“Boleh daddy ikut duduk?” Aruna terkejut mendengar suara ayahnya. Dia menoleh dan melihat pria itu berdiri di ambang pintu. Aruna tersenyum melihat ayahnya itu. Dia menepuk kursi sampingnya agar sang daddy duduk di sana. Langit pun mendekat lantas duduk di samping Aruna. Dia memandang putrinya yang terlihat tenang. “Daddy lihat beberapa hari ini kamu agak murung. Apa karena anak kecil itu?” tanya Langit. Aruna sudah menceritakan soal siapa gadis kecil yang menemuinya. Meski awalnya Langit syok bahkan kesal, tapi melihat Aruna yang biasa saja, membuatnya memaklumi keputusan Aruna yang tak bisa mengabaikan gadis kecil itu. “Tidak ada yang murung, Dad.” Aruna menoleh Langit sambil mengulas senyum. “Sejak kecil, daddy yang lebih sering menghadapi segala tingkahmu ketimbang mommymu, apa kamu masih mau berbohong kalau sedang tak baik-baik saja?” Langit menatap Aruna sambil mengusap rambut putrinya itu. Aruna terkejut mendengar ucapan Langit. Dia pun tersenyum masam sambil memalingkan
“Apa klien serius ingin mengajak bertemu di sini?” tanya Aruna keheranan melihat alamat tempat dirinya harus menemui klien. “Saya juga bingung, Bu. Tapi memang sekretarisnya tadi bilang jika ingin menemui Ibu di sana. Katanya sekalian di sana ada perlu,” jawab staff Aruna. Aruna diam membaca alamat yang tertulis. Dia hanya berpikir kenapa harus bertemu klien di tempat seperti itu. “Mereka klien penting, Bu. Manager yang lama biasanya menuruti segala keinginannya, termasuk tempat bertemu,” ujar staff itu saat melihat Aruna hanya diam. “Baiklah, nanti biar aku atur,” ucap Aruna pada akhirnya. Staff itu pun pamit dari ruangan Aruna, meninggalkan managernya itu sendirian di ruangan itu. Aruna pun melihat nomor kontak sekretaris klien perusahaan. Dia lantas mencoba menghubungi untuk bernegosiasi. “Halo, saya Aruna manager pemasaran di Magnifique. Saya ingin mengonfirmasi soal tempat pertemuan utusan perusahaan kami dengan perusahaan Anda bekerja. Bisakah kita mengubah tempat pertemu
“Kamu tahu, sebagai klien tentunya aku menginginkan pelayanan yang baik dari mitraku. Ya, termasuk sikap baik,” ujar pria itu saat melihat raut wajah Aruna yang berubah. Aruna lagi-lagi hanya bisa tersenyum tipis mendengar ucapan pria itu. “Maaf, bukan saya tidak sopan atau ingin bersikap buruk. Jika memang hanya untuk sekadar minum, baik akan saya turuti asal Anda tidak memasukkan dalam hati sikap saya sebelumnya,” ucap Aruna berusaha untuk tetap tenang dan bersikap profesional. Pria itu tersenyum, lantas membalas, “Aku suka sikapmu yang bertanggung jawab.” “Berikan berkasnya agar aku bisa menandatanganinya, tapi berjanjilah untuk tetap menghargaiku dengan memakan atau meminum apa yang sudah aku sediakan,” ujar pria itu lagi sambil mengulurkan tangan ke Aruna. Meski merasa aneh dengan sikap pria yang memaksakan kehendak itu, tapi karena Aruna sedang dalam posisi menjadi seorang manager yang bertanggungjawab, membuatnya akhirnya mengiakan saja permintaan pria itu. Dia pun memberi
“Kupatahkan tanganmu kalau berani menyentuhnya!” Pria yang hendak menarik rambut Aruna memekik kesakitan karena pergelangan tangannya dipelintir kuat. “Lepas! Lepas!” pekik pria itu kesakitan. Tangannya akhirnya terlepas, pria itu memegangi pergelangan tangan yang terasa sangat sakit. Aruna menatap pria yang ada di hadapannya, pria yang tak pernah diinginkan hadir di hadapannya. Ansel masih menatap tajam ke pria yang berani berniat menyakiti Aruna. Dia lantas menurunkan pandangan hingga saling tatap dengan mantan kekasihnya itu. Ansel baru saja datang di klub itu karena ingin menemui temannya, tapi siapa sangka dia harus melihat Aruna yang sedang diganggu dua pria. “Pergi!” Suara Ansel tak terlalu keras tapi terdengar penuh penekanan. Dua pria itu langsung kabur karena tak ingin terlibat masalah. Ansel terus memfokuskan tatapan ke dua pria tadi. Dia tak akan membiarkan dua pria itu menyerang balik jika dia lengah. “Terima kasih karena sudah membantu kami,” ucap staff Aruna s
“Apa yang sudah kamu lakukan kepadanya, hah?” Bumi sangat syok melihat Ansel datang sambil menggendong Aruna yang tak sadarkan diri. “Bisa kamu diam dan bantu aku dulu.” Ansel menatap datar ke Bumi yang siap mengamuk. Bumi tak punya pilihan selain membantu Ansel dulu. Dia mengajak Ansel ke kamarnya, lantas meminta sahabatnya itu membaringkan Aruna di ranjang miliknya. “Ada apa ini?” tanya ayah Bumi yang melihat Ansel membawa Aruna dalam kondisi tidak sadar. “Sepertinya ada yang mencampur alkohol ke minumannya, Paman. Paman tahu sendiri kalau Runa tidak bisa minum alkohol. Aku bertemu dengannya tadi bersama staffnya sudah dalam kondisi mabuk,” jawab Ansel menjelaskan. Anta—ayah Bumi pun sangat terkejut. Dia lantas meminta Bumi untuk membuat jus lemon untuk Aruna jika sudah sadar nanti. Ansel memilih keluar dari kamar, begitu juga dengan Bumi. Bumi menatap curiga ke Ansel, mana mungkin Aruna mabuk jika sepupunya itu tak bisa minum alkohol. “Kamu tidak bohong, Ans? Aku akan meng
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ansel dari wanita yang dicintainya. “Bagaimana bisa kamu melakukan ini, Ans? Bagaimana bisa?” Aruna berteriak keras setelah menampar kekasihnya itu. Dia benar-benar syok mendengar apa yang sudah dikatakan oleh Ansel. Ansel hanya diam saat melihat Aruna marah. Dia melihat kesedihan yang begitu nyata di raut wajah Aruna. Aruna mulai menitikkan air mata sambil menandang Ansel. Pria itu sangat dipercayainya, tapi apa yang terjadi. Ansel malah berkata akan menikahi wanita lain. “Kupikir kamu benar-benar hanya untukku. Kupikir kamu bisa menyembuhkan kekecewaanku, tapi apa? Kamu malah ….” Aruna tak bisa menyelesaikan kata-katanya. Terlalu sakit mengingat apa yang terjadi. “Aku minta maaf, Runa. Kuharap kamu bisa hidup bahagia tanpaku,” ucap Ansel terus menatap Aruna yang menangis. Aruna menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskan kasar untuk menahan amarah yang meledak di dada hingga menciptakan rasa nyeri yang begitu perih. “Jangan pernah m
“Papi, apa Papi tidak bisa temui Kakak Cantik lalu bilang kalau aku kangen. Atau kalau tidak, antar aku temui dia, ya.” Emily menatap Ansel dengan tatapan sendu. Dia ingin menemui Aruna, tapi sopir dan baby sitter tidak berani mengantar tanpa persetujuan dari Ansel. Siang itu Ansel memang sengaja menjemput Emily karena baru saja menghadiri rapat di luar. “Mungkin dia sedang sibuk, Emi. Kita juga tidak bisa mengganggunya begitu saja,” ujar Ansel mencoba menjelaskan dengan perlahan dan hati-hati. Raut wajah Emily berubah muram. Dia hanya bisa menunduk karena tidak bisa bertemu Aruna yang beberapa hari ini sudah mengabaikan dirinya. Ansel menoleh Emily yang terlihat sedih. Namun, meski begitu Ansel tidak bisa begitu saja menuruti keinginan Emily yang ingin bertemu Aruna, apalagi sebelumnya Aruna berkata akan menjauhi Emily, mungkin karena itu Aruna mengabaikan pesan atau panggilan dari Emily. “Jika dia sudah tidak sibuk, pasti akan segera menghubungi Emi. Emi yang sabar, ya.” Ansel
“Daddy sudah membatalkan kontrak kerjasamanya.” Aruna terkejut mendengar ucapan Langit. “Apa Daddy sudah memikirkan konsekuensinya?” tanya Aruna yang syok dengan ucapan Langit. Langit sedang menyuapkan makanan ke mulut saat mendengar pertanyaan Aruna. Dia lantas memandang sang putri yang sudah menatapnya dengan ekspresi wajah panik. “Tidak ada yang boleh mempermainkan keluarga kita, Runa. Apalagi putri-putriku. Perpanjangan kontrak itu belum dilegalkan, pihak mereka belum memberikan royalti, sah saja jika daddy membatalkannya,” jawab Langit dengan santainya. Aruna berpikir ayahnya akan memberi pelajaran dengan cara apa, ternyata dengan cara tak memperpanjang kontrak kerjasama. Padahal jika dipikir perusahaan akan kehilangan klien jika ayahnya melalukan itu. “Sudah, kamu jangan memikirkan hal itu. Biar ini jadi urusan daddy,” ucap Langit saat melihat Aruna malah berpikir. Aruna pun menganggukkan kepala, lantas menyantap hidangan yang disiapkan ayahnya. Aruna kembali ke ruang ke