Suasana rumah terasa jauh lebih dingin dibanding suhu sore itu.Amara memberanikan diri melangkah ke dapur, menyiapkan makan malam seadanya.Tangannya gemetar kecil saat memotong sayur, pikirannya melayang-layang—bukan hanya karena lelah, tapi karena tatapan Arga yang terus membakar tengkuknyaDi ruang makan, Arga duduk diam di kursinya, lengan bersedekap di dada, pandangan gelap terpaku ke arah dapur.Amara berusaha bersikap biasa.Menyelesaikan tumisan, menanak nasi shirataki, menyiapkan sup daging sapi hangat.Saat semuanya siap, ia membawa piring ke meja makan sambil menunduk dalam-dalam.“Makan malam sudah siap,” gumam Amara tanpa berani menatap.Arga tidak menjawab.Hanya menggeser kursinya sedikit lebih kasar dari biasanya, lalu mulai mengambil makanan.Mereka makan dalam diam.Sendok dan garpu beradu pelan dengan piring, menjadi satu-satunya suara yang terdengar.Amara sesekali melirik Arga dari ekor matanya—dan merasa tercekik.Rahang pria itu mengeras. Sorot mat
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai kamar, membelai wajah Amara yang masih tertidur di pelukan Arga. Nafas keduanya sudah teratur, tubuh mereka saling menempel dengan selimut putih membungkus erat. Arga membuka matanya lebih dulu. Dia menatap gadis mungil dalam dekapannya itu—rambut acak-acakan, wajah polos tanpa makeup, napas lembut menghangatkan kulit dadanya. Seketika dadanya terasa aneh. Ada sesuatu yang mencubit pelan di dalam sana. Perlahan Arga mengendurkan pelukannya, takut membangunkan Amara. Namun saat ia bergerak sedikit, Amara meringkuk lebih dalam, seolah mencari kehangatan tubuhnya. Arga menahan napas. Sial. Betapa mudahnya gadis ini menghancurkan semua pertahanannya. Dengan hati-hati, Arga membelai punggung Amara dengan gerakan ringan. Tak sadar, sudut bibirnya melengkung tipis. Sementara itu, Amara mulai menggeliat pelan. Begitu membuka mata dan menyadari bahwa dirinya masih dalam pelukan Arga—dan tubuh mereka sama-sama
Sabtu pagi datang dengan langit berwarna biru pucat.Di rumah yang biasanya sunyi itu, terdengar suara riuh kecil.Suara panci yang bertubrukan di dapur.Suara tawa ringan yang jarang terdengar.Amara sibuk di dapur, memakai apron bermotif polkadot, membolak-balik pancake di atas wajan.Sementara Arga…Pria itu duduk santai di meja makan, masih memakai kaos hitam tipis dan celana training sepulang dari jogging.Ia menatap Amara dengan pandangan yang tidak seperti biasanya.Ada kehangatan. Ada rasa ingin melindungi.“Aku mau dua pancake ya ….,” suara Arga terdengar malas, tapi ada senyum kecil tersembunyi di sudut bibirnya.Amara menoleh sambil mendelik manja.“Kamu pikir aku chef hotel bintang lima apa?”Arga mengangkat bahu santai. “Kalau kamu yang masak, mau sepuluh juga aku habisin.”Pipi Amara langsung bersemu merah, dia mengulum senyumnya.Dengan gerakan kesal pura-pura, ia menyendok satu pancake tambahan ke piring Arga.“Manja.” Amara bergumam.Arga tertawa kecil
