Home / Horor / KUNTILANAK MERAH / Tertawa Sebelum Mati

Share

Tertawa Sebelum Mati

Author: West star
last update Last Updated: 2025-06-04 14:28:42

Bab 3: Tertawa Sebelum Mati

---

Malam mulai turun lagi di Desa Kalibungkus, dan suasana rumah Simbah Raka kini terasa lebih mencekam dari sebelumnya. Udara seolah membeku. Angin tak lagi sekadar berhembus—ia menggeram. Setiap bayangan di dinding seperti bergerak sendiri. Desi, Raka, dan Ucup duduk melingkar di tengah ruang tengah yang kini hanya diterangi lampu minyak tua.

Buku catatan kutukan kuntilanak merah terbuka di tengah mereka. Aroma kayu tua dan jamur menyeruak dari tiap halamannya. Raka membacanya dengan suara serak, mencoba tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang.

> “Siapa pun yang melihat senyumnya akan terus melihatnya—sampai mereka tertawa, atau mati.”

Desi berbisik, “Itu bukan cuma metafora. Ada alasan kenapa di desa ini tidak ada orang yang tertawa keras sejak dua dekade terakhir.”

Ucup menelan ludah. “Serius? Jadi... kalau gua ngakak, bisa selamat?”

Desi menggeleng. “Bukan sembarang tertawa. Harus tawa dari ketulusan. Tawa yang bisa mengusir ketakutan. Bukan tawa palsu. Bukan karena video TikTok.”

Ucup langsung ambil ponselnya, buka TikTok, dan mutar video kucing berdandan jadi pocong.

“Kayak gini bisa nggak?”

Desi menatapnya datar. “Mau coba sendiri?”

Ucup langsung mematikan ponsel dan berbisik ke Raka. “Kayaknya kuntilanak lebih serem dari algoritma FYP, bro.”

Raka kembali menatap buku. Ada satu halaman yang isinya seperti mantra:

> “Jika suara tawa tak bisa kau hadirkan, maka gelap akan mengikat. Bakar tanah asalnya, ikat bayangannya, dan jangan menoleh saat ia menangis.”

Desi menambahkan, “Itu berarti... kita harus cari lokasi pertama kutukan ini muncul.”

Raka mengangguk. “Berarti kita harus... ke Bukit Keramat?”

Desi terdiam sejenak. “Iya. Bukit tempat jenazah perempuan yang jadi kuntilanak itu ditemukan. Tapi banyak warga yang bilang... jalan ke sana berubah-ubah.”

“Lah,” sela Ucup. “Itu bukit atau labirin Hogwarts?”

Desi mendesah. “Konon, tempat itu dijaga oleh penjaga tawa. Arwah anak kecil yang... meninggal setelah menertawakan kuntilanak merah saat hidup.”

Ucup langsung pucat. “Bro, gua paling takut anak kecil berkaki ayam yang ketawa jam dua pagi.”

Raka berdiri. “Tapi kalau itu satu-satunya cara, kita harus ke sana.”

Mereka bertiga mulai menyiapkan perlengkapan. Baterai penuh, ponsel siap, senter, satu botol minyak kelapa, dan... sebungkus kerupuk jengkol. (Ide Ucup, katanya untuk “umpan spiritual”).

Sampai di luar rumah, kabut mulai turun. Jalan setapak menuju Bukit Keramat menyempit dan tertutup semak. Suasana sunyi, hanya ada suara jangkrik dan langkah kaki mereka yang berat.

Setelah berjalan sekitar lima belas menit, mereka tiba di sebuah gapura tua, terbuat dari batu. Di atasnya tertulis huruf Jawa kuno.

Raka bertanya pelan, “Des, itu tulisannya apa?”

Desi membaca pelan. “Tertawalah yang terakhir, atau jadi bahan tertawaan abadi.”

“Waduh, tagline-nya kayak acara roasting.”

Ucup berseru. “Eh... lihat! Itu ada ayunan di tengah hutan?!”

Benar. Di tengah tanah lapang berumput tinggi, terdapat sebuah ayunan kayu yang bergoyang pelan meski tak ada angin.

