"Pesan dari siapa?" tanya Dika dengan tatapan tajam.
Fara yang ditatap seperti itu menjadi salah tingkah. Dengan cepat, Fara mencari alasan agar suaminya tak curiga.
"Dari Raisa, katanya besok dia mau ke sini, mumpung libur," kilah Fara dengan degupan jantung yang saling berpacu. Takut jika Dika sadar Fara telah berbohong.
Dika menatap mata Fara intense. Ia bisa merasakan jika istrinya itu berbohong, tapi sayangnya kebohongannya itu tak terlihat. Dika tidak menemukan kebohongan dari sorot mata Fara.
"Ooh ...," singkat Dika lalu beranjak ke kamar mandi.
Ketika pintu kamar mandi tertutup sempurna, barulah Fara bisa bernafas lega. Segera ia mengatur nafasnya agar kembali normal, lantas ia me-log out aplikasi birunya.
Setelahnya, Fara pergi ke dapur untuk merebus air guna membuat kopi hitam kesukaan Dika. Dika tak akan mau meminum kopi dari air termos, 'kurang nikmat' katanya. Selesai urusan kopi sang suami, Fara gegas mengerjakan tugas rumah lainnya. Hal yang pertama ia lakukan adalah merendam pakaian kotor. Setelah merendam, tangannya dengan lihai menyiangi sayur asem. Tak lupa, ia merendam ikan asin dan me-marinasi tempe, serta bahan sambel terasi pun tak lupa Fara siapkan.
Harum aroma sayur asem menguar ke seluruh penjuru, membuat siapa saja yang mencium aromanya akan lapar seketika.
"Harum banget, Bu! Ayah jadi laper, nih, pengen cepet makan," kata Dika yang muncul dari balik gorden magnet bergambar doraemon.
"Sabar, ya. Sebentar lagi mateng, kok. Oya, Reza udah bangun belum?" tanya Fara sambil membalik tempe yang sedang berenang di dalam minyak panas.
"Belum, Bu," sahut Dika menghampiri Fara dan mencomot tempe goreng yang sudah ditiriskan.
Seperti sebelum-sebelumnya, setiap hari Minggu, Dika pamit pada Fara hendak pergi ke Jembatan Item. Kali ini, ia mengajak Reza turut serta. "Berangkat dulu, Bu," pamit Dika menggandeng Reza keluar rumah.
Sudah menjadi kebiasaan Dika, ia pasti akan pergi ke Jembatan Item setiap hari Minggu, dengan ataupun tanpa Reza. Entah apa yang Dika cari, terkadang ia hanya menyusuri lorong, yang di kanan-kirinya terdapat lapak-lapak kecil milik penjual barang bekas. Lorong yang jalanannya becek dan berlubang dimana-mana, kadang digenangi air jika hujan turun.
Kondisi pasar di Jembatan Item selalu ramai pengunjung, terkadang untuk sekedar lewat saja harus berdesakan. Apalagi jika ada kendaraan roda dua yang melintas, orang-orang akan menepi hingga terkadang berlindung di dalam lapak yang ukurannya hanya sekitar 2mx2m.
Di rumah, Fara yang sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah tengah duduk bersila sambil memainkan ponselnya. Selepas kepergian Dika tadi, Fara log-in kembali ke aplikasi biru.
"Banyak messenger dari dia," gumam Fara sambil tersenyum.
Tangannya lincah mengetik balasan pada pesan yang Yuda kirim. Saking asyiknya berbalas pesan, Fara tak menyadari kedatangan suami dan anaknya.
"Ibu ...," teriak Reza sambil berlari menuju pintu rumah, membawa mainan tradisional.
Fara mendongak dan segera memasukkan ponselnya ke dalam saku dasternya.
"Wah ... Reza beli apa, itu?" tanya Fara melihat tangan mungil anaknya memegang sesuatu.
"Beli mainan, Bu," seru Reza kegirangan sambil mendorong-dorong mainannya yang berbentuk burung kecil dibagian bawahnya. Dan jika rodanya didorong, akan menimbulkan bunyi yang berasal dari sepotong lidi yang menyentuh gendang kecil di belakang burungnya.
