BAB 7
Yuda Hermawan.
Ya, Fara ingat. "Dia, kan, dulu pernah suka sama aku," ujar Fara mengenang masa-masa sekolahnya dahulu. Yuda, seorang anak laki-laki yang dengan terang-terangan menyatakan cinta pada Fara, pada zaman SMA.
"Konfirm jangan, ya?" gumam Fara. "Konfirm aja, deh! Kan udah masa lalu juga," imbuhnya.
Tangan Fara gatal untuk tak men-stalking profil Yuda. Fara baru tahu jika Yuda ternyata tinggal di Kota Metropolitan juga, sedangkan istri dan anaknya tinggal di kampung.
"Makin keren aja, dia sekarang," ujar Fara saat melihat foto-foto Yuda yang diunggah beberapa minggu lalu. Ternyata Yuda cukup aktif di sosial media membagikan kesehariannya.
Pikiran Fara membawanya mengembara ke belasan tahun silam. Di mana ia dan Yuda sedang sayang-sayangnya, dan kisah kasih mereka harus kandas karena Yuda memilih melanjutkan pendidikan di Jakarta.
Fara mengubah posisinya dari duduk menjadi tengkurap. Posisi seperti orang yang sedang dimabuk cinta. Namun, sebuah ketukan menyadarkannya dan membawanya kembali ke dunia nyata.
"Eza pulang, Bu!" teriak Reza dari luar sambil mengetuk pintu berulang kali.
Sengaja Fara mengunci pintu, karena ia takut kecolongan lagi seperti kemarin. Fara segera beranjak dari kasur, kemudian membukakan pintu untuk Reza.
"Sore banget pulangnya, Sayang?" tanya Fara lembut, sambil menutup pintu.
"Tadi Eza sama Nuri bantuin Kakak Rita masak dulu, Bu," ujar Reza polos, khas anak seusianya.
"Emang Kakak Rita masak apa?" sedilik Fara.
"Kakak Rita tadi masak ayam goreng, abis itu Eza sama Nuri makan dulu, Bu. Enak banget ayam gorengnya, sama kaya buatan Ibu," ujar Reza semangat.
Fara mengeyitkan dahi, setahunya Rita itu lebih suka fast food daripada masak sendiri. Namun, hal itu tak mungkin ia tanyakan pada anaknya.
"Ya udah, Eza mandi dulu, yuk! Udah bau acem!" ledek Fara sambil menutup hidungnya.
Reza tertawa melihat ekspresi ibunya, kemudian pergi ke kamar mandi. Saat tengah memandikan Reza, ponsel Fara berbunyi notifikasi dari aplikasi biru.
"Bu, HP Ibu bunyi, tuh!" ucap Reza yang mendengar bunyi HP Fara.
"Iya, nanti aja, kan, lagi mandiin Eza dulu," terang Fara sambil memakaikan handuk ke badan Reza.
"Nah, anak Ibu udah ganteng! Tinggal kerjain tugas dari Bu Guru, ya?" ajak Fara mengambil tas sekolah Reza.
Saat hendak mengambil tas Reza, HP Fara berbunyi kembali. Fara penasaran, siapa yang terus mengiriminya pesan.
"Yuda ...?" lirih Fara kemudian menutup mulutnya, ia takut terdengar oleh Reza.
Lengkungan tipis tersungging di bibir Fara, dan ia pun membalas pesan tersebut. Berbalas pesan dengan Yuda membuat Fara lupa waktu, sampai-sampai ia lupa untuk mengajari Reza belajar.
"Bu ... Ibu ...," Reza menarik-narik baju Fara.
Fara tersentak. Ia lupa jika harus mengajari anaknya. "Iya, Sayang? Yuk, belajar di depan," ajak Fara sambil mengetik pesan untuk Yuda. Saat mengajari Reza pun Fara tak fokus, karena kadang Fara melamun membayangkan masa lalu ketika mereka masih menjalin kasih.
"Bu, yang ini gimana?" tanya Reza menunjuk salah satu nomor di bukunya.