Dan di ayunan itu...

Seorang anak kecil duduk. Membelakangi mereka. Rambutnya panjang, bajunya compang-camping.

“Jangan bilang itu si penjaga tawa...” bisik Raka.

Anak itu menoleh perlahan. Wajahnya pucat. Matanya hitam seperti lubang tanpa dasar. Tapi senyumnya... polos.

“Hei... mau main sama aku?”

Ucup langsung mundur tiga langkah. “Bro... itu bukan ngajak main. Itu kode ‘ikut gua ke alam baka.’”

Desi maju, mendekati anak itu. “Kamu siapa?”

“Aku yang terakhir tertawa,” jawabnya pelan. “Sekarang... aku pengen dengar tawa kalian.”

Raka mencoba tertawa. Dipaksa. Canggung. “Heh... heh... lucu ya... kita semua ke sini cuma buat ketemu kamu... yang kayak mirip anak tetangga gua... yang... suka nyuri sandal... heh... heh...”

Anak itu memandang datar.

Ucup mencoba ganti gaya. Ia mengangkat dua tangan, pura-pura jadi stand-up comedian.

“Eh, kalian tau nggak... kenapa kuntilanak merah suka muncul di cermin? Karena dia insecure ketemu mantannya yang udah nikah!”

Anak itu tidak tertawa.

Ucup mencoba lagi. “Kenapa kuntilanak nggak bisa jadi selebgram? Karena setiap foto selfie selalu blur!”

Anak itu masih tidak tertawa.

Kemudian ia berdiri.

Dan dunia berubah.

Langit mendadak gelap total. Angin bertiup kencang. Pohon-pohon menjerit. Ayunan melambung tinggi ke udara dan anak itu... menghilang.

Desi berteriak. “Dia marah! Kita gagal buat dia tertawa!”

Raka memegang kepala. “Oke... plan B! Kita cari makam si kuntilanak itu!”

Kabut menebal. Ucup hampir tersandung akar pohon. Tapi akhirnya, mereka tiba di sebuah batu nisan tua. Ukiran namanya nyaris tak terbaca, tapi jelas ada satu simbol merah di sana—bekas darah.

Desi mengeluarkan botol minyak kelapa.

“Ini... untuk membakar bayangannya.”

Ia menyiram tanah di sekeliling makam. Tapi sebelum api dinyalakan, terdengar suara dari balik pepohonan.

Tawa.

Tawa perempuan.

Merdu tapi menusuk.

Tawa yang naik perlahan... lalu membuncah dalam teriakan gila.

Dari balik kabut, kuntilanak merah muncul.

Ia terbang, rambutnya berkibar seperti api, dan matanya menatap langsung ke arah Raka.

“Aku sudah mendengar kalian tertawa... sekarang giliranku!”

Ia melayang cepat.

Ucup berteriak, “BAKAR! BAKARRR!”

Raka menyalakan api dari korek bensol. Api menyambar tanah dan sekeliling nisan.

Jeritan kuntilanak merah menggema.

Ia mundur. Tapi belum pergi.

Desi membaca mantra terakhir dari buku.

> “Tawa yang terakhir... akan mengunci tawa abadi.”

Mereka bertiga tertawa bersama-sama—paksa, takut, gila—tapi karena ketakutan yang sama, tawa itu... jujur.

Dan tiba-tiba... kuntilanak itu berhenti terbang. Ia melayang di tempat.

Wajahnya memucat. Darah yang menetes dari matanya berhenti. Ia menatap mereka bertiga—dan... tertawa kecil.

“Ternyata... kalian bisa juga... bikin aku... ketawa.”

Dan... ia menghilang. Hanya menyisakan gaun merah yang kini tergeletak di tanah.

---

Malam itu, ketiganya kembali ke rumah Simbah.

Ucup langsung rebahan di lantai, menatap langit-langit.

“Bro... ini pengalaman paling gila dalam hidup gua.”

Raka tertawa kecil. “Tapi lo sempat bikin hantu tertawa, Cup. Itu prestasi.”

