Secara magic Lawen sudah berada di dalam rumah betang, ia makin bingung dengan tingkah Enon yang tidak marah sedikitpun padahal sudah 1 malam ia tidak pulang ke rumah.
“Ini benaran Uma kan.?” Lawen masih takut kalau yang ia lihat tidak nyata.
“Apa-apa’an kamu Lawen seperti orang g1l4 saja, emang Uma bisa berubah jadi hantu,? tentu tidak kann.”
Lawen masih terbayang sosok Enon yang menamparnya di dalam hutan, bulu kuduknya berdiri dan ia begidik ngeri. Lawen mengayunkan langkah cepat pergi ke sungai untuk mandi, badannya terasa lengket seperti keluar lendir dari dalam pori-pori kulitnya.
Air di Kalimantan ini sangat sejuk bisa untuk menjadi penyegar tubuh, dan bisa juga menjadi wisa (penyakit kuning), selain Kalimantan terkenal dengan alamnya yang menjadi jantung dunia. Borneo juga terkenal dengan kekaya’an pengobatan mistis seperti minyak bintang yang secara magic bisa menyembuhkan luka secepat kilat, romor ini memang nyata terjadi. Pembuatan minyak bintang juga tidaklah mudah maka dari itu tidak semua orang kalimantan memiliki minyak ini, perlu ritual khusus oleh orang dayak untuk membuat minyak bintang. Dan ritual itu konon berbeda-beda karna banyaknya etnis dayak di Kalimantan, walaupum cara ritualnya berbeda namun keguna’an semuanya sama yaitu untuk pengobatan dan kekebalan tubuh dari segala senjata tajam.
“Lawen kamu jangan lupa tugasmu mencari Manaf.”
Suara Kakek Jawo bergema di atas belantara rindang pepohonan.
Lawen terlonjak kaget hingga tersimpuh dalam sungai, kini ia sangat yakin kejadian demi kejadian memanglah sebuah kenyata’an bukanlah kembang mimpi. Dengan langkah cepat lawen berlari ke dalam rumah betang saking terburu-buru ia dua kali terjatuh di tangga pintu.
Di atas atap Lawen termenung bagaiman caranya ia menemukan Manaf, dimana ia bersembunyi? Aahhhhh semua pikiran itu membuat Lawen sangat pusing ia teringat dengan Kecek, bukankah kemaren sebelum tersesat ia juga ada di hutan bagaimana kabarnya sekarang.? Lawen bergegas turun dari atap rumah untuk pergi menemui kecek kerumahnya.
Rumah di Kalimantan tidaklah dekat perlu melewati hutan sekitar 1 jam berjalan kaki untuk bisa sampai di tempat Kecek, dalam perjalanan Lawen sungguh waspada matanya melihat kiri kanan jalan ia tidak mau kalau nanti ia akan bertemu lagi dengan orang dari Saranjana yang ingin menangkapnya . Suara ranting kayu yang jatuh sudah membuatnya sangat berdebar, hari ini tidak seperti kemaren yang di rasakan oleh Lawen. Setelah ia mengetahui bahwa orang jahat mirip dengannya menjadi boronan ia sungguh sangat ketakutan.
Setibanya di depan rumah betang Kecek, ia gedor dengan sangat keras sampai berteriak Lawen cukup kesal karena lama di bukakan pintu.
***********
Kecek yang berada di dalam rumah sangat jengkel karena seseorang telah mengedor pintu sangat keras, sebilah mandau Kecek bawa di tangannya untuk waspada siapa tau di balik pintu adalah orang jahat pikirnya. Ketika pintu terbuka Kecek langsung gemetar dan tidak berdaya untuk sekedar berbicara, mata kecek membola ia tidak percaya apa? yang di lihatnya sungguh sangat mengerikan hingga Kecek jatuh pingsan.
“Kecek kamu kenapa?”
