Bab 1: Live Streaming Terakhir
Langit sore Desa Kalibungkus memerah seperti luka menganga. Matahari hampir tenggelam di balik perbukitan, menyisakan warna jingga yang menggantung muram di ufuk barat. Angin berhembus pelan, membawa aroma kering dedaunan dan bau tanah yang baru saja digali. Bukan aroma yang lazim. Bukan pula aroma yang ingin dirasakan saat hendak memulai petualangan konten horor. Raka melangkah keluar dari mobil hitam tuanya, memandangi plang kayu berukir tulisan "Selamat Datang di Desa Kalibungkus – Pusat Salak dan Mitos." Di sebelahnya, Ucup turun sambil menyeret koper besar dan kamera. "Bro, ini desa atau studio film horor? Lihat itu… gubuknya miring, pohon beringinnya berdarah—eh itu cat merah ya?" Ucup menunjuk pohon besar yang berdiri menjulang di ujung jalan masuk desa. "Itu… bukan cat, Cup. Itu getah pohon. Mungkin." Raka menyipitkan mata, pura-pura yakin. Ucup mendengus. “Yakin elu? Soalnya bentuknya kayak... tetesan air mata dari kuntilanak patah hati.” Raka tertawa pendek, lalu mengangkat ranselnya. “Kita di sini buat kerja, bukan nge-drama. Ingat misi kita: investigasi urban legend kuntilanak merah, bikin konten eksklusif, upload sebelum Jumat Kliwon minggu depan, dan viral.” “Viral sih... tapi jangan sampe nyawa kita yang diviralkan.” Mereka berdua berjalan menyusuri jalan setapak desa. Rumah-rumah tua berdiri berderet, sebagian sudah lapuk dimakan usia. Jendela-jendela tertutup rapat, seolah penduduknya enggan melihat dunia luar. Di kejauhan, lonceng dari masjid kecil berdentang tiga kali, menciptakan gema hampa. Sesampainya di rumah tempat menginap mereka—rumah tua peninggalan kakek Raka yang katanya dulunya kepala dusun—mereka disambut oleh seorang perempuan muda dengan rambut diikat rapi dan mata tajam seperti elang. “Raka, ya? Saya Desi. Anak Pak Lurah. Bapak suruh saya yang urus kamu di sini.” Raka mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih, Desi. Ini Ucup, partner konten saya. Kami nggak akan lama kok, cuma butuh beberapa malam buat riset, ambil footage, dan... kalau boleh... tanya-tanya soal mitos di sini.” Desi tidak menjawab, hanya melirik singkat ke arah koper kamera yang dibawa Ucup. Matanya menajam, tapi tidak berkata apa-apa. Rumah tua itu gelap, meski jendelanya terbuka. Dindingnya terbuat dari papan jati yang sudah menghitam, mungkin karena usia atau... sesuatu yang lebih gelap dari waktu. “Ini rumah simbahmu. Udah lama kosong, tapi saya bersihin kemarin.” Desi berjalan mendahului mereka, lalu menoleh, “Kalian yakin mau nginap di sini?” Ucup yang baru saja mengangkat tripod langsung menjawab, “Sebenernya enggak. Tapi kalau enggak viral, kita nggak makan, Mbak. Saya sih lebih milih kos di pinggir tol.” Malam pertama di Desa Kalibungkus dimulai dengan suara jangkrik yang tidak biasa. Mereka tidak bersuara serempak seperti biasanya. Ada jeda, seolah menunggu giliran. Dan tiap kali angin berembus, suara mereka seolah berubah menjadi bisikan. “Pulangkan... pulangkan...” Raka duduk di depan laptop, mengecek hasil drone sore tadi. Cuplikan desa terlihat jelas. Tapi ada satu frame yang membuatnya diam cukup lama: sosok putih berdiri di samping sumur tua. Tak bergerak. Hanya berdiri. Dan entah mengapa... kabut di sekitarnya berwarna merah samar. "Ucup, lu ngedit iseng ya? Masukin filter sosok cewek kayak di tiktok-tiktok tuh?" Ucup yang sedang menyusun lampu studio menoleh. “Sumpah bro, gue cuma upload mentahan. Lu liat sendiri drone-nya masih nempel di tas.” Mereka memandangi monitor bersama. Zoom in. Sosok itu tetap diam. Tidak buram, tidak transparan seperti efek biasa. Ia terlihat nyata. Terlalu nyata. Desi masuk dengan teh hangat. “Kalian jangan terlalu larut. Jam malam di sini ketat. Bukan karena corona, tapi... yang lain.” Raka bertanya, “Tentang kuntilanak merah?” Desi diam sebentar, lalu duduk di kursi kayu yang berderit pelan. “Dulu... waktu kecil, aku pernah dengar tangisan dari sumur