Priambodo terhenti sejenak. Senyumnya makin lebar. Sementara wajah Cinta berubah antara bingung dan terperanjat. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Panggilan spontan dari Chiara membuat suasana yang tegang berubah canggung. Priambodo mengangkat kedua tangannya, seolah menyerah, lalu tertawa pelan. “Opa Genit, ya?” ujar Priambodo dengan nada menggoda. “Kenapa dibilang genit, anak cantik?” Chiara menatapnya dengan serius, lalu menjawab polos, “Karena waktu itu Opa suka senyum-senyum sendiri waktu lihat Mama…” Cinta langsung merengkuh tubuh Chiara dalam pelukannya. Berharap apa yang dia lakukan tidak menimbulkan amarah pada pria di hadapannya. Sementara itu Priambodo justru tertawa terbahak, lalu menunduk dan berlutut agar sejajar dengan Chiara. “Itu karena Mama kamu memang cantik,” ucap Priambodo dengan lembut, sambil menatap Cinta dengan tatap mata penuh binar bahagia. Cinta membeku, semakin dijejali rasa takut. Masih lekat dalam ingatan Cinta saat Priambodo berusaha
Cinta melangkah perlahan menyusuri tiap sudut rumah yang terasa asing namun begitu nyaman itu. Rumah itu begitu megah, penuh detail klasik, namun tak ada satu pun petunjuk siapa pemiliknya. Tak ada foto keluarga, tak ada pajangan pribadi, hanya lukisan-lukisan bergaya naturalis hutan, danau, gunung bersalju, dan padang bunga liar. Semua tampak indah, tapi juga membuatnya semakin resah. Semuanya terlalu bersih, terlalu sempurna, tapi misterius.Cinta mulai merasa panik. "Rumah siapa ini? Bagaimana aku bisa di sini? Tapi… kenapa aku tidak bisa mengingat apa pun, bagaimana aku sampai di sini?" batin Cinta gemetar dipenuhi ketakutan.Tiba-tiba, terdengar suara lembut dari arah belakang."Non Cinta..."Cinta sontak berbalik, sedikit terkejut. Di hadapannya berdiri seorang perempuan paruh baya, mengenakan seragam rapi berwarna krem dan kerudung sederhana. Wajahnya teduh, senyumnya tulus, dan suaranya terdengar sopan serta penuh hormat."Non Cinta panggil saja Bi Siti, saya pembantu di ruma
Rama tersenyum kecil."Pasti mereka sedang menyiapkan kejutan." Piker Rama sambil melangkah masuk lebih dalam.Namun semakin lama suasana sunyi itu justru terasa semakin mencekam. Ia menyalakan lampu ruang tamu. Seketika cahaya menyebar ke seluruh penjuru ruangan menampakkan ruang yang rapi, tapi terlalu rapi. Seperti tidak ada yang tinggal di sana.Rama meletakkan bunga dan makanan di meja, lalu membuka kamar tidur.Kosong.Kamar Chiara?Sepi.Langkah Rama mulai tak tenang. Napasnya memburu. Tangannya dengan cepat merogoh ponsel dan menghubungi nomor Cinta.Nada sambung terdengar.Namun…Dering ponsel justru terdengar di kamar Chiara. Matanya membelalak saat melihat ponsel Cinta tergeletak di sana, seperti sengaja ditinggalkan."Tidak mungkin..." gumam Rama dengan suara tercekat.Tangannya menggenggam erat ponsel itu, lalu menatap sekeliling ruangan lagi, mencari tanda-tanda. Tidak ada yang hilang, semua masih berada di tempatnya dengan rapi, hanya istri dan anaknya yang tidak dia te
Hari itu matahari bersinar terik, seolah ingin membakar langit. Tapi angin sepoi yang menyelinap dari jendela apartemen membawa kesejukan yang menenangkan.Di ruang tengah, Cinta duduk di meja kerja, matanya terpaku pada layar laptop. Ia sedang memeriksa laporan keuangan kafenya, sejauh ini Anisa dan Hardy bukan hanya bisa diandalkan, tetapi juga bisa dipercaya.Sementara itu di sudut ruangan yang lain, Chiara bermain balok dengan riang, sesekali memanggil mamanya untuk menunjukkan beraneka macam bentuk yang berhasil ia buat.Cinta tersenyum, meski pikirannya sedang penuh angka dan strategi. Di tengah kesibukan, ia masih bisa mendengar tawa kecil anaknya, suara yang selalu membuat dunia terasa lebih ringan.Lalu interkom berbunyi.“Selamat siang, Bu Cinta. Kami dari pengelola gedung. Ada pengecekan saluran air mendadak karena keluhan dari unit sebelah. Hanya butuh waktu lima menit.”Cinta sempat ragu, tapi petugas itu mengenakan seragam resmi dan menunjukkan ID. Tak ada alasan untuk c
Dengan langkah cepat dan wajah serius, Theo membuka pintu ruang kerja Priambodo tanpa mengetuk lebih dulu, membuat pria paruh baya itu mendongak dengan ekspresi terkejut."Theo?" Priambodo mengernyitkan dahi dengan tatap mata penuh penasaran. "Kau tergesa-gesa sekali. Ada masalah?"Tanpa menunggu dipersilakan lebih lanjut, Theo langsung duduk dan menyodorkan ponsel ke atas meja kerja Priambodo. Layar ponsel menampilkan rekaman CCTV yang telah diputar ulang puluhan kali olehnya sebelumnya."Saya baru mendapat ini dari sumber yang cukup terpercaya, Pak. Ini rekaman CCTV saat Chiara tertabrak mobil dulu."Priambodo mengalihkan pandangan ke layar. Hatinya seketika mengeras saat melihat seorang anak kecil yang berjalan riang di trotoar, lalu… brak! tubuh mungil itu terpental oleh mobil hitam yang melaju cepat.Napasnya tercekat. Tangannya spontan mengepal di atas meja. Video itu terus berputar di kepalanya meski layar telah padam.Dengan suara pelan dan serak, dia berkata, "Itu... Chiara?"
Rama menggeleng pelan, terlihat kekecewaan di matanya. "Mama masih belum bisa menerima Cinta?" Widya tak langsung menjawab. Dia hanya menyesap air mineral dari gelas kristalnya, sikapnya tetap menunjukkan ketenangan. "Dia bukan bagian dari dunia kita, Rama. Dia hanya akan menjadi beban." Rama menarik napas panjang, lalu menatap sang ibu tajam. "Mama yang kirim pesan itu ke Cinta?" Pertanyaan itu membuat udara mendadak terasa lebih tebal. Widya menurunkan gelasnya, lalu menatap putranya lurus-lurus. "Aku? Kau menuduh mama serendah itu? Untuk apa dulu mama bersusah payah dan membayar mahal untuk menghilangkan semua jejak kecelakaan itu kalau akhirnya aku sendiri yang membongkarnya?" Nada bicara Widya terdengar dingin, namun tajam seperti belati. "Lalu siapa?" tanya Rama, frustasi. Widya mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, lalu menjawab dengan nada serius. "Orang yang ingin menghancurkan kita, Rama. Orang yang ingin melihat Narendra runtuh.” Widya menghela napas panjang,