Desi menambahkan, “Tertawa... bisa jadi penyembuh. Atau... pemanggil. Tergantung siapa yang mendengar.”

Ucup menjawab, “Gue sih tetap pilih ketawa. Tapi... nggak di depan kaca lagi.”

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KUNTILANAK MERAH   Bab 14: Sekolah Dasar Angker – Kapur Terbang dan Penghapus Berdarah

    Sekolah Dasar Angker – Kapur Terbang dan Penghapus Berdarah.......Sekolah Dasar Negeri Kalibungkus 02 punya reputasi aneh. Murid-muridnya rajin, guru-gurunya sopan, tapi semua orang kampung sepakat: jangan main ke sekolah itu setelah jam lima sore.Bangunannya berdiri sejak zaman Belanda. Plang nama sekolah sudah pudar, papan pengumuman miring, dan lonceng tua di tiang besi hanya dibunyikan manual dengan tali tambang. Dindingnya lembab, dan di salah satu kelas ada tulisan kapur yang tak pernah bisa dihapus: "Saya belum selesai ujian..."Semua berawal dari ruang kelas 4B. Ruangan itu lebih gelap dari yang lain, walau jendelanya besar. Lampu sering berkedip, dan kipas langit-langitnya menimbulkan suara mendengung seperti nyamuk raksasa. Guru-guru menyebutnya 'kelas keramat'.Suatu hari, Bu Kartini, guru Matematika senior yang terkenal disiplin dan anti-mitos, memutuskan mengajar les tambahan sepulang sekolah. Ia menolak semua peringatan murid dan g

  • KUNTILANAK MERAH   Bab 13: Arisan Emak-emak dan Undangan dari Alam Lain

    Arisan Emak-emak dan Undangan dari Alam Lain.....Hari Sabtu siang di Kalibungkus biasanya hanya diisi suara ayam berkokok telat, anak-anak main layangan, dan suara ibu-ibu menyapu halaman. Tapi hari itu, suara gaduh, tawa cekikikan, dan denting gelas sirup menggema dari rumah Bu Rumi, Ketua RT sekaligus tuan rumah arisan bulanan emak-emak Blok C.“Eh Bu Yayah, masa kamu belum setor bulan kemarin? Mau jadi peserta arisan arwah kayak Lastri?”“Eh jangan asal nuduh! Aku tuh udah setor, cuma belum sempat ditulis. Tanya aja Bu Iis!”Bu Iis yang lagi ngunyah pastel isi bihun keasinan cuma manggut-manggut sambil meletakkan kotak makan plastiknya di atas meja. Kursi plastik oranye berjejer di ruang tamu, sebagian mulai melengkung karena beban emak-emak plus bonus gorengan. Satu kursi di pojok ruangan sengaja dikosongkan, katanya buat 'tamu tidak diundang'.Tradisi arisan Kalibungkus memang aneh. Setiap bulan, selalu ada kejadian ganjil sejak tah

  • KUNTILANAK MERAH   Bab 12: Salon Wiwin – Sisir Hantu, Kursi Panas

    Bab 12: Salon Wiwin – Sisir Hantu, Kursi PanasSalon Wiwin berdiri di pojok Jalan Anggrek, sebuah gang kecil yang penuh tanaman pot dan kabel listrik menggantung seperti akar dari langit. Wiwin, seorang janda muda berusia tiga puluh lima tahun, memutuskan membuka salon setelah frustasi bekerja sebagai kasir toko elektronik yang setiap hari disuruh ganti baterai remote rusak.Salon itu kecil. Hanya dua kursi salon yang catnya sudah mulai mengelupas, satu cermin besar retak di ujung kiri dinding, kipas angin tua yang suaranya seperti orang mendengkur, dan lemari kayu tempat menyimpan semua alat perawatan rambut. Tapi, ada sesuatu yang istimewa: pelanggan selalu ramai. Mungkin karena Wiwin ramah, murah, atau karena dia sering memutar lagu dangdut remix sambil mencatok rambut.Namun sejak malam Jumat Kliwon bulan lalu, salon itu tak pernah sama lagi.Semuanya dimulai saat Wiwin merapikan lemari tua di pojok salon. Ia menemukan sebuah sisir kayu antik