Pagi sekali, Amara sudah duduk di meja makan dengan piyama santai, rambutnya diikat seadanya.Di hadapannya, Arga sibuk memotong telur orak-arik di piring dengan gerakan elegan terukur, stelan joggingnya dengan celana pendek terlihat sedikit basah oleh keringat.Amara menggenggam cangkir teh hangat dengan dua tangan, menatap Arga yang pagi ini terasa… berbeda.Lebih santai. Lebih hidup. Lebih tampan.“Aku … mau bilang sesuatu,” gumam Amara akhirnya, suaranya sedikit serak.Arga mendongak sekilas, lalu kembali fokus ke makanannya. “Apa?”Amara menarik napas pelan, lalu memberanikan diri menatap pria di hadapannya.“Terima kasih,” katanya tulus. “Karena udah ngajak aku jalan-jalan kemarin.”Arga berhenti mengunyah. Alisnya naik sedikit.Amara tersenyum kecil, menunduk malu-malu.“Aku bahagia banget, Ga … udah lama aku enggak ketawa sebebas itu,” lanjutnya, suara lirih tapi penuh kejujuran.Arga hanya menatapnya lama, tanpa kata.Dalam hatinya, sesuatu bergemuruh—entah itu ra
Matahari sore mulai condong saat Arga memarkirkan mobilnya di depan gang rumah ibu Sumiati.Dia turun sambil membawa paperbag berisi kue dan roti untuk ibu Sumiati.Semakin langkahnya mendekati rumah sang ibu mertua, dia bisa melihat Amara sedang duduk di teras, tersenyum cerah sambil berbicara dengan ibunya.Entah kenapa, melihat senyum itu membuat dada Arga terasa hangat, seperti ada sesuatu yang tumbuh diam-diam tanpa bisa dikendalikan.Begitu melihatnya, Amara langsung bangkit, merapikan rambutnya yang tertiup angin.“Ibu, aku pulang dulu ya .…” Amara berpamitan, mencium punggung tangan ibunya.Dia seperti tahu kalau Arga tidak akan singgah dulu meski sebentar.Ibu menganggukan kepala lalu Amara masuk ke dalam mengambil tas dan sweaternya.Sumiati menarik tangan Arga pelan saat langkah pria itu sampai di depannya.“Nak Arga…,” bisiknya saat Amara masih di dalam rumah, “…minggu depan Amara ulang tahun.”Mata Arga sedikit membesar.Belum sempat ia bertanya lebih lanjut, I
Amara yang sedang membuat dua cangkir teh hangat di dapur melirikan matanya ke ruang televisi.Di sana ada Arga sedang menggonta-ganti Channel televisi dengan remot di tangannya.Tadi saat masak cream soup, Arga mengatakan minta dipijit tapi apa perlu dia menawarkannya sekarang?“Tapi kayanya Arga bukan ingin dipijit deh ….” Amara menggerutu di dalam hati.Jantung Amara mulai menaikkan tempo debaran.Dua cangkir teh hangat telah siap, Amara membawanya ke ruang televisi.“Teh melati,” katanya sambil menyerahkan cangkir kepada Arga.Arga menerima tanpa menoleh, hanya mengangguk kecil. “Terima kasih.”Amara duduk di sofa panjang yang sama dengan Arga lalu menyeruput teh miliknya.Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya terdengar suara detik jam dinding dan sesekali desah napas Arga yang berat.“Aku tidur ya ….” Amara bangkit dari sofa dan refleks Arga mencekal pergelangan tangannya.“Kamu bukannya mau mijitin aku?” Pertanyaan Arga itu membuat Amara mendudukan bokongnya ke
Mobil melaju pelan membelah jalanan Jakarta yang mulai padat. Amara diam di kursinya, sesekali mencuri pandang ke arah Arga yang fokus menyetir. Dalam diam, jantung Amara berdetak tidak karuan. Perjalanan mereka terasa seperti perjalanan ke sesuatu yang besar, tapi Arga belum memberi penjelasan apa pun. Mobil berhenti di depan sebuah butik mewah berlabel internasional. Amara menoleh cepat, matanya membulat. “Ga … ini bukannya butik yang dulu kita datangin?” gumamnya pelan sembari celingukan ke luar jendela. Arga turun tanpa menjawab, lalu membukakan pintu untuknya. “Jawab kenapa sih,” kata Amara mengerucutkan bibir tapi Arga hanya memberikan tatapan datar. Arga meraih tangan Amara, menggenggamnya hingga melewati pintu butik yang dibuka oleh seorang sekuriti. Begitu masuk, aroma parfum mahal dan musik klasik lembut langsung menyergap mereka. Seorang pramuniaga muda segera menyambut dengan senyum ramah—yang langsung berubah gugup begitu melihat siapa yang
