Di pemakaman khusus keluarga keraja’an Muhammad Janna menangis di sisi makam Syarif Janna, ia bersimpuh menyesali karena belum bisa menghukum pelaku yang telah membunuh putra mahkotanya. Lisa dengan anggun setia menemani sang Ayah , seikat bunga melati ia sisipkan di atas gundukan tanah dekat dengan nisan sang Abang.
“Abang sudah tenang. Ayah tidak perlu menghawatirkannya lagi”
Hujan deras mengguyur kota Saranjana, membuat Muhammad janna dan Lisa terpaksa harus mengahiri ziarahnya. Sekarang Raja sedang merindukan senyum sang Pangeran, usia sang Raja kini sudah sepuh ia bingung siapa yang menjadi penerus keraja’an. Sang Raja hanya memiliki putri, menurut aturan keraja’an seorang wanita tidak berhak memimpin Saranjana.
“Kalau nanti tidak ada laki-laki yang memenangkan sayembara, aku akan nikahkan kamu dengan panglima Abdullah.” Ucap Muhammad janna dengan wajah sangat menyedihkan.
“Baiklah Ayah. Lisa hanya manut kepada Ayah”
Lisa tidak mau membantah keputusan Ayahnya, apalagi sekarang kondisinya lagi sakit-sakitan.
Padahal jauh di lubuk hati Lisa ia sangat mencintai Manaf, namun ia tidak bisa mengutarakan perasa’an yang ada di hati. Apalagi manaf sekarang menjadi musuh besar Saranjana. Baru saja Muhammad Janna bisa merelakan Kepergian sang Ratu, kini Muhammad Janna kembali bersedih dengan kepergian Syarif Janna.
*********
Enon sekarang pusing karena Lawen akhir-akhir ini sangat berbeda, sekarang Lawen tidak mau mencari ikan di sungai apalagi mengambil kayu di hutan. Sifatnya sungguh seratus persen berubah. Apalagi sekarang Lawen sangat pemarah dan sering mabuk-mabukan bersama 10 orang temannya yang tidak Enon kenal. Setiap malam mereka minum tuak hingga menjelang pagi, dan tidak jarang bernyanyi dengan suara keras. Menyebabkan Enon tidak bisa tidur karena suara bising mereka.
“Uma, cepat memasak makanan. Kami sangat lapar.!”
Perintah Lawen dengan kasar.
“Lawen, aku sekarang lagi sakit. Tidak bisa memasak untuk kalian, apalagi jumlah kalian sangat banyak, persedian beras dan ikan kita tidak cukup.”
Enon membantah dengan keada’an terbatuk-batuk.
“Aku tidak mau tau, pokoknya Uma harus segera memasak, kalau tidak ada beras. Ikan bakar aja.”
“Ikan kita juga sudah habis, kamu tau sendiri ikan yang minggu lalu kamu kumpulkan sudah habis kalian makan.”
“Kalau tau habis, cepat pergi ke sungai tangkap ikan.” Lawen dengan kondisi mabuk mendorong Enon keluar rumah, hingga Enon tersungkur.
Sepuluh kawan Lawen, tertawa terbahak-bahak sambil melanjutkan menuang tuak ke gelas, mereka tidak perduli dengan Enon yang sakit tersungkur jatuh ke bawah tangga rumah betang.
“Cepat Nenek tua apa kamu tidak mendengar? perintah Bos Manaf. Kami sekarang sangat lapar ingin sekali memakan ikan besar.”
Salah satu dari mereka keceplosan menyebut nama Manaf.
Enon bergegas mengambil tombak di bawah rumah, ia ingin secepatnya mendapatkan ikan. Agar Lawen tidak marah lagi padanya, apalagi malam sebentar lagi akan datang. Tidak mungkin baginya yang sudah tua untuk mencari ikan di sungai waktu malam hari, penglihatannya sudah agak rabun dan tentu tenaga di usia senja tidak sekuat waktu muda.
Beruntung setibanya Enon di sungai, ikan–ikan besar sangat banyak, satu dua kali lemparan tombak mengenai ikan mas besar. Ia sangat senang dan langsung pulang karena cuaca di sore ini sangat buruk, gerimis hujan sudah mulai membasahi ubun-ubun kepala. Dua ikan mas besar ia masukan ke dalam lanjung dan tidak lupa ketika Enon menemukan ranting kayu ia pungut untuk bahan bakar tungku dapurnya.
“Lama bangat sih Nenek tua itu, perutku sudah ingin sekali mencerna makanan.”
Salah satu pemuda mulai protes kepada Lawen.
“Bukan Cuma kamu yang lapar, aku juga, di tambah persedia’an tuak kita sudah habis.”