Fara menoleh, kemudian menyimpan ponselnya sejenak guna mengajari Reza belajar terlebih dahulu. Barulah saat Reza selesai, Fara mengambil kembali ponselnya.
Tak terasa senja sudah menyapa. Fara tergesa membereskan rumah, karena Dika akan marah jika ia pulang, rumah masih dalam keadaan tak sedap dipandang mata. Tak lama, terdengar suara deru motor Dika memasuki pelataran rumah. Fara yang sedang membersihkan diri, mempercepat ritual mandinya.
Setelah selesai berganti baju, Fara segera membuatkan secangkir kopi panas kesukaan sang suami.
"Ini, Yah," ujar Fara meletakkan kopi hitam di samping Dika yang tengah beristirahat di kasur lantai.
"Hmm ...." sahut Dika tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel yang layarnya retak akibat terjatuh.
"Ayah bilangin, tuh, si Andre, biar gak kirimin Ibu pesan terus!" ketus Fara.
Dika yang baru saja menyesap kopi hitamnya terhenti. Cangkir yang ia pegang masih menggantung di udara.
"Masih kirim pesan?" tanya Dika dengan tatapan menyelidik.
"Iya!" sahut Fara sambil mengerucutkan bibirnya.
"Sini, Ayah lihat," pinta Dika menengadah meminta HP Fara.
Fara berlalu ke kamar mengambil ponselnya yang ia taruh di dekat tas sekolah Reza. Kemudian tangannya terulur menyerahkan ponsel pada Dika.
"Ibu gak usah kepedean, deh! Orang Andre cuma kirim pesan begini doang! Wajar kalo dia perhatian, kan, dulu Ibu suka nganterin Nuri sekolah. Udah ah, jangan punya fikiran negatif sama orang!" papar Dika sambil sesekali menyeruput kopinya.
Sontak ucapan Dika membuat Fara mencelos.
"Oya, satu lagi, sikap kamu biasa aja ke mereka! Jangan nunjukin kalo kamu gak suka, mereka juga saudara Ayah," jelas Dika. Fara mengerjapkan mata, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Malam kian larut, tetapi kelopak mata Fara terasa enggan untuk terpejam. Ia menoleh ke samping, dilihatnya Reza dan Dika yang sudah tertidur denga damai. Akhirnya, Fara mengambil ponselnya yang tergeletak di lantai, dan membuka aplikasi biru.
"Masih online aja jam segini?" tanya Yuda melalui messenger.
"Belum ngantuk," balas Fara sambil tersenyum.
Berawal dari pesan basa-basi, percakapan Fara dan Yuda menjadi semakin intim. Dari mulai membahas masa lalu, hingga membahas tentang rumah tangga masing-masing.
Fara terkesiap ketika Dika bangun, hendak ke kamar mandi. Cepat-cepat Fara menyembunyikan ponselnya di bawah bantal.
"Belum tidur, Bu?" tanya Dika dengan mata yang setengah terpejam karena masih mengantuk.
"Ibu gak bisa tidur, Yah," sahut Fara singkat.
Dika tak menanggapi karena ia sudah tak tahan untuk buang air kecil. Barulah setelah ia kembali, ia menyuruh Fara untuk segera tidur.
Fara mengangguk dan berpura-pura. Setelah memastikan Dika sudah kembali ke alam mimpi, Fara mengambil ponselnya dengan cepat.
"Yah, udah offline," desah Fara kecewa.
"Bu ...?" tanya Dika secara tiba-tiba yang membuat Fara terkejut dan spontan melempar HP-nya sembarang.
"I–iya, Yah," sahut Fara tergagap.
"Tidur!" titah Dika dengan menaikan suaranya satu oktaf.
Satu kata yang meluncur dari mulut Dika yang tak bisa dibantah. Fara mengambil ponselnya yang terjatuh tadi, dan menyimpannya di samping tas Reza. Gegas ia menarik selimut dan memeluk Reza, kemudian mencoba memejamkan mata.
Alunan suara Adzan sudah menggema di seluruh penjuru Ibukota, tanda bahwa hari sudah beranjak pagi. Fara terjaga dari tidurnya dan segera menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.
