Ode diam terpaku di dekat pintu memperhatikan Aryo yang justru tidak peduli padanya.
“Ada apa Yo? Kok kelihatan kayak ada masalah gitu?” tanya Ode
Sesaat kemudian Aryo kembali berdiri dan mondar mandir seperti mandor. Mukanya merah bagaikan udang rebus dan ingin meluapkan amarahnya. Tindakannya telah membuat rasa kantuk Ode hilang seketika.
Sejak tadi Aryo belum juga tenang dan sesekali mengosok-gosok rambutnya. Dari cara menggosoknya telah membuat Ode paham jika kepalanya itu tidak gatal. Lebih tepatnya, gosokan itu hanyalah refleksi seketika akibat emosinya. Dasi coklat yang dipakainya langsung dilonggarkan dan kemeja putihnya digulung sampai sebatas siku. Ia mulai merasa kepanasan, bukan hanya sekedar jasmaninya yang panas, tapi hatinya juga ikut panas membara. Keringat tipis mengalir di keningnya.
Ode jadi heran dengan sikap Aryo. Kulitnya yang putih terlihat jadi agak merah sehingga sangat jelas menunjukkan kalau ia sedang marah. Tidak biasanya sahabat dekat Ode bersikap demikian. Apalagi di kampus ia sering dikenal periang meskipun kadang cukup temprament juga bila sedang berdebat dan mempertahankan pendapatnya ketika diskusi.
”Yo, kamu kenapa?” Ode kembali bertanya.
”Dona keterlaluan..!! Masa tadi aku dimarahi di depan mitra kerjaku..! Bikin malu aku saja..!” ucap Aryo emosi. Akhirnya ia bicara dan meluapkan emosi pada wanita yang baru saja disebutnya, yang tak lain adalah tunangannya. Nama lengkap gadis tersebut adalah Dona Almira. Ia merupakan adik kelas selisih satu angkatan dengan Aryo dan Ode. Saat ini, Aryo, Ode dan Dido sudah duduk di bangku semester enam.
”Dan yang bikin jengkel lagi, dia juga berani menyebut Lisa sebagai wanita perusak hubungan orang. Perebut tunangan orang.! Coba, siapa yang nggak emosi..!?” lanjut Aryo, geram.
Mendengar ocehan Aryo, Ode jadi penasaran dengan apa yang terjadi pada sahabat dekatnya. Baru kali ini ia melihat Aryo memendam amarah meletup meskipun orang yang sedang dimarahinya tidak ada di hadapannya. Bahkan sepertinya Ode adalah orang yang menjadi terdakwa baginya. Ode penasaran, apa sebenarnya yang terjadi dan kenapa juga Dona sampai marah pada Aryo di depan mitra kerjanya? Kenapa juga Dona sampai menyebut wanita itu perebut pacar tunangan orang?
Ode masih ingin bertanya lagi, tapi ia mengurungkan niat karena ia tahu Aryo sedang sangat marah. Dan sejak pertama kali mengenalnya, Ode sudah tahu bahwa Aryo sangat tidak suka ditanya dengan berbagai macam pertanyaan jika sedang marah. Lebih baik membiarkannya sebentar sampai mulai diam, baru diajak bicara. Bila tidak, maka hal itu hanya akan membuatnya semakin emosi.
Teman satu kos Ode yang bernama Suyitno alias Dido, dulu pernah terkena damprat amarah Aryo saat awal semester tiga. Ketika itu Dido dengan percaya diri ingin melerai perselisihan adu mulut antara Aryo dan Joko, di saat mereka bertengkar masalah perempuan. Waktu itu Ode sudah berusaha mencegah Dido agar jangan ikut campur, apalagi baru sebatas perselisihan pendapat. Ode menyarankan agar lebih baik menunggu sebentar untuk mencermati apa yang akan terjadi kemudian baru mereka bertindak. Sejak awal mengenal Aryo, Ode memang sudah cukup tahu dan mengerti dengan karakter Aryo sejak yang sifatnya temprament, gampang marah.
