"Halo, Nuri, apa ponselku tertinggal di kamar?""Iya, Mas, ini ada di atas meja kerja.""Ya ampun, untung saja. Aku kirain jatuh di jalan tadi. Ya sudah, simpanin dulu saja. Kalau ada telepon dari yang kontak depannya KB, angkat saja ya.""Siap, Mas. Apa itu KB?""Kebon binatang he he.... " Nuri ikut tertawa, dalam hitungan detik kemudian, Dika memutus panggilannya. Baru kali ini suaminya mau tertawa dan sedikit bercanda dengannya. Tiga minggu menikah, ada banyak hal yang masih menjadi PR-nya sebagai istri. Dika terlalu banyak misteri dan tidak bisa ditebak. Pria itu memang belum menyentuhnya dan tidak mencintainya, tetapi Dika cukup brtanggung jawab perihal masalah tanggung jawab lahir. Hal itulah yang membuat dirinya masih bertahan, walau perkataan suaminya terkadang berada dalam mode level iblis. Ia berharap, suatu saat Dika berubah dan dapat menjalani kehidupan pernikahan dengannya sebagaimana mestinya. Tika PembantuSebuah pesan masuk dari Tika ke ponsel suaminya. Kontak Tika y
"Terima kasih atas bantuannya, Nek." Nuri mencium punggung tangan Nenek Gayung yang beraroma parfum mahal. Bulgari. Ia hapal aroma itu, karena Dika pernah mau membelikan untuknya, tetapi ia tolak karena harganya satu juta lima ratus. Tentu rasanya sangat mubazir untuk parfum saja satu juta lima ratus, padahal biasanya ia memakain parfum lima belas ribuan yang botolnya polos tanpa merek. Jika parfumnya saja Bulgari, apakah pakaian dalam Nenek Gayung adalah Louis Vuitton?"Nek, maaf, apa upah urut nya cukup?" tanya Nuri yang merasa tidak enak hati. Ia memasukkan uang dua ratus ribu dalam amplop tersebut. Tentu saja kurang dan kenapa Udin harus memanggil tukang urut super unik seperti Nenek Gayung? "Cukup, yang penting uang asli, bukan uang palsu. Itu, pembantu kamu jangan kerja berat dulu ya. Menggoda majikan itu adalah pekerjaan berat, karena majikannya gak naksir dia, ha ha... kamu gak perlu khawatir. Suami kamu tidak akan tergoda dengan wanita yang memiliki pantat penggorengam sepe
"Mbak Nuri gak kursus?" tanya Nura saat mereka tengah menikmati makan siang dengan menu urap sayuran, ikan asin dan telur balado buatan Bu Fatma. "Libur hari ini, Nura. Besok baru masuk. Aku ijin sama Mas Dika kemarin, katanya boleh." Nuri tersenyum senang. "Berarti dari kemarin mau ke sini gak boleh?" balas Nura dengan tatapan jengah. "Nura, yang penting Nuri sudah di sini hari ini. Sehat dan keliatan segar. Kalau wanita perawan ting-ting setelah beberapa hari menikah, bahkan beberapa minggu, aura cantik dan segarnya masih terlihat. Ibu udah gak sabar mau punya cucu dari kamu Nuri." Nuri tersenyum. Ada yang menghempas dadanya saat ibunya mengatakan cucu darinya. Cucu? Entahlah, Bu, mungkin bukan dari Dika nanti cucunya atau entah berapa tahun lagi saya punya bayi. Tentu saja hal itu hanya ia ucapkan dalam hati. Tidak mungkin ia lontarkan begitu jelas pada ibu dan adiknya, bisa-bisa mereka marah. Ia juga takkan mungkin sanggup mengatakan pada Nura, bahwa suaminya sangat mencintai
Nuri baru masuk ke kamar pada pukul sepuluh malam. Ia baru saja mencuci piring, membereskan dapur, menyapu, serta mengepel rumah dua lantai suaminya. Kenapa ia melakukan semua itu malam hari? Agar esok hari, ia tidak terlalu repot dan bisa langsung memasak. Entah makanannya nanti dimaka suaminya atau tidak, yang jelas ia harus melakukan semua tugasnya sebagai istri. Barulah ia tenang pergi kursus setelah semua urusan rumah tangga beres. "Mas belum tidur?" tanya Nuri. "Belum, saya mau bicara sesuatu sama kamu." Nuri menelan ludahnya. Apakah suaminya akan menceraikannya? "Saya bersih-bersih dan sikat gigi dulu, Mas." Nuri pun masuk ke kamar mandi untuk menenangkan detak jantung yang tidak beraturan. Wajah serius Dika membuatnya punya firasat tidak baik atas hal yang ingin dibicarakan oleh suaminya. Tidak ingin suaminya menunggu lama, Nuri pun bergegas menyikat gigi, mencuci muka, serta mengganti baju piyama bagian atasnya karena tadi sudah kebasahan saat mencuci piring. Suaminya mas