“Sebaiknya kalian berdua pergi ke pasar, beli tuak yang banyak.” Titah Lawen seraya melempar dua kantong keping emas.
Enon yang sudah pulang langsung di hampiri oleh Lawen, dengan kasar ia menyuruh Enon cepat-cepat pergi ke dapur untuk membakar ikan. Ia tidak perduli dengan kondisi Enon yang baru datang sangat lelah berjalan jauh, dengan langkah cepat Enon menaiki anak tangga menuju dapur. Dengan wajah yang sudah pucat Enon menghidupkan tungku, dan segera membersihkan ikan yang hendak ia bakar.
Dua ekor ikan mas yang besar sudah matang, aromanya menyebar ke setiap sudut ruangan. Hingga sampai ke dalam hidung Lawen dan kawan-kawan. Ikan itu segera Enon antarkan ke tempat mereka duduk, dengan lahap Lawen dan kawan-kawanya menyantap dua ikan mas tanpa menyisakan sedikitpun untuk Enon.
**********
“Kalian berdua jangan pulang dulu, kalian harus menginap di sini selama dua malam.” Jawo menahan Kecek dan Lawen, ada sesuatu yang penting ingin ia beri kepada mereka untuk bekal melawan Manaf dan anak buahnya.
“Kalau kami tidak pulang, bagaimana nasib Uma di rumah.?” Ucap Lawen.
“Kalau kamu pulang sekarang akan bahaya.”
“Kenapa.?”
Lawen semakin bingung.
“Sekarang Manaf berada di rumahmu, dan ia menyamar sebagai dirimu di dunia nyata.”
“Manaf di rumahku,? lantas bagaimana nasib Uma.?”
Lawen sangat sedih mengkhawatirkan keada’an Enon.
“Kamu tenang saja. Aku sudah mengirim dua orang mata-mata untuk menjaga Enon.”
Jawo memberikan dua mandau pusaka sakti, kepada Kecek dan Lawen. Dan mengajarinya ilmu beladiri kuntau khas Saranjana, ilmu ini sangat sakti tidak sembarangan orang bisa menguasainya. Konon jika sudah mengusai ilmu kuntau dari Saranjana, bisa mengusai seluruh alam semesta, hanya dengan ilmu kuntau bisa mengalahkan kesaktian Manaf. Sebelum memulai latihan, Lawen dan kecek harus melakukan ritual dulu, mandi di pantai Oka-oka dan berjemur di atas gunung Halau-halau selama satu hari.
Setelah ritual itu selesai di lakukan. Lawen dan Kecek di minumkan air kembang 300 rupa, lalu menunggu restu dari penunggu asli Pulau Oka-oka . Jika mereka layak maka ilmu kuntau baru bisa di ajarkan. Di atas gunung Maratus Lawen dan Kecek berlatih ilmu kuntau dari Kakek Jawo, dengan semangat tinggi hujan badai mereka tetap berlatih kuntau. Sebuah petir menyambar pohon besar tepat di samping Lawen, dengan mandau di tanganya mampu membelah pohon yang tumbang ke arahnya.
Mandau yang mereka pegang bisa mengeluarkan petir, dan bisa terbang melayang tanpa di sentuh. Kekuatan dahsyat yang di keluarkan dari mandau bisa menghancurkan gunung-gunung, tidak heran jika mandau ini sangat di cari oleh pendekar di masa lalu.
“Cukup, kalian sudah berhasil mengusai kuntau Saranjana.”
Jawo bangga ternyata ia tidak sia-sia mengajarkan ilmu yang sangat sakral dari leluhurnya, kepada Lawen dan Kecek.
“Trimakasih Kek, kami akan menggunakan ilmu ini menolong orang-orang lemah di seluruh alam semesta” Lawen dan Kecek berlutut di kaki Jiwo.
“Sebaiknya kalian Pulang sekarang. Enon sudah sangat menunggu kedatanganmu. Aku harap ilmu ini tidak kalian pergunakan untuk tindakan kejahatan.”
