Sinar matahari siang tampak begitu terik.
“Surabaya oh Surabaya.. panas banget.” keluh Ode dan makin cepat berjalan karena gerah dan haus. Jarak rumah kosnya hanya tinggal beberapa meter lagi dan letaknya tidak jauh dari kampus.
Ketika sampai, Ode bergegas buka kunci pintu kamar dan masuk ke dalam. Tidak begitu luas, hanya berukuran tiga setengah kali tiga meter.
Ode langsung mengambil minum.
“Segaarr..” ucapnya lega dan kembali meneguk beberapa kali.
Setelah itu Ode merebahkan badan di kasur. Perlahan rasa kantuk mulai menghampiri. Mata Ode terasa berat dan tidak ingin lagi dibuka meskipun hanya untuk sejenak melirik jam yang ada di meja belajar kecil, tidak jauh dari tempat tidur. Lima menit lagi waktu menunjukkan pukul dua siang.
Ode lebih memilih tidur saja daripada harus keluar kamar dan berjalan kaki di bawah terik matahari untuk kembali ke kampus. Ia sudah tidak berminat untuk balik kembali ke kampus hanya karena ingin lanjut menyaksikan kegiatan OSPEK calon adik-adik kelasnya, walaupun jarak kampus cuma sekitar seratus meter dari kosnya. Sedangkan Dido, sejak pagi tadi masih tetap betah dan bersemangat untuk mengikuti kegiatan OSPEK. Ode menganggap ada untungnya juga kesibukan Dido, minimal cukup dapat membantu Dido untuk melupakan mimpinya dikejar waria semalam.
Greekkkkkk..!
Bunyi baling-baling kipas angin tua berukuran kecil yang tidak lama lagi akan tamat riwayatnya, sesekali terdengar agak berisik di telinga Ode. Suaranya seperti bunyi kumbang yang melintasi telinga.
Ode balik badan ke kanan dan mata tetap terpejam. Beberapa saat berlalu suara berisik kipas tidak berhenti walau sejenak.
Perlahan Ode mulai tertidur. Namun tiba-tiba ia sempat tersadar kembali akibat suara motor yang datang dan berhenti seketika di halaman rumah kosnya. Kebetulan kamar Ode cukup dekat dengan halaman depan yang biasa dijadikan tempat parkir, sehingga ketika membuka pintu pun bisa langsung berada di teras, dekat halaman parkir.
“De..! Odeee….!! Cepat buka pintunya De..!”
Ode sangat terkejut waktu mendengar suara pintu yang diketuk dengan cepat. Namanya dipanggil-panggil dengan cukup keras, nama yang lebih senang diucapkan oleh beberapa temannya daripada nama asli. Ia jadi merasa agak risih karena rencana tidur siangnya terganggu, dan rasa lelah yang ingin ia pulihkan ternyata tidak bisa terwujud akibat panggilan tersebut.
Untuk sesaat, suara panggilan itu belum langsung dijawab Ode. Ia masih tetap rebahan di kasur dengan mata terpejam dan juga telinga yang seperti tidak peduli lagi pada suara-suara di sekitarnya.
Tapi lama-kelamaan Ode mulai terganggu karena diulang terus tanpa henti. Tidak biasanya ada orang yang datang dan mengetuk pintu sekeras itu, apalagi di siang hari. Suasana kos saat ini juga sepi karena sedang keluar semua. Bahkan teman-teman yang satu kos dengannya belum pernah mengetuk pintu sekeras itu.
Ode sempat bimbang, apakah mungkin itu adalah pak Tomo, bapak kosnya? pikir Ode. Apa ia lupa membayar biaya kos bulanan? Tapi mana mungkin, karena biasanya yang menagih sewa adalah bu Narti, isterinya. Kalau memang itu pak Tomo, lalu untuk apa ia datang dengan naik motor? Padahal ia dan isterinya masih tinggal satu rumah dengan kos Ode, hanya saja mereka berada di bangunan sisi sebelah kanan. Bangunan rumah kosnya membentuk huruf U.
Beberapa saat berlalu, suara ketukan pintu belum juga berhenti. Mirip bunyi pintu yang diketuk seorang debt collector. Keras sekali dan sangat mengganggu pendengaran Ode.