itu. Tengah malam. Ada yang tertawa sambil nyanyi. Katanya... itu suara perempuan yang gagal menikah. Dibunuh saat sedang pakai kebaya merah. Arwahnya nggak diterima bumi, karena dia dikubur sambil hamil. Dia ingin anaknya lahir... tapi nggak bisa.” Ucup menggigil. “Lho... jadi bukan cuma kuntilanak biasa dong. Itu ‘ibu tak selesai’!” Desi tersenyum miris. “Kalian pikir semua ini lucu?” Suara ketukan terdengar dari jendela. Mereka bertiga refleks menoleh. Tidak ada siapa pun. Tapi angin dingin menyelinap masuk, membawa bau amis dan anyir yang menyengat. Raka menutup laptopnya. “Kita live streaming jam 10 malam. Di dekat sumur. Lu siap, Cup?” Ucup menghela napas. “Gue lebih siap kalau kita live di Jakarta. Di kafe. Deket wifi. Banyak lampu.” Tepat pukul 22.00, mereka memulai live. Lokasi: dekat sumur tua di tengah kebun belakang rumah. Suasana mencekam. Tidak ada sinyal listrik di sana. Mereka mengandalkan lampu sorot dan koneksi hotspot yang disambungkan ke antena tinggi sementara. Raka menatap kamera, “Selamat malam para pecinta horor tanah air. Hari ini kita live dari desa terkutuk: Kalibungkus, tempat mitos kuntilanak merah berasal.” Ucup menambahkan, “Kalau kita gak muncul besok, tolong kirimkan pulsa dan kirim ustaz ke sini.” Tiba-tiba... kamera bergetar sendiri. Bukan karena angin. Kabel-kabel mulai bergerak seperti ada yang menarik. Monitor laptop memperlihatkan sesuatu... di belakang mereka. Sosok perempuan. Berkebaya merah. Rambut panjang tergerai, wajah pucat, dan mulut sobek hingga ke telinga. Ia berdiri diam. Tidak berkedip. Tidak bergerak. Tapi... makin dekat di tiap frame. Raka berbalik cepat. Tak ada siapa pun. Namun suara tawa lirih terdengar dari sumur. Pelan. Serak. Menggelegar di kepala. “A... ku... akan... menikah...” Lampu padam. Live streaming terputus. Komentar netizen meledak: “Asli ini settingan atau beneran sih???” “Bang jangan becanda! Suara itu asli bikin merinding!” “Woi koneksi mati pas sosoknya muncul!!!” Ucup berteriak sambil melompat ke arah kamera. “Broooo, ini bukan prank kan?!” Raka diam. Pandangannya kosong ke arah sumur. Di pinggirnya... ada bekas kaki perempuan. Basah. Menuju ke arah mereka. Dan suara tawa kembali terdengar. ---Sekolah Dasar Angker – Kapur Terbang dan Penghapus Berdarah.......Sekolah Dasar Negeri Kalibungkus 02 punya reputasi aneh. Murid-muridnya rajin, guru-gurunya sopan, tapi semua orang kampung sepakat: jangan main ke sekolah itu setelah jam lima sore.Bangunannya berdiri sejak zaman Belanda. Plang nama sekolah sudah pudar, papan pengumuman miring, dan lonceng tua di tiang besi hanya dibunyikan manual dengan tali tambang. Dindingnya lembab, dan di salah satu kelas ada tulisan kapur yang tak pernah bisa dihapus: "Saya belum selesai ujian..."Semua berawal dari ruang kelas 4B. Ruangan itu lebih gelap dari yang lain, walau jendelanya besar. Lampu sering berkedip, dan kipas langit-langitnya menimbulkan suara mendengung seperti nyamuk raksasa. Guru-guru menyebutnya 'kelas keramat'.Suatu hari, Bu Kartini, guru Matematika senior yang terkenal disiplin dan anti-mitos, memutuskan mengajar les tambahan sepulang sekolah. Ia menolak semua peringatan murid dan g
Arisan Emak-emak dan Undangan dari Alam Lain.....Hari Sabtu siang di Kalibungkus biasanya hanya diisi suara ayam berkokok telat, anak-anak main layangan, dan suara ibu-ibu menyapu halaman. Tapi hari itu, suara gaduh, tawa cekikikan, dan denting gelas sirup menggema dari rumah Bu Rumi, Ketua RT sekaligus tuan rumah arisan bulanan emak-emak Blok C.“Eh Bu Yayah, masa kamu belum setor bulan kemarin? Mau jadi peserta arisan arwah kayak Lastri?”“Eh jangan asal nuduh! Aku tuh udah setor, cuma belum sempat ditulis. Tanya aja Bu Iis!”Bu Iis yang lagi ngunyah pastel isi bihun keasinan cuma manggut-manggut sambil meletakkan kotak makan plastiknya di atas meja. Kursi plastik oranye berjejer di ruang tamu, sebagian mulai melengkung karena beban emak-emak plus bonus gorengan. Satu kursi di pojok ruangan sengaja dikosongkan, katanya buat 'tamu tidak diundang'.Tradisi arisan Kalibungkus memang aneh. Setiap bulan, selalu ada kejadian ganjil sejak tah