Lawen langsung membopong tubuh temannya masuk ke ruang tengah rumah betang. Sial di dalam rumah betang yang cukup luas ini hanya ada mereka berdua tidak terlihat orang tua Kecek mungkin orang tuanya ke ladang untuk menanam ubi.
“Hei bangun Cek, kenapa kamu menjadi orang lemah seperti ini.”
Dalam pangkuan Lawen terus berusaha membangunkan Kecek dengan cara menepuk keras wajahnya.
Kecek tampak kebingungan ketika sudah mulai sadar dari pingsannya, ia langsung duduk menatap Lawen dari kaki sampai kepala. Belum puas menatapnya Kecek mengguncang-guncang bahu Lawen dan memukul-mukul dengan tangannya, hingga membuat Lawen sangat kebingungan dengan tingkah Kecek yang tidak biasa. Mulut Lawen kumat-kamit membaca mantra takutnya Kecek sedang kesurupan roh jahat.
“Apa-apa’an kamu Wen, kamu bacakan mantra segala.”
“Kamu sekarang kesurupan roh jahat Cek.”
“Sembarangan kamu mana ada.?”
“Lahhh... Buktikanya ini kamu sampai pingsan dan memukulku.”
Seperti biasa kedua sahabat ini tidak pernah akur dan selalu tidak ada yang mau mengalah apa lagi di salahkan, namun jika ada masalah mereka akan bahu-membahu saling tolong dan tingkat perduli di antara mereka berdua sangat kompak. Kecek mulai ingat ketika ia di tinggal oleh Lawen ketika mencari kayu bakar kemaren di hutan. Dengan serius Lawen membantah prasangka itu, Lawen ber asumsi Kecek lah yang sengaja meninggalkannya di hutan hingga ia tersesat.
“ Apa kamu tersesat.? Jangan membual kamu Wen, jelas-jelas ketika aku pulang melewati rumahmu, kamu sudah duduk santai di atas teras dan malah mengejekku.”
“Aku di rumah.? Tidak aku benar-benar tersesat waktu kita mencari kayu bakar kemaren.” Lawen semakin bingung dengan ucapan Kecek melihatnya di rumah kemaren , ia masih ingat betul semua kejadia’an bahkan meyakini itu semua bukan mimpi ataupun hayalannya semata.
Lawen teringat dengan sosok Manaf yang mirip dengannya, apa jangan-jangan ini adalah perbuatan Manaf sengaja membuatnya tersesat dan ingin Lawen tertangkap menggantikan dirinya di Saranjana.
“Cek coba kamu ceritakan lebih jelas waktu kita terpisah di hutan kemaren.”
“Aku males, pasti kamu hanya ingin mengejekku kan.”
Kecek menjauh dari Lawen ia sangat kesal dengan tingkahnya yang selalu bercanda dan menjek.
Di atas pohon besar tidak jauh dari rumah Kecek seorang anak buah Manaf mengintai, tanpa di ketahui oleh siapapun ia mengikuti kemanapun Lawen pergi. Yang membuat Lawen tersesat di hutan adalah olah anak buah Manaf, mereka berencana mengirim Lawen ke Saranjana untuk di tangkap oleh raja Muhammad Janna. Agar pemimpin mereka Manaf terbebas dari kesalahannya dan bisa hidup tenang di dunia nyata.
Kedua orang tua Kecek datang selesai menanam ubi di ladang, mereka sedikit kaget melihat Lawen yang mengobrol dengan Kecek. Kedua orang tua Kecek saling pandang di mata mereka menyimpan sebuah pertanya’an, kenapa Lawen berada di rumah ini? bukankah tadi ia sudah pamit pulang ketika berpapasan di depan pekaranagan rumah.
“Ada apa Uma, kenapa seperti takut melihat Lawen.l” Ucap Kecek menyadari gerak-gerik Umanya.
“Bukan begitu Cek, tadi Uma sama Abah bertemu di depan pekarangan dengan Lawen, tapi sekarang Lawennya di sini.”
