Kabut putih menyelimuti sebuah area di dekat jalan. Hawa dingin menusuk terasa sejak masih jauh. Sebuah danau berkabut itu tampak seperti jejak kaki yang sangat besar. “Dingin sekai hawa di sini, Nyai,“ kata Rara pada Dewi Meru. “Betul! Seperti ada kekuatan hebat yang tersembunyi di dalam danau itu, yang membuat danau membeku dan kabut dingin menyelimuti area ini.“ Dewi Meru berspekulasi sendiri. “Mungkin Teja Darta tahu sesuatu?“ Meru melihat Teja Darta yang sedang menarik tali pengikat Ki Malakasa. “Kalau tidak salah, ini salah satu danau Tapak Bima. Sebuah bekas jejak kaki Sang Bima yang mungkin kebetulan di sini terdapat inti unsur hawa dingin. Air danau ini terlihat normal, tapi benda apa saja bisa langsung membeku saat tercelup kedalamnya.“ Teja Darta menjelaskan sambil mencoba mencelupkan sebagian batang tongkat milik Ki Malakasa. Dalam legenda, Bima adalah salah satu putra Pandawa yang bertubuh raksasa. Dimana dia menginjak tanah yang tidak terlalu keras, dia akan meningga
Kabut yang menyelimuti seluruh area semakin tebal dan tebal. Jarak pandang hanya beberapa langkah saja. Orang yang tidak berhati-hati jika berjalan-jalan di area itu, dia bisa terpeleset ke danau Tapak Bima dan membeku.Rara Dewi duduk dengan tenang di tepi danau, titik di mana auranya paling kuat. Air danau ini memiliki kekuatan yang bisa membekukan apa saja yang tercelup atau masuk ke dalamnya. Di sekelilingnya, pepohonan rimbun dan udara berkabut yang dingin menciptakan atmosfer yang menenangkan. Rara merasakan resonansi energi spiritual dalam dirinya, seolah-olah ada ikatan misterius yang kuat antara dirinya dan energi dalam danau tersebut.Dengan lembut, Rara menyentuh air dan merasakan aliran energi yang memancar dari dalamnya. Setiap helaan napasnya seolah-olah menyatu dengan kekuatan alam yang memenuhi danau itu. Sementara itu, Dewi Meru berdiri di dekatnya, menjaga dan memberikan dukungan moral pada Rara. Dia juga menyerap energi alam, memulihkan diri dan memperkuat jiwanya u
Sebuah cahaya misterius tiba-tiba muncul di udara kosong. Berputar membentuk pusaran energi yang padat di antara pepohonan. Pusaran cahaya bercampur angin bertiup cukup kencang, sehingga daun yang berserakan menjadi berantakan dan menghilang dalam gelapnya malam.Dari pusaran cahaya itu, muncul dua sosok manusia yang gagah berani keluar bersama.Dewi Meru dan Wira Soma kembali ke Gunung Maruta dengan hati yang lega setelah menjalankan misi mereka di Puser Bumi. Begitu mereka tiba, mereka disambut oleh Lonbur dan Blentung, mereka sahabat setia yang selalu bersama mereka dalam setiap petualangan. Saat itu, mereka ditinggalkan di padepokan karena kekuatan mereka belum cukup.Lonbur kini semakin kuat dan bisa berubah menjadi manusia dewasa. Dia juga bisa merubah ukuran tubuhnya menjadi sebesar naga hingga bisa untuk dinaiki oleh satu orang dewasa. Sedangkan Blentung yang dari dulu sudah bisa berubah jadi manusia, kini sosok manusianya adalah manusia dewasa dan kekuatannya semakin kental.
