Share

BAB. 6 PERTARUNGAN

Untuk keluar demensi antara dunia gaib dan nyata, tidak perlu lagi bantuan dari Jawo. Lawen dan kecek sudah mampu membuka portal sendiri menggunakan mandau sakti, dengan sedikit tebasan mandau ke udara  membelah lobang demensi yang menghubungkan ke dua dunia. Setelah portal terbuka lebar mereka segera masuk dan langsung muncul di tempat yang mereka inginkan.

Lawen dan Kecek langsung pergi ke rumah betang, ia sangat mengkhatirkan Enon yang berada di bawah kekuasa’an Manaf. Dengan cara mengendap-endap di balik pepohonan.  Lawen berhasil masuk melalui pintu belakang, ia sangat hati-hati berpijak di anak tangga, takut di ketahui Manaf dan anak buahnya.

Dari  Pintu belakang  Lawen masuk  dengan sangat pelan tidak sedikitpun berdenyit, ia menemukan Enon  dengan keada’an yang sangat menyedihkan, tersimpuh memeluk kedua lututnya di depan tungku, bibirnya sangat pucat dan pandangannya sudah buram.

“Uma....!”

Lawen langsung memeluk tubuh Enon, lalu membawanya keluar rumah.

Mereka lari ke dalam hutan, namun salah satu dari anak buah Manaf melihat pergerakan mereka. Aksi kejar-kejaran sungguh sangat menegangkan,  pergerakan Lawen tidak bisa cepat, karena ia berlari sambil menggendong  Enon.  Kecek melihat  Manaf dan anak buahnya semakin dekat, ia memutuskan untuk menghadangnya seorang diri.

“Wen kamu dan Bue cepatlah menuju Pohon kembar.!”

Kecek bersiap dengan mandau yang mengkilat di tangan.

“Kamu yakin Cek.?”

“Hanya ini cara agar kita tidak tertangkap oleh mereka.”

Kecek mengisyaratkan dengan tanganya, agar Lawen segera membawa Enon ke Pohon kembar.

Lawen sebenarnya tidak ingin meninggalkan sahabatnya seorang diri, melawan Manaf dan 10 anak buahnya. Namun ia juga harus segera menyelamatkan Ibunya dari bahaya, dengan langkah pasti Lawen berlari hingga sampai ke Pohon kembar. Dengan tebasan mandau ke tengah pohon kembar, membuat portal demensi terbuka, ia dan Enon langsung masuk ke dalam portal.

 “Ha...ha...ha..!”

Suara tawa Manaf dan anak buahnya.

“Besar juga nyalimu anak muda, berani menghadang kami seorang diri.”

Manaf  meremehkan Kecek, yang seorang diri.

“Cuih....Menghadapi kalian tidak perlu orang banyak, kalian hanya sekelompok mahluk pengencut, Kalau merasa sakti, ayo kita duel satu lawan satu.”

“B4ngs4t.”

Manaf  murka hingga ia langsung menyerang Kecek dengan mandau yang berapi-api.

Propa ganda Kecek berhasil, strategi yang ia gunakan adalah strategi seorang pisikolog. Kecek sudah memikirkan kalau ia langsung melawan 11 orang maka di pastikan ia akan cepat tumbang, dan ia khawatir Lawen tidak memiliki banyak waktu untuk kabur. Dengan memancing emosi Manaf, ia bisa mengulur waktu, walaupun sebenarnya kekutan mereka tidaklah seimbang.

“Ting....ting...Bruakk..” Suara mandau yang bergesekan dengan percikan api yang menyala-nyala.

Anak buah Manaf sebagian mengejar Lawen  yang sudah terlalu jauh meninggalkan mereka, dalam pengejaran anak buah Manaf  sudah kehilangan jejak, hingga memutuskan untuk kembali.

Pertarungan Kecek yang sangat sengit kini di dominsi oleh Manaf, dari segi kesaktian tentu Manaf lah yang paling unggul, karena dari Lahir Manaf sudah belajar ilmu kanuragan. Kecek tidak bisa menyerang balik, ia hanya bisa menghindar dan terus menghindar. Untuk mencari celah melarikan diri.

“Buuukk.....”

Serangan kuat dari Manaf menghantam dada Kecek dengan keras, hingga ia terlempar jauh dan tulang belakangnya  membentur akar kayu besar.

Manaf  terbang ke arah Kecek langsung mengayukan mandau yang mengeluarkan kobaran api, dengan tanggap Kecek menggenggam tanah lalu melempar tepat di wajah Manaf. Hingga matanya tidak bisa melihat, karena tanah masuk ke dalam matanya, Kesempatan ini tidak di sia-siakan oleh Kecek untuk kabur, ia menggunakan mandau pemberian Jawo untuk membuat lobang demensi. Lalu melarikan diri ke demensi lain. Manaf sangat murka Kecek telah berhasil kabur, ia dan anak buahnya bergegas kembali ke rumah betang yang kini menjadi markas dan persembunyianya.