Ode mulai risau, merasa dongkol karena tidur siangnya terganggu. Antara sadar dan tidak, ia masih coba mengingat kembali tentang sewa kosnya beberapa bulan sebelumnya, jangan sampai ia memang lupa dan ada yang belum terbayar. Tapi hatinya merasa yakin, ia tidak punya utang sewa kos atau utang lainnya. Uang kiriman yang ia terima dua bulan lalu juga telah digunakan dengan sebaik-baiknya untuk keperluan kuliah, kos, dan biaya hidup seadanya selama dua bulan ke depan.
Persoalan telat membayar kos memang bukan menjadi hal yang baru bagi Ode sebagai anak kos. Berdasarkan cerita dari beberapa teman kampusnya yang kos di tempat lain, kadang mereka harus telat bayar kos akibat belum mendapat kiriman. Untungnya sang tuan kos memberi keringanan dengan bersedia menunggu sampai anak kosnya mendapat kiriman uang atau menunggu gajian dari hasil kerja sampingan seadanya. Mereka maklum bahwa itulah masalah klasik dari anak perantau.
Tapi ada juga yang telat bayar kos bukan karena belum mendapat kiriman uang. Mereka telat karena uang kirimannya telah dihabiskan untuk hal-hal yang tidak begitu penting, bahkan kadang uang itu habis hanya untuk biaya beli rokok. Singkat katanya adalah suka berfoya-foya. Kebanyakan anak perantau dengan karakter seperti ini memang pada awalnya dapat hidup gembira dan senang. Tapi kebanyakan dari mereka setelah itu justru mendapat susah, termasuk juga menyusahkan orang lain, yaitu bapak ibunya. Anak kos seperti ini pasti akan sibuk gali lubang tutup lubang, alias utang sana utang sini.
Adapun tipe terakhir adalah karakter anak kos yang suka kucing-kucingan dengan tuan kosnya. Sudah telat bayar uang kos, masih juga tidak mau jujur bercerita apa adanya dan berlagak seperti orang berada. Untuk karakter anak perantau yang seperti ini memang terlalu gengsi dihadapan orang lain. Tidak bisa dibayangkan bagaimana nanti jika ia pulang ke kampung halamannya. Mungkin ia akan tampil dengan lebih gengsi dibanding artis top ibu kota. Dan semua ceritanya akan setinggi langit, lebih banyak tidak benarnya.
”Dookk.. dookk... doookkk...!!!”
Bunyi pintu digedor membuat Ode benar-benar sangat terkejut dan mendadak langsung bangun dari tidurnya. Ternyata bunyi ketukan pintu tidak berhenti, diketuk lebih keras dari sebelumnya. Lamunan Ode buyar dan kesadarannya seakan kembali.
“Iyaa.. sebentar..” jawab Ode pelan.
Akhirnya Ode berdiri juga. Langkahnya gontai seperti orang malas, lemas, lapar dan tidak punya tenaga. Perlahan ia memutar gagang kunci yang menempel di pintu sambil menguap panjang dan menahan kantuk.
Begitu pintu kamar terbuka, tampaklah seseorang yang langsung menyerobot masuk ke dalam kamar Ode dengan ekspresi wajah penuh emosi bagaikan orang kesurupan mahluk halus. Tanpa basa-basi, pemuda itu duduk di kursi belajar Ode, bergegas melepas jaket hitamnya, dan menaruhnya di kursi belajar bersamaan dengan helm yang dikenakannya untuk mengendari sepeda motor ninja kesayangannya.
Mata Ode yang tadinya ngantuk, seketika terbuka lebar seperti melihat hantu di siang bolong. Ia tidak menyangka dengan apa yang dilihatnya.
”Aryo..???!”
Ternyata orang yang mengetuk pintu seperti tanpa sopan santun itu adalah sahabat akrab yang sangat dekat dengannya. Ode penasaran, apa yang sudah terjadi dengan Aryo.?
۞ ۞ ۞
Ode diam terpaku di dekat pintu memperhatikan Aryo yang justru tidak peduli padanya.“Ada apa Yo? Kok kelihatan kayak ada masalah gitu?” tanya OdeSesaat kemudian Aryo kembali berdiri dan mondar mandir seperti mandor. Mukanya merah bagaikan udang rebus dan ingin meluapkan amarahnya. Tindakannya telah membuat rasa kantuk Ode hilang seketika.Sejak tadi Aryo belum juga tenang dan sesekali mengosok-gosok rambutnya. Dari cara menggosoknya telah membuat Ode paham jika kepalanya itu tidak gatal. Lebih tepatnya, gosokan itu hanyalah refleksi seketika akibat emosinya. Dasi coklat yang dipakainya langsung dilonggarkan dan kemeja putihnya digulung sampai sebatas siku. Ia mulai merasa kepanasan, bukan hanya sekedar jasmaninya yang panas, tapi hatinya juga ikut panas membara. Keringat tipis mengalir di keningnya.Ode jadi heran dengan sikap Aryo. Kulitnya yang putih terlihat jadi agak merah seh
Melihat sikap sahabatnya, Ode berdiri untuk mengambil segelas air minum dari gallon mineral yang ada di dekat meja.”Minum dulu..” Aryo memandang Ode sejenak. Tanpa pikir panjang lagi dengan tawaran tersebut, Aryo langsung meraih gelas yang ada di tangan Ode dan meminumnya segera. Setelah itu ia menaruh gelas plastik bermotif biola tersebut di atas meja.Ode memperhatikan wajah Aryo, emosinya mulai berkurang.”Kamu kenapa? Ada masalah dengan Dona..?” Aryo mengusap wajahnya seakan ingin meluapkan kekesalannya.”Nggak ngertilah De.. Aku juga mangkel..! Akhir-akhir ini dia juga sering marah. Aku tanya kenapa? Jawabnya selalu nggak jelas..!!” katanya gusarEmosi Aryo mulai naik lagi, bahkan ia bersikap seperti orang yang ingin memukul tapi kedua tangannya hanya mengepal kejang penuh tenaga dan tak terluapkan, sedangkan wajahnya memerah. Ia juga merapatkan rahang atas dan bawah hingga gigi-giginya sa
Motor Aryo berlalu meninggalkan kos Ode. Setelah itu Ode kembali masuk kamar dan menutup pintu. Ia coba rebahkan diri di kasur untuk tidur. Tetapi, Ode masih diliputi rasa heran, menyimpan tanya tentang masalah apakah yang sedang dihadapi Aryo.“Kenapa tadi dia terlihat sangat emosi, lebih emosi dari kebiasaan lamanya di kampus yang memang gampang marah?” pikir Ode.Tapi dibalik sikapnya yang sedikit temprament, Ode mengakui ada sisi lain yang begitu menonjol pada diri Aryo sejak dulu, yaitu selalu berpenampilan keren, terutama bila mengikuti perkuliahan. Apalagi Aryo memang memiliki wajah yang tampan. Ia sudah begitu terkenal dan disenangi di kampus sejak awal masuk kuliah.Beberapa gadis di kampus mereka, bahkan ada juga teman mereka di kampus lainnya di Surabaya, jadi tergila-gila dan menganggap wajah Aryo hampir mirip dengan artis penyanyi top Justin Timberlake. Kadang juga, kebiasaannya yang sering memakai kacamata hitam m
Setelah berusaha menenangkan dirinya agar tidak panik, ibu Ayu akhirnya coba bicara dan tersenyum. Sedikit sikap menggoda secara halus ia lakukan.“Tenang dulu. Ibu ingin kalian tahu bahwa semuanya sama, semuanya spesial. Nggak ada yang dibedakan kok..” jelasnya sembari mengulas senyum manis yang ia miliki. Bahkan sangat manis seperti senyum seseorang kepada pujaannya. Tidak hanya itu, ia juga berjalan mendekati mereka yang protes, menyebut namanya dengan lembut, suara merdu dan seakrab mungkin.Mendengar penjelasan sang dosen, mahasiswa yang protes tadi akhirnya luluh juga dan perlahan mulai tersenyum. Ketika dosen cantik itu mendekati kursi mereka, senyum itu makin terasa manis dan aroma parfumnya tercium wangi.“Oh teman-teman.. ternyata mbak Ayu nggak pilih kasih kok. Kalau gitu kita nggak jadi keluar kelas.” jelas Toni menginfokan pada yang lain. Mereka akhirnya duduk kembali.“Iya dong, mana ada pilih kasih. semua sama,
Jika lagu-lagu perjuangan sering sekali menggema di seluruh Nusantara terutama menjelang hari kemerdekaan atau hari pahlawan, maka di kota Surabaya, atau lebih tepatnya di rumah kos Ode, lagu-lagu tersebut setiap hari terdengar hingga kadang mampu menghadirkan suasana tersendiri dalam hatinya. Ode sering terbawa pada nuansa ketika terjadinya perang di tanah air -meskipun sebenarnya ia tidak hidup di zaman itu- di saat para pahlawan berjuang mati-matian merebut kemerdekaan dari penindasan para penjajah.Hari kian menjelang sore. Seperti pada hari-hari biasanya, secara perlahan telinga Ode kembali mendengar sayup-sayup lagu ’sepasang mata bola’ yang mengalun dari gedung bilik sebelah, yang berada tak jauh dari kamar kosnya. Ia tahu siapa yang menyetel lagu-lagu perjuangan itu, yaitu Pak Tomo, tuan kosnya yang merupakan seorang veteran. Seorang yang masih tetap tampak bugar meskipun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun.Kecintaan Pak Tomo pada lagu-
Pada saat Ode balik belakang, ternyata Dido juga terlihat begitu tergesa-gesa. Ia baru saja keluar dari kamarnya dengan bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek dan handuk yang disampirkan di leher. Tangannya satu memegang gayung yang berisi sabun, sampo, pisau cukur, dan sisir.”Aku duluan ya. Soalnya takut terlambat acara temu akrab, jam lima sore ini. Biasa, anak maba nunggu aku. Mereka pasti sudah ndak sabar ingin jumpa aku,” celoteh Dido dari depan pintu kamar dan berjalan ke arah Ode sambil tersenyum, menaik-turunkan alisnya.Ode mengalah dan hanya geleng kepala melihat tingkah Dido yang sok tahu dan sangat percaya diri.”Oya, ojo lali... nanti bawa biolamu,” pinta Dido dengan ekspresi serius. ”Iya... buruan mandi. Tapi cepat. Ada yang ingin aku bicarakan, soal tadi, penting. Tentang Aryo dan Dona..” Dido sempat terkejut dan langkahnya terhenti
Waktu yang sangat dinantikan oleh peserta Ospek, panitia, dan terutama juga Dido, akhirnya tiba juga. Malam ini, di pelataran kampus mulai tampak ramai dan semarak laksana pesta konser musik. Suasana malam penutupan ospek yang diselenggarakan di halaman pelataran depan kampus tampak begitu meriah."Selamat malam semuanya," ucap pak ketua membuka sambutannya."Malam pak..." semua hadirin menjawab serempak."Selamat datang saya ucapkan kepada adik-adik mahasiswa baru, selamat bergabung di kampus tercinta ini," tegas bapak ketua kampus yang disambut tepuk tangan meriah dari semua hadirin.Pak ketua mulai memberikan sambutannya, berbicara menyampaikan pesan dan motivasi kepada mahasiswa baru yang telah memilih kuliah di kampus ternama di Surabaya. Semua hadirin, terutama mahasiswa baru, mendengarkan dan menyambut antusias. Sesekali diselingi tawa akibat candaan bapak ketua, juga tepuk tangan meriah.Selain ketua dan wakil ketua kampus -merupakan
“Hati senang walaupun tak punya uang... wo’ooo...” Suara vokal Dido tetap terdengar penuh percaya diri mengiringi nada musik. Ternyata Dido sama sekali tidak bergeming. Ia terus menyanyi meskipun tadi telah mendengar lontaran kata-kata protes. Bagi Dido, itu semua hanya bumbu pemicu semangat dalam suatu pertunjukan. Ia sudah merasa terbiasa, apalagi pernah diledek karena suaranya dibandingkan dengan nyayian suara burung beo yang lebih bagus dari suara Dido.Konser musik terus berlanjut.Nyanyian Dido yang terus menggema telah membuat Ode secara terpaksa harus terus mengiringinya sampai lagu selesai. Jika dihentikan, justru yang akan rusak citranya bukan cuma Dido saja, tapi mereka para pengiringnya juga akan kena dampaknya. Insting sebagai pemusik mulai jalan, dan mereka mengiringi dengan nada yang tidak fals, padahal mereka belum pernah latihan membawakan lagu itu. Untungnya lagu itu pernah terngiang di telinga mereka dan masih terek