Di dalam goa yang luas, tiga orang terlihat duduk saling berhadapan. Dua diantaranya duduk di lantai yang lebih rendah, menghadap ke arah satunya.Goa itu cukup gelap, hanya sedikit cahaya remang-remang yang menerobos dari arah pintu masuk yang menjadi penerang suasana di dalam goa. Di sudut goa, terlihat ada sebuah bejana air yang cukup besar. Juga ada beberapa kantung kulit yang tergeletak.Sosok tua yang duduk di pelataran tinggi memulai berbicara.“Setelah ini, kalian pergilah ke arah barat daya. Masuklah ke negeri Toya Legi, di sana kalian akan mendapat petunjuk lainnya.“ Ki Santarja menampilkan gambaran samar melayang di udara. Gambaran bercahaya emas itu memperlihatkan sebuah peta menuju kerajaan di sisi barat daya.“Lonbur, kamu gunakanlah wujud besar sehingga Wira bisa naik di atas punggungmu. Supaya perjalanan kalian menjadi lebih cepat. Namun janganlah kalian terbang seperti itu di dalam wilayah kerajaan Toya Legi kalau Kanuraganmu belum bisa untuk terbang sendiri tanpa say
Hari mulai gelap di dekat gerbang perbatasan kerajaan Toya Legi. Lampu-lampu kecil dari potongan kayu damar telah dinyalakan. Dan sebuah api unggun menyala terang di dekat gerbang menghasilkan suara kemretek dari pembakaran kayu.“Malam ini kita akan makan sate rusa muda, Slur! Pasti mantap!“ Seorang penjaga gerbang memanggul rusa kecil yang masih sekarat, dia bersiap untuk memotong rusa itu.“Ah! Rusa sekecil itu! Mana cukup dagingnya buat kita semua, Kang!“ Penjaga yang lain malah protes. “Kenapa tak kamu ambil rusa besar itu saja? Walau kurus, pasti dagingnya lebih banyak daripada anak rusa ini!““Kalau mau, ayo bantu aku persiapkan buat sate saja! Tidak perlu protes! Yang tidak membantu, tidak kebagian!“ Penjaga yang memanggul rusa kecil menyiapkan golok untuk menyembelih rusa yang masih sekarat itu. Dia meletakkannya di tanah dan menghunus goloknya.…“Semoga mereka tidak berniat benar-benar memakan Lonbur yang kecil dan kurus itu,” gumam Wira pada diri sendiri di dekat api unggu
Malam itu, di tepi hutan yang gelap, suasana menjadi semakin tenang, Wira dan Ratih merencanakan langkah mereka selanjutnya. Mereka duduk di sekitar api unggun kecil, sementara Lonbur, yang masih dalam wujud bunglon, bergelayutan di ranting pohon di dekat mereka."Kita harus mencari lebih banyak informasi tentang Ratu Angin Hitam dan sihir yang digunakannya," ujar Ratih dengan penuh tekad. "Mungkin ada petunjuk lain saat kita memasuki desa."Wira mengangguk setuju. "Kita harus siap untuk berhadapan dengan segala macam rintangan dan musuh yang mungkin kita temui di desa. Tidak boleh lengah."Kemretek suara kayu terbakar api unggun, menjadikan suasana lebih tenang malam itu.Saat mereka mengatur rencana, tiba-tiba Lonbur memperlihatkan sayapnya yang mengesankan. "Tidak perlu khawatir, saya pasti membantu," kata Lonbur dengan suara cemprengnya yang khas.Ratih terkesima melihat perubahan mendadak Lonbur. "Kamu benar-benar bisa berubah seperti itu?" Ratih heran.Lonbur mengangguk mantap.
Jalanan terjal menanti di depan mata. Pepohonan rindang memenuhi segala arah membuat suasana tampak gelap karena bayangannya. Hanya suara serangga berderik yang nyaring di kejauhan, menandakan waktu siang menjelang sore.Seorang pemuda tampak lelah berjalan dengan tongkat di tangan. Duduk beristirahat di sebuah batu besar, dia mengeluarkan kantung kulit berisi air lalu meminumnya beberapa tegukan. Air pun habis.“Sudah kantung ke-5 air yang kuhabiskan. Aku belum menemukan goa itu.“ Pemuda itu bergumam. Mengingat betapa jauh langkah yang telah dia lewati.Melanjutkan langkah, pemuda itu mendengar suara air gemericik. Bermaksud memenuhi kembali kantung air yang dibawanya, dia bergerak ke arah sumber air itu.Sebuah aliran air kecil mengalir di sela-sela batu. Airnya begitu jernih dan segar.Pemuda yang memakai ikat kepala itu segera mengambil kelima kantung kulit miliknya, lalu mengisi penuh semuanya. Kemudian dia minum secara langsung dengan tangan sampai puas.Setelah semua kantung pe
Pukulan tangan Wira yang mengandung kekuatan angin mengenai dada kakek tua. Tak bergeming sedikitpun, kakek hanya tersenyum sinis.Dengan lambaian tangan kakek tua sedikit saja, Wira terlempar sampai keluar goa. Dia langsung bangkit kembali masuk dan menyerang kakek tua.Setelah beberapa kali serangan dan Wira terus terlempar keluar goa. Di serangan terakhirnya, kekuatan semakin meningkat ke mendekati alam diatasnya.Namun kali ini, tinju angin wira masih ditahan dan ditangkap oleh kakek tua. Fluktuasi energi terpecah ke belakang kakek dan menjatuhkan beberapa batu stalaktit.Seketika aura Wira turun drastis hingga terkapar lemas.…Tak sadar entah berapa lama Wira tak sadarkan diri, dia akhirnya membuka mata.Dia duduk di batu datar, tempat yang sebelumnya ditempati oleh Garuda Emas. Auranya semakin murni dan stabil.“Akhirnya kamu bangun juga, bocah bau!“ seru kakek tua.Melihat sekeliling, Wira langsung kepikiran sahabatnya yang terakhir dia ingat sahabatnya tertusuk bulu emas di p