Uma Kecek bingung harus seperti apa menjelaskan kejadian yang ia dan suaminya lihat tadi.
“Bue melihat Lawen di pekarangan.?”
Sebutan Bue adalah Tante.
“Tidak salah lagi itu pasti Manaf, bantu aku mengejarnya.”
Lawen berlari keluar menarik tangan Kecek yang masih tidak tau apa yang sebenarnya terjadi.
Sesampainya di pekarangan yang di maksud oleh orang tua Kecek mereka memincingkan mata, melihat ke segala arah dari balik semak-semak sampai melihat di atas pohon. Seorang laki-laki langsung berlari mengetahui dirinya sudah mulai ketahuan, dengan tangkas laki-laki ini tidak menghiraukan Lawen dan Kecek yang mengejar di belakang.
“Heii.... Jangan lari kamu, berhenti.”
Teriak Lawen yang terbirit-birit mengejar.
Kecek yang sedikit kewalahan mengimbangi kecepan Lawen berlari dan bertanya.?
“Siapa orang yang kita kejar ini.?
Setelah mesin di bongkar oleh prajurit yang kebetulan adalah teknisi, kini mesin L 300 kembali hidup. Mengaur di tengah hutan rawa dekat dengan desa Paminggir. Langit senja yang menguning, kini telah berubah menjadi gelap. Lampu yang terpasang permanen di depan kapal, membantu menerangi jalan dengan tenaga dari aki.Beberapa saat kemudian kapal menepi di salah satu pelabuhan, tampak sopir naik membawa jerigen besar, dan mengisinya di atas sana. Ia tertatih tatih turun kembali membawa jerigen penuh dengan bahan bakar, dengan sangat telaten tangan laki laki itu menuangkan solar ke tengki kapal hingga penuh. Dingin malam membuat tubuh para penumpang menjadi kedinginan, angin menerpa kapal begitu deras. Melihat cuaca yang tidak mendukung, sopir memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan, karena jalur di depan adalah sungai Barito yang memiliki luas satu kilo meter, dan memiliki kedalaman kurang lebih 15 kilo meter. Gelombang sangat besar di hasilkan oleh angin yang berhembus nanar. A
Pagi ini dua mobil Avanza sudah siap membawa mereka menuju Amuntai dan akan berlabuh di Danau panggang, dari sana mereka menaiki kapal yang bermesin L 300 melalui jalur aliran sungai kecil, deru kapal magaum di tengah aliran sungai. Gelombang kecil melenggak lenggokan enceng gondok yang berdempet dempet ikut hanyut mengiringi laju kapal.Pohon rumbia yang berada di pinggir tebing sungai menjadi pemandangan yang menarik, sungguh membuat takjub di sini tidak terlihat adanya tanah, semua rata dengan air. Rumah rumah yang berdiri semuanya berbentuk panggung, dan sebuah jembatan di bangun seperti rel untuk pengganti jalan.Tampak Putri Lisa mengeluarkan kepala di pinggir kapal, ia saat ini sedang menikmati perjalanan. Wajahnya yang sesekali terkena cipratan air gelombang kapal menjadi sejuk, tatkala angin yang manampur wajahnya dengan lembut, hingga membuat penutup kepalanya menjadi melambai lambai.Pemandangan pohon besar di pinggiran sungai, menipu mata, seakan pohon pohon ini berdiri k
Di bawah kaki pegunungan Maratus, tepian sungai, tampak Putri Lisa sedang duduk termenung. Hati wanita itu gundah gulana. Bukan hanya kerena memikirkan sang Ayah yang terbaring sakit, tapi juga kerena kini takdir membawa langkahnya ke negri yang jauh dari istana. Seumur hidupnya tidak pernah terpikir, bahwa ia akan menjalani hari hari jauh dari dekapan sang Ayah.Namun kini ia merasa aman karena di temani oleh laki laki yang baru saja membuat hatinya terpaut cinta, tidak bisa di pungkiri, rindu kerap membuat Putri Raja itu menangis sendiri. Kini rasa takut juga menghantui, tangisnya kembali berderai seiring angin malam yang kian menusuk tulang, sementara laki laki yang gagah perkasa berdiri tegak melihatnya seorang diri, meratapi nasib entah apa yang akan ia lewati esok hari di negri yang baru baginya. Hanya sebuah senandung lagu yang bisa menenangkannya malam ini, senandung rindu yang begitu merdu, selalu ia lantunkan jika bersama sang Ayah, untuk mengenang sanak saudara yang telah j
“Lapor Panglima, semua sisi istana sudah kami periksa tapi tidak menemukan penyusup.” Seorang prajurit menghadap, semua orang sudah di kerahkan untuk mencari penyusup yang menusuk Raja ke segala penjuru istana. Bahkan sampai ke luar istana di lakukan pencarian tapi tidak membuahkan hasil.Kecek mengeretek giginya, dan mengepal tangan sangat kuat hingga uratnya terlihat, sekarang ia sangat marah dengan kejadian yang meneror nya saat ini, di mulai dari Lawen kini Raja juga menjadi sasaran. Siapa gerangan yang menjadi dalang semua ini, padahal semua musuhnya dulu semuanya sudah mati. Manaf dan Jawo.Di ruangan UGD Raja di tangani oleh dokter Djata dengan sangat intensif, dan di bantu oleh semua dokter terbaik Saranjana. Putri Lisa tidak bisa menahan emosinya, deraian tangisnya tidak bisa ia hentikan hingga kelopak matanya membengkak. Kini penjagaan di istana semakin di perketat, tidak ada orang asing yang di perbolehkan masuk.“Putri” kini Lawen berusaha menenangkan Lisa dengan pelukan h
Tiga orang bertopeng mengendap ngendap di sisi istana, para Prajurit yang berjaga tidak mengetahui keberadaan mereka. Karena mereka sangat lincah dalam geraknya, hampir tidak menimbulkan suara sedikitpun dari langkah mereka.“Hati hati jangan sampai ketahuan.” Ucap salah satu dari orang orang bertopeng yang sepertinya pemimpin mereka. Setengah meter lagi mereka akan berhasil masuk ke dalam ruang istana, para perajurit sangat ketat berjaga di setiap pintu masing masing di jaga oleh dua orang prajurit. Kreeeekkkkk Salah satu dari mereka menginjak sesuatu, yang menimbulkan kecurigaan dua orang prajurit penjaga pintu masuk utama kerajaan.“Coba periksa” salah satu prajurit menyuruh rekannya untuk melihat kondisi di balik tembok kiri pintu. “Aman, hanya seekor burung.” Teriak rekan prajurit.Tiga orang bertopeng meresa lega, karena keberadaan mereka tidak di ketahui oleh penjaga. Mereka dengan cepat melompat ke atas genteng. Di bawah cahaya bulan yang tidak terlalu terang membuat langk
SiuuutttSebuah anak panah melesat nyaris mengenai kepala Galin, ia sangat kaget napasnya memburu naik turun. Ia melihat Kecek dengan gagah bertarung menghadang pasukan musuh yang menunggangi kuda menghambur dengan pedang nya menebas pasukan pertahanan istana.DuuaaaaaaarrrrrrLedakan yang sangat besar membuat semua orang yang berada di sekitar lokasi terpental jauh, ledakan lima kali di turunkan. Hingga membuat kepala Galin berdenyut dan telinganya sunging, tubuhnya kotor penuh debu. Kepolan asap membuat jarak pandangan, di udara entah berapa banyak anak panah berjatuhan. Panglima Kecek, masih sibuk menghalangi pasukan musuh, dengan sebilah mandau macamnya mampu membunuh musuh dengan sekali tebasan, musuh kesulitan untuk menyerang, karena pertahanan berada di dua sisi. Yang paling kuat adalah pertahanan pertama, di atas benteng tinggi, mereka menghujani dengan anak panah dari ketinggian.Pasukan mandau menghadang langsung di garis kedua. Setelah musuh yang berhasil di pukul mundur da
Matahari sudah menyinari alam kalimantan yang sangat masih asri, semua binatang telah berkeliaran mencari makan. Di dalam rumah betang Marna terbangun dengan ke adaan yang bingung, ia lupa apa yang sebenarnya terjadi otaknya tidak mampu mengingat kejadian semalam. Setelah membuka rumah ia terkejut melihat mobil hilux putih terparkir, plat mobil yang bertulis KH.xxxx.Bm ia sangat mengenal pemiliknya. Namun yang membuat ia bingung sejak kapan mobil ini terparkir di pekarangan rumahnya dan kemana pemiliknya.“Ini milik Galin,” ia mengilingi mobil dan mencoba membuka pintu mobil guna mencari petunjuk. Sebuah telpon genggam Marna temukan di dalam tas kecil.Sementara di Saranjana.Raja memanggil Galin ke ruangan khusus, karena ada seseorang yang hendak bertemu pada Galin. “Siapa namu anak muda.?” Ucap Raja dalam suatu ruangan khusus kedap suara, hanya ada mereka berdua di dalamnya.“Galin Paduka,” suara Galin sedikit bergetar karena baru pertama di introgasi oleh seorang Raja.“Kamu tau
Deru mobil hilux mengaum di udara, lampu sorotnya menerangi pekarang rumah betang. Tampak gagah pria yang mengendarai mobil hilux ini seorang diri, dengan gayanya yang khas kacamata hitam dan topi koboy di kepala dan tidak lupa masker hitam sebagai penutup wajah. Marna mendengar mobil masuk ke dalam pekarangan rumahnya, segera menutup pintu. Ia trauma jikalau terjadi penyekapan kepada dirinya seperti enam bulan yang lalu. Sebilah mandau ia keluarkan dari kumpangnya, bersiap untuk menyerang, jikalau di luar sana adalah orang jahat yang akan mencelakainya.Tap tap tapDekap langkah kaki seorang yang manaiki anak tangga menuju pelataran rumah, ia mengetok dengan santai seperti sangat tau bahwa Marna ada di dalam rumah. Marna melangkah pelan merangkak menuju celah dinding sebesar jari kelingking, ia sipitkan sebelah mata untuk melihat ke arah luar, dengan pencahayaan bulan yang terbatas ia melihat sosok laki laki dengan jaket kulit hitam membalut tubuhnya. “Marna” panggil lelaki di lua
Kegiatan yang paling menyenangkan adalah berburu di hutan, sebagai penghuni hutan yang menjadi paru paru dunia. Tentunya kegiatan berburu memang sudah sangat Lawen kuasai. Hari ini ia dan Marna rencana akan berburu ke desa atas, karena di desa atas hutannya masih asri dan tidak terjamah oleh manusia sehinnga hewan masih banyak yang berkeliaran.Pagi ini mereka membawa peralatan berburu seperti sumpit, panah, tombak, dan lanjung untuk membawa hasil buruan nanti. Untuk menuju ke desa atas perlu waktu satu jam berjalan kaki, karena di samping jalan yang memang asri hanya ada jalan setapak, di sana juga kondisi jalannya terjal harus merangkak naik berpegangan dengan akar pohon.“Anak itu tidak ubahnya seperti masih kecil dulu.” Marna menggelengkan kepala melihat Lawen naik seperti monyet, bergelantungan menyusuri jalan tebing.“Ayo Bue, jangan kaya siput,” teriak Lawen nyaring dari atas hingga menggema di dalam hutan.“Tunggu dulu, Bue sebentar lagi sampai.”Jawab Marna di bawah sana.Te