Untuk keluar demensi antara dunia gaib dan nyata, tidak perlu lagi bantuan dari Jawo. Lawen dan kecek sudah mampu membuka portal sendiri menggunakan mandau sakti, dengan sedikit tebasan mandau ke udara membelah lobang demensi yang menghubungkan ke dua dunia. Setelah portal terbuka lebar mereka segera masuk dan langsung muncul di tempat yang mereka inginkan.Lawen dan Kecek langsung pergi ke rumah betang, ia sangat mengkhatirkan Enon yang berada di bawah kekuasa’an Manaf. Dengan cara mengendap-endap di balik pepohonan. Lawen berhasil masuk melalui pintu belakang, ia sangat hati-hati berpijak di anak tangga, takut di ketahui Manaf dan anak buahnya.Dari Pintu belakang Lawen masuk dengan sangat pelan tidak sedikitpun berdenyit, ia menemukan Enon dengan keada’an yang sangat menyedihkan, tersimpuh memeluk kedua lututnya di depan tungku, bibirnya sangat pucat dan pandangannya sudah buram.“Uma....!”Lawen langsung memeluk tubuh Enon, lalu membawanya keluar rumah.Mereka lari ke dalam
Kini Lawen membawa Enon yang sudah tidak sadarkan diri ke rumah Jawo. Enon terbaring lemas di ranjang, ia sangat khawatir dengan kondisi Umanya. Ketika di periksa suhu tubuhnya sangat panas, kondisi Enon sekarang sangat kritis ia harus segera di obati kalau tidak nyawanya akan terancam. Tidak banyak Yang bisa di lakukan Lawen, ia hanya mondar mandir tanpa tau apa yang harus ia lakukan untuk menyelamatkan Umanya dalam kondisi kritis.Jawo yang seakan paham dengan situasi ini membawa racikan ramuan khusus untuk meredakan panas tubuh Enon, ia segera menyuruh Lawen untuk membalur seluruh tubuh Umanya dengan obat racikannya.“Jika Umamu tidak kunjung membaik, maka dia harus di minumkan minyak bintang.”“Aku tidak memiliki minyak bintang Kek.!”“Tenang saja, di sini aku banyak memiliki persedia’an.”Ucap jawo menenangkan Keada’an, Jawo langsung keluar dari kamar karena Lawen harus melepas pakaian Umanya, guna membaluri obat racikan untuk menurunkan panas tubuh Enon.Jawo melangkah masuk d
“Tenang anak muda, kamu sekarang berada di rumahku.”Ucap seorang laki-laki di balik pintu.“Kalian ini siapa,? kenapa aku berada di sini.?”Sosok laki-laki yang berwibawa, duduk di sebelah Kecek, ia memperkenalkan diri sebagai Kepala desa wono giri, yang terletak di pulau Jawa,namanya adalah Parjo. Dan wanita cantik yang selama ini merawatnya adalah Sarah anak gadisnya. Kecek telah pingsan selama 2 hari, seorang pemuda dari desa menyelamatkannya, lalu membawa ke rumah Parjo. Obat-obatan herbal beruntung bisa menyembuhkan luka bakar di dada Kecek. Selama kritis 2 hari Kecek tidak makan dan minum, yang membuat perutnya kini berbunyi.“Sarah cepat kamu ambilkan makanan ke dapur, untuknya.”Sarah yang sedari tadi duduk di pojok kamar, bergegas pergi ke dapur menuruti perintah Ayahnya.“Kamu jangan terlalu banyak bergerak dulu, lukamu belum sepenuhnya sembuh.” Parjo mencegah kecek, yang memaksakan diri untuk bangkit dari pembaringannya.Sarah telah datang membawa sepiring nasi lengkap den
Di balik semak-semak Sarah bersembunyi, di bawah air terjun Kecek sedang membersihkan tubuhnya. Lekukan tubuh Kecek begitu erotis dan seksi, otot-ototnya yang kekar membuat penampilannya sebagai laki-laki menjadi sempurna. Sehingga Sarah sangat terobsesi dengan Kecek, mata gadis ini tidak berkedip sedikitpun memperhatikan, setiap inci tubuh Kecek yang telanjang setengah badan.Kecek yang sudah selesai mandi, beranjak dari sungai mengerikan bajunya, ia duduk di atas batu, merenung seraya melempar batu kerikir ke dalam sungai. Sarah berjalan mengendap-endap dari belakang, ingin mengejutkannya, namun lebih dulu di ketahui Kecek, dan melempar batu kecil tepat di kepala Sarah, hingga ia menjerit sakit.“Auuuuuuuu... Sakittt....”“Mau apa kamu.? Mengintip orang mandi.” Tanpa menoleh Kecek menodungnya langsung dengan pertanya’an.Ck... Sarah kesal, kenapa aku melakukan tingkah konyol ini. Membuat diri ini sangat malu, niat hati ingin mencoba memeluknya dari belakang, dan berpura-pura tidak
Dari kejauhan Lawen terus mengintai pergerakan Manaf dari balik semak-semak, ia tidak melihat keberadaan sahabatnya Kecek. Selama kurang lebih tiga hari ia tidak berani muncul, takut di ketahui akan keberadaannya. Sekarang Lawen sungguh hati-hati dalam mengambil tindakan, ia tidak mau perjuangan yang baru ia lakukan menjadi sia-sia, ia bertekat akan membersihkan nama baiknya di kota gaib Saranjana. Dan mencari keberadaan Kecek dalam kondisi hidup atau mati.Di sebuah warung ia sungguh terkejut melihat photo dirinya yang terpampang sebagai seorang boronan internasional. Begitu serius ternyata kasus yang ia hadapi, beruntung ia sekarang memakai kacamata dan topi hitam, di lengkapi masker di wajahnya. Sehingga tidak mudah orang di sekitar untuk mengenalinya.Panglima Abdullah kini melebarkan misi pencariannya, dengan merekrut anak buah dari para pereman sekitar, ia kini lalulang dengan motor supra kesitu kemari beserta 5 anak buahnya. Dari kota gaib Saranjana. Di tambah ia kini memiliki
Semua sangkalan Lawen tidak di gubris sedikit pun oleh Abdullah, sifatnya yang garang dan penuh amarah ini selalu tidak memberi ampun kepada orang yang telah ia tangkap. Itulah sebabnya raja memilihnya sebagai Panglima tertinggi keraja’an Saranjana, selain bengis Abdullah memiliki sisi lain di dalam dirinya. Ia memiliki rasa peduli dan kasih sayang yang sangat dalam pada ibunya. Waktu dan lingkungan yang menenggelamkan sisi baik pada dirinya. “Ampun baginda. Panglima Abdullah sebentar lagi sampai ke istana membawa seorang boronan yang bernama Manaf.” Seorang penjaga gerbang melapor di hadapan Muhammad Janna. “Haaa....haa...haaa.” Tawa Raja menggelegar ke seluruh ruangan. “ Siapkan penyambutan yang hangat untuk mereka.” Sebuah karpet mereh di hamparkan sepanjang jalan menuju singgasana, Abdullah masuk dengan menyeret laki-laki yang telah di tutup kain hitam di kepalanya. Ia melempar tubuh kurus itu ke hadapan raja, hingga tersungkur. “Buka penutup kepalanya.” Perintah sang Raja. Dua
Walaupun persidangan tidak bisa menyatakan Lawen bersalah, tetap saja ia harus di masukan lagi ke dalam sel tahanan. Karena perlu beberapa pertimbangan lagi dari para tetinggi kerajaan dan persetujuan dari sang Raja.“Apa kabar, anak muda.?” Umar menyambutnya dalam tahanan.“Seperti kamu lihat orang tua, malaikat maut masih enggan untuk membawaku.”“Malaikat maut mungkin jijik kepadamu, sampai enggan mendakatimu.”Mereka sungguh sangat homoris tertawa bersama, walaupun terkurung dalam ruangan kecil, seperti tiada beban dari keduanya. Setelah beberapa hari, prajurit kembali membawa Lawen ke hadapan Raja. Kali ini pandangan Muhammad Janna sangat berbeda, ia begitu ramah berbicara pada Lawen, begitu juga dengan Abdullah. Kekek Jawo juga turut andil di dalam ruang singgasana, mereka sudah berjejer duduk di kursi masing-masing beserta orang penting.Lawen mendelik matanya ke arah Abdulah lalu menghadap Raja. “Ampun Raja, apakah saya akan dihukum mati sekarang.?”Haa haaa haaa Raja tertawa,
Manaf dan anak buahnya sedang sibuk mengangkut kotak kayu yang sangat besar, ke dalam mobil box entah apa isi di dalam kotak itu. “Cepat-cepat jangan sampai ada yang ketinggalan.”“Aku curiga di dalam kotak itu, adalah hasil rampokan.” Ucap Lawen yang bersembunyi di dalam semak-semak bersama Kecek dan Abdullah.“Emang apa dalam kotak kayu itu.?”“Kunyit Cek.”“Orang Saranjana doyan makan kunyit ya Wen.”“Bodoh, kunyit itu artinya emas.” Lawen memukul kepala Kecek, sehingga ia mendesis kesakitan.“Panglima, kapan kita pergoki mereka.?”“Sekarang lebih baik kita intai dulu, kemana mereka membawa kunyit itu.”Semua sudah selesai terangkut pintu belakang di kunci oleh salah satu dari anak buah Manaf, dan mobil box segera melaju meninggalkan rumah betang. Lawen dan kawan-kawan langsung mengejar mengunakan 2 motor trail, jalan yang hanya dari tanah liat membuat laju mobil box sangat lambat.“Wen sebenarnya kamu bisa enggak sih pake motor.!”“Bisa lah, ini buktinya kita di atas motor.”“Iya