Bara sedang membaca sebuah berkas kala Heru membuka pintu ruang kerjanya. Secara reflek, Bara mendongak dan menatap pada sang ayah yang berjalan mendekat.
Dia tahu jika Heru pasti akan membicarakan sesuatu yang penting, sehingga dia pun menutup map yang ada di tangannya. Lalu mengalihkan perhatian seutuhnya pada Heru yang kini duduk di depannya. "Ada apa, Pa?" "Hari sabtu nanti kamu nggak ada acara, kan?" Seketika dahi Bara mengerut heran. Karena jarang sekali Heru bertanya dengan pertanyaan semacam itu. "Memang kenapa, Pa?" "Nggak apa-apa," Heru menarik nafas sejenak dan menyandarkan punggungnya. "Papa perhatikan wajah kamu akhir-akhir ini kusut banget. Kayaknya kamu perlu rehat sebentar, Ra." Bara hanya menyeringai mendengar ucapan sang ayah. Lalu dia memalingkan muka sambil berkata, "Papa baru sadar wajah aku kusut? Aku memang sudah stres semenjak Papa menikahkan aku sama Alisha." "Jangan gitu dong, Ra! Papa menikahkan kamu sama Alisha itu juga ada kebaikannya buat kamu. Papa nggak mau kamu terus-terusan berhubungan sama wanita nggak baik itu." Sekali lagi Heru menghela nafas. Untuk kali ini dia harus sedikit lebih sabar menghadapi sikap sang anak. Heru tahu jika pembicaraan mereka sudah mengarah pada mantan kekasih Bara. Dan setiap mereka berdua membahas tentang itu, ujungnya adalah sebuah perdebatan sengit. Maka dari itu, Heru segera mengalihkan perhatian. Dia bangkit dari duduk dan berjalan memutari meja. Lalu menepuk pundak Bara. "Sudahlah. Papa nggak mau bertengkar lagi sama kamu. Pokoknya hari sabtu nanti kamu liburan. Oke? Papa kasih kamu tiga hari dan Papa juga sudah reservasi hotel buat kamu." Bara langsung berpaling menatap wajah Heru, seakan tak percaya dengan kalimat yang jarang sekali Heru ucapkan padanya. Beberapa saat yang lama, Bara terdiam, hingga Heru pun keluar dari ruangan. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, Bara pun berinisiatif menyusul ayahnya. Dia bergegas berjalan menuju ruangan kerja Heru dan tepat saat itu, terdengar suara Heru yang sedang menerima telepon dari seseorang. Bara yang saat sudah memutar gagang pintu, seketika membekukan diri. Dia ingin tahu siapa orang yang sedang menelepon ayahnya. Dari celah pintu yang terbuka, dia menajamkan telinga. "Kamu tenang aja. Papa sudah atur semuanya. Sama-sama, Al. Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk bilang ke Papa! Oke? Bye." Bara berdecih setelah mendengar percakapan Heru dengan seseorang di seberang sana yang sudah sangat jelas adalah Alisha. Dengan gerakan perlahan, Bara menutup kembali pintu tanpa menimbulkan suara. "Jadi ini cuma rencananya Alisha? Lihat aja nanti! Aku akan bikin dia menderita," Bara bergumam sesaat sebelum kembali ke ruangannya. Hari yang sudah ditentukan oleh Heru pun tiba. Seperti tebakan Bara, Heru meminta Alisha ikut menemaninya liburan. Dikarenakan Bara yang sudah memiliki rencana, maka dia pun menurut saja tanpa adanya protes. Sabtu siang, Bara dan Alisha sudah sampai di hotel yang dipesankan oleh Heru. Kamar mereka berada di lantai tujuh dengan jendela yang mengarahkan langsung pada pemandangan pantai. Namun, Bara sama sekali tidak tertarik pada pemandangan indah itu. Dia justru langsung menjatuhkan diri di atas ranjang, berniat tidur sepanjang hari. Dia tak peduli akan Alisha yang terus mengguncang tubuhnya, meminta untuk bangun. Semakin Alisha berusaha membangunkan, semakin rapat Bara menarik selimut dan juga bantal. "Mas, kita ke pantai yuk! Mumpung cuacanya lagi bagus," suara Alisha terdengar memelas. Sepertinya dia belum juga menyerah untuk membuat Bara membuka mata. "Enggak, ah. Kamu