Dedaunan yang berguguran di tepi danau tampak suram, angin musim hujan bertiup tajam, menerbangkan poni halus si remaja, memperlihatkan sepasang mata jernih yang serasi dengan langit biru dan awan putih.Di bawah arahan Alyana, Andreas menyelesaikan satu demi satu pose. Pemuda itu makin percaya diri, seluruh tubuhnya seolah-olah memancarkan cahaya.Tanpa terasa, satu jam telah berlalu.Alyana membawa kamera ke meja, bersiap mengimpor foto ke laptop.Orang-orang melihat kamera dan lensa yang tampak baru itu, dan makin tidak yakin di dalam hati. Jangan-jangan dia benar-benar amatiran? Jangan-jangan hari ini sia-sia belaka?"Tuan Muda Andreas, kamu ini bercanda sama kami ya? Cari seorang amatir buat memotret, bisa dapat apa coba?""Ya, kalau dari awal kamu bilang ini cuma main-main, kami nggak bakal capek-capek begini.""...."Selama beberapa waktu, keluhan terdengar dari segala arah.Alyana tidak menggubris mereka dan fokus mengoperasikan laptop.Andreas berjalan ke sampingnya, dengan ga
"Kenapa nggak bisa?"Jawaban Nathan sangat cepat, tanpa ragu sedikit pun.Alyana agak terkejut, bahkan Nathan juga memercayainya?Takut Alyana menyadari sesuatu, Nathan menambahkan, "Waktu terakhir aku menemanimu ke pameran fotografi, aku lihat Vita cukup mengagumimu. Sepertinya pandangannya nggak salah.""Itu cuma teori di atas kertas."Alyana tidak menjelaskan lebih lanjut. Dia menyandarkan diri ke sofa sambil menguap dan berkata dengan suara serak, "Sudahlah, aku sudah janji padanya, coba ya coba saja."Melihat dia tampak lesu, Nathan menyarankan, "Kalau ngantuk, bisa tidur di kamar.""Nggak usah, aku cuma mau merem sebentar."Setelah berkata begitu, Alyana memejamkan matanya, dan tak lama kemudian terlelap.Nathan mengambil selimut dan menyelimutinya. Dia berdiri lama di samping sofa, matanya yang indah itu menunduk, bulu mata hitam pekatnya memantulkan bayangan tipis ....Delapan tahun lalu di malam hujan dan badai, gadis itu basah kuyup, hanya bisa menatap kamera kesayangannya ja
"Aku mau mengambil foto baru.""Silakan," jawab Alyana singkat.Namun, begitu dia menangkap tatapan penuh antusias dari Andreas, sebuah firasat buruk muncul.Andreas terus menatapnya dalam diam, seakan yakin bahwa dia akan bisa menangkap pesan yang tersirat.Dengan perasaan tidak tenang, Alyana akhirnya berbicara, "Jangan bilang kamu ingin aku yang memotretmu?""Betul sekali!"Andreas langsung tersenyum penuh semangat. "Kak Alya, waktu kamu ke studio bersamaku, aku bisa melihat betapa kamu tertarik dengan fotografi. Sekarang aku memberimu kesempatan ini.""Aku akan jadi model. kamu bebas berimajinasi dan mencoba segala konsep. Gimana?""Nggak gimana-mana."Alyana langsung menolak tanpa berpikir panjang."Kalau benar-benar ingin membalikkan keadaan, pilih fotografer yang lebih berkualitas. Dengan dukungan Keluarga Moran, itu sama sekali bukan masalah.""Itu terlalu membosankan!"Semangat Andreas semakin terpancar, matanya penuh antusiasme. "Kalau hasilnya bagus, orang lain pasti akan bi
...Di sisi lain, Alyana sama sekali tidak mengetahui bahwa Keluarga Imano masih berusaha membawa pulangnya. Saat ini, dia hanya duduk nyaman di sofa, mendengarkan Andreas yang terus-menerus mengeluh."Keterlaluan sekali! Jelas-jelas foto yang mereka ambil buruk sekali! Penjualan menurun, kenapa aku yang disalahkan?""Fotografer itu yang nggak becus! Foto yang dia ambil bahkan nggak bisa menangkap sepersepuluh dari ketampananku! Benar-benar payah!""Aku nggak akan pernah mau bekerja sama lagi dengan majalah yang hanya bisa menyalahkan orang lain seperti ini!"" ... "Andreas terus mengomel tanpa henti hingga tenggorokannya terasa kering. Dia segera meneguk air dalam jumlah besar sebelum menoleh ke Alyana dan bertanya, "Kak Alya, aku benar, 'kan?""Ya, ya, semuanya benar."Alyana hanya menjawab asal, sambil menguap.Rasa lelah terus menghantuinya akhir-akhir ini. Seberapa pun lama dia tidur, tidak ada perasaan segar yang menyertainya. Kemungkinan besar, obat yang dia konsumsi menjadi pe
Pada malam itu, Keluarga Imano berkumpul di meja makan.Imelda hanya makan beberapa suap sebelum meletakkan sendoknya dengan pelan. Wajahnya mencerminkan suasana hati yang kelam, menandakan hilangnya nafsu makan.Royan meliriknya, lalu bertanya dengan santai, "Kenapa? Bukankah kamu menghadiri pertemuan hari ini? Kenapa masih nggak senang?""Jangan diungkit lagi."Saat teringat acara tadi, Imelda kembali jengkel. "Kalau aku tahu yang mengadakan acara itu Helen, aku pasti nggak akan datang.""Helen Deris?"Royan meletakkan sendoknya, mengernyit sambil menatap Imelda. "Kenapa dia mengundangmu?" tanyanya."Ayah, jangan tanya lagi." Alina mengingatkan dengan suara pelan."Apa yang terjadi?" Ekspresi Royan berubah serius. "Helen mempermalukan kalian?""Nggak bisa sepenuhnya menyalahkan dia." Imelda menghela napas dengan berat. "Kita sendiri yang kurang teliti dalam mendidik anak. Kalau ada kekurangan, pasti jadi bahan pembicaraan orang.""Royan, tetap saja, aku rasa kita harus membawa Alya p
Selain itu, insiden di pameran fotografi telah menjadi berita viral, menyebabkan banyak teman Helen yang bertanya kepadanya tentang kejadian tersebut.Oleh karena itu, dia memutuskan untuk menggunakan kesempatan ini agar dapat menjelaskan semuanya sekaligus tanpa harus mengulang penjelasan berulang kali."Putraku memang terlalu baik hati ...."Nada mengeluh Helen membuat para nyonya seketika tertegun.Apa maksudnya?Alyana mengganggu Nathan? Bahkan tinggal di rumahnya? Sungguh tidak tahu malu!Setelah menangkap maksud yang tersirat, Stella kembali menunjukkan senyuman yang penuh arti dan berkata, "Ternyata begitu. Nyonya Imelda memang pandai mendidik putri-putrinya.""Dengan putri seperti ini, nggak heran Nyonya Imelda bisa dengan mudah hadir di acara kita. Lagi pula, dengan bakat yang dimilikinya, kalaupun nggak jadi besan dengan Keluarga Moran, dia pasti bisa mendapatkan menantu kaya lainnya.""Betul sekali! Kita harus lebih hati-hati dengan ucapan kita. Siapa tahu, suatu hari nanti