"Selamat menunaikan salat Subuh." Isi messenger yang dibubuhi emoticon senyum dibelakangnya itu berasal dari Yuda.
Fara yang mendengar ponselnya berbunyi, segera mengambilnya, setelah sebelumnya menyimpan mukena pada tempatnya. Seulas senyum hadir menghiasi wajah Fara yang segar terbasuh air wudhu.
"Sepagi ini udah senyum-senyum sendiri sama HP," tegur Dika yang ternyata sudah bangun saat Fara sedang sholat. Posisinya yang berada di belakang Fara, membuat Fara tak menyadarinya.
Fara kaget bukan main mendengar suara bariton Dika. "Eh, Ayah udah bangun?" Kilah Fara menutupi rasa kagetnya.
"Pesan dari siapa?" tanya Dika dengan tatapan tajam.
"Ibu udah pikirin mateng-mateng, Yah. Ibu juga udah telepon orang rumah, 'kan ada Raisa yang bisa bantuin jaga Arif," tutur Fara meyakinkan suaminya. "Jadi gimana, Yah, boleh engga?" tanya Fara meminta kepastian."Kapan interview-nya? Kalo jadi 'kan kita harus pulang kampung dulu buat anterin Arif, Bu," ujar Dika akhirnya setelah cukup lama terdiam.Fara menatap Arif yang sedang tidur pulas, dielusnya pucuk kepala sang anak, kemudian dicium pipinya yang sudah tak chuby lagi. Ada rasa kasihan yang menghinggapi hatinya. Tapi jika ia tak 'tega', maka kehidupan mereka tidak akan berkembang, begitu menurut Fara. Ia membuang nafas kasar, mencoba melepaskan sesuatu yang menghimpit dadanya."Kapan Ayah bisa anter? Kalo bisa sih, secepatnya," ujar Fara berfikir lagi. "Rita cuma bilang, sesiapnya aku aja, baru ke kantor, gitu," imbuhnya.Dika mengerutkan kening tanda sedang berfikir. "Lusa, bisa kayaknya, Bu." Lalu meminum kopi yang sudah disediakan oleh Fara sejak
Mata Fara mengisyaratkan supaya Raisa membuka pintu. Dengan malas, Raisa beranjak, dan membuka pintu."Kak Dika?" ucap Raisa.Dika yang datang dengan pakaian casual-nya terlihat menenteng sebuah kantong plastik bertuliskan nama salah satu gerai ayam goreng terkemuka yang berlogo orang tua memakai kaca mata dan berdasi pita.Raisa kaget karena yang mengetuk pintu kontrakan adalah Dika. Untungnya Raisa bisa dengan cepat mengendalikan dirinya. "Eh, Kak Dika. Masuk, Kak," ujar Risa mempersilakan kakak iparnya masuk.Setelah masuk, Dika langsung disambut oleh Reza. Apalagi setelah ia melihat ayahnya membawa ayam yang ingin ia makan."Horeee, Ayah bawain ayam. Tante gak usah minta!" ketus Reza sambil menatap Raisa. Ia terkekeh melihat tingkah laku keponakannya.Sebetulnya, Raisa sudah tahu jika Dika akan datang, tapi ia tak menyangka Dika akan datang secepat ini. Itulah sebabnya ia menolak saat Reza mengajaknya pergi keluar. Raisa melirik Fa
"Asiik, beneran ya, Yah?" sahut Reza kegirangan, yang sukses membuat Fara dan Raisa berpandangan, tak percaya atas apa yang mereka dengar.Ketika sambungan telepon terputus, Raisa langsung menoleh kearah Fara. "Beneran, Kak, Kak Dika bakal kesini?" tanya Raisa.Fara mengangkat bahu tanda tak tahu. "Liat aja nanti," celetuknya.Menjelang malam, hawa panas yang sedari siang setia menemani, masih saja terasa. Meskipun baling-baling kipas sudah berputar kencang, tetap saja tak bisa mengusir rasa panas yang menyerang tubuh."Tiap hari panas kayak gini, ya, Sa?" tanya Fara sambil mencepol rambutnya kemudian meraih kipas tangan yang tergeletak di dekat TV."Ya ... gitu deh, Kak!" sahut Raisa menyuapkan cemilan ke mulutnya.Fara terus saja mengibaskan kipas ke wajahnya. "Masih mending di Jakarta ya, berarti," ungkap Fara."Wajarlah, Kak, disini 'kan daerah industri, banyak pabrik, jadi suhunya ya diatas rata-rata," jelas Raisa dengan mulut ya
