Anak mengalami kecelakaan, suami selingkuh, dijual sahabat, dijadikan budak nafsu mantan kekasih, jika tidak mengingat ada anak yang sangat membutuhkannya, Cinta ingin mati saja. "Aku yang telah menjatuhkan harga dirimu, maka izinkan aku yang memungutnya kembali untuk menjadikanmu wanita terhormat." - Ramaditya Cakra Narendra -
Lihat lebih banyakCinta berlari menyusuri koridor rumah sakit. Napasnya tersengal. Air mata mengalir, bercampur keringat di wajahnya yang pucat. Pakaiannya berantakan, penuh noda darah yang sudah mulai mengering. Darah putrinya, bau anyirnya menusuk hidung, bercampur dengan aroma antiseptik rumah sakit.
“Bertahanlah, Nak. Bertahanlah….” Suara Cinta terdengar parau, nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk rumah sakit. Di atas brankar yang melaju kencang, tubuh kecil Chiara tergolek tak berdaya. Tadi saat keluar dari sekolah, tiba-tiba ada mobil yang melaju dengan kencang menghempaskan tubuh mungilnya. Darah mengalir dari keningnya, membasahi rambut dan wajahnya yang dulu begitu cantik. Sekarang, wajah Chiara hampir tak bisa dikenali. Luka-luka di dahinya menganga. Kelopak matanya tertutup, terlalu lemah untuk terbuka. Lutut Cinta gemetar, kakinya hampir tidak kuat menopang tubuh, tetapi dia terus mengikuti brankar tersebut. Brankar berhenti di depan pintu ruang gawat darurat. Para dokter dan perawat bergerak cepat. Cinta ingin ikut masuk, ingin selalu berada di samping putrinya. Namun, seorang perawat menghadangnya di depan pintu. “Ibu, mohon tunggu di luar.” Cinta menggeleng. Matanya penuh ketakutan. “Tolong, izinkan saya masuk. Saya ibunya!” Suara Cinta bergetar, terdengar sangat nelangsa. “Ibu, mohon bekerja sama. Kami harus segera menangani anak Anda,” ucap perawat itu dengan tegas, tanpa memberi ruang untuk berdebat. Pintu tertutup di depan wajahnya. Tangis Cinta pecah, membayangkan putrinya yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Cinta tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, tidak peduli dengan suara langkah kaki yang berlalu-lalang. Hanya satu yang ada di pikirannya, keselamatan Chiara. Tangannya gemetar saat merogoh ponsel di saku. Cinta menekan nomor Kevin, suaminya. Tidak ada jawaban. Tidak ingin pasrah begitu saja, Cinta kembali mencoba, tetapi tetap tidak diangkat. “Angkat, Kevin. Angkat ….” Suara Cinta tidak jelas karena dibarengi dengan isak tangis. Matanya nanar menatap layar ponsel. Cinta meremas rambutnya, seakan itu bisa meredakan rasa panik yang menyesakkan dadanya. Dering berulang, tapi tetap tak ada sahutan. Lalu terdengar nada sibuk. Cinta menggigit bibirnya hingga berdarah. Dia ingin berteriak. Ingin marah. Tapi yang tersisa hanya rasa putus asa. Berulang kali Cinta memperhatikan arlojinya. Ini sudah dua puluh menit dan belum ada kabar tentang putrinya. Pintu terbuka, langkah kaki cepat menghampirinya. Seorang dokter dengan jas putih berdiri di hadapannya. Wajahnya terlihat sangat serius, dan sorot matanya penuh beban. “Ibu dari Anak Chiara?” Cinta mengangguk cepat. Dadanya naik turun menahan napas yang tersengal. Tatap matanya terlihat penuh harap akan mendengar kabar baik di tengah kegundahan hatinya. Tetapi kenyataan tak seperti yang diharapkan. "Jadi seperti ini, Anak Chiara mengalami luka serius di kepala dan kakinya, kami harus segera melakukan tindakan operasi." "Operasi?" Cinta membeku. Dia tidak menyangka jika luka putrinya separah ini. "Kalau begitu lakukan apa saja, Dok. Yang terpenting anak saya selamat." "Ada masalah lain, Bu. Pasien sudah kehilangan banyak darah dan memerlukan transfusi. Kami butuh donor segera.” Cinta membatu. Matanya berkedip cepat, mencoba memahami kata-kata dokter itu. Kepalanya berdenyut kala menyadari satu hal yang sangat sulit. Ingatan menghantam Cinta. Sekitar dua tahun lalu, Chiara pernah mengalami demam berdarah yang parah dan membutuhkan transfusi darah segera. Saat itu, Kevin tanpa ragu menjadi pendonor. Dia satu-satunya yang memiliki golongan darah yang sama. Darah Kevin menyelamatkan Chiara kala itu. “Golongan darah yang sesuai dengan Anak Chiara, stok di rumah sakit kosong. Kami sudah menghubungi PMI juga tidak punya persediaan saat ini.” Kalimat itu seperti tamparan untuk Cinta. Terlebih lagi dirinya memiliki golongan darah yang berbeda dengan anaknya. Dia menatap dokter tersebut. "Dok, tolong selamatkan anak saya. Saya ... Saya akan mencari pendonor yang sesuai." Begitu dokter pergi, Cinta berusaha menghubungi Kevin. Kembali hanya dering yang dia dengar, tanpa ada jawaban. Hanya Kevin yang bisa menyelamatkan Chiara, tetapi sampai saat ini dia tidak bisa dihubungi. "Kevin ... angkat telponnya. Chiara membutuhkanmu." Suara Cinta bergetar, dipenuhi rasa panik. Berulang kali Cinta mencoba menghubungi nomor suaminya. Tetap tidak ada jawaban, hingga membuatnya semakin putus asa. Bahkan saat ini nomor suaminya justru menjadi tidak aktif. Dengan sisa tenaga yang ada, Cinta berlari keluar dari rumah sakit. Dia bertekad untuk menemui Kevin langsung di kantornya. Tidak ada waktu untuk menunggu. Tidak ada waktu untuk berpikir. Pada saat putrinya sedang bertaruh nyawa, Kevin entah di mana. Cinta tetap berpikir positif, mungkin saat ini Kevin sedang ada rapat penting dan tidak bisa diganggu, sehingga ponsel dia matikan. Setelah turun dari taksi, Cinta melangkah ke meja resepsionis untuk memastikan jika Kevin sedang berada di tempat. Setelah mendapat informasi yang pasti tentang keberadaan suaminya, Cinta semakin tidak sabar hingga setengah berlari agar bisa segera tiba di ruang kerja suaminya. Karena panik dan terburu-buru Cinta membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Tetapi tubuhnya lemah seketika, kala matanya disuguhi pemandangan yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Kevin berdiri di belakang Maira, sekretarisnya. Perempuan dengan pakaian yang berantakan itu sedang membungkukkan tubuhnya dengan kedua tangan yang bertopang pada meja kerja yang besar. Gerakan tubuh Kevin yang diiringi desah dan erangan itu tiba-tiba berhenti saat pintu terbuka. Kevin tampak gusar menyesali keteledorannya yang lupa mengunci pintu. Tetapi semua terlambat, Cinta sudah melihatnya. “Kevin ….” Lirih suara Cinta, hampir tidak terdengar.Danu Lukito menghembuskan napas kasar, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Pria muda di hadapannya ternyata cukup bernyali menghadapinya.Danu Lukito mengambil sebuah map dari meja di sampingnya. Lalu ia melemparkannya ke meja di depan Dion dan Evita.“Kau kira aku tidak tahu siapa kamu.”Dion menatap map itu dengan dahi mengernyit. Untuk pertama kalinya sejak memasuki rumah keluarga Lukito, Dion melepas genggaman tangannya pada Evita, lalu meraih map di hadapannya.Saat dibuka, isi map itu membuatnya terdiam. Riwayat hidupnya, pendidikan, pekerjaan, latar belakang keluarga. Bahkan catatan keuangan. Semuanya ada. Lengkap dan mendetail. Ia tidak menyangka begitu mudah Danu Lukito mengorek masa lalunya, bahkan dalam waktu sesingkat itu.“Saya tahu siapa kamu. Kamu pikir kamu pantas masuk ke keluarga ini hanya karena kamu berhasil menghamili putriku?”Danu Lukito mencondongkan tubuhnya ke depan, mata tajamnya menatap langsung ke wajah Dion. Suaranya kini lebih pelan, namun jauh le
Rama duduk bersandar di kepala ranjang, layar ponsel di tangannya menyala, namun pikirannya kosong. Ucapan mamanya siang tadi masih bergema, mengusik tenang pikirannya. Tentang Evita. Tentang kemungkinan sesuatu yang buruk terjadi. Dan yang tak bisa ia akui bahkan pada dirinya sendiri tentang perasaan bersalah yang tiba-tiba menghinggapi.Di depan meja rias, Cinta tengah menyisir rambut panjangnya yang sudah dikeringkan. Dengan teliti ia menyemprotkan toner wajah, lalu mengoleskan serum bening dengan gerakan memutar di pipi dan dagu. Setelah itu, krim malam diratakan dengan ujung jari hingga meresap sempurna ke kulit. Ia membuka botol parfum kecil, menyemprotkan sedikit di belakang telinga dan pergelangan tangan. Aroma manis floral memenuhi ruangan.Melihat suaminya yang termenung dengan mata tak fokus, Cinta berdiri dan menghampiri ranjang. Rambutnya yang tergerai lembut menyentuh bahunya. Ia duduk di sisi Rama dan menyandarkan kepalanya ringan di bahunya.“Ada masalah di kantor?” ta
Dion menatap Evita dengan tatapan menenangkan, tangannya menggenggam jemari gadis itu dengan hangat. “Kita tidak bisa lari terus, Vit… Aku harus hadapi ini. Aku tidak akan mmbiarkan kamu sendirian.”Evita menggeleng keras, air matanya kembali mengalir. “Kamu nggak tahu mereka seperti apa, Dion. Mereka bisa kasar, mereka bisa….”“Aku tahu, Vit….” Sudah lama menjadi orang kepercaaan Rama, Dion tahu bagaimana cara orang-orang berduit menyelesaikan masalah tanpa bersentuhan dengan hukum.“Tapi ini tanggung jawabku. Kamu dan anak kita adalah tanggung jawabku. Aku yang membuatmu berada di posisi ini. Jadi aku yang harus berdiri di depan.”Dengan langkah mantap dan tarikan napas panjang, Dion menuju pintu. Gedoran di baliknya semakin keras, semakin memaksa. Dion membuka kunci, memutar gagang pintu, dan membuka perlahan.Di hadapannya berdiri tiga pria berbadan tegap, mengenakan pakaian serba hitam. Sorot mata mereka tajam, ekspresi wajah dingin dan penuh wibawa. Salah satu dari mereka melang
Danu Lukito berdiri di balik tirai ruang kerjanya, matanya mengawasi halaman depan dengan tajam. Ketika dilihatnya Evita keluar rumah dengan langkah tergesa, wajah tertunduk dan tanpa menoleh ke belakang, hatinya makin yakin, putrinya akan menemui pria yang telah menghamilinya.Danu sangat mengenal Evita yang keras kepala, dan jika dia sudah mengambil keputusan, tidak ada yang bisa menghentikannya, kecuali dengan pengawasan.Dengan gerak cepat, Danu mengambil ponselnya dan menekan nomor yang sudah tersimpan lama. Suaranya tenang tapi tegas.“Ikuti Evita. Jangan terlalu dekat, tapi pastikan ke mana dia pergi. Aku ingin tahu siapa pria itu.”Sementara itu, di apartemen Dion, suasana jauh dari tenang. Dion mondar-mandir di ruang tengah, rambutnya berantakan, matanya gelisah. Ucapan Widya siang tadi terus berputar di kepalanya, seperti gema yang tak bisa dihentikan.Dalam hatinya terus dipenuhi pertanyaan. Bukan karena perubahan sikap Evita yang dia tahu itu tidak benar, tapi kekhawatiran
Evita duduk tertunduk di ujung sofa ruang keluarga, wajahnya tertutup kedua telapak tangan. Isak tangisnya pecah tanpa bisa ditahan, bahunya bergetar hebat. Air matanya membasahi jari-jarinya, membasahi hati yang sejak lama sudah retak oleh ketakutan dan beban rahasia yang ia simpan sendiri.Di seberangnya, Danu Lukito berdiri dengan rahang mengeras, dadanya naik turun menahan emosi. Pria itu, yang selama ini menjadi ayah bijak dan tenang, kini tak kuasa menahan amarah dan rasa kecewa. Suaranya lantang, mengguncang ruangan.“Siapa, Evita? Siapa ayah dari anak itu?”Evita mengangkat wajahnya perlahan. Matanya sembab, suaranya tercekat.Belum sempat dia menjawab, Sandra menyambar lebih dulu, nadanya tajam, menusuk tanpa ampun.“Apa itu anak Rama? Dan sekarang dia mau lepas tanggung jawab begitu saja?”Evita menggeleng, kali ini dengan tegas. Tangisnya belum berhenti, tapi suaranya jelas.“Bukan, Ma. Ini bukan anak Rama.”Sandra menyipitkan mata, lalu tersenyum miring dengan nada mencibi
Setelah pertemuan penuh tekanan dengan Sandra, Widya tidak langsung kembali ke rumah. Ada satu hal yang belum selesai. Sesuatu yang selama ini dia tunda karena masih menaruh harapan pada keputusan anaknya sendiri. Tapi kini, semuanya sudah kelewat batas. Widya tahu, dia harus mengambil langkah lebih tegas.Mobilnya berhenti di depan Gedung Narendra Group yang megah. Langkah Widya tegas dan cepat, matanya tajam, menyimpan kekecewaan yang tak bisa lagi disembunyikan. Tanpa mengetuk, dia langsung mendorong pintu ruang kerja Rama.Rama, yang sedang berdiskusi serius dengan Dion, tersentak melihat kehadiran ibunya. Alisnya terangkat, matanya menatap heran.Widya berdiri tegak di depan pintu, sorot matanya tidak main-main. “Ada hal penting yang harus Mama bicarakan denganmu. Sekarang.”Dion menatap Widya sejenak, lalu bangkit dari duduknya. Dengan posisi tubuh sedikit menunduk, Dion memberi ruang kepada Widya.Dengan gestur dan nada yang sopan, Dion mempersilahkan Widya. “Silakan duduk, Bu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen