Setelah hening beberapa saat, Bunda Aminah akhirnya membuka suara. Suaranya lembut namun mengandung tekanan makna yang dalam.“Rama… apakah kamu tulus mencintai Cinta?”Rama mendongak perlahan, menatap mata teduh Bunda Aminah. Ia tidak langsung menjawab. Tapi kemudian, dengan suara bergetar ia balik bertanya, “Apa yang selama ini aku lakukan belum cukup membuktikan ketulusan cintaku, Bunda?”Bunda Aminah tidak langsung menjawab. Matanya menatap jauh, seolah menelusuri kembali kenangan lama yang perlahan kembali muncul di permukaan.Perempuan paruh baya itu teringat pada masa lalu. Masa di mana Rama dan Cinta masih mengenakan seragam putih abu-abu.Sudah biasa Bunda Aminah melihat Cinta pulang sekolah dengan wajah sedihnya, karena anak-anak lain mengejeknya. Anak buangan, anak tak diinginkan, anak yatim-piatu yang katanya tidak pantas disayangi.Tapi baru kali ini ada anak laki-laki yang mengantarnya pulang. Yang membuatnya terkejut anak itu adalah Rama, putra dari salah satu donator d
Saat Rama merasa kehilangan arah atas semua permasalahan hidup yang sedang dia hadapi saat ini, tempat ini menjadi harapan terakhirnya untuk bisa mendapatkan hati Cinta kembali.Di tengah senja yang mulai meredup, Rama menghentikan mobilnya di depan gerbang panti asuhan yang menjadi tempat Cinta tumbuh. Panti itu berdiri kokoh meski dengan fasilitas terbatas, tapi suasananya selalu terasa hangat.Pintu gerbang dibuka oleh seorang anak laki-laki kecil yang langsung tersenyum cerah begitu mengenali Rama.“Om Rama datang!” seru bocah itu riang.Beberapa anak lain menyambut dengan antusias, tapi Rama hanya mampu mengangguk dan membalas dengan senyuman yang sangat dipaksakan.Bunda Aminah, pemilik sekaligus pengasuh panti yang penuh welas asih, segera keluar dari ruang utama menyambut kedatangan Rama. Wajahnya langsung menyiratkan kekhawatiran ketika melihat kondisi Rama yang berbeda dari biasanya. Biasanya, pria itu datang dengan semangat dan senyum tulus. Tapi hari ini, auranya begitu be
Lilian mengangguk pelan, tatap matanya tak lepas dari Kevin. Kevin memejamkan mata, menahan kepalanya yang serasa hendak pecah. Kejutan demi kejutan menghampirinya. Setelah mendengar kabar kehamilan Maira, kini dia harus menerima kenyataan jika Cinta dan Chiara kini bersama Priambodo. “Mengapa semua jadi berantakan seperti ini?” Lilian menggelengkan kepala, dia pun merasakan kebingungan yang sama. “Jika benar Priambodo sudah tahu siapa sebenarnya Cinta… itu berarti bahaya besar, Kevin. Ini adalah situasi yang selama ini kita hindari, sebelum kita bisa menguasai harta Priambodo.” Kevin bangkit dari duduknya, berjalan ke jendela dan menatap ke luar, meski pikirannya tidak benar-benar melihat apa pun. “Kalau Priambodo tahu… dia bisa ungkap semuanya, Kev. Dari awal, termasuk bagaimana kita menyembunyikan keberadaan Cinta selama bertahun-tahun,” ucap Lilian lagi, kali ini suaranya sedikit bergetar. “Aku tak yakin dia akan memaafkan itu. Priambodo pasti curiga mengapa kita menyembuny
Untuk beberapa detik, Kevin hanya diam. Tak ada senyum, tak ada reaksi. Hanya tatap mata yang kosong, seolah otaknya belum bisa memproses informasi itu. “Aku... tidak bercanda, Kevin. Aku sudah periksa. Dan hasilnya positif,” ucap Maira dengan suara gemetar. Kevin mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu menatap langit-langit. Dunia seperti berputar di kepalanya. Pilihan-pilihan yang dia pikir bisa dikendalikan, kini mulai menghantam balik satu per satu. “Cinta dan Priambodo tidak boleh tahu soal ini…” gumam Kevin pelan. “Tapi ini anakmu, Kevin!” bentak Maira. “Kamu tidak bisa terus mempermainkan aku kayak gini.” Kevin memejamkan matanya. Untuk pertama kalinya, pria itu terlihat terpojok. Dalam kebingungan dan kecemasan yang memuncak, Kevin berjalan mondar-mandir di kamar, menarik napas dalam-dalam. Lalu ia berhenti di hadapan Maira yang masih berdiri kaku dengan jubah tidur yang setengah terbuka. Biasanya hal ini akan membuat Kevin kembali bergairah, tapi kali ini menatapn
Dengan lembut, Priambodo duduk di samping putrinya.“Cinta… mencintai seseorang itu tidak pernah salah,” katanya perlahan, “tapi melupakan diri sendiri karena cinta, itu yang harus kamu hindari.”Cinta memejamkan mata, menahan tangis yang hampir pecah lagi. Luka di hatinya memang dalam, tapi cinta masih belum mati dan mungkin tidak akn pernah mati. Dan itulah yang paling menyakitkan.Priambodo menatap wajah putrinya yang penuh luka. Suaranya tenang, tapi tegas, seakan ingin menanamkan kebenaran ke dalam hati Cinta.“Cinta… ” gumam Priambodo pelan. “Sebuah hubungan, apa pun itu, entah itu pertemanan, persahabatan, bisnis, bahkan rumah tangga, semua itu arus dibangun di atas kejujuran. Sekali fondasinya retak oleh kebohongan, semuanya bisa runtuh kapan saja.”Cinta memejamkan mata. Air mata kembali mengalir tanpa bisa ia tahan.“Lalu… bagaimana dengan rumah tanggamu dengan Rama?”Pertanyaan yang membuat hati Cinta tertohok.Dalam benaknya, potongan-potongan kenangan datang menghantam ta
Di dalam rumah yang megah dan tenang itu, suara tawa Chiara yang begitu riang baru saja menghilang, berganti dengan suara rengekan khas anak kecil yang memaksa. “Ma, ayo temuin Papa. Dia pasti kangen sama kita, Ma. Masa Papa jauh-jauh ke sini, Mama nggak mau ketemu?” Cinta menunduk, tidak langsung memberi jawaban. Chiara mengguncang pelan tangan ibunya, membuat Cinta akhirnya menatap wajah mungil itu, wajah putrinya yang selalu menjadi penyemangat hidupnya. Wajah yang pernah hampir dilenyapkan oleh kesalahan fatal yang dilakukan oleh Rama. Dengan perlahan, Cinta menarik Chiara ke dalam pelukannya. Dirangkulnya putrinya erat-erat, seolah memeluk kenyataan pahit yang sulit untuk disampaikan. “Sayang…” bisik Cinta dengan suara bergetar, “Mama belum bisa sekarang.” Chiara mendongak. “Kenapa Ma? Chiara kasihan sama Papa sendirian di apartemen, pasti kesepian. Padahal Papa baru pulang dari Singapura. Chiara pikir Papa bakal diajak masuk, terus tinggal di sini bareng kita, tapi malah di