Amara sedang sibuk di dapur membuat sarapan ketika Arga turun dari lantai dua.Apron motif buah chery menutupi tubuh bagian depannya.Dia membawa omlet dan roti bakar ke ruang makan ketika Arga sedang mengancingkan lengan kemejanya.Amara tersenyum, pria itu selalu kesulitan mengancingkan lengan kemeja.“Aku bantu ya,” katanya lembut, kali ini langsung menarik tangan Arga.“Kamu enggak ngajar?” Arga bertanya sembari menelisik Amara yang sudah mandi, sudah cantik tapi tidak memakai seragam mengajarnya.“Aku enggak ada kelas hari ini,” kata Amara menjawab.“Sarapan dulu.” Amara hendak menuang kopi ke gelas untuk Arga tapi tangan Arga menahannya.“Aku ada meeting penting sama klien pagi ini, aku akan sarapan sama mereka ….” Arga maju setengah langkah.“Kamu mau ke rumah ibu hari ini?” Arga menawarkan, kedua tangannya melingkari pinggang Amara membuat gugup seketika menyerang.“Bo … boleh?” Amara terbata.“Nanti driver jemput kamu buat antar ke rumah ibu.” Amara tersenyum leb
Suara dering ponsel Arga dari atas meja bar membuat Amara menoleh.Ia baru saja selesai menekan tombol start pada mesin cuci ketika Arga turun dari tangga, sudah berpakaian rapi dengan kemeja putih dan celana chino abu-abu yang membuatnya tampak santai tapi tetap karismatik.Bi Eti tidak datang lagi, katanya sakit sehingga Amara yang menggantikannya mengerjakan rumah pagi ini.“Ra,” panggil Arga sembari meraih ponsel lalu datang menghampiri.Amara menyeka tangannya menggunakan handuk kecil, masih berdiri di depan mesin cuci. “Ya?”“Kita harus ke Bali besok pagi,” kata Arga tanpa basa-basi.Amara mengerjap. “Besok pagi?” suaranya meninggi. “Kamu serius?”Arga mengangguk singkat. “Gathering tahunan CitraKredit, sekalian ulang tahun perusahaan. Ayah dan ibu akan hadir juga. Vikram sama istrinya datang. Jadi … kamu harus ikut.”Amara menghela napas panjang, dia tahu kalau dia dikontrak untuk menemani Arga menjadi pendamping pria itu tapi, “Kenapa baru bilang sekarang, Ga? Aku belu
Perlahan—dengan ragu—Amara mendekat ke sofa panjang lalu duduk di sana.Perutnya seketika berbunyi tatkala aroma ramen menyeruak masuk ke indra penciumannya.Amara melirik Arga sekilas dengan ekspresi kesal namun tak ayal dia raih juga mangkuk besar ramen dari atas meja.Arga duduk di samping Amara, dia meraih sumpit yang masih dibungkus kemudian membukanya setelah itu diberikan kepada Amara.“Kayanya udah enggak panas lagi, bisa kamu makan sekarang,” kata Arga sembari meraih mangkuk ramen miliknya.Amara makan dengan lahap tanpa banyak bicara karena perutnya memang sangat lapar, dia melewatkan makan siang dan banyak bersedih serta menangis seharian ini.Sesekali Arga melirik Amara yang tekun menghabiskan ramennya.“Kamu tahu ‘kan kalau Cassandra itu dulu mantan aku ….” Arga akhirnya buka suara.“Tahu … tapi aku enggak peduli,” balas Amara ketus.Arga mengulum senyum, dia merasa Amara cemburu dan entah kenapa rasanya menyenangkan seolah dengan cemburunya Amara itu dia jadi ta
