Bagi Elanora Maheswari, menulis adalah jalan satu-satunya keluar dari hidup yang penuh luka kerja paruh waktu di minimarket dan mimpi kecil jadi penulis. Namun, satu kesalahan konyol mengubah segalanya. Naskah lomba yang seharusnya ia kirim, justru salah alamat—mendarat tepat di email Dirgantara Ardawijaya, CEO megah yang namanya dengan sembrono ia pakai sebagai tokoh utama. Sejak itu, Elanora terikat pada pria yang seharusnya hanya ada di fantasi. Dari seorang penulis bayangan, ia dipaksa masuk ke dunia nyata sang penguasa, bukan hanya sebagai finalis… tapi juga sebagai sekretaris pribadinya. "Apa yang ada di pikiranmu saat menulis buku dewasa ini?" suaranya rendah, namun menghantam, "Saya?"
View MoreTubuhnya terhuyung setiap kali dorongan keras itu menghantamnya dari belakang. Tangannya mencengkeram meja, merasakan kenikmatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Ahh… hahh…!”
Lenguhan terlontar dari bibirnya kala tangan kokoh pria itu menahan pinggangnya, menariknya lebih rapat, memaksa tubuhnya mengikuti irama yang semakin liar.
“Lihat aku…Nora.” bisikan berat itu menyusup, rendah namun tegas.
Mata perempuan itu refleks terarah pada pantulan samar di kaca jendela. Dirinya terguncang di sana, rambut berantakan, bibir ternganga, matanya basah oleh kenikmatan yang meluap.
Lalu, sosok pria itu terlihat jelas—otot-ototnya menegang di bawah kulit berkilau keringat, wajahnya dipahat tajam, rahang mengeras, dan yang terpenting, sepasang mata hitam pekat yang menenggelamkan.
“Ah… Pak Dirga…”
Pria itu tak menggubris desahan, justru mempercepat tempo, mempermainkan perempuan itu yang baru saja mencapai puncak. Ia kalah telak di hadapan penguasanya, apalagi saat ekspresi memohonnya justru dijawab dengan hentakan yang semakin dalam.
**
Nora tersentak, tubuhnya gemetar. Ia mendesah pelan, menyadari jari-jarinya kaku di atas keyboard. Itu hanya naskah. Imajinasi. Ia mengusap wajah sendiri, mencoba mengusir panas yang entah berasal dari tubuhnya atau dari cerita yang baru saja ia tuliskan.
Untuk pertama kalinya sejak menjadi penulis paruh waktu, kata-kata mengalir deras tanpa hambatan. Malam itu, di kamar kos sempit yang pengap, Nora berhasil menyelesaikan satu bab penuh.
Tangannya masih bergetar saat menatap layar laptop. Helaan napasnya pecah, tapi senyumnya merekah. Semua karena sosok “CEO arogan” yang sejak setahun lalu hanya bisa ia kagumi dari papan billboard kini benar-benar hidup—dalam wujud Dirgantara Ardawijaya.
Dirgantara Ardawijaya. Nama yang terlalu berbahaya untuk dijadikan tokoh fiksi, tapi justru terlalu menggoda untuk Nora abaikan. Pria itu nyata. Ia “The Man Behind the Empire”, penguasa Ardawijaya Group yang memegang ratusan cabang bisnis. Julukannya saja sudah cukup untuk membuat Nora terobsesi.
Tinggal kirim dan… beres.
Kontes menulis daring yang ia ikuti menjanjikan hadiah uang tunai. Tidak besar, tapi cukup berarti bagi Nora yang hanya bekerja paruh waktu di minimarket. Jika menang, setidaknya ia bisa menabung untuk mengambil paket kuliah.
“ardawijaya@ardawijaya.com.”
Nora bergumam, membaca alamat email yang terpampang di layar pengumuman lomba. Ia mengetik ulang dengan hati-hati, memastikan tak ada huruf yang terlewat. Lalu ia menekan tombol send. Bunyi cling terdengar, tanda email terkirim.
Selesai.
Dengan lega, ia menutup laptop dan membiarkan tubuhnya rebah di kasur tipis. Kamarnya sempit, cat dindingnya mengelupas, dan kipas angin tua berdengung pelan di sudut ruangan. Tapi malam itu, Nora merasa lebih kaya dari siapa pun. Ia bahkan menyubit pipinya sendiri, memastikan semua ini nyata.
Namun, notifikasi di ponselnya tiba-tiba berbunyi lagi. Nora meraih ponsel dengan mata setengah terpejam.
“Terima kasih. Naskahmu sedang diproses. Pengumuman finalis akan dilakukan lebih cepat dari jadwal. Akan saya kabari secepatnya besok.”
Nora mengerjap kecil. Secepat ini? Rasanya terlalu cepat untuk sekadar panitia membaca naskah. Dengan jantung berdebar, ia buru-buru membuka folder draft.
Dan saat matanya menelusuri halaman pertama, jantungnya mencelos.
Nama kedua tokoh utama di ceritanya—masih memakai namanya sendiri dan… Dirgantara Ardawijaya.
Gugup menghantui Nora saat pertanyaan itu meluncur seperti anak panah. “Nora… ini karakter Dirga kamu, bukan Pak Dirgantara, kan?”Di sudut sana, ketika ia melirik Dirgantara, laki-laki itu hanya mengulum senyum samar, seakan menertawainya habis-habisan. Nora tercekat, dadanya seperti dihantam palu.“Bukan, Bu. Hanya… kebetulan?” jawab Nora lirih, memaksakan senyum tipis.Seketika ruangan hening. Jawaban itu terdengar begitu bodoh bahkan di telinganya sendiri. Bagaimana bisa menyebut itu kebetulan, padahal nama dan karakter yang ia tulis sama persis dengan sosok nyata yang kini duduk beberapa meter darinya?Sampai malam, Nora masih menyesali kata-katanya. Ia ingin menguburnya, menghapusnya, dan menarik kembali rasa malu itu jauh-jauh. Tapi penyesalan tak pernah benar-benar bisa diulang. Bayangan senyum tipis Dirgantara masih menghantui kepalanya.Mungkin itulah salah satu alasan kenapa pagi yang cerah ini ia kembali menatap lembar revisi naskahnya. Deanda masih belum benar-benar puas
Nora merasa hidupnya seperti mimpi.Setelah semalaman tidak bisa tidur, paginya ia menemukan sebuah email resmi dari Ardawijaya Group. Disana, tertulis jelas kontrak kerjasama eksklusif untuk naskah Mantra– judul bukunya.Tangannya bergetar membaca isi email itu, bahkan ia beberapa kali mencubit pipinya sendiri sampai merah, lalu menjedotkan kening ke meja belajar yang berada di kontrakan murahnya. Maklum, selain bekerja paruh waktu di minimarket, yang bisa Nora lakukan hanya belajar.Karena saat memiliki uang nanti, ia berencana mengambil paket untuk bisa masuk ke perguruan tinggi. Jadi, jangan salahkan Nora jika ia menerima penawaran kerjasama itu tanpa berkedip."Mulai besok kamu bekerja di kantor ini." Kalimat itu begitu asing, terlalu indah untuk menjadi nyata.Dirgantara Ardawijaya duduk santai, tengah menyusup kopi paginya seolah dunia berputar sesuai kehendaknya. Mendengarkan suara wanita berpakaian rapi dengan sebuah dokumen dalam genggaman."Jam satu nanti akan ada makan s
Bodoh kamu, Nora.Kenapa juga ia mengirim naskah itu langsung ke alamat email pemilik inspirasi itu?Hari itu, Nora mencoba menjalani hidupnya seperti biasa. Namun pesan dari email itu membuatnya termangu.Datang ke kantor saya. Kalau tidak, naskah ini akan saya sebarkan sebagai bentuk pelecehan.Kalimat itu membayang, seolah terbakar di layar ponselnya. Ia bahkan menaruh ponselnya di dasar tas, berharap lupa. Tapi justru semakin ia mengabaikan, semakin berat rasanya.Sore harinya, Nora kembali ke minimarket. Mengganti apron lusuhnya, merapikan name tag, lalu berjongkok di lorong roti. Sibuk menyusun stok baru karna makanan ini memang makanan yang paling sering di ganti dan paling cepat kadaluwarsanya.Setiap gerakan ia buat sesibuk mungkin, seolah kerja fisik bisa mengusir bayang-bayang Dirgantara Ardawijaya.Begitu rekan kerja selanjutnya datang untung pergantian shift, Nora yang sempat memandangi pantulan dirinya di cermin pamit. Ia sudah tak memperdulikan lagi penampilan lusuh dan
Pagi itu, suara notifikasi email membuat Nora yang baru saja tiba di minimarket tempat ia kerja paruh waktu mengernyit. Ia mengira hanya promo bulanan atau jadwal shift pengganti. Namun, begitu membaca isinya, tangannya hampir menjatuhkan ponsel.Selamat. Naskah Anda terpilih sebagai salah satu finalis.Mohon hadir ke kantor pusat Ardawijaya Group besok untuk tahap presentasi dan interview lanjutan.Alis Nora langsung bertaut. Interview? Bukannya ini lomba menulis? Seingatnya, pengumuman hanya berupa daftar pemenang dan hadiah uang tunai. Tidak ada istilah presentasi, apalagi interview segala.Jantungnya berdegup cepat, setengah panik. Ia menunduk menatap seragam minimarket yang ia kenakan—topi biru kusam, apron yang sudah mulai lusuh, dan name tag yang kadang sengaja ia balikkan karena malu. Betapa jauh dunia yang ia huni saat ini dengan gedung pencakar langit tempat perusahaan itu berada.“Finalis kok disuruh interview segala…” gumamnya lirih, sambil men-scan barcode sebungkus roti
Tubuhnya terhuyung setiap kali dorongan keras itu menghantamnya dari belakang. Tangannya mencengkeram meja, merasakan kenikmatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Ahh… hahh…!” Lenguhan terlontar dari bibirnya kala tangan kokoh pria itu menahan pinggangnya, menariknya lebih rapat, memaksa tubuhnya mengikuti irama yang semakin liar.“Lihat aku…Nora.” bisikan berat itu menyusup, rendah namun tegas.Mata perempuan itu refleks terarah pada pantulan samar di kaca jendela. Dirinya terguncang di sana, rambut berantakan, bibir ternganga, matanya basah oleh kenikmatan yang meluap.Lalu, sosok pria itu terlihat jelas—otot-ototnya menegang di bawah kulit berkilau keringat, wajahnya dipahat tajam, rahang mengeras, dan yang terpenting, sepasang mata hitam pekat yang menenggelamkan.“Ah… Pak Dirga…”Pria itu tak menggubris desahan, justru mempercepat tempo, mempermainkan perempuan itu yang baru saja mencapai puncak. Ia kalah telak di hadapan penguasanya, apalagi saat ekspresi memohonnya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments