Share

BAB. 5 KUNTAU

Di pemakaman khusus keluarga keraja’an Muhammad Janna menangis di sisi makam Syarif Janna, ia bersimpuh menyesali karena belum bisa menghukum pelaku yang telah membunuh putra mahkotanya. Lisa dengan anggun setia menemani sang Ayah , seikat bunga melati ia sisipkan di atas gundukan tanah dekat dengan nisan sang Abang.

“Abang sudah tenang. Ayah tidak perlu menghawatirkannya lagi”

Hujan deras mengguyur kota Saranjana, membuat Muhammad janna dan Lisa terpaksa harus mengahiri ziarahnya. Sekarang Raja sedang merindukan senyum sang Pangeran, usia sang Raja kini sudah sepuh ia bingung siapa yang menjadi penerus keraja’an. Sang Raja hanya memiliki putri, menurut aturan keraja’an seorang wanita tidak berhak memimpin Saranjana.

“Kalau nanti tidak ada laki-laki yang memenangkan sayembara, aku akan nikahkan kamu dengan panglima  Abdullah.” Ucap Muhammad janna dengan wajah sangat menyedihkan.

“Baiklah Ayah. Lisa hanya manut kepada Ayah”

Lisa tidak mau membantah keputusan Ayahnya, apalagi sekarang kondisinya lagi sakit-sakitan.

Padahal jauh di lubuk hati Lisa ia sangat mencintai Manaf, namun ia tidak bisa mengutarakan perasa’an yang ada di hati. Apalagi manaf sekarang menjadi musuh besar Saranjana. Baru saja Muhammad Janna bisa merelakan Kepergian sang Ratu, kini Muhammad Janna kembali bersedih dengan kepergian Syarif Janna.

*********

Enon sekarang pusing karena Lawen akhir-akhir ini sangat berbeda, sekarang Lawen tidak mau mencari ikan di sungai apalagi mengambil kayu di hutan. Sifatnya sungguh seratus persen berubah. Apalagi sekarang Lawen sangat pemarah dan sering mabuk-mabukan bersama 10 orang temannya yang tidak Enon kenal. Setiap malam mereka minum tuak hingga menjelang pagi, dan tidak jarang bernyanyi dengan suara keras. Menyebabkan Enon tidak bisa tidur karena suara bising mereka.

“Uma,  cepat memasak makanan. Kami sangat lapar.!”

Perintah Lawen dengan kasar.

“Lawen, aku sekarang lagi sakit. Tidak bisa memasak untuk kalian, apalagi jumlah kalian sangat banyak, persedian beras dan ikan kita tidak cukup.”

Enon membantah dengan keada’an terbatuk-batuk.

“Aku tidak mau tau, pokoknya Uma harus segera memasak, kalau tidak ada beras. Ikan bakar aja.”

“Ikan kita juga sudah habis, kamu tau sendiri ikan yang minggu lalu kamu kumpulkan sudah habis kalian makan.”

“Kalau tau habis, cepat pergi ke sungai tangkap ikan.” Lawen dengan kondisi mabuk mendorong  Enon keluar rumah, hingga Enon tersungkur.

Sepuluh kawan  Lawen, tertawa terbahak-bahak sambil melanjutkan menuang tuak ke gelas, mereka tidak perduli dengan Enon yang sakit tersungkur jatuh ke bawah tangga rumah betang.

“Cepat Nenek tua apa kamu tidak mendengar? perintah Bos  Manaf. Kami sekarang sangat lapar ingin sekali memakan ikan besar.”

Salah satu dari mereka keceplosan menyebut nama Manaf.

Enon bergegas mengambil tombak di bawah rumah, ia ingin secepatnya mendapatkan ikan. Agar Lawen tidak marah lagi padanya, apalagi malam sebentar lagi akan datang. Tidak mungkin baginya yang sudah tua untuk mencari ikan di sungai waktu malam hari, penglihatannya sudah agak rabun dan tentu tenaga di usia senja tidak sekuat waktu muda.

Beruntung setibanya Enon di sungai, ikan–ikan besar sangat banyak, satu dua kali lemparan tombak mengenai ikan mas besar. Ia sangat senang dan langsung pulang karena cuaca di sore ini sangat buruk, gerimis hujan sudah mulai membasahi ubun-ubun kepala. Dua ikan mas besar ia masukan ke dalam lanjung dan tidak lupa ketika Enon menemukan ranting kayu ia pungut untuk bahan bakar tungku dapurnya.

“Lama bangat sih Nenek tua itu, perutku sudah ingin sekali mencerna makanan.”

Salah satu pemuda mulai protes kepada Lawen.

“Bukan Cuma kamu yang lapar, aku juga, di tambah persedia’an tuak kita sudah habis.”

“Sebaiknya kalian berdua pergi ke pasar, beli tuak yang banyak.” Titah Lawen seraya melempar dua kantong keping emas.

Enon yang sudah pulang langsung di hampiri oleh Lawen, dengan kasar ia menyuruh Enon cepat-cepat pergi ke dapur untuk membakar  ikan. Ia tidak perduli dengan kondisi Enon yang baru datang sangat lelah berjalan jauh, dengan langkah cepat Enon menaiki anak tangga menuju dapur. Dengan wajah yang sudah pucat Enon menghidupkan tungku, dan segera membersihkan ikan yang hendak ia bakar.

Dua ekor ikan mas yang besar sudah matang, aromanya menyebar ke setiap sudut ruangan. Hingga sampai ke dalam hidung  Lawen dan kawan-kawan. Ikan itu segera Enon antarkan ke tempat mereka duduk, dengan lahap Lawen dan kawan-kawanya menyantap dua ikan mas tanpa menyisakan sedikitpun untuk Enon.

**********

“Kalian berdua jangan pulang dulu, kalian harus menginap di sini selama dua malam.” Jawo menahan Kecek dan Lawen, ada sesuatu yang penting ingin ia beri kepada mereka untuk bekal melawan Manaf dan anak buahnya.

“Kalau kami tidak pulang, bagaimana nasib Uma di rumah.?” Ucap Lawen.

“Kalau kamu pulang sekarang akan bahaya.”

“Kenapa.?”

Lawen semakin bingung.

“Sekarang Manaf berada di rumahmu, dan ia menyamar sebagai dirimu di dunia nyata.”

“Manaf di rumahku,?  lantas bagaimana nasib Uma.?”

Lawen sangat sedih mengkhawatirkan keada’an Enon.

 “Kamu tenang saja. Aku sudah mengirim dua orang mata-mata untuk menjaga Enon.”

Jawo memberikan dua mandau pusaka sakti, kepada Kecek dan Lawen. Dan mengajarinya ilmu beladiri kuntau khas Saranjana, ilmu ini sangat sakti tidak sembarangan orang bisa menguasainya. Konon jika sudah mengusai ilmu kuntau  dari Saranjana, bisa mengusai seluruh alam semesta, hanya dengan ilmu kuntau bisa mengalahkan kesaktian Manaf. Sebelum memulai latihan, Lawen dan kecek harus melakukan ritual dulu, mandi di pantai Oka-oka dan berjemur di atas gunung  Halau-halau selama satu hari.

Setelah ritual itu selesai di lakukan. Lawen dan Kecek di minumkan air kembang 300 rupa, lalu menunggu restu dari penunggu asli Pulau Oka-oka . Jika mereka layak maka ilmu kuntau baru bisa di ajarkan. Di atas gunung Maratus Lawen dan Kecek berlatih ilmu kuntau dari Kakek Jawo, dengan semangat tinggi hujan badai mereka tetap berlatih kuntau. Sebuah petir  menyambar pohon besar tepat di samping Lawen, dengan mandau di tanganya mampu membelah  pohon yang tumbang ke arahnya.

Mandau yang mereka pegang  bisa mengeluarkan petir, dan bisa terbang melayang tanpa di sentuh. Kekuatan dahsyat yang di keluarkan dari mandau bisa menghancurkan gunung-gunung, tidak heran jika mandau ini sangat di cari oleh pendekar di masa lalu.

“Cukup, kalian sudah berhasil mengusai kuntau Saranjana.”

Jawo bangga ternyata ia tidak sia-sia mengajarkan ilmu yang sangat sakral dari leluhurnya,  kepada Lawen dan Kecek.

“Trimakasih Kek, kami akan menggunakan ilmu ini menolong orang-orang lemah di seluruh alam semesta” Lawen dan Kecek berlutut di kaki Jiwo.

“Sebaiknya kalian Pulang sekarang. Enon sudah sangat menunggu kedatanganmu. Aku harap ilmu ini tidak kalian pergunakan untuk tindakan kejahatan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status