Kotak makan siang itu jatuh ke lantai marmer, terbuka sedikit, menumpahkan aroma ayam lada hitam yang tadi pagi dimarinasi Amara sendiri.Tapi tak ada yang memedulikan makanan itu.Arga masih duduk di sofa, matanya melebar saat melihat Amara berdiri di ambang pintu.Dan Cassandra?Sudah bangkit dari atas pangkuan Arga dengan blouse setengah terbuka, bibir merahnya membentuk senyum kecil penuh kemenangan.“Ama—”“Kamu .…” Suara Amara nyaris tak terdengar.Matanya tidak berkedip. Menatap Arga dan Cassandra yang baru saja berpisah dalam posisi yang sulit dijelaskan.Tangannya masih menggenggam paperbag kosong di sisi kanan, sementara tangan kirinya mengepal, gemetar.Amara pikir apa yang mereka lakukan selama ini begitu berarti.Ah, tidak. Mungkin hanya bagi Amara sangat berarti. Bagi Arga, Amara hanya istri kontrak.Sedangkan Cassandra adalah mantan Arga yang mungkin masih pria itu cintai.“Amara, aku bisa jelaskan.” Arga berdiri cepat, suara beratnya terdengar terburu-buru
Amara sedang sibuk di dapur membuat sarapan ketika Arga turun dari lantai dua.Apron motif buah chery menutupi tubuh bagian depannya.Dia membawa omlet dan roti bakar ke ruang makan ketika Arga sedang mengancingkan lengan kemejanya.Amara tersenyum, pria itu selalu kesulitan mengancingkan lengan kemeja.“Aku bantu ya,” katanya lembut, kali ini langsung menarik tangan Arga.“Kamu enggak ngajar?” Arga bertanya sembari menelisik Amara yang sudah mandi, sudah cantik tapi tidak memakai seragam mengajarnya.“Aku enggak ada kelas hari ini,” kata Amara menjawab.“Sarapan dulu.” Amara hendak menuang kopi ke gelas untuk Arga tapi tangan Arga menahannya.“Aku ada meeting penting sama klien pagi ini, aku akan sarapan sama mereka ….” Arga maju setengah langkah.“Kamu mau ke rumah ibu hari ini?” Arga menawarkan, kedua tangannya melingkari pinggang Amara membuat gugup seketika menyerang.“Bo … boleh?” Amara terbata.“Nanti driver jemput kamu buat antar ke rumah ibu.” Amara tersenyum leb
Mobil melaju pelan membelah jalanan Jakarta yang mulai padat. Amara diam di kursinya, sesekali mencuri pandang ke arah Arga yang fokus menyetir. Dalam diam, jantung Amara berdetak tidak karuan. Perjalanan mereka terasa seperti perjalanan ke sesuatu yang besar, tapi Arga belum memberi penjelasan apa pun. Mobil berhenti di depan sebuah butik mewah berlabel internasional. Amara menoleh cepat, matanya membulat. “Ga … ini bukannya butik yang dulu kita datangin?” gumamnya pelan sembari celingukan ke luar jendela. Arga turun tanpa menjawab, lalu membukakan pintu untuknya. “Jawab kenapa sih,” kata Amara mengerucutkan bibir tapi Arga hanya memberikan tatapan datar. Arga meraih tangan Amara, menggenggamnya hingga melewati pintu butik yang dibuka oleh seorang sekuriti. Begitu masuk, aroma parfum mahal dan musik klasik lembut langsung menyergap mereka. Seorang pramuniaga muda segera menyambut dengan senyum ramah—yang langsung berubah gugup begitu melihat siapa yang
Amara yang sedang membuat dua cangkir teh hangat di dapur melirikan matanya ke ruang televisi.Di sana ada Arga sedang menggonta-ganti Channel televisi dengan remot di tangannya.Tadi saat masak cream soup, Arga mengatakan minta dipijit tapi apa perlu dia menawarkannya sekarang?“Tapi kayanya Arga bukan ingin dipijit deh ….” Amara menggerutu di dalam hati.Jantung Amara mulai menaikkan tempo debaran.Dua cangkir teh hangat telah siap, Amara membawanya ke ruang televisi.“Teh melati,” katanya sambil menyerahkan cangkir kepada Arga.Arga menerima tanpa menoleh, hanya mengangguk kecil. “Terima kasih.”Amara duduk di sofa panjang yang sama dengan Arga lalu menyeruput teh miliknya.Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya terdengar suara detik jam dinding dan sesekali desah napas Arga yang berat.“Aku tidur ya ….” Amara bangkit dari sofa dan refleks Arga mencekal pergelangan tangannya.“Kamu bukannya mau mijitin aku?” Pertanyaan Arga itu membuat Amara mendudukan bokongnya ke
Matahari sore mulai condong saat Arga memarkirkan mobilnya di depan gang rumah ibu Sumiati.Dia turun sambil membawa paperbag berisi kue dan roti untuk ibu Sumiati.Semakin langkahnya mendekati rumah sang ibu mertua, dia bisa melihat Amara sedang duduk di teras, tersenyum cerah sambil berbicara dengan ibunya.Entah kenapa, melihat senyum itu membuat dada Arga terasa hangat, seperti ada sesuatu yang tumbuh diam-diam tanpa bisa dikendalikan.Begitu melihatnya, Amara langsung bangkit, merapikan rambutnya yang tertiup angin.“Ibu, aku pulang dulu ya .…” Amara berpamitan, mencium punggung tangan ibunya.Dia seperti tahu kalau Arga tidak akan singgah dulu meski sebentar.Ibu menganggukan kepala lalu Amara masuk ke dalam mengambil tas dan sweaternya.Sumiati menarik tangan Arga pelan saat langkah pria itu sampai di depannya.“Nak Arga…,” bisiknya saat Amara masih di dalam rumah, “…minggu depan Amara ulang tahun.”Mata Arga sedikit membesar.Belum sempat ia bertanya lebih lanjut, I
Pagi sekali, Amara sudah duduk di meja makan dengan piyama santai, rambutnya diikat seadanya.Di hadapannya, Arga sibuk memotong telur orak-arik di piring dengan gerakan elegan terukur, stelan joggingnya dengan celana pendek terlihat sedikit basah oleh keringat.Amara menggenggam cangkir teh hangat dengan dua tangan, menatap Arga yang pagi ini terasa… berbeda.Lebih santai. Lebih hidup. Lebih tampan.“Aku … mau bilang sesuatu,” gumam Amara akhirnya, suaranya sedikit serak.Arga mendongak sekilas, lalu kembali fokus ke makanannya. “Apa?”Amara menarik napas pelan, lalu memberanikan diri menatap pria di hadapannya.“Terima kasih,” katanya tulus. “Karena udah ngajak aku jalan-jalan kemarin.”Arga berhenti mengunyah. Alisnya naik sedikit.Amara tersenyum kecil, menunduk malu-malu.“Aku bahagia banget, Ga … udah lama aku enggak ketawa sebebas itu,” lanjutnya, suara lirih tapi penuh kejujuran.Arga hanya menatapnya lama, tanpa kata.Dalam hatinya, sesuatu bergemuruh—entah itu ra
Sabtu pagi datang dengan langit berwarna biru pucat.Di rumah yang biasanya sunyi itu, terdengar suara riuh kecil.Suara panci yang bertubrukan di dapur.Suara tawa ringan yang jarang terdengar.Amara sibuk di dapur, memakai apron bermotif polkadot, membolak-balik pancake di atas wajan.Sementara Arga…Pria itu duduk santai di meja makan, masih memakai kaos hitam tipis dan celana training sepulang dari jogging.Ia menatap Amara dengan pandangan yang tidak seperti biasanya.Ada kehangatan. Ada rasa ingin melindungi.“Aku mau dua pancake ya ….,” suara Arga terdengar malas, tapi ada senyum kecil tersembunyi di sudut bibirnya.Amara menoleh sambil mendelik manja.“Kamu pikir aku chef hotel bintang lima apa?”Arga mengangkat bahu santai. “Kalau kamu yang masak, mau sepuluh juga aku habisin.”Pipi Amara langsung bersemu merah, dia mengulum senyumnya.Dengan gerakan kesal pura-pura, ia menyendok satu pancake tambahan ke piring Arga.“Manja.” Amara bergumam.Arga tertawa kecil