aja sana!" racau Bara sambil tetap memejamkan mata. Tak lama kemudian, tak ada lagi suara, menjadikan Bara membuka mata untuk memastikan kondisi kamar. Ternyata Alisha sudah keluar dari kamar. Entah kemana dia pergi, yang jelas Bara sangat senang Alisha tidak ada. "Kamu pikir liburan kali ini akan menyenangkan? Enggak! Liburan kali ini bakal seperti neraka buat kamu," gumam Bara menyeringai. Sore hari, Alisha kembali ke hotel ketika Bara sedang menyisir rambut. Tampak wajah Alisha yang mengerut setelah memperhatikan penampilan Bara begitu rapi. Sedangkan Bara hanya terdiam. Dia sempat melirik pada Alisha sekilas. Lalu kembali menyisir rambutnya. "Kamu mau kemana, Mas?" "Aku mau cari makan malam. Kenapa? Kamu mau ikut?" Seketika bibir Alisha tersenyum ceria, kedua bola matanya terlihat sangat antusias setelah mendengar ajakan Bara. Tentu saja, Alisha mengangguk mantap. "Mau dong, Mas. Aku mau ikut." Tanpa ada curiga, Alisha pun pergi berjalan kaki berdampingan bersama Bara ke sebuah restoran yang tak jauh dari hotel mereka menginap. Alisha tampak begitu bahagia, menggandeng tangan Bara sangat erat sepanjang jalan. Seolah ingin memberitahu pada dunia, jika pria tampan ini adalah suamiku. Perubahan wajah Alisha itu, sebenarnya membuat hati kecil Bara menjadi tidak tega dengan apa yang akan dia perbuat. Bara menatap lekat-lekat wajah Alisha ketika mereka sudah duduk di salah satu meja restoran. Sedangkan Alisha mengamati ke sekeliling dengan sorot mata penuh takjub. "Mas, restorannya bagus banget. Pasti makannya juga enak deh." Bara berdeham untuk mengusir kecanggungan dalam dirinya. Dia hanya mengangkat alis, tanpa merespon ucapan Alisha, lalu mengalihkan perhatian pada buku menu. Namun, perhatian Bara tak dapat dikendalikan. Sekali lagi dia kembali melirik Alisha. Seolah-olah Alisha adalah sebuah medan magnet. "Mas, kamu mau pesan apa? Kayaknya enak deh kalau makan spaghetti." Bara memperhatikan Alisha yang tengah membolak-balikkan buku menu. Kemudian tanpa dia sadar, dia bergumam, "Cuma ngajak makan aja, kamu sebahagia ini, Al?" "Hm, kamu bilang apa, Mas?" Alisha mendadak mendongak dari buku menu yang sedang dia baca. Menjadikan Bara sontak gelagapan karena rupanya Alisha mendengar gumamanya. "Enggak. Aku cuma... cuma..." "Bara? Kamu di sini?" Sebuah suara wanita menjeda percakapan Bara dengan Alisha dan membuat keduanya serempak menoleh ke sumber suara. Tepat satu meter di belakang Bara, berdiri seorang wanita cantik dengan gaun malam berwarna merah menyala. Wanita itu langsung berjalan mendekat lalu duduk di kursi kosong yang berada di antara Alisha dan Bara. Kedatangan wanita asing itu membuat Alisha langsung memanyunkan bibir. Tatapan tak suka dilayangkannya pada wanita yang kini dengan berani menyentuh tangan Bara. "Hai, Ra. Apa kabar? Kamu masih ingat aku, kan?" Bara melirik Alisha terlebih dahulu sebelum menjawab. "Tentu ingat lah. Masak lupa, sih. Kamu apa kabar, Vee?" "Aku baik. Udah lama ya kita nggak ketemu dan nggak sengaja ketemu di sini." Bara mengangguk lalu memandang Alisha yang mengepalkan kedua tangan di atas meja. Raut muka Alisha sudah seperti banteng mengamuk dengan tatapan yang tak lepas dari sosok Vee. Melihat ekspresi Alisha, menjadikan Bara tersenyum penuh kemenangan dalam hati. Karena sebenarnya dia sendiri yang mengatur rencana agar Vee datang menemuinya di saat dia makan malam bersama Alisha. Bara ingin membuat Alisha kesal dan merasa terabaikan. Maka dari itu, Bara pun berusaha untuk terlihat akrab dengan Vee. "Iya, kebetulan banget ya? Dunia tuh kaya sempit banget," Bara berusaha tertawa senatural mungkin. "Dia siapa, Mas?" Alisha memberanikan diri membuka suara. Vee yang duduk menghadap ke arah Bara, seketika memutar arah duduknya. Dia menarik ujung bibir membentuk senyuman yang penuh makna, lalu mengulurkan tangan. "Hai, kenalin aku Victoria tapi biasa dipanggil Vee. Aku mantan pacarnya Bara." Gurat kebencian semakin terlihat jelas di wajah Alisha setelah Vee memperkenalkan dirinya. Dia melirik pada Bara dan Vee secara bergantian. Mengabaikan ukuran tangan Vee yang masih menggantung di udara. Sementara, Vee yang memang pada dasarnya sudah tahu siapa Alisha, menarik lagi tangan kanannya. Lalu dia kembali tersenyum. "Kamu istrinya Bara, kan? Maaf ya, kalau aku ganggu. Aku bisa cari tempat yang lain," Vee berniat berdiri untuk pindah tempat duduk. Namun, dengan cepat Bara menyambar tangannya. "Nggak apa-apa kok. Sama sekali nggak ganggu. Iya kan, Al?" Bara beralih memandang pada Alisha yang semakin mengeratkan kepalan tangan. "Duduk aja di sini! Biar makin rame." "Ih, apa-apaan sih, Ra. Aku jadi ngerasa kayak obat nyamuk tahu," Vee terkekeh sambil menepuk manja bahu Bara. "Serius. Nggak apa-apa," ucap Bara seraya melirik Alisha yang semakin kebakaran jengkot."Na, Bintang mana?" tanya Andrew begitu sampai di pintu restoran dan bertemu dengan Gina yang membawa nampan berisi makanan.Gina mengalihkan pandangan ke meja di mana terakhir kali dia melihat Bintang duduk di sana. Namun, mendadak wajah Gina berubah pucat kala mendapati Bintang tak ada."Lho, tadi dia lagi duduk di situ. Aku suruh tunggu kenapa nggak ada?" Kemudian Gina memutar kepalanya mencari sosok Bintang. "Bintang? Bintang?"Andrew bersigap mencari Bintang ke segala penjuru restoran hingga ke toilet. Menanyai ke beberapa karyawan dan ternyata tak ada satupun yang melihat Bintang.Begitu pula dengan Gina yang bertanya kepada pengunjung restoran yang duduk di meja tak jauh dari tempat duduk Bintang sebelumnya."Permisi, Bu. Apa ibu lihat anak di foto ini? Tadi dia lagi duduk di sebelah sana," Gina menunjukan foto Bintang yang tersimpan di ponselnya kepada seorang wanita paruh baya.Wanita itu melirik Gina sesaat lalu berkata, "Tadi aku lihat dia lari lihat barongsai di seberang j
Rumah megah itu berdiri kokoh di tengah kawasan elit. Sinar matahari pagi menari-nari di antara dedaunan hijau yang mengelilingi rumah. Andrew melangkah masuk membawa tangan kecil milik Bintang. Anak itu menatap kagum sekelilin. Mata bulatnya berbinar melihat interior rumah yang mewah."Bu, lihat siapa yang sudah datang?" seru Andrew sambil menggendong Bintang.Anne, sang ibu, keluar dari dapur. Wajahnya merekah dalam senyuman hangat saat melihat Bintang. "Hai, Bintang! Kamu anaknya Icha, kan? Ayo sini, tante peluk."Bintang sedikit malu-malu, tapi ia membalas pelukan Anne dengan erat. Anne menggendong Bintang dan mengajaknya berkeliling rumah. "Ini kamar tamu, nanti Bintang bakal tidur di sini... dan ini taman belakang, kita bisa main ayunan di sini, yuk."Bintang mengangguk semakin bersemangat. Ia turun dari gendongan Anne dan naik ke atas ayunan yang didorong pelan oleh Andrew.Melihat ada kupu-kupu, Bintang berlari kecil mengejar kupu-kupu itu yang hinggap di bunga. Lalu Anne ters
Lima tahun kemudian.Matahari bersinar cerah menerpa wajah Gina dan Andrew saat mereka melangkah masuk ke halaman Panti Asuhan Kasih Ibu. Selama lima tahun terakhir, Gina dan Alisha tetap menjalin persahabatan yang erat, meskipun jarak memisahkan mereka.Setiap tahun, Gina pasti menyempatkan waktu untuk menjenguk Alisha. Terlebih sekarang, Alisha telah memiliki seorang putra, bernama Bintang. Bocah itu kini telah tumbuh menjadi anak yang lucu dan selalu membuat Gina rindu padanya."Sudah lama kita nggak ke sini, ya?" ujar Gina sambil tersenyum. "Aku udah nggak sabar ketemu Bintang. Dia lagi apa ya kira-kira?"Andrew mengangguk setuju. "Jam segini, biasanya Alisha masih ngajar. Mungkin Bintang lagi main di taman. Kamu bawa hadiah nggak, Gin?" Andrew melirik tas jinjing Gina yang sejak tadi digenggamnya erat. Mereka melangkah ke halaman samping panti di mana di sana ada taman kecil yang biasa digunakan anak-anak bermain."Tentu dong!" Gina mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah muda
Mobil melaju mulus di jalan raya, membelah pemandangan hijau yang perlahan berganti dengan bangunan-bangunan tinggi menjulang. Di dalam mobil, Alisha, Gina, dan Andrew tampak serius berbincang. Wajah Alisha terlihat lesu, matanya berkaca-kaca setelah mendengar cerita Gina yang memberitahu kabar bohong jika dirinya telah meninggal. Alisha telah sepakat dengan Gina dan Andrew bahwa mereka berusaha membuat kabar palsu mengenai kematiannya. Tujuannya agar Bara tak lagi menekan hidup Alisha dan kini dia akan pergi ke luar kota di mana tak ada satu orang pun yang mengenalnya."Aku benar-benar nggak nyangka, Bara bisa setega itu," ucap Alisha lirih, suaranya bergetar.Gina mengusap lembut lengan sahabatnya itu. "Aku tahu Sayang, kamu pasti sakit hati banget. Tapi kamu harus kuat, ya. Masih banyak yang menyayangimu.""Iya, Al," sahut Andrew yang sedang menyetir mobil ikut mencoba menghibur. "Lagian, kamu bakal ketemu sama tante Tia sekarang. Dia pasti bakal bikin kamu bahagia."Alisha hanya
Hari itu, seperti biasa, kantor terasa begitu sibuk. Bara dengan wajah tegas dan tatapan mata yang tajam, sedang tenggelam dalam tumpukan berkas di mejanya. Tiba-tiba, telepon di mejanya berdering yang langsung diangkat oleh Bara."Permisi, Pak Bara. Ini ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda. Namanya Bu Gina," ucap sang sekretaris yang membuat Bara mengangkat kedua alisnya begitu mendengar nama Gina disebut.Gina? Mau apa dia ke sini? Pasti ada hubungannya dengan Alisha, gumam Bara dalam hati."Suruh dia masuk!""Baik, Pak."Tak lama setelah Bara menutup telepon, pintu ruangannya terbuka dan Gina yang memakai gaun hitam melangkah masuk. Wajahnya tampak sedih, terlihat jelas dari sorot matanya.Gina berjalan masuk dan duduk di kursi depan meja kerja Bara. Dia tampak menarik nafas pelan sebelum berbicara."Bara, aku punya kabar buruk," ujar Gina, suaranya bergetar.Bara mengangkat wajahnya, tatapannya datar. "Apa itu, Gina?" tanyanya, tanpa banyak ekspresi."Alisha... Alisha meni
Alisha menatap pantulan dirinya di cermin toilet di sebuah cafe, matanya sembab dan wajahnya pucat pasi. Sudah hampir dua bulan ia berjuang mencari pekerjaan. Lamaran demi lamaran ditolak, harapan demi harapan sirna. Alisha merasa lelah dan putus asa.Ia teringat perilaku Bara dan Elin pada dirinya, kehadiran Vee di dalam rumah tangganya, kematian Heru serta tuduhan jika dia selingkuh. Pikiran-pikiran negatif itu terus berputar di kepala hingga membuat pening.Dengan langkah gontai, Alisha keluar dari toilet sambil membawa kembali berkas lamaran yang tadinya akan dia kirim ke suatu perusahaan. Namun, baru saja dia keluar dari pintu toilet, tak diduga, dia melihat Bara sedang duduk tak jauh darinya.Seketika Alisha mundur beberapa langkah mencari tempat yang aman agar tidak terlihat oleh mantan suaminya itu. Dari tempatnya bersembunyi, Alisha dapat mendengar Bara sedang menelepon seseorang."Kamu sudah memastikan jika dia nggak diterima dimanapun, kan? Bagus. Kerja bagus. Aku akan kiri