Bab 12: Salon Wiwin – Sisir Hantu, Kursi PanasSalon Wiwin berdiri di pojok Jalan Anggrek, sebuah gang kecil yang penuh tanaman pot dan kabel listrik menggantung seperti akar dari langit. Wiwin, seorang janda muda berusia tiga puluh lima tahun, memutuskan membuka salon setelah frustasi bekerja sebagai kasir toko elektronik yang setiap hari disuruh ganti baterai remote rusak.Salon itu kecil. Hanya dua kursi salon yang catnya sudah mulai mengelupas, satu cermin besar retak di ujung kiri dinding, kipas angin tua yang suaranya seperti orang mendengkur, dan lemari kayu tempat menyimpan semua alat perawatan rambut. Tapi, ada sesuatu yang istimewa: pelanggan selalu ramai. Mungkin karena Wiwin ramah, murah, atau karena dia sering memutar lagu dangdut remix sambil mencatok rambut.Namun sejak malam Jumat Kliwon bulan lalu, salon itu tak pernah sama lagi.Semuanya dimulai saat Wiwin merapikan lemari tua di pojok salon. Ia menemukan sebuah sisir kayu antik
Bab 11: Penunggu Lapangan Voli – Bola Nyasar, Kepala TerbangKalibungkus adalah desa kecil yang punya cara aneh menjaga kekompakan warganya: pertandingan voli antar RT tiap Jumat sore. Meski kelihatannya biasa, pertandingan ini terkenal tidak pernah selesai. Alasannya? Entah karena debat skor, bola nyangkut ke kandang ayam, atau tiba-tiba hujan padahal langit cerah. Tapi Jumat sore itu, pertandingan berhenti bukan karena hal-hal konyol seperti biasanya. Kali ini, pertandingan berhenti karena kepala orang terbang.Sore itu, langit cerah tanpa awan. Angin bertiup pelan, membawa bau tahu goreng dan keringat bapak-bapak yang sudah pemanasan sejak pukul tiga. Anak-anak duduk berderet di pinggir lapangan tanah merah, duduk di atas ban bekas yang disusun seperti tribun. Emak-emak membawa bekal—ada yang bawa singkong goreng, ada yang bawa kerupuk, ada juga yang bawa kipas tradisional dari lidi yang lebih sering dipakai buat ngusir nyamuk daripada buat angin.Pak L
Bab 10: Kuntilanak Penjual Cilok – Dagangan Pedas, Tatapan Sadis---Pukul empat sore di Kalibungkus biasanya adalah waktu sakral bagi anak-anak SD dan SMP. Itu adalah waktu jajan, ketika warung-warung pinggir jalan mulai ramai, dan suara gerobak dorong berdentang lebih nyaring dari azan magrib.Di situlah pertama kali warga melihatnya.Seseorang—orang?—menjual cilok dari balik kabut sore yang menggantung rendah. Gerobaknya tua, terbuat dari kayu cokelat kusam, dengan tulisan “CILOK PEDAS SETAN” yang tampak ditulis dengan darah (atau saus tomat basi).Tapi yang membuat geger bukan gerobaknya, melainkan... penjualnya.Dia tinggi, rambut panjang menjuntai sampai lutut, kulitnya pucat seperti mayat yang kelamaan di kulkas, dan matanya... merah menyala.---“Lu yakin itu orang?” tanya Ucup ke Desi saat mereka ngintip dari balik tembok sekolah.Desi melotot. “Lu kira setan bisa dagang cil
Bab 9: Teror Tisu Toilet yang Bisa Menjerat Jiwa – Misteri Kamar Mandi Sekolah Dasar---Sekolah Dasar Negeri Kalibungkus 1 adalah bangunan peninggalan zaman Belanda yang direnovasi terakhir kali… saat Presiden masih sering tampil di televisi dengan pita leher. Plafon lapuk, meja bolong, dan cat dinding yang mengelupas seperti kulit ular habis ganti musim adalah pemandangan biasa. Tapi yang paling jadi legenda adalah kamar mandi belakang.Letaknya di pojok sekolah, dekat pohon asam tua yang akarnya menjulur seperti jemari monster tua. Ada dua bilik: satu untuk murid laki-laki, satu lagi untuk perempuan. Tapi… sejak tahun 2007, tidak ada yang berani masuk bilik nomor dua.Kenapa?Karena tisu toilet di dalamnya bisa bergerak sendiri.—Desas-desus ini sudah lama terdengar. Tapi tak pernah ada bukti nyata. Sampai suatu hari, Iqbal, murid kelas 5 yang dikenal paling berani dan paling doyan makan lem, memutuskan unt