Tapi Dido tidak sabar dan tidak mengindahkan kata-kata Ode. Dengan penampilan khasnya yang sering memakai minyak wangi dan rambutnya yang agak kribow brekele, serta celana panjang kain warna cream bermodel cutbray dan baju kemeja panjang bermotif bunga-bunga yang agak press body, Dido langsung datang penuh percaya diri untuk menasihati Aryo dan Joko. Apalagi saat itu ia telah melihat dikejauhan ada Dona, yang berjalan tergesa-gesa ke arah Aryo, dan tampak cemas melihat pertengkaran adu mulut tersebut. Kehadiran Dona semakin membuat Dido merasa menjadi seorang superhero karena wanita pujaannya ternyata nanti dapat menyaksikannya beraksi. Dido menganggap itu merupakan nilai lebih baginya. Pertengkaran Superhero seorang diri melawan musuh.
Ketika itu Dido terlalu percaya diri dan lupa untuk memikirkan risiko yang akan diterimanya, karena ia juga terbuai dengan perasaan cintanya pada Dona meskipun ia tahu wajahnya pas-pasan. Kemudian Dido langsung datang mendekati Aryo dan Joko yang ada di bawah pohon mahoni sekitar taman kampus. Tapi begitu Dido berusaha menenangkan, Aryo yang saat itu mulai emosi dan seketika akan memukul Joko, tiba-tiba Aryo terkejut karena ternyata sikunya langsung mengenai Dido yang baru saja datang dari arah belakangnya. Sundulan siku Aryo yang tidak disengaja itu persis mendarat di bagian mulut Dido dan mengakibatkan kacamatanya pun terpental jatuh ke rumput. Akibatnya, gigi-giginya terasa ngilu, dan untung saja tidak mengenai kaca mata bulat hitam kegemarannya. Saat itu Aryo kaget melihat Dido yang merintih menahan sakit.
”Kamu ngapain toh? Nggak usah ikut-ikutan.!” hardik Aryo dengan logat Surabaya, nada bicaranya tampak emosional, jengkel.
Setelah itu Aryo kembali melihat Joko untuk melanjutkan perseteruan mereka yang sempat terhenti. Sementara itu Dido langsung menjauh sambil menahan rasa sakit di mulutnya. Ia agak meringis kesakitan.
Tetapi, setelah Dido melihat Dona yang kian dekat dan datang menghampirinya dengan menunjukkan wajah cemasnya, spontan saja Dido langsung melepaskan tangan kanan yang ia gunakan untuk menutup mulutnya. Dido mengambil kacamatanya yang jatuh, lalu kembali menegakkan badannya sambil berusaha tersenyum. Dengan penuh percaya diri, ia memakai lagi kacamatanya secara perlahan. Mendadak ia berlagak seolah-olah pukulan yang mengenai mulutnya tidak terasa apa-apa, padahal sakitnya minta ampun.
Beberapa gadis kampus yang juga melihat kejadian tersebut tidak bisa menahan tawanya, termasuk Ode. Tapi Dido tidak peduli, dan dengan cueknya ia berusaha berjalan tegar seperti seorang lelaki macho, meskipun badannya tampak kurus kerempeng. Ia tidak peduli lagi pada pertengkaran Aryo dan Joko. Dan dari gaya jalan serta pandangannya seakan mengesankan dirinya tidak melihat ada orang lain di sana selain Dona.
Setelah kejadian yang dialaminya, akhirnya saat itu Dido baru menyadari bahwa kawan dekatnya yang bernama Aryo adalah orang yang mudah emosi dan agak keras kepala. Dido baru percaya dengan tebakan yang pernah dikatakan Ode di saat awal mereka mulai menjalin persahabatan.
”Aku tuh nggak bisa diginiin!” Aryo mulai bicara. Sikapnya semakin membuat Ode penasaran dan bertanya-tanya apa yang sudah terjadi.
