Pernikahan ini hanya hitam di atas kertas , tanpa cinta., tanpa janji. Mala hanya istri dalam skenario yang tak di tulis. tapi mengapa hati ikut terluka saat Kara menatap wanita lain seolah Mala tak ada? "Aku tidak cukup banyak waktu untuk membawa perasaan ke dalam hubungan ini. Jadi kau harus bersikap profesional." Saat cinta mulai tumbuh dalam pernikahan yang semu, Mala harus memilih bertahan dengan luka yang tak terlihat atau menyerah sebelum benar-benar kehilangan dirinya sendiri.
Lihat lebih banyakGaun putih yang membungkus tubuh Mala begitu anggun, tapi hawa dalam dirinya seperti tanah kosong yang gersang. Di sekelilingnya hanya suara bisik pelan, tawa formal dan irama dari alunan piano klasik. Pernikahan ini berlangsung di ruang semi terbuka di salah satu villa pribadi milik keluarga Kara. Tidak ada wartawan yang meliput, tidak ada teman, tidak ada pengumuman, karena semua mendadak.
“Semua sudah sesuai rencana. Kita mulai sekarang,” ujar Bane, asisten pribadi Kara. Setelan jas hitam sempurna dengan aura yang dingin. Tak ada senyum yang menghias wajahnya. Seolah Kara akan menghadiri sebuah peluncuran proyek, bukan menyambut pernikahan. Di sampingnya ada perempuan manis dan ia tak menoleh sedikit pun. Akad dimulai. “Saya terima nikah dan kawinnya Mala Arunika binti Damar Widodo dengan maskawin tersebut, tunai.” Sah. Beberapa kerabat dari pihak Kara mengangguk. Ibu Mala meneteskan air mata terharu, sementara Mala memalingkan wajahnya agar tak terlihat gugup. Acara berjalan dengan lancar, sesi foto hanya untuk formalitas saja. “Bane akan urus sisanya. Jangan tanyakan hal pribadi padaku.” Kara berdiri dan pergi dari hadapan Mala. Nindya, ibu Kara memanggilnya untuk bergabung. Kara menyuguhkan senyum manis yang begitu menawan. Tak ada satu pun orang yang tahu, pernikahan ini hanyalah kontrak. Dan Mala hanyalah pemeran figuran dalam naskah hidup yang diciptakan Kara. Beberapa jam setelah acara, Mala duduk di ruang tamu ditemani oleh ibu dan ayahnya. Gaun pun sudah diganti dengan dress sederhana. Terlihat jelas pada wajah Damar dan Lestari melihat anak yang sulungnya bisa menikah dengan konglomerat. Ada rasa kebanggaan tersendiri. Bane datang menghampiri Mala, “Maaf mengganggu, Nona boleh saya berbicara dengan Anda berdua saja?” Orang tua Mala saling menoleh, mengangguk tanda setuju. Mereka pun pergi meninggalkan Bane dan Mala. Dengan sopan Bane sedikit membungkukkan badannya saat orang tua Mala berdiri. “Nona Mala, ini ada beberapa hal yang perlu disepakati sebagai bagian dari kontrak,” jelas Bane. “Apakah saya akan tinggal bersama Pak Kara?” Tanya Mala. “Ya, benar. Nantinya Anda akan tinggal bersama di rumah yang sudah disiapkan. Semua media mungkin tidak tahu sekarang, tapi kita tidak bisa berjudi dengan waktu. Siapa tahu suatu saat ada yang mengendus. Rumah itu sudah dilengkapi kamera pengawas untuk kebutuhan dokumentasi alibi,” jelas Bane. “Apa yang harus saya lakukan?” “Cukup menjaga citra rumah tangga saja,” jawabnya singkat. “Ada aturan yang harus Nona ingat, tidak boleh memasuki kamar pribadi Tuan Kara, kecuali dalam keadaan darurat atau diminta secara langsung. Nona akan mendapat kamar pribadi di lantai dua. Semua urusan domestik diatur oleh asisten rumah tangga,” jelas Bane. “Lalu bagaimana