"Siapa?" Jing Ling berseru dari dalam ruang kamarnya."Ah Ling! Ini Kami. Bolehkah kami masuk?" Suara itu adalah milik Hua Lin. "Aku datang dengan Ah Fei!""Akhirnya mereka datang!" seru Jing Ling dalam hati. Tentu saja ia merasa sangat senang saat mengetahui Hua Fei dalam keadaan baik-baik saja. "Oh ya, Paman Kecil." Jing Ling menyahut sambil beringsut menyibak selimut. "Masuklah!"Pintu kamar terbuka secara perlahan hingga menimbulkan suara deritan kecil akibat pergesekan engsel yang sedikit alot oleh karat. Hua Fei dan Hua Lin segera muncul dan langsung melangkah masuk. "Ah Ling!" Hua Lin menyapa, sedangkan Hua Fei menutup pintu sebelum ia menyusul sang paman. "Apakah kami mengganggu?""Paman Kecil, Kakak Fei!" Jing Ling yang sudah merasa sedikit membaik pun segera bangun dan duduk bersandar pada dinding kayu. "Tentu saja tidak, Paman. Aku bahkan sedang merasa sangat jenuh dan bosan akibat berbaring seharian ini.""Adik Ling, bagaimana keadaanmu?" Hua Fei langsung duduk di samping
"Bagaimana dengan ayahmu?" tanya Hua Lin sambil menatap Jing Ling dan Hua Fei secara bergantian."Benar juga, ya?" Jing Ling menyahut. "Bagaimana cara melewatinya?""Ini bagian tersulitnya." Hua Fei memang sudah menyadari sejak awal. "Menaklukan hati pamanku itu tak ubahnya seperti melelehkan es di musim dingin.""Lalu, bagaimana menurut kalian?" tanya Jing Ling sambil membaca ulang tulisan dalam kertas selebaran. "Selain hadiah tael emas yang sangat banyak ini, tujuan kita adalah belajar di akademi kekaisaran. Kita bisa belajar tanpa biaya selama tiga tahun penuh!""Memang sangat menggiurkan. Tetapi pamanku?" Hua Fei menjadi bingung dibuatnya.Hua Lin tiba-tiba saja berseru, "Eeh, Ah Ling! Bagaimana kalau ...."Pintu kamar secara tiba-tiba diketuk dari luar, pada saat mereka tengah sibuk memikirkan cara dan alasan untuk meminta ijin yang tepat agar direstui oleh Hua Yan."Siapa?" Jing Ling bertanya dengan suara sedikit keras."Tuan Muda Kecil, ini Su Ruo!" sahut suara dari luar kamar.
Hua Fei tertegun. "Ular-ular itu ...."Hua Fei mau tidak mau harus berkata jujur tentang ular-ular tangkapan mereka yang semuanya telah mati tak tersisa satu pun yang hidup. Walau betapa sedihnya perasaan hati Jing Ling, tetapi ia tidak menyalahkan Hua Fei atas kejadian tersebut."Sudahlah, Kak Fei. Sepertinya keberuntungan memang masih belum berpihak kepada kita." ujar Jing Ling dengan bisikan lirih mengandung kesedihan.Tetapi ia juga tahu, kalau Hua Fei juga merasa sangat bersalah atas hal tersebut. Jing Ling lalu berbisik, "Kita adalah laki-laki yang tidak boleh meneteskan air mata hanya untuk menangisi binatang-binatang itu. Bukankah kita masih bisa menangkapnya di lain waktu?""Benarkah kamu tidak apa-apa dengan matinya mereka?" Hua Fei masih meragukan ucapan Jing Ling dan takut jika itu adalah ucapan penghibur semata. "Iya, Kakak Fei. Aku sudah tidak apa-apa. Percayalah!" Jing Ling berusaha tersenyum hanya untuk membuat Hua Fei tidak merasa bersedih lagi.Jing Ling tidak ingi
"Benar, kita memang harus melenyapkan anak itu dengan kemampuan kita," bisik Hua Fei dekat di telinga Jing Ling dan Hua Lin. "Kakak Fei, bukankah itu sangat kejam?" Jing Ling merasa terkejut mendengar ucapan Hua Fei yang sepertinya itu bukanlah kebiasaannya."Memang sangat kejam!" Hua Fei tersenyum. "Tapi itulah cara agar dia mau mengerti kalau kita tidak bisa diremehkan dengan seenak hati." "Caranya?" bertanya Jing Ling dengan rasa penasaran.Hua Fei lalu menjawab sambil terus berjalan. "Hanya satu!"Hua Lin hanya mengeluarkan desah napas dan suara gumaman sembari menggelengkan kepalanya. Ia lebih memilih menjadi pendengar setia tanpa banyak bicara."Cepat katakan, Kakak Fei! Mengapa kamu ini suka sekali mengulur waktu?" Jing Ling mulai tidak sabar menunggu ucapan Hua Fei yang bertele-tele."Aaah, dasar kamu ini. Selalu saja tidak sabaran," ujar Hua Fei masih tetap dengan nada bicara tenang. "Caranya adalah, kita harus giat belajar dan tidak meladeni apa pun kelakuannya terhadapmu,
Ketegangan jelas mencengkeram kuat dalam hati ketiga anak lelaki yang hanya bisa diam seribu bahasa. Debar jantung sudah mulai terasa lebih cepat dari biasanya, tetapi mereka pun tak bisa berbalik pergi atau bersembunyi. Jika memang harus bertemu dengan Jing Yangxi, maka mereka pun bertekad akan menghadapinya. Jing Yue sudah meletakkan telapak tangan kanannya pada lingkaran logam kuningan yang dijadikan pegangan pada permukaan daun pintu. Ia hanya bisa mengulas senyum setipis kertas tanpa diketahui oleh anak-anak di belakangnya."Semoga mereka terkejut kali ini," bisik Jing Yue sambil masih tersenyum diam-diam. Namun dengan wajah-wajah cemas mereka, wanita itu menjadi sangat heran. "Heeeehh!" Helaan napas panjang mengiringi gelengan kepala wanita tercantik di wilayah selatan. Ia berbisik dalam hati. "Apa yang dipikirkan oleh anak-anak itu?" Pintu ruangan dibuka secara perlahan dan langsung menampilkan seorang pria berjubah biru muda yang sudah mendahului duduk pada salah satu kursi.
Sedikit ketegangan mewarnai suasana hati ketiga anak lelaki berwajah manis tersebut. Mereka berusaha menyadarkan diri untuk mendengar apa yang akan disampaikan oleh Hua Yan. Walau mereka sangat ingin bertanya, tetapi tentu saja tidak memiliki secuil pun keberanian sama sekali. Hanya diam menunggu, mungkin itulah yang dapat dilakukan oleh ketiganya.Hua Yan bukan tidak mengetahui tentang apa yang selalu dipikirkan oleh anak-anak kesayangannya. Pria itu kemudian mengambil selembar kertas dengan bentuk, rupa dan warna yang sama persis dengan selebaran kompetisi tahunan."Benda itu! Bukankah mirip dengan selebaran yang tadi aku dapatkan?" Hua Lin berseru sambil memerhatikan benda yang sekarang dipegang oleh kakak sepupunya."Bagaimana ini?" Hua Lin bertanya dalam hati dengan perasaan cemas.Hua Yan meletakkan benda tersebut di atas meja. Suara tenang dan datarnya pun seketika terdengar. "Kalian sudah mengetahui tentang selebaran ini dan tentunya kalian juga sangat ingin mengikutinya." "Be
"Tunggulah sampai kalian bertiga mampu menguasai Ilmu Dewa Petir, setidaknya mencapai tingkat kelima." Hua Yan menyambung ucapannya. "Tidak untuk tahun ini?" Hua Fei terkejut. "Dan mempelajari Ilmu Dewa Petir itu teramat sulit, Paman!" "Sampai menguasai Ilmu Dewa Petir hingga tingkatan kelima?" Jing Ling merasa ini terlampau berat. Ia terlalu sibuk menghitung dengan jemari kecilnya. "Ilmu Dewa Petir? Bukankah itu sangat sulit, Ayah?""Benar. Itu memang sangat sulit dan kalian hanya bisa mulai mempelajarinya setelah usia kalian mencapai tujuh belas tahun." Jawaban Hua Yan sungguh membuat perasaan ketiganya semakin kecewa."Apa? Bukankah itu artinya enam tahun lagi untukku dan Paman Kecil?" Hua Fei merasa sangat kecewa atas keputusan Hua Yan. "Dan delapan tahun lagi untuk Adik Ling.""Ayah, bukankah itu sama artinya kalau kami tetap tidak diijinkan untuk ikut kompetisi tahun ini sampai delapan tahun kemudian?" tanya Jing Ling dengan nada kecewa."Sudah kuduga." Hua Lin berucap dalam ha
"Sembilan tahun ini ... tentu dia sudah besar dan tumbuh hampir setinggi kakaknya. Dia juga pasti memiliki kemiripan denganku." Lelaki tampan bermata teduh berkata-kata sendiri sambil masih terus menatap rupa bulan dengan perasaan hampa.Namun yang terbayang di matanya adalah kobaran api dan ceceran darah yang tertumpah di mana-mana. Telinganya bahkan masih dengan sangat jelas mendengar hiruk-pikuk, jerit kesakitan, raung kemarahan dan erangan sekarat dari orang-orang yang tertusuk ujung mata tombaknya."Aku seorang pendosa!" Pria itu merasa terhenyak hingga tanpa sadar tubuhnya terhuyung, lalu jatuh berlutut di atas tanah hingga sedikit menimbulkan suara debuman kecil yang hanya terdengar oleh pendengarannya sendiri.Sepasang lututnya mungkin sakit dan memar, tetapi lebam dalam hati masih seratus kali lebih menyakitkan. Badan pria itu memang tampak gagah perkasa, tetapi jauh di lubuk sanubari dia merasa sangat rapuh. Tidak ada orang lain mengetahui akan beban beratnya, selain hanya di