**********

Di sebuah taman istana. Putri Lisa duduk di atas bangku yang di hiasi penuh beraneka macam bunga, ia menyenandungkan lagu rindu untuk  Syarif Janna,  suara yang merdu mebuat burung-burung berhenti terbang dan bertengger di atas pohon, mendengarkan lantunan sya’ir demi sya’ir dari mulut  Lisa.

*Senandung  rindu*

-Tidak sengaja aku melihat bulan....

Seakan purnama telah datang, kilauan indah melingkari rembulan, seperti piringan emas yang memancarkan cahaya di kegelapan...

-Kini aku melihat hamparan taman, yang di tumbuhi bunga yang ber-mekaran, tersirat sebuah kenangan. Di sini kita tumbuh bersama bercanda bahagia penuh tawa...

-Terimakasih Abang engkau telah memberikan kebahagia’an, namun engkau lupa mengajarkanku artinya sebuah kehilangan, hingga kini aku kesepian.....

-Aku tau hidup terus berjalan, namun aku tidak mengerti dari sebuah perjalanan hidup, yang kini menghujan....

-Setiap hari aku hanya bisa berdo’a kepada sang tuhan, semoga engkau di sana mendapatkan kelapangan.....

Tetesan air mata Lisa membasahi pipi putihnya, hati yang hancur tidak bisa ia tahan. Ia amat kesepian tidak ada lagi teman untuknya curhat, ataupun orang yang selalu siap melindunginya. Besarnya cinta kepada Manaf sang pembunuh Abangnya, kini ia berusaha membuang jauh-jauh perasa’an itu. Cinta yang kini berubah menjadi sebuah dendam kepada Manaf, sebuah kepalan tangan mengisyaratkan dendam ini harus segera terbalaskan. Api dendam kini membakar hatinya, ia tidak mau lagi berdiam diri menunggu Manaf di tangkap.

“Ehem...ehemmm...”

Muhammad Janna memberi isyarat kehadirannya.

“Ayah. Sejak kapan Ayah di sini.?”

“Sejak tadi, Ayah terharu dengan senandungmu, tampaknya engkau lebih terpukul atas kepergian Abangmu, dari pada Ayah.”

Lisa langsung menghambur di tubuh Muhammad Janna, kini tangisnya meluap-luap, tidak mampu lagi ia bendung. Tangan hangat Ayahnya yang kini merangkul Lisa, cukup untuk meredakan hati yang gundah gulana.

“Mari Nak, kita sebaiknya pulang, sebentar lagi akan turun hujan.”

Mereka berjalan menuju ke dalam istana saling merangkul, kesedihan yang mereka rasakan sangat membatin, namun Anak dan Ayah mampu saling menguatkan. Di dunia nyata semua orang mengagumi Saranjana dan mencari-cari keberada’an kota gaib ini, bertepatan dengan film Saranjana boming di Indonesia,  semua orang pergi menonton ke bioskop untuk mengetahui setitik cerita Saranjana, namun tidak dengan orang-orang  yang dari Saranjana itu sendiri, mereka terpukul atas tragedi yang membuat putra mahkota meninggal. Sebuah negri yang memiliki predapan maju kini di liputi sebuah kekesalan, kebencian dan dendam.

“Ampun Paduka”

Seorang  Prajurit mata-mata menghapiri  Muhammad Janna.

“Ada kabar apa.?

“Ampun Paduka, saya membawa surat dari panglima Abdullah.”

Prajurit itu mengeluarkan 1 gejet dari balik  jasnya.

Raja Muhammad Janna membaca pesan perihal kabar gembira, bahwa keberada’an Manaf  telah di ketahui, dan Panglima Abdullah meminta izin untuk dikirim senjata dari Saranjana guna perlindungan diri, dan senjata melawan Manaf dan anak buahnya.

“Prajurit.”

Raja langsung memerintahkan untuk mengisi  2 mobil terbang, dengan full senjata yang akan dikirim ke dunia nyata.

“Ayah, apa tidak berlebihan? mengirim senjata sebanyak itu.”

“Apa maksudmu Putriku,?  berbicara seperti itu.”

“Maksud Lisa, emmmmmm... Tidak apa-apa Ayah, Lisa hanya tidak fokus saja.”

“Ayah paham, kamu terlalu kecape’an akhir-akhir ini, lebih baik kamu perbanyak istirahat dulu.”

Lisa langsung berjalan meninggalkan Ayahnya menuju kamar, ia tidak mengerti kenapa hatinya sangat sakit ketika mendengar Manaf akan di bunuh, aku harus membuang rasa cinta ini jauh-jauh, bagaimana mungkin aku masih mencintai laki-laki yang menjadi pembunuh saudaraku sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status