  • KUNTILANAK MERAH   Penunggu Lapangan Voli – Bola Nyasar, Kepala Terbang

    Bab 11: Penunggu Lapangan Voli – Bola Nyasar, Kepala TerbangKalibungkus adalah desa kecil yang punya cara aneh menjaga kekompakan warganya: pertandingan voli antar RT tiap Jumat sore. Meski kelihatannya biasa, pertandingan ini terkenal tidak pernah selesai. Alasannya? Entah karena debat skor, bola nyangkut ke kandang ayam, atau tiba-tiba hujan padahal langit cerah. Tapi Jumat sore itu, pertandingan berhenti bukan karena hal-hal konyol seperti biasanya. Kali ini, pertandingan berhenti karena kepala orang terbang.Sore itu, langit cerah tanpa awan. Angin bertiup pelan, membawa bau tahu goreng dan keringat bapak-bapak yang sudah pemanasan sejak pukul tiga. Anak-anak duduk berderet di pinggir lapangan tanah merah, duduk di atas ban bekas yang disusun seperti tribun. Emak-emak membawa bekal—ada yang bawa singkong goreng, ada yang bawa kerupuk, ada juga yang bawa kipas tradisional dari lidi yang lebih sering dipakai buat ngusir nyamuk daripada buat angin.Pak L

  • KUNTILANAK MERAH   Kuntilanak Penjual Cilok – Dagangan Pedas, Tatapan Sadis

    Bab 10: Kuntilanak Penjual Cilok – Dagangan Pedas, Tatapan Sadis---Pukul empat sore di Kalibungkus biasanya adalah waktu sakral bagi anak-anak SD dan SMP. Itu adalah waktu jajan, ketika warung-warung pinggir jalan mulai ramai, dan suara gerobak dorong berdentang lebih nyaring dari azan magrib.Di situlah pertama kali warga melihatnya.Seseorang—orang?—menjual cilok dari balik kabut sore yang menggantung rendah. Gerobaknya tua, terbuat dari kayu cokelat kusam, dengan tulisan “CILOK PEDAS SETAN” yang tampak ditulis dengan darah (atau saus tomat basi).Tapi yang membuat geger bukan gerobaknya, melainkan... penjualnya.Dia tinggi, rambut panjang menjuntai sampai lutut, kulitnya pucat seperti mayat yang kelamaan di kulkas, dan matanya... merah menyala.---“Lu yakin itu orang?” tanya Ucup ke Desi saat mereka ngintip dari balik tembok sekolah.Desi melotot. “Lu kira setan bisa dagang cil

  • KUNTILANAK MERAH   Teror Tisu Toilet yang Bisa Menjerat Jiwa – Misteri Kamar Mandi Sekolah Dasar

    Bab 9: Teror Tisu Toilet yang Bisa Menjerat Jiwa – Misteri Kamar Mandi Sekolah Dasar---Sekolah Dasar Negeri Kalibungkus 1 adalah bangunan peninggalan zaman Belanda yang direnovasi terakhir kali… saat Presiden masih sering tampil di televisi dengan pita leher. Plafon lapuk, meja bolong, dan cat dinding yang mengelupas seperti kulit ular habis ganti musim adalah pemandangan biasa. Tapi yang paling jadi legenda adalah kamar mandi belakang.Letaknya di pojok sekolah, dekat pohon asam tua yang akarnya menjulur seperti jemari monster tua. Ada dua bilik: satu untuk murid laki-laki, satu lagi untuk perempuan. Tapi… sejak tahun 2007, tidak ada yang berani masuk bilik nomor dua.Kenapa?Karena tisu toilet di dalamnya bisa bergerak sendiri.—Desas-desus ini sudah lama terdengar. Tapi tak pernah ada bukti nyata. Sampai suatu hari, Iqbal, murid kelas 5 yang dikenal paling berani dan paling doyan makan lem, memutuskan unt

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status