Sampai suatu hari, Fara diminta datang ke Jakarta, untuk dikenalkan pada keluarga Dika. Fara pun mengutarakan permintaan Dika kepada orang tuanya. Namun Bu Anis, ibu Fara, terlihat keberatan jika Fara pergi ke ibukota."Tenang, Bu, Fara gak bakal Bapak izinin pergi sendiri, apa kata orang nanti? Bapak ikut ke sana buat nemenin Fara, sebagai perwakilan keluarga. Lagian Fara juga belum tahu di mana alamat pastinya," ujar Pak Adi mencoba meyakinkan istrinya.Bu Anis tampak menimbang-nimbang ucapan suaminya. "Kapan rencana kalian berangkat? Nanti Ibu cariin oleh-oleh buat calon besan," wajah Bu Anis berangsur seperti semula."Kata Bang Dika, sih, kalo bisa minggu ini, Bu," ujar Fara."Ya udah kalo gitu, besok Ibu cari oleh-olehnya," sahut Bu Anis sambil berlalu ke dapur.***Hari yang ditunggu-tunggu oleh Fara pun tiba, sedari tadi pagi, Fara dan Pak Adi bersiap ke Jakarta dibantu Bu Anis."Kami berangkat, Bu," pamit Pak Adi pada istrinya
"Kakak diem aja? Gak ngelawan?" cecar Raisa tak habis fikir. "Kasih tahu Bapak aja, ya?" usul Raisa. "Jangan!" sanggah Fara cepat sambil menggeleng. Risa menatap wajah cantik kakaknya yang tak terkikis oleh usia. Sosok yang selalu menolongnya saat ia sedang kesusahan, yang tak pernah marah padanya meskipun Raisa melakukan kesalahan. Raisa tak rela jika kakaknya diperlakukan seperti itu. "Tapi ini udh termasuk KDRT, Kak!" paksa Raisa. "Kakak tahu, tapi ini gak semudah yang kamu bayangin, Sa," ucap Fara. Lalu pikirannya menerawang ke masa enam belas tahun yang lalu, saat mereka masih melakukan Long Distance Relationship. Raisa yang mendesak Fara supaya ia bercerita tentang masa lalunya, diangguki oleh Fara. *** Saat itu, hari sedang hujan lebat, Fara sedang berada di kamar menemani Raisa kecil belajar. Tiba-tiba saja pintu depan diketuk, dan tak lama terdengar suara pintu terbuka. Samar-samar terdengar Pak Adi, Bapak Fara sedang berbincang-binca
"Selagi kamu belum mengakuinya, jangan harap aku bakal lepasin!" bisik Dika yang membuat bulu kuduk Fara berdiri.Fara berfikir sejenak sambil sesekali meringis, karena rupanya Dika tak main-main dengan ucapannya. Akhirnya dengan penuh perhitungan, Fara pun mengangguk.Melihat Fara mengangguk, justru malah membuat Dika murka. Dihempaskannya Fara ke atas kasur dengan kasar, kemudian ia mengacak rambutnya frustasi. Sebenarnya Dika sudah berjaga-jaga jika jawaban Fara menyakiti hatinya. Namun, melihat langsung kenyataan yang ada di depan mata ternyata lebih menyakitkan. "Kenapa, sih, sekarang kamu jadi pembangkang gini?" tanya Dika kesal.Fara yang dihempaskan oleh Dika secara spontan itu memantul dan hampir mengenai Reza. Segera ia duduk lalu mengelus lengannya, yang tentu saja masih menyisakan lukisan tangan Dika yang berwarna merah karena cekalan yang cukup lama lagi kuat.Air mata pun masih saja saling berlomba turun ke pipi Fara yang mulus meskipun usia