biasa. Tapi yang paling jadi legenda adalah kamar mandi belakang.Letaknya di pojok sekolah, dekat pohon asam tua yang akarnya menjulur seperti jemari monster tua. Ada dua bilik: satu untuk murid laki-laki, satu lagi untuk perempuan. Tapi… sejak tahun 2007, tidak ada yang berani masuk bilik nomor dua.Kenapa?Karena tisu toilet di dalamnya bisa bergerak sendiri.—Desas-desus ini sudah lama terdengar. Tapi tak pernah ada bukti nyata. Sampai suatu hari, Iqbal, murid kelas 5 yang dikenal paling berani dan paling doyan makan lem, memutuskan unt

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status