jika keluarga Pak Kara datang?” “Bersikap seperti istri yang sopan dan manis. Jangan terlalu menempel, gunakan bahasa tubuh yang sewajarnya saja. Tuan Kara menekankan hubungan ini hanya berjalan satu tahun. Setelah itu kontrak selesai tanpa gugatan cerai secara terbuka.” “Bagaimana jika media tahu jika Pak Kara sudah menikah dan istrinya adalah saya?” Tanya Mala. “Tidak usah khawatir, Nona. Saya akan menghandle urusan ini, karena seiring berjalannya waktu media pasti akan mengendus hubungan kalian. Jika sudah terlanjur ketahuan media, Nona akan ikut beberapa acara publik, sesekali menghadiri event bisnis sebagai pendamping,” jelas Bane. “Baiklah,” Mala tampak begitu pasrah dengan penjelasan Bane. Ia menandatangani kontrak yang sudah dikemas rapi tentang aturan yang diberlakukan. Malam itu, Mala resmi menempati rumah Kara. Interior serba putih dan emas membuat ruangan terlihat mewah. Mala Menyapu setiap inci rumah itu, terasa seperti museum daripada tempat tinggal, karena sepi sekali untuk ukuran rumah yang besar dan hanya ditinggali oleh segelintir orang. Mala diantar ke kamarnya di lantai dua oleh Mbak Nila yang bertugas sebagai asisten rumah tangga. Menaiki anak tangga dengan penuh keraguan. Semua nyata namun, ia merasa seolah ini mimpi. “Silahkan Nona, ini tempat tidur Anda sekarang. Jika butuh apa pun bisa panggil saya dengan bel ini.” Jelas Mbak Nila sambil menunjuk bel. “Terima kasih, Mbak.” Mala sedikit membungkukkan badannya. Udara malam menyusup dari celah jendela besar yang dibiarkan terbuka setengah oleh Mbak Nila. Mala berdiri mematung di tengah kamar yang luas, tampak megah untuk dirinya. Ia menghembuskan napas panjang, tubuhnya lelah tapi bukan karena perjalanan. Melainkan karena perubahan drastis yang terjadi dalam hitungan hari. Flashback Sore itu, Mala sedang sibuk memastikan rundown acara gala launching produk berjalan sesuai rencana. Sebagai EO, ia dikenal cepat tanggap dan tegas. Namun, ia tak menyangka pria yang berdiri di tengah ruang VVIP dengan jas hitam adalah Shankara Radeva, klien utama. “Kamu EO nya?” Tanya Kara dengan wajah datar. Matanya menyusuri tampilan Mala dari atas sampai bawah. Mala mengangguk, ia menyodorkan clipboard. “Saya Mala, ini rundown finalnya. Jika ada yang perlu dikoreksi, saya akan sesuaikan segera.” “Kau terlihat sangat percaya diri untuk orang yang belum mengenalku,” gumam Kara. “Karena pekerjaan saya memang menuntut itu,” Mala tersenyum kaku. Flashback off Mala membuka koper kecilnya dan mulai membereskan pakaian. Ia melihat secarik kertas di atas meja rias, ia mengambil kertas itu dan hendak membacanya. “Selamat datang, Nona Mala. Ada beberapa aturan rumah yang perlu Anda ingat. Anda bebas menggunakan kamar ini, dapur terletak di lantai bawah, dan ruang baca. Namun, kamar Tuan Kara bersifat pribadi. Jika ada keluarga datang, silahkan gunakan kamar pengantin di lantai dua untuk pura-pura menyatu. Dan satu lagi, tidak boleh membahas hal pribadi dengan tamu atau media. Terima kasih.” Setelah membaca surat itu, Mala menghembuskan napas panjang. “ Jadi aku hanya figuran yang harus tahu posisi perannya.” Suara langkah kaki terdengar samar di luar. Mala berjalan pelan ke pintu dan menempelkan telinganya. Suara ketukan terdengar, Mala tersentak kaget. “Nona Mala, makan malam sudah siap. Tuan Kara menunggu Anda di bawah,” ujar Mbak Nila dibalik pintu. Mala membuka pintunya. “Ah iya, Mbak.” Jantung Mala berdegup kencang tak seperti biasanya. Ia menuruni anak tangga dengan banyaknya pertanyaan di kepala. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Meja makan besar dengan hidangan yang menggugah selera, piring yang tertata rapi berseberangan. Hanya mereka berdua, dentingan sendok mulai terdengar pelan. Sesekali Mala menatap Kara. “Terima kasih, makan malamnya,” ucap Mala mencairkan suasana. “Kalau ada yang kamu butuh, sampaikan pada Bane. Jangan campuri urusan pribadiku, semua sudah tertulis di kontrak.” “Berarti tidak ada peran sebagai istri pada umumnya?” Mala memastikan. “Tidak perlu, saya tidak meminta kamu jadi apa pun selain menjalankan kesepakatan. Jaga citra dan tidak membuat kekacauan. Mereka terdiam sesaat, “kenapa harus aku?” Tanya Mala memecah keheningan.Lampu ruang tamu menyala samar. Karina duduk sendiri di ujung sofa, lutut dilipat, ponsel masih berada di genggaman. Wajahnya tanpa riasan, rambut diikat seadanya. Tapi bukan penampilannya yang berantakan melainkan pikirannya.Foto-foto Kara dan Mala masih terpampang di layar. Tawa mereka di bawah sinar matahari Cappadocia terus membayang.“Kenapa… kenapa bisa semudah itu? Dulu gue yang selalu bersama Kara. Gue yang menyaksikan dia jatuh dan gue juga yang menuntunnya bangkit. Tapi sekarang dia bisa jatuh cinta sama perempuan yang bahkan nggak tau siapa Kara di masa paling sulitnya?”Ia berdiri pelan, berjalan ke dekat jendela. Tirai disibakkan sedikit dan angin malam menerpa wajahnya. Tapi hawa dingin itu tak bisa menenangkan amarahnya.“Apa semua yang gue lakukan selama ini nggak ada artinya? Cuma karena gue ambil langkah mundur waktu itu… semua langsung dilupakan?”Ia kembali duduk, menyandarkan kepala ke punggung sofa. Tangannya mengusap wajah, tapi bukan karena lelah, melainkan me
Chapter 26 Setelah kembali dari balon udara, mereka bertiga berjalan santai ke dalam hotel. Dingin pagi mulai mereda, menyisakan udara segar khas lembah. Kara melirik Mala yang tampak sumringah sejak tadi.“Kamu kayak anak kecil habis naik komidi putar,” celetuk Kara sambil menjentikkan ujung scarf Mala.Mala mencibir. “Ya ampun, aku baru sadar… ternyata kamu suka ngejek.”Kara tertawa. “Bukan ngejek, itu apresiasi.”Mereka tertawa ringan. Di tengah hotel yang tenang, suara canda mereka terasa seperti musik pagi. Kara berhenti di depan restoran hotel. “Ayp makan dulu.”Mala menahan langkahnya. “Nanti aja makannya.”Kara mengangkat alis. “Kamu nggak laper?”Mala menunjuk ke arah luar hotel, tepat ke jalan setapak yang mengarah ke pinggir sungai kecil di balik hotel. Alirannya tenang, jernih, dengan deretan batu besar di sisinya dan pohon-pohon cemara yang berbaris rapi.“Aku pengen kesana dul
Chapter 25Udara pagi masih menggigit saat Kara, Mala dan Bane keluar dari hotel dengan jaket tebal membalut tubuh mereka. Sebuah van hitam telah menunggu di depan. Sopir lokal yang ramah menyambut mereka dalam bahasa inggris.“Good morning, welcome ballon tour,” sapa sopir.Mala naik terlebih dahulu, duduk di jendela. Kara duduk di sebelahnya, sementara Bane duduk di belakang. Saat van mulai bergerak melewati jalanan kecil yang menanjak, mala melongok ke luar. Jalanan sempit berkelok, melewati rumah-rumah batu khas Goreme dan lembah berbatu yang siluetnya mulai terlihat samah di balik kabut.“Dingin banget.” Mala merapatkan syalnya sambil menatap ke luar.Kara memberikan sarung tangan pada Mala. Mala menoleh. “Eh?”“Pakai, udara dingin.”Mala mengangguk dan mengambil sarung tangan itu.Sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil cukup tenang. Hanya bunyi
Chapter 24Malam di rooftop Cappadocia. Udara dingin menggigit lembut kulit, tapi langit malam benar-benar seperti lukisan. Taburan bintang terlihat jelas, langka di kota besar. Cahaya bulan mengintip malu dari balik awan. Menyinari daratan Cappadocia yang tenang, lembah dan batu-batu menjulang seperti dunia yang terlepas dari hiruk pikuk kehidupan. Mala menyelubung tubuhnya dengan jaket tebal. Syalnya melilit leher, sebagian menutupi dagu. Ia bersandar di pagar rooftop, matanya menatap langit dengan sorot kosong tapi damai.Tak lama, langkah kaki mendekat. Kara berdiri di sebelahnya, mengenakan mantel hitam. Ia menatap langit dengan tatapan yang tak jauh berbeda dari Mala, hampir seperti keduanya berbicara dengan cara yang sama, tanpa suara.“Langitnya jujur, ya?” Ucap Mala pelan.Kara melirik. “Kapan?”“Karena dia nggak pernah berusaha nutupin sesuatu. Nggak kayak kita yang tiap hari pura-pura baik-baik aja.”Ia ikut menyandarkan lengan di pagar. “Langit juga cuma bisa nunjukkin si
Chapter 23Tibanya di Bandara Kayseri, Turki. Langkah Mala sedikit tertahan saat pintu pesawat terbuka dan udara dingin langsung menyergap kulit wajahnya. Angin Turki di bulan-bulan awal musim dingin terasa seperti bisikan. Namun, anehnya menenangkan.Bane merapatkan syal di lehernya. “Aduhhh… dinginnya menggigit, tapi seger juga, ya.”Kara menyipitkan mata, menatap langit cerah dan bersih di atas landasan. “Udara jernih begini yang bikin pikiran ikut bersih.”Mereka berjalan menyusuri lorong bandara, melewati imigrasi yang relatif cepat karena rombongan mereka kecil. Di area kedatangan, seorang pria berpakaian rapi memegang papan bertuliskan.“Mr. Shankara & Family - GOREME PRIVATE TRANSFER”“Selamat datang di Kayseri,” sapa sang sopir dalam bahasa inggris dengan aksen lokal. “Saya akan mengantar Anda langsung ke hotel di Cappadocia.”Mereka pun diarahkan ke sebuah van premium berwarna
Chapter 22POV di kamar MalaLampu kamar dinyalakan dengan redup. Mala berdiri di depan cermin, membuka hoodie nya perlahan, lalu menyisir rambutnya yang sudah sedikit kusut. Di meja rias, sebuah koper sudah tertutup rapi. Tak ada yang tertinggal.“Semua sudah disiapkan… kecuali hati,” gumamnya pelan sambil mengoleskan pelembab ke wajah. Ia menatap bayangannya sendiri. Mata itu masih memendam banyak, tapi kali ini tidak ada air mata. Hanya kelelahan.“Mala, lo harus tenang. Jangan ikut terbawa permainan siapapun. Kara mungkin masih belum tau arah, tapi lo harus tau jalan lo sendiri.”Ia menghembuskan napas panjang lalu tersenyum, mencoba memeluk dirinya sendiri melalui pantulan cermin.“Besok… ayo kita pura-pura bahagia lagi. Tapi jangan lupa bawa cadangan sabar yang banyak.”Mala naik ke ranjang, menarik selimut sampai ke dagu. Lalu menatap langit-langit yang kosong. Tap
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen