"Mohon maaf, Pak. Kartu limit, tidak bisa digunakan?" Ucap Mbak kasir sambil menyodorkan kartu dihadapanku.
Hah ... Limit, tidak bisa digunakan? mana mungkin?"Tidak mungkin? Saya belum melakukan transaksi apapun hari ini," sahutku sambil menerima kartu atm tersebut dan menimangnya.Apa yang salah?"Mohon maaf, Pak. Saya sudah mencoba sebanyak 2 kali. Tapi tetap hasilnya tidak bisa," balas Mbak kasir, masih dengan senyum ramahnya."Ada apa sih, Mas?" Anitta yang sedang berbincang dengan pegawai salon yang tadi menggodaku, jalan mendekat."Ini, kartu. Kok ga bisa dipakai, padahal uangnya masih banyak," jelasku. Kening Anitta bertautan. Dia melangkah mendekati kasir."Mesinnya tidak rusakkan?" Tanya Anitta."Mesin baik-baik saja, Mbak." Jawab kasir.Aku kembali merogoh dompet dan mengeluarkan kartu yang lain."Coba pakai ini," aku menyodorkan atm cadangankuTiba-tiba ucapan Papah terngiang dikepala, yang mengatakan perempuan penggoda seperti Anitta hanya mengincar hartaku saja. Jika Anitta tahu kebenaran tentang hidupku, apakah dia akan melepehku, seperti yang Papah katakan?Ahh ... kenapa kepalaku belakangan ini selalu berdenyut ngilu, rasanya sangat pening, benar-benar sakit dan mengganggu.Mata masih tertuju pada Anitta yang memasuki loby apartement, dia terlihat berhenti dan berbincang dengan laki-laki yang bekerja sebagai keamanan di apartementnya.Ada rasa tak nyaman saat melihat mereka begitu dekat, Anitta masih terus berbincang. Padahal sebelum dia turun dari mobil, dia mengeluh pusing kepala. Apakah saat ini, pusingnya sudah menghilang? Ada rasa kecewa yang terselip dihati ini melihat tingkah lakunya.Melajukan mobil dengan pelan, aku memutuskan untuk singgah kerumah orangtua Diana. Biar bagaimana pun masalah aku dan Ayahnya harus diselesaikan, aku tidak mau Ayah mertua benar
Kembali tendangan mengenai perutku, suara rintihan lolos begitu saja. Dengan pandangan yang semakin buram dan menghitam.***Ofd.Pov FionaSenyum tak henti menghiasi bibir ini, sesekali aku berteriak memanggil nama anak laki-laki kesayanganku. Papah dan anak itu bermain dengan riang, Fahri yang baru bisa berjalan kesana kemari menggerakkan kaki mungilnya berlari kesegala arah."Capek?" Aku terkekeh melihat Mas Yas, yang menggendong Fahri dengan nafas terengah-engah, berjalan menghampiriku."Huh ... larinya cepat banget. Semakin diteriaki dan dikejar, semakin kencang larinya," jawab Mas Yas, sambil mencium gemas pipi anaknya.Aku tersenyum hangat, meregangkan tangan mengambil alih Fahri dalam gendongan Mas Yas. Fahri tertawa riang, kedua tangannya mencondong kearahku."Sudah mau magrib, kita balik ke dealer ya." Ucap Mas Yas."Iya, Papah," sahutku sambil bergelayut manja dilengannya, lalu berjalan beriringan menuju mobil d
"Jordy adalah pengawal Diana, kalau begitu tunggu sebentar. Saya akan berbicara dengan Diana," ucapnya lalu masuk kedalam ruangan.Aku menunggu dengan gelisah, semoga saja keputusanku ini memang tepat. Aku hanya ingin membantu, Nyonya Diana.Tak lama perempuan paruh baya itu keluar, dan mengizinkan masuk. Namun hanya aku yang boleh menemuinya, Mas Yas harus menunggu diluar ruangan."Selamat siang?" Ucapku setelah membuka pintu. Wanita dengan senyum hangat sudah menyambut kedatanganku."Siang, Nona." sahutnya dengan suara pelan."Nyonya, Diana?" Tanyaku. Bibir itu melengkung, seirama dengan anggukan kepalanya."Silahkan duduk," ucapnya sambil menunjuk kursi disamping bangkar."Trimakasih, sudah mau meluangkan waktu datang kesini. Senang bisa bertemu denganmu, Nona." ucapnya sambil tersenyum tipis. Keadaan Diana benar-benar memprihatinkan. Kening kepalanya terbelit perban, serta kaki kirinya tergantung dengan alat bantu rumah sakit.
Malam semakin larut, Anitta belum juga menunjukan batang hidungnya. Aku tak ingin menghubunginya, biarkan saja jika memang dia mengurungkan niat untuk menjengukku dirumah sakit.Ingin menghubungi Mamah, namun logika menolak keras. Mamah pasti bertanya penyebab aku berada disini. Dia pasti akan tertawa, jika mendengar Ayah Diana yang sudah membuatku babak belur seperti ini.Mamah memang Ratu kejam, dari dulu dia seperti itu. Jika aku mempunyai kesalahan, dia akan menghukumku dengan keji. Tak peduli, aku ini anak laki-laki satu-satunya.Ahh ... malangnya nasibmu, Mahesa. Semua masalah terjadi secara beruntun, waktu seolah menjebak dan mempermainkanku.Meraih remot televisi yang ada diatas nakas, mencoba memecah kesunyian didalam ruang yang sepi ini.Televisi menyala, aku menatap layar lebar itu dengan fikiran kosong.Diana ... Hanya dia yang ada didalam ingatanku saat ini. Aku memang bersalah, dan aku sudah mengakui semuanya.Aku ingin
Tiga hari setelah dirawat dirumah sakit, aku diperbolehkan pulang. Anitta benar-benar menjagaku sepenuh hati.Diana? Jangan ditanyakan, dia mungkin tidak peduli, jika aku mati sekalipun. Benar-benar tak berperasaan, hati ini sungguh sakit. Seseorang yang aku harap bisa menemaniku hingga akhir hayat, ternyata tak ubah bagai serigala. Menyakitkan!Aku memilih untuk pulang ke apartement Anitta, karna pulang kerumah pun tak ada yang mengurus."Kamu ga kerja, Mas?" Tanya Anitta. Hari ini adalah hari ketujuh, aku menginap dikediamannya. Keadaanku sudah kembali pulih, dan sehat bugar."Tidak, Mas malas bertemu Mamah," kilahku. Padahal, memang sudah dicopot jabatanku. Untuk saat ini, biarlah. Anitta tak perlu tahu masalahku yang sesungguhnya."Mas, coba bujuk Mamah. Aku tidak mau hubungan ini terus-terusan tidak jelas," ucap Anitta sambil menaruh segelas kopi diatas meja."Ya, kita memang tidak seharusnya seperti ini. Akupun tak ingin terlalu lama b
"Loh kamu yang mau apa! Aku ini calon istri, Mas Mahesa. Kamu lupa?" Suara Anitta tak kalah kencang dari Diana.Dengan terpogoh aku berlari menuju pintu, mata terbuka lebar. Diana benar-benar ada didepan mataku."Diana ... kamu pulang sayang?" Ucapku dengan senyum haru. Diana tersenyum hangat, menubruk pundak Anitta yang menghalangi langkahnya lalu melewatinya."Iya, kamu sehat Pih?" Diana berkata dengan senyum yang begitu manis, membuat kepala ini mengangguk dengan cepat."Sudah makan?" Diana menaruh telapak tangan dikeningku, lalu mencium pipi ini dengan lembut."Sudah, ayo masuk kedalam," ucapku sambil menuntun masuk tangannya. Diana tersenyum manis, berjalan sambil bergelayut mesra dipundakku.Ada apa ini? Mengapa Diana begitu manis. Sudah sudikah kiranya dia memaafkan aku?Tak sengaja mata melirik Anitta, yang menatap sinis tak suka. Tapi aku tak peduli, bagiku saat ini Diana sudah pulang
Silau mentari menerpa wajah, tubuh bergeliat melemaskan otot. Meraba samping ranjang, mata menyipit saat tak kutemukan Diana disamping tidurku. Perlahan bangun, duduk bersandar dipunggung kasur, mengumpulkan segenap kesadaran.Waktu menunjukan pukul 6 pagi, suara aktifitas didalam kamar mandi terdengar membuat hati yang tadinya gundah menjadi tenang.Sambil menguap aku meraih gawai yang tergeletak diatas nakas, pesan dari Nitta berjejer memenuhi layar. Kembali aku meredupkan layar, malas untuk membaca segala rentetetan keluh kesahnya."Sayang ... mandinya sudah?" Ucapku setelah mengetuk pintu dua kali."Iya, tunggu sebentar!" Teriak Diana dari dalam."Buka pintunya, kita mandi sama-sama." Tak ada balasan suara dari dalam, tak lama pintu toilet terbuka pelan."Aku sudah selesai," ucapnya seraya melilitkan handuk dikepala. Aroma sabun mengeruak, saat Diana melewatiku.Ada yang menghangat dihatiku, melihat Diana berada disini gairah hidu
"Sama-sama, Pih. Semoga keluarga kita selalu dilindungi oleh Tuhan, dari orang-orang jahat yang mau merusak kebahagiaan kita," sahut Diana tegas. Namun senyum dibibirnya menciptakan kehangatan didalam dada.***Ofd.Setiap hari Anitta terus saja meneror, aku sampai mengnonaktifkan gawai untuk sementara waktu.Tepat hari ini, dimana seharusnya kami melakukan pernikahan. Tapi aku mangkir, tak menanggapi semua rentetannya.Menikah dengan Anitta? Entah mengapa hati merasa kurang yakin, aku takut fikiran buruk tentangnya menjadi kenyataan.Setelah difikir-fikir, uangku memang habis terkuras untuk memenuhi gaya hidupnya. Dan aku tidak mau terus-terusan seperti itu. Uang yang seharusnya bermanfaat kini lenyap karna kesenangan sesaat. Anitta tentu saja, tak mau tahu saat aku mengeluh kekurangan uang.Sibuk menata hati bersama Diana, menyusun rencana untuk membuka usaha sendiri. Cukup sudah aku mengemis dihadapan Mamah, penolakan mereka membuat hatiku sakit. Aku bertekad akan membuka usaha send