"Ya ampun, kain putih untuk ujian hari ini tertinggal!" Nuri menepuk jidatnya karena sudah teledor. "Wah, punya Luna hanya satu lembar, Tan, seukuran tugas yang diminta. Kita putar balik aja gak papa.""Oke, kita putar balik saja, belum jauh kok, masih dalam komplek rumah kamu." Daniel tersenyum pada Nuri dari spion depan. "Maaf ya, Mas Daniel, Luna, saya jadi merepotkan." Nuri benar-benar tidak enak hati pada Luna dan papanya karena harus putar balik, kembali ke rumah. Mobil pun berhenti persis di depan rumah Nuri. Wanita itu turun dengan tergesa-gesa. Ada Dika yang ternyata sedang memanaskan motor, mau berangkat bekerja. "Kenapa?" tanya Dika singkat. "Ada yang ketinggalan, Mas." Nuri berlari naik ke kamar praktek. Kain putih itu sudah ia siapkan di waras meja kerjanya, tetapi malah ia lupa membawanya. Tidak lama kemudian, Nuri sudah kembali memakai separuh dengan tergesa di depan pintu rumah "Kamu dijemput siapa?" tanya Dika yang saat ini sudah duduk di atas motor. "Oh, itu t
Nuri mencebik saat membaca pesan dari Dika, tentu saja tanpa niat membalasnya. Ia menyimpan kembali ponsel ke dalam saku celana kulitnya, tersenyum pada Luna yang saat ini sedang menikmati makan siang buatannya. "Keasinan gak, Luna?" tanya Nuri. Luna tak langsung menjawab, gadis itu masih adik terus mengunyah makanan Nuri hingga tandas tak bersisa. "Sempurna, Tante dan mulai besok, setiap ada jadwal kursus, Luna catering sama Tante Nuri aja. Sekalian buat makan sore Luna dan papa ya, Tante. Papa pasti setuju. Masalah bayaran, nanti bisa cincai. Ya, mau ya?" wajah Luna memelas penuh harap."Saya gak pandai masak, Luna. Kalau hari ini rasanya pas, itu kebetulan saja." Nuri tidak ingin GR dengan pujian Luna tetapi ia cukup lega karena masakannya pagi ini tidak keasinan. "Pokoknya, besok mau makan masakan Tante!" Nuri menghela napas. Ingin bersikeras menolak, tetapi tidak tega. Apalagi Luna sampai menjilati jari-jemarinya untuk menghabiskan sisa makanan darinya."Oke, tapi kalau besok
"Buang, Nuri!""Tidak mau, Mas Dika!" Nuri melebarkan bola matanya, lalu bergerak turun dari ranjang. Wanita itu mengambil bunga mawar yang sudah rapi ia tata di atas meja rias, lalu ia bawa keluar kamar. Satu-satunya tempat yang paling aman ia menaruh bunga itu adalah di kamar kerjanya. Dika hanya bisa berdecak kesal melihat Nuri tergolong keluar dari kamar. "Kamu baik-baik di sini dulu ya. Pak Bos lagi datang bulan, jadi labil." Nuri bicara pada bunga mawar yang sudah berada di atas meja kerjanya. Nuri kembali mengunci pintu kamar kerja itu, lalu bergegas ke dapur untuk menghangatkan sayur yang pagi tadi ia masak. Lalu ia juga menyiapkan teh untuk suaminya. Meskipun Dika bersikap semaunya, tetapi sebagai istri, ia harus tetap melayani. "Mas mau langsung makan atau mau mandi dulu?" tanya Nuri sambil membawakan teh ke dalam kamar. "Di mana kamu taruh bunga itu? Sudah kamu buangkan?" hanya Dika lagi. "Saya simpan. Sayang bunga mahal kalau dibuang. Apalagi yang ngasihnya tulus. Suda
"Oke, kalau Mas gak mau jawab, berarti saya yang harus mengalah di sini." Nuri berlari naik ke kamarnya. Ia mengunci pintu agar suaminya tidak bisa masuk ke dalam kamar. Segera ia berkemas memasukkan pakaian lamanya, bukan pakaian yang dibelikan oleh suaminya atau pakaian yang ia beli dengan uang suaminya. Perhiasan, buku nikah, buku tabungan, dan uang simpanan ia bawa. Tidak ada air mata yang tumpah, karena hatinya seakan mati untuk merasakan kesedihan. Dika sudah membuat semua cinta dalam dirinya pergi begitu saja. Setelah semua yang ia perlukan masuk ke dalam tas, Nuri melemparkan tasnya dari balkon kamar. Dengan gagah, Nuri ikut lompat dari balkon. Jaman di kampung, ia senang memanjat pohon tinggi, lalu melompat dari atas pohon tersebut. Ia juga suka lompat dari jembatan, lalu tercebur ke sungai. Jadi, tidak masalah baginya untuk lompat dari balkon lantai dua rumah suaminya, karena ia sudah terbiasa. Hanya luka lecet pada telapak tangan saja.Nuri menunggu ojek online di dekat po