۞ ۞ ۞
Melihat sikap sahabatnya, Ode berdiri untuk mengambil segelas air minum dari gallon mineral yang ada di dekat meja.”Minum dulu..” Aryo memandang Ode sejenak. Tanpa pikir panjang lagi dengan tawaran tersebut, Aryo langsung meraih gelas yang ada di tangan Ode dan meminumnya segera. Setelah itu ia menaruh gelas plastik bermotif biola tersebut di atas meja.Ode memperhatikan wajah Aryo, emosinya mulai berkurang.”Kamu kenapa? Ada masalah dengan Dona..?” Aryo mengusap wajahnya seakan ingin meluapkan kekesalannya.”Nggak ngertilah De.. Aku juga mangkel..! Akhir-akhir ini dia juga sering marah. Aku tanya kenapa? Jawabnya selalu nggak jelas..!!” katanya gusarEmosi Aryo mulai naik lagi, bahkan ia bersikap seperti orang yang ingin memukul tapi kedua tangannya hanya mengepal kejang penuh tenaga dan tak terluapkan, sedangkan wajahnya memerah. Ia juga merapatkan rahang atas dan bawah hingga gigi-giginya sa
Motor Aryo berlalu meninggalkan kos Ode. Setelah itu Ode kembali masuk kamar dan menutup pintu. Ia coba rebahkan diri di kasur untuk tidur. Tetapi, Ode masih diliputi rasa heran, menyimpan tanya tentang masalah apakah yang sedang dihadapi Aryo.“Kenapa tadi dia terlihat sangat emosi, lebih emosi dari kebiasaan lamanya di kampus yang memang gampang marah?” pikir Ode.Tapi dibalik sikapnya yang sedikit temprament, Ode mengakui ada sisi lain yang begitu menonjol pada diri Aryo sejak dulu, yaitu selalu berpenampilan keren, terutama bila mengikuti perkuliahan. Apalagi Aryo memang memiliki wajah yang tampan. Ia sudah begitu terkenal dan disenangi di kampus sejak awal masuk kuliah.Beberapa gadis di kampus mereka, bahkan ada juga teman mereka di kampus lainnya di Surabaya, jadi tergila-gila dan menganggap wajah Aryo hampir mirip dengan artis penyanyi top Justin Timberlake. Kadang juga, kebiasaannya yang sering memakai kacamata hitam m
Setelah berusaha menenangkan dirinya agar tidak panik, ibu Ayu akhirnya coba bicara dan tersenyum. Sedikit sikap menggoda secara halus ia lakukan.“Tenang dulu. Ibu ingin kalian tahu bahwa semuanya sama, semuanya spesial. Nggak ada yang dibedakan kok..” jelasnya sembari mengulas senyum manis yang ia miliki. Bahkan sangat manis seperti senyum seseorang kepada pujaannya. Tidak hanya itu, ia juga berjalan mendekati mereka yang protes, menyebut namanya dengan lembut, suara merdu dan seakrab mungkin.Mendengar penjelasan sang dosen, mahasiswa yang protes tadi akhirnya luluh juga dan perlahan mulai tersenyum. Ketika dosen cantik itu mendekati kursi mereka, senyum itu makin terasa manis dan aroma parfumnya tercium wangi.“Oh teman-teman.. ternyata mbak Ayu nggak pilih kasih kok. Kalau gitu kita nggak jadi keluar kelas.” jelas Toni menginfokan pada yang lain. Mereka akhirnya duduk kembali.“Iya dong, mana ada pilih kasih. semua sama,
Jika lagu-lagu perjuangan sering sekali menggema di seluruh Nusantara terutama menjelang hari kemerdekaan atau hari pahlawan, maka di kota Surabaya, atau lebih tepatnya di rumah kos Ode, lagu-lagu tersebut setiap hari terdengar hingga kadang mampu menghadirkan suasana tersendiri dalam hatinya. Ode sering terbawa pada nuansa ketika terjadinya perang di tanah air -meskipun sebenarnya ia tidak hidup di zaman itu- di saat para pahlawan berjuang mati-matian merebut kemerdekaan dari penindasan para penjajah.Hari kian menjelang sore. Seperti pada hari-hari biasanya, secara perlahan telinga Ode kembali mendengar sayup-sayup lagu ’sepasang mata bola’ yang mengalun dari gedung bilik sebelah, yang berada tak jauh dari kamar kosnya. Ia tahu siapa yang menyetel lagu-lagu perjuangan itu, yaitu Pak Tomo, tuan kosnya yang merupakan seorang veteran. Seorang yang masih tetap tampak bugar meskipun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun.Kecintaan Pak Tomo pada lagu-
Pada saat Ode balik belakang, ternyata Dido juga terlihat begitu tergesa-gesa. Ia baru saja keluar dari kamarnya dengan bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek dan handuk yang disampirkan di leher. Tangannya satu memegang gayung yang berisi sabun, sampo, pisau cukur, dan sisir.”Aku duluan ya. Soalnya takut terlambat acara temu akrab, jam lima sore ini. Biasa, anak maba nunggu aku. Mereka pasti sudah ndak sabar ingin jumpa aku,” celoteh Dido dari depan pintu kamar dan berjalan ke arah Ode sambil tersenyum, menaik-turunkan alisnya.Ode mengalah dan hanya geleng kepala melihat tingkah Dido yang sok tahu dan sangat percaya diri.”Oya, ojo lali... nanti bawa biolamu,” pinta Dido dengan ekspresi serius. ”Iya... buruan mandi. Tapi cepat. Ada yang ingin aku bicarakan, soal tadi, penting. Tentang Aryo dan Dona..” Dido sempat terkejut dan langkahnya terhenti
Waktu yang sangat dinantikan oleh peserta Ospek, panitia, dan terutama juga Dido, akhirnya tiba juga. Malam ini, di pelataran kampus mulai tampak ramai dan semarak laksana pesta konser musik. Suasana malam penutupan ospek yang diselenggarakan di halaman pelataran depan kampus tampak begitu meriah."Selamat malam semuanya," ucap pak ketua membuka sambutannya."Malam pak..." semua hadirin menjawab serempak."Selamat datang saya ucapkan kepada adik-adik mahasiswa baru, selamat bergabung di kampus tercinta ini," tegas bapak ketua kampus yang disambut tepuk tangan meriah dari semua hadirin.Pak ketua mulai memberikan sambutannya, berbicara menyampaikan pesan dan motivasi kepada mahasiswa baru yang telah memilih kuliah di kampus ternama di Surabaya. Semua hadirin, terutama mahasiswa baru, mendengarkan dan menyambut antusias. Sesekali diselingi tawa akibat candaan bapak ketua, juga tepuk tangan meriah.Selain ketua dan wakil ketua kampus -merupakan
“Hati senang walaupun tak punya uang... wo’ooo...” Suara vokal Dido tetap terdengar penuh percaya diri mengiringi nada musik. Ternyata Dido sama sekali tidak bergeming. Ia terus menyanyi meskipun tadi telah mendengar lontaran kata-kata protes. Bagi Dido, itu semua hanya bumbu pemicu semangat dalam suatu pertunjukan. Ia sudah merasa terbiasa, apalagi pernah diledek karena suaranya dibandingkan dengan nyayian suara burung beo yang lebih bagus dari suara Dido.Konser musik terus berlanjut.Nyanyian Dido yang terus menggema telah membuat Ode secara terpaksa harus terus mengiringinya sampai lagu selesai. Jika dihentikan, justru yang akan rusak citranya bukan cuma Dido saja, tapi mereka para pengiringnya juga akan kena dampaknya. Insting sebagai pemusik mulai jalan, dan mereka mengiringi dengan nada yang tidak fals, padahal mereka belum pernah latihan membawakan lagu itu. Untungnya lagu itu pernah terngiang di telinga mereka dan masih terek
Dona tidak langsung merespon pertanyaan Ode, raut wajahnya seperti datar. Ode mulai curiga karena memang sejak sebelum tampil tadi, sama sekali ia tidak melihat kehadiran Aryo. Malam ini Dona hanya sendirian, berkumpul dengan beberapa teman seangkatannya, bukan dengan Aryo.Ode kembali melihat sekitar karena menganggap mungkin pandangannya luput. Tapi ia tetap belum juga melihat jejak keberadaan Aryo.Sejenak Ode melirik pada Dona.“Aku tadi datang sendiri,” jawab Dona singkat sambil beralih memandang panggung untuk menyaksikan pertunjukan selanjutnya.Ketika melihat respon Dona yang tidak antusias menjawab, terkesan seadanya, bahkan sepertinya terlihat malas membahas Aryo, akhirnya Ode tidak melanjutkan bertanya. Ia mulai memahami ada sesuatu yang tidak beres di antara mereka berdua. Ode hanya memperhatikan Dona yang berdiri dan sedang berupaya menikmati melihat penampilan lain di panggung.Malam ini Dona memang tetap terlihat cantik s