Kubuka pintu jendela selebar-lebarnya, menghirup udara segar hingga memasuki ke dalam pikiran.
"Semua sudah berakhir ... tak perlu disesali," gumamku mencoba menghibur hati. Walau tak ku pungkiri sakitnya hati melebihi tertusuk benda tajam.Malam menunjukan pukul 02:00. Deru mesin mobil berbunyi, setelah itu pintu pagar terbuka lebar. Kupandangi mobil suamiku yang membawa selingkuhannya, perlahan mobil itu keluar dari rumah dan menghilang ditelan keheningan malam."Pergi, dan jangan kembali ..." desahku lelah.Kupandangi langit hanya ada bulan yang bersinar terang disana, kemana perginya para bintang? Apa dia juga ikut berkhianat seperti suamiku?Ahh ... lelah sekali jiwa dan raga ini. Seluruh badan begitu sakit, namun ku tahu hati ini yang lebih sakit.Aku menundukan pandangan, mataku tertuju pada sosok laki-laki bertubuh kekar yang memandangku penuh iba. Menyunggingkan senyum tipis dengan badan bergetar pilu. A"Fionaa ..." lantang suara Mas Daniel."Sstttt ... jangan teriak begitu, aku tidak tuli," ucapku sambil menempelkan telunjuk tangan dibibir lalu berjalan melewatinya. Kuhempas bokong ini di sofa tunggal kesayanganku."Apa maksud semua ini," ucapnya sambil melempar koper, hampir saja mengenai kaki-ku.Aku mendesah lembut, lalu tersenyum tipis setelahnya. "Mari kita akhiri semuanya," ucapku tegas.Mas Daniel berjalan kearahku, lalu berjongkok didepanku dan memegang kedua tanganku."Fi ... aku mohon, jangan seperti ini," ucapnya sambil menatap bola mataku.Kupandang lekat kedua matanya, sorot khawatir memang terpancar jeles dimatanya. Namun aku ragu, jika itu sorot khawatir tentang hubungan ini. Bisa saja dia khawatir dengan hal yang lain."Sudah Mas ... kau tak perlu banyak bersabar dan mengalah lagi dengan sikapku, aku membebaskanmu."sindirku dengan wajah dingin.Mataku terpaku dengan pintu
Mataku terbelalak, mendengar penuturannya. Lalu tertawa nyaring hingga keluar air disudut mata. Melihatku masih tertawa sambil menatapnya lucu, kening Mas Daniel mengkerut. Sepertinya expresiku diluar dugaannya."Kenapa?" tanyanya heran.Ahh ... entah hanya perasaanku saja atau bukan, kulihat Mas Daniel semakin bodoh dari hari ke hari. Efek bergaul dengan Anitta, sepertinya.Dia selalu memanfaatkan situasi, tanpa berpikir dengan logis. Teman memang sangat berpengaruh, bagi kehidupanmu."Daniel ... Daniel," selorohku sambil menyeka sudut mata dengan ujung jari."Kau tidak perlu berbaik hati, tanpamu aku bisa bebas dengan mudah," sahutku dengan senyum yang merekah.Mas Daniel nampak mendelik, matanya menyipit kearahku dengan gusar."Kamu jangan terlalu menganggap masalah ini sepele, Anitta punya bukti tertulis. Kamu tidak bisa mengelak," ucapnya dengan sorot mata serius."Oh ... ya?" balasku menant
Menyadari Ayah yang sedari tadi menatapnya, membuat Mas Daniel gugup dengan wajah yang terlihat pucat. Dari gerakan tubuh, sebenarnya dia ingin menyapa Ayahku. Namun kutahu itu sama saja dia membunuh dirinya sendiri, mengingat Ayah sudah kepalang emosi seperti ini."Tenang dulu Mbak, semua ada prosedurnya. Kenapa Mbak Fiona bisa dibebaskan," beber polisi yang mukanya ditunjuk oleh Anitta.Anitta mendengkus kasar, dengan kasar dia menarik bangku didepannya dan duduk diatasnya."Ada keperluan apa, Mbak Anitta mendatangi kamar Fiona jam satu malam?" tanya polisi bernama, Sofyan yang tadi pagi mengintrogasi-ku."Eh ... apa-apaan ini, kenapa jadi nanya-nanya saya," semprot Anitta."Semua saksi atau korban, bisa ditanya-tanya Mbak, demi berjalannya proses kasus ini. Jadi, ada keperluan apa, Mbak Anitta mendatangi kamar Fiona tengah malam itu?" Sofyan mengulang pertanyaannya.Anitta bergeming sejek, matanya melirikku tajam.
Suara gawai begitu mengusik mimpiku, dengan gerakan pelan aku meraba nakas mencari benda pipih yang semalam kutaruh di atasnya."Pagi Nyonya.." suara mendayu Sandra memasuki telingaku."Hmm.." sahutku malas."Hei.. wake-up girls..""Aku punya kejutan manis untukmu," suaranya penuh semangat.Aku menghembuskan nafas, memijit pelipis yang sedikit berdenyut dan memaksa mata untuk terbuka."Iyaa.. apa?" Sahutku dengan suara serak."Sebelumnya aku mau bilang trimaksih. Karna kamu udah ngasih aku job seindah ini," cerocos Sandra dengan suara riang."Oh iya.. foto hot sudah tercetak semua. Terus aku harus gimana lagi?" Tanyanya.Hm.. cepat juga kerjanya."Bawa semua ke kantorku, aku tunggu jam sebelas siang.""Eh.. sorry Fi. Aku ga bisa kekantor hari ini," ucap Sandra."Kenapa?""Hari ini aku mau diajak liburan ke Bali sama si Om," suara centilnya mu
Darah kental seketika mengalir dari kepalanya hingga tercecer diatas lantai. Menyedihkan sekali Mas Daniel, tubuhnya sudah tidak bergerak. Mungkin dia pingsan, tidak sadarkan diri. Atau bisa jadi sudah mati.Rasa belas kasih sudah melebur begitu saja, yang ada hanya kepuasan melihat dirinya berdarah-darah."Bawa pergi anakmu dari sini, sebelum aku membunuhnya!" sembur Ayah garang, matanya menatap Mamih dengan lekat.Mamih tercekat ketakutan, badannya terguncang kuat dengan bibir bergetar hebat menahan tangis.Aku hanya bisa memandangi tanpa ada niat sedikitpun untuk melerai, apa lagi membantu laki-laki yang sebentar lagi menjadi calon mantan suamiku itu.Dengan sigap Paman memapah tubuh Mas Daniel yang sudah tidak berdaya itu, dibantu dengan Mamih yang masih menangis tersedu.Nafas Ayah terlihat masih memburu, Bik Inah datang membawa nampan berisi teko dan minuman segar juga gelas.Aku menuntun Ayah duduk d
Pov Daniel.Sebelum keluar dari rumah sakit, aku menikah sirih dengan Anitta. Yah.. mau tidak mau, aku harus menikahinya sebelum perutnya semakin membesar. Lagi pun, aku mulai terbiasa berdampingan dengannya.Cinta yang kuperjuangkan tidak bernilai lagi dimata Fiona. Dia bahkan menolak kewajibannya dengan alasan belum siap. Sampai kapan? Sementara hasratku sudah tidak bisa terbendung lagi.Diam-diam aku mendatangi kamar Bik Inah, dimana ada Anitta di dalamnya yang menantiku dengan sambutan hangat memabukan.Ahh.. beginikah nikmatnya mempunyai istri lebih satu, jika satu merajuk, aku bisa dengan yang kedua. Sungguh aku ingin kedua istriku suatu hari nanti akan akur dan berdamai, khususnya untuk Fiona."Mas, aku ingin meminta pinjaman uang yang kamu pakai belakangan ini," ucapnya tiba-tiba."Maksud kamu?" Aku ya
Setelah keadaan Anitta membaik, kami langsung bergegas menuju kantor polisi, untuk melaporkan kasus penganiayaan yang dilakukan Fiona. Dengan bukti berupa hasil visum juga luka yang masih membekas diwajah Anitta, membuat laporan semakin mudah di proses.Aku dan Anunggu Fiona dijemput oleh aparat. Hanya memakan waktu satu jam, polisi berhasil membawa Fiona kesini.Kupandangi wajah Fiona yang terlihat semakin cantik saat di introgasi. Sesaat mata kami beradu tatap, namun sorot Fiona datar saja melihatku. Tidak ada benci atau amarah dimatanya.Polisi memutuskan untuk menahan Fiona, hatiku sedikit lega mendengarnya. Karna menurutku, ini adalah kesempatan bagus, untuk menjadi pahlawan baginya. Fiona tersenyum tipis kearahku, saat polisi menggiringnya memasuki sel tahanan. Ada rasa bersalah yang mencuat didalam dada, melihatnya ada didalam jeruji besi, namun secepat kilat aku menepisnya. Toh ini hanya
Bukankah sulit sekali menahan gejolak itu. Daniel?" Lagi Papih menatapku, kali ini dengan senyum mengejek kearahku.Aku tergagap ditempat, lidahku terasa sulit bergerak. Semakin membuat Papih melambung diatas awan."Jadi.. maksudmu, kau akan tetap menjalani hubungan itu dan menikahinya begitu?" Mamih kembali berucap, kali ini tanpa emosi. Sepertinya Mamih berhasil menetralkan perasaannya."Ya.. aku akan menikahinya, apapun yang terjadi. Dengan, atau tanpa persetujuan darimu," ucap Papih santai. Benar-benar membuatku ingin menjotos bibirnya.Mamih mendecih sinis, bibirnya terangkat sebelah. "Itu tidak akan terjadi, aku akan mengurus surat perceraian!" gertak Mamih."Silahkan.. aku lebih baik kehilanganmu, dari pada harus menjauhi dia. Fikirmu, kau sudah jadi istri yang baik untukku? Kau bahkan selalu membuatku malu, didepan rekan-rekanku. Kau selalu ingin menang sendiri dan aku harus selalu mengalah menuruti keinginanmu. Menurutku itu semua sudah cu