Fara berdiri di ambang pintu, kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Dika.
"Ayahnya mana, Sayang?" tanya Fara lembut ketika Reza menghampirinya.
"Ayah balik lagi, Bu," sahut Reza sambil duduk lesehan.
"Ngapain balik lagi?" tanya Fara heran.
Namun, yang ditanya tak menjawab, ia fokus pada mainan barunya. Menyadari suaminya tak kembali, Fara menutup pintu kemudian merogoh ponselnya kembali. Senyum kian mengembang dari bibir tipisnya.
Pesan-pesan yang dikirimkan Yuda, sebenarnya hanyalah pesan biasa layaknya seorang teman, tetapi Fara menganggapnya spesial karena bisa sedikit menghibur hatinya.
Semenjak Fara memberitahu Dika perihal Andre, sikap Dika perlahan mulai berubah. Ia menjadi dingin terhadap Fara, tak sehangat dulu. Hal inilah yang membuat Fara menjadi berani berkirim pesan dengan Yuda. Karena sebelumnya, Fara tidak pernah berkirim pesan dengan lawan jenis jika bukan dalam keadaan terdesak.
"Suami kamu ke mana?" tanya Yuda di aplikasi messenger.
"Lagi ke Jembatan Item,"
"Ngapain ke sana siang-siang gini? Bukannya ajak istri sama anak jalan-jalan."
"Entahlah," jawab Fara, ia mulai bosan jika membahas suaminya.
Fara beranjak ke kamar mandi, hendak membersihkan diri. Badannya sudah terasa lengket karena seharian berkutat dengan pekerjaan rumah yang tiada habisnya.
Saat sedang mandi, Fara tak menyadari jika di bagian ventilasi ada sepasang mata yang sedang menikmati keindahan tubuhnya. Barulah ketika hendak mengambil handuk di gantungan, Fara melihat ada yang mengintipnya. Buru-buru Fara mengenakan handuk dan melihat siap yang mengintipnya lewat ventilasi yang memang sudah sedikit rusak. Namun sayang, lelaki itu sudah kabur hingga yang terlihat hanyalah bagian punggungnya saja.
Fara terkejut kala menyadari siapa yang mengintipnya. Ia sangat hafal dengan baju yang dikenakan oleh lelaki tadi. Kaos bertuliskan Malioboro dengan tulisan yang di capslock di bagian punggungnya itu, adalah kaos yang sering digunakan oleh Andre jika di rumah.
"Kurang ajar!" umpat Fara kemudian memakai pakaian dengan tergesa. Diraihnya ponsel yang tadi ia letakkan di kasur, dan segera menghubungi suaminya.
"Halo, Ayah di mana?"
"Masih di Jembatan Item, kenapa?"
"Pulang sekarang!"
Tut!
Fara memutuskan telepon sepihak. Tak biasanya Fara berbicara dengan kencang pada Dika, tetapi karena sudah dikuasai oleh emosi, maka kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Tak menunggu waktu lama, Dika datang dengan raut muka yang masam.
"Kenapa, Bu?" tanya Dika setelah ia merebahkan diri di kasur sambil memejamkan mata.
"Andre, Yah!" pekik Fara.
Mendengar nama iparnya disebut, Dika membuka kembali matanya lalu bangkit. "Kenapa lagi?" Dika menyilangkan tangannya di dadanya lalu memalingkan wajah.
"Adik ipar kamu ngintipin Ibu, pas Ibu lagi mandi tadi!" ucap Fara dengan penuh penekanan.
Dika langsung menoleh mendengar penuturan Fara dan tersenyum sinis.
"Gak usah ngadi-ngadi, Bu! Kerjaan ngehalu aja!" cibir Dika sambil mengibaskan sebelah tangannya. "Kurang kerjaan banget dia, kalo emang bener ngintipin Ibu," imbuhnya.
Fara tak habis fikir dengan suaminya, kenapa ia menjadi tak percaya pada istrinya sendiri. Padahal sudah jelas-jelas itu merupakan salah satu tindakan pelecehan.
"Ibu yakin, kok, kalo itu Andre! Dia ngintip di ventilasi kamar mandi yang rusak, dia juga pakai kaos yang ada tulisan Malioboro-nya. Ayah pasti hafal, kan, sama kaos itu?" cecar Fara dengan nafas yang naik turun saking emosinya.
Dika menatap Fara tajam. "Kita buktiin omongan Ibu, kita ke rumahnya sekarang!" tantang Dika.
Fara terkejut. Namun, dengan cepat ia menguasai diri, "Siapa takut?"
"Ibu udah pikirin mateng-mateng, Yah. Ibu juga udah telepon orang rumah, 'kan ada Raisa yang bisa bantuin jaga Arif," tutur Fara meyakinkan suaminya. "Jadi gimana, Yah, boleh engga?" tanya Fara meminta kepastian."Kapan interview-nya? Kalo jadi 'kan kita harus pulang kampung dulu buat anterin Arif, Bu," ujar Dika akhirnya setelah cukup lama terdiam.Fara menatap Arif yang sedang tidur pulas, dielusnya pucuk kepala sang anak, kemudian dicium pipinya yang sudah tak chuby lagi. Ada rasa kasihan yang menghinggapi hatinya. Tapi jika ia tak 'tega', maka kehidupan mereka tidak akan berkembang, begitu menurut Fara. Ia membuang nafas kasar, mencoba melepaskan sesuatu yang menghimpit dadanya."Kapan Ayah bisa anter? Kalo bisa sih, secepatnya," ujar Fara berfikir lagi. "Rita cuma bilang, sesiapnya aku aja, baru ke kantor, gitu," imbuhnya.Dika mengerutkan kening tanda sedang berfikir. "Lusa, bisa kayaknya, Bu." Lalu meminum kopi yang sudah disediakan oleh Fara sejak
Mata Fara mengisyaratkan supaya Raisa membuka pintu. Dengan malas, Raisa beranjak, dan membuka pintu."Kak Dika?" ucap Raisa.Dika yang datang dengan pakaian casual-nya terlihat menenteng sebuah kantong plastik bertuliskan nama salah satu gerai ayam goreng terkemuka yang berlogo orang tua memakai kaca mata dan berdasi pita.Raisa kaget karena yang mengetuk pintu kontrakan adalah Dika. Untungnya Raisa bisa dengan cepat mengendalikan dirinya. "Eh, Kak Dika. Masuk, Kak," ujar Risa mempersilakan kakak iparnya masuk.Setelah masuk, Dika langsung disambut oleh Reza. Apalagi setelah ia melihat ayahnya membawa ayam yang ingin ia makan."Horeee, Ayah bawain ayam. Tante gak usah minta!" ketus Reza sambil menatap Raisa. Ia terkekeh melihat tingkah laku keponakannya.Sebetulnya, Raisa sudah tahu jika Dika akan datang, tapi ia tak menyangka Dika akan datang secepat ini. Itulah sebabnya ia menolak saat Reza mengajaknya pergi keluar. Raisa melirik Fa
"Asiik, beneran ya, Yah?" sahut Reza kegirangan, yang sukses membuat Fara dan Raisa berpandangan, tak percaya atas apa yang mereka dengar.Ketika sambungan telepon terputus, Raisa langsung menoleh kearah Fara. "Beneran, Kak, Kak Dika bakal kesini?" tanya Raisa.Fara mengangkat bahu tanda tak tahu. "Liat aja nanti," celetuknya.Menjelang malam, hawa panas yang sedari siang setia menemani, masih saja terasa. Meskipun baling-baling kipas sudah berputar kencang, tetap saja tak bisa mengusir rasa panas yang menyerang tubuh."Tiap hari panas kayak gini, ya, Sa?" tanya Fara sambil mencepol rambutnya kemudian meraih kipas tangan yang tergeletak di dekat TV."Ya ... gitu deh, Kak!" sahut Raisa menyuapkan cemilan ke mulutnya.Fara terus saja mengibaskan kipas ke wajahnya. "Masih mending di Jakarta ya, berarti," ungkap Fara."Wajarlah, Kak, disini 'kan daerah industri, banyak pabrik, jadi suhunya ya diatas rata-rata," jelas Raisa dengan mulut ya
Sampai suatu hari, Fara diminta datang ke Jakarta, untuk dikenalkan pada keluarga Dika. Fara pun mengutarakan permintaan Dika kepada orang tuanya. Namun Bu Anis, ibu Fara, terlihat keberatan jika Fara pergi ke ibukota."Tenang, Bu, Fara gak bakal Bapak izinin pergi sendiri, apa kata orang nanti? Bapak ikut ke sana buat nemenin Fara, sebagai perwakilan keluarga. Lagian Fara juga belum tahu di mana alamat pastinya," ujar Pak Adi mencoba meyakinkan istrinya.Bu Anis tampak menimbang-nimbang ucapan suaminya. "Kapan rencana kalian berangkat? Nanti Ibu cariin oleh-oleh buat calon besan," wajah Bu Anis berangsur seperti semula."Kata Bang Dika, sih, kalo bisa minggu ini, Bu," ujar Fara."Ya udah kalo gitu, besok Ibu cari oleh-olehnya," sahut Bu Anis sambil berlalu ke dapur.***Hari yang ditunggu-tunggu oleh Fara pun tiba, sedari tadi pagi, Fara dan Pak Adi bersiap ke Jakarta dibantu Bu Anis."Kami berangkat, Bu," pamit Pak Adi pada istrinya
"Kakak diem aja? Gak ngelawan?" cecar Raisa tak habis fikir. "Kasih tahu Bapak aja, ya?" usul Raisa. "Jangan!" sanggah Fara cepat sambil menggeleng. Risa menatap wajah cantik kakaknya yang tak terkikis oleh usia. Sosok yang selalu menolongnya saat ia sedang kesusahan, yang tak pernah marah padanya meskipun Raisa melakukan kesalahan. Raisa tak rela jika kakaknya diperlakukan seperti itu. "Tapi ini udh termasuk KDRT, Kak!" paksa Raisa. "Kakak tahu, tapi ini gak semudah yang kamu bayangin, Sa," ucap Fara. Lalu pikirannya menerawang ke masa enam belas tahun yang lalu, saat mereka masih melakukan Long Distance Relationship. Raisa yang mendesak Fara supaya ia bercerita tentang masa lalunya, diangguki oleh Fara. *** Saat itu, hari sedang hujan lebat, Fara sedang berada di kamar menemani Raisa kecil belajar. Tiba-tiba saja pintu depan diketuk, dan tak lama terdengar suara pintu terbuka. Samar-samar terdengar Pak Adi, Bapak Fara sedang berbincang-binca
"Selagi kamu belum mengakuinya, jangan harap aku bakal lepasin!" bisik Dika yang membuat bulu kuduk Fara berdiri.Fara berfikir sejenak sambil sesekali meringis, karena rupanya Dika tak main-main dengan ucapannya. Akhirnya dengan penuh perhitungan, Fara pun mengangguk.Melihat Fara mengangguk, justru malah membuat Dika murka. Dihempaskannya Fara ke atas kasur dengan kasar, kemudian ia mengacak rambutnya frustasi. Sebenarnya Dika sudah berjaga-jaga jika jawaban Fara menyakiti hatinya. Namun, melihat langsung kenyataan yang ada di depan mata ternyata lebih menyakitkan. "Kenapa, sih, sekarang kamu jadi pembangkang gini?" tanya Dika kesal.Fara yang dihempaskan oleh Dika secara spontan itu memantul dan hampir mengenai Reza. Segera ia duduk lalu mengelus lengannya, yang tentu saja masih menyisakan lukisan tangan Dika yang berwarna merah karena cekalan yang cukup lama lagi kuat.Air mata pun masih saja saling berlomba turun ke